Yang aku miliki dari warisan ayah adalah sebuah toko kelontong sekaligus rumah tempat tinggal dengan dua lantai di pinggir jalan raya dekat pasar. Bukan hanya itu, aku juga memiliki beberapa karyawan yang mengerjakan segala hal sejak toko itu dikelola ayah.
Orang boleh membunuh raga mencabut nyawa, namun tak kuasa membinasakan koda. Koda menghadirkan dirinya kepada siapa ia berkenan. Orang-orang biasanya menantikan kehadirannya dalam setiap generasi. Kali ini ia mewujud
Sebenarnya, jika dia mengilas balik kisah masa lalunya, dia tidak ingin menjadi ibu. Satu alasan dari keinginannya itu adalah baginya akan banyak derita yang diperolehnya kelak.
Aku sedang menyedot kopi hitam dingin kala Yah Wa muncul dan mengempaskan pantatnya di kursi besi di depanku sambil memaki, ”Celaka! Komisi Kebenaran celaka!”
”Ibuku ular, ibuku ular...” teriak Dini berlari menghambur ke luar kelas. Seisi ruangan riuh. Ada yang tertawa terbahak. Tapi, ada juga yang diam saja. Aku lantas memasang wajah tajam dan memandangi murid-muridku itu. Berharap situasi kelas dapat kukontrol dengan ketenangan.
Bujang mengambil minyak tancho di dalam lemari pakaian sebelum kemudian menghadap ke cermin kamar yang sudah sedikit buram. Bagian atas cermin itu sudah retak, dan sebagai antisipasi agar kaca tetap kokoh, laki-laki flamboyan itu menempelkan stiker Rhoma Irama dengan gitarnya yang sangat legendaris dan tersenyum penuh. Jangan Begadang, tulisan itu dicetak setebal dan sejernih mungkin.
Nama adalah doa, namun kau dikutuk ibumu lewat namamu. Setidaknya itu menurutmu. Rahwana, satu kata mewakili segala bentuk keburukan di atas dunia. Aku bahkan nyaris tertawa saat mendengar namamu untuk kali pertama. Mengapa harus Rahwana?