26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Apa yang Lebih Kuat dari Maut?

Rel-rel menatap dingin, seperti mata golok yang menatap leher para binatang yang gelisah di rumah jagal. Kita duduk di sisian rel ini sedari subuh. Kita menghitung, tak kurang dari lima kereta telah berlalu-lalang melampaui kita –yang hanya duduk dan saling bergenggaman tangan.

AKU menggigil dan tak berani mengangkat kepala. Dan kautahu, aku menggigil bukan karena hawa dingin. Tapi karena hawa kematian yang sedari tadi menjawil-jawil tengkukku, yang rasanya jauh lebih dingin.

Kau datang hanya dengan sebotol air mineral dan roti sobek yang kaubawa dalam tas plastik kecil bertulisan nama sebuah minimarket. Sedangkan aku datang hanya membawa diri yang diam-diam telah kaucuri dari orang tuaku menjelang subuh tadi.

”Kita harus yakin, dan kita juga harus siap,” katamu berkali-kali.

Dan aku tak pernah yakin pada apa pun. Namun kematian, meskipun kau tak yakin padanya, ia tetap akan menghampirimu, bukan? Sedari subuh tadi, ketika aku berjingkat kabur lewat pintu belakang, sampai kita bertemu dan saling bergenggaman tangan, tak sepatah kata pun meluncur dari mulutku.

Aku lebih banyak menunduk. Sedangkan kau tak henti-hentinya meyakinkan bahwa cinta adalah sesuatu yang lebih kuat, bahkan dari maut. Kautahu, sebanyak apa pun kau meyakinkan aku, aku tetap tak akan goyah, karena bagaimanapun, maut bukanlah sesuatu yang pantas dijadikan mainan, apalagi taruhan.

Sejak kereta pertama melintas, kau sudah menggenggam tanganku erat-erat (seakan berusaha menariknya) dan bertanya, ”Bagaimana? Kau sudah siap?”

Dan aku masih menggeleng dengan isakan yang sentimental. Kau meraih kepalaku ke dalam pelukanmu sambari berkata, ”Tidak apa-apa. Kita akan menunggu kereta selanjutnya, sampai kau siap.”

 

Aku ingin bilang padamu bahwa sebenarnya aku tak pernah siap. Ketika kereta kedua, ketiga, dan keempat datang, kau pun menanyakan pertanyaan yang sama, dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama. Hingga kau meraih tanganku dan mengajakku untuk mampir ke warung nasi campur di pinggiran rel.

Mungkin pemilik warung menatap kita dengan tatapan heran: dua mudi-mudi yang sedari subuh hingga matahari meninggi hanya duduk-duduk di sisian rel sambil bergandengan tangan. Dan sebelum kita mampir ke warung itu, kita sempat mendengar seorang lelaki menggerundel membicarakan kita dari dalam warung itu, ”Pacaran kok di pinggir rel, sebenarnya mereka itu mau pacaran atau mau cari mati?”

Dan kita hanya tersenyum mendengar itu. Senyum yang getir.

”Biar saja mereka bicara apa, mereka tak akan pernah mengerti,” katamu dengan nada sinis. Dan aku masih saja diam dalam dekapanmu. Ketika kita benar-benar singgah ke warung itu, orang-orang di dalam warung jadi bungkam. Hanya suara piring yang beradu dengan sendok, atau suara pantat cangkir yang menyentuh nampan, atau suara tempe tepung yang dicelupkan ke minyak panas.

Kau memesan dua porsi nasi campur dan dua gelas teh hangat. Kau mengunyah sarapanmu ragu-ragu, sedangkan aku malah mendiamkannya.

”Ayolah, itu sudah dipesan. Makanlah supaya badanmu tidak gemetar,” katamu nyaring tanpa memedulikan pelanggan lain yang mendelik ke arah kita dengan tatapan aneh. Aku menyeruput teh hangat sekali dan mendiamkannya lagi.

”Apa mau kusuapi?” katamu lagi. Orang-orang kembali memelototi kita, anak pemilik warung yang masih remaja menutupi mulutnya karena membisikkan sesuatu pada ibunya.

Baca Juga :  Rasuk

Aku mulai menyentuh nasi campur itu dan memasukkannya ke dalam mulut, sesendok demi sesendok. Sungguh, aku ingin muntah. Bukankah seseorang yang siap mati seharusnya tak sempat memikirkan rasa lapar?

”Kalau memang nggak mau ya sudah, nggak usah dipaksa,” katamu sambil mengelap mulutku dengan sapu tangan marun yang kaurogoh dari saku bajumu. Orang-orang masih mencuri-curi pandang ke arah kita sambil menyeruput kopi, teh, atau memasukkan nasi ke mulut mereka. Kau tak peduli.

Setelah membayar, kita pun kembali ke tempat semula, dan barulah orang-orang di dalam warung berbincang dengan suara nyaring, suara mereka seperti kawanan lebah yang terusik. Kita tahu, mereka membicarakan kita.

”Kita tak harus peduli, bukan?” katamu. Aku mengiyakan.

Kita duduk di tempat semula dengan posisi seperti semula, saling bergenggaman tangan. Rel-rel masih menatap kita dengan dingin. Anak pemilik warung mengintip kita dari jendela warungnya. Kaubalas memelototinya, hingga ia beringsut masuk.

”Aku benar-benar heran. Mengapa orang-orang selalu ingin tahu urusan orang lain?” katamu dengan dongkol. Ketika itu kereta kelima hampir melintas, kita tahu dari guncangan lirih yang membuat senar-senar kawat di sisian rel bergerak-gerak seperti dawai raksasa yang dipetik oleh tangan yang tidak tampak.

”Kau siap?” tanyamu lagi. ”Kalau kau siap, kita bisa melakukannya sekarang. Percayalah, ini tidak akan sakit. Bukankah rasa sakit yang paling sakit sudah kita telan bersama. Ayolah, kita sudah membuat kesepakatan. Kita akan memberi pelajaran berharga pada mereka.”

Aku benar-benar tak habis pikir, tidak adakah pelajaran lain yang bisa kita sepakati? Mengapa harus maut? Sebenarnya aku ingin berkata padamu demikian: Setelah tubuh kita tercerai-berai oleh moncong kereta yang melaju tanpa ampun, kita tak akan pernah tahu apakah orang tua kita mendapatkan pelajaran berharga atau malah bersyukur karena anak-anak mereka yang pembangkang telah lenyap dari muka bumi.

Namun aku masih membisu, aku tidak sampai hati menatap matamu yang telah begitu yakin bahwa maut adalah jalan terbaik bagi dua insan yang cinta kasihnya dianggap sebagai sesuatu yang konyol dan tergesa. Dua insan yang kebahagiaannya tak pernah direstui. Kau ingin, kita membuktikan pada mereka bahwa cinta kita lebih kuat dari apa pun, bahkan kematian.

Ketika kereta kelima melaju di hadapan kita dengan kecepatan yang tak bisa kita kilas, angin yang serampangan telah mengibaskan rambut dan rokku, sementara debu beterbangan, membuat kita menutup mata dan hidung.

”Baiklah, mungkin kereta selanjutnya,” katamu sambil menghalau debu dari hadapan kita dengan sapu tanganmu.

”Kereta selanjutnya adalah kereta supercepat yang biasanya melaju lebih kencang dari kereta lain. Seperti cahaya. Mungkin kereta berikutnya adalah kereta terbaik. Jadi, kau harus siap,” ungkapmu lagi.

Aku tak tahu mengapa tubuhku semakin gemetar. Seperti tubuhmu juga. Tapi aku gentar. Tak sepertimu yang begitu yakin pada kebahagiaan di dunia lain. Entahlah, pikiranku tidak di situ. Detik ini aku malah membayangkan, kedua orang tua kita sedang kelimpungan mencari kita yang hilang sejak subuh hari.

Tanpa salam pamit. Memang, untuk mati, seseorang tak perlu pamit pada siapa pun. Tak ada waktu untuk itu. Tapi kau tak pernah tahu bahwa semakin dekat langkahku menuju rel-rel itu, kegamanganku kian berlipat-lipat. Lebih-lebih ketika kereta-kereta itu melaju dengan kecepatan tanpa batas. Aku benar-benar gentar.

Baca Juga :  Pak RT Membawa Gergaji

Sebenarnya aku pernah berpendapat, kalaupun kita harus mati bersamaan, kita bisa memilih cara yang lebih santun, seperti minum racun serangga, misalnya. Namun kau berkilah, setelah orang tua kita mendapati mulut kita berbusa-busa mereka akan segera melarikan kita ke rumah sakit dan kita akan semakin celaka karena kita selamat. Jadi, aku tak membantah usulmu untuk meleburkan tubuh kita di moncong kereta yang tengah melaju dengan kecepatan cahaya.

Tapi sekali lagi, setiap kali kereta-kereta itu datang dan kau menanyakan apakah aku sudah siap, aku semakin gemetar dan semakin tidak siap. Bahkan diam-diam, aku ingin membatalkan niat konyol ini.

Ketika pikiranku melambai ke mana-mana, dan waktu bergegas tanpa mau tahu, kereta keenam telah datang. Kereta supercepat yang katamu melaju dengan kecepatan cahaya.

Dari kejauhan suara dengungnya begitu menyeramkan. Serupa sangkakala yang akan menamatkan dunia kita. Itukah malaikat maut yang hendak mencabut nyawa kita? Sisian rel kembali berguncang dan terus menatap kita dengan dingin. Senar-senar kawat juga turut berguncang. Seakan mereka bersorak.

Kau berdiri dan meraih tanganku, ”Kali ini kita harus siap. Kita sudah melewatkan lima kereta, dan kita tidak akan melewatkannya lagi. Kita harus siap.”

Tubuhku gemetar. Tanganku gemetar. Dari kejauhan, lampu di kepala kereta berkedip-kedip seperti mata iblis yang genit. Kereta semakin dekat. Dan kau menggenggam tanganku semakin erat.

Mungkin kau melihat kegamangan yang nyata di mataku sehingga kau menyeretku begitu rupa menuju tengah rel yang lebih tampak seperti mata golok yang siap mencincang tubuh kita. Kereta semakin dekat, kita pun berjalan semakin dekat.

Orang-orang dari dalam warung berhamburan keluar. Mereka mengatai kita gila sambil berteriak tak keruan. Sebagian menjerit-jerit. Kereta masih beberapa puluh meter lagi. Dan karena kereta itu melaju dengan kecepatan cahaya, kita hanya butuh hitungan detik untuk sampai di neraka. Kau masih terus menyeretku.

”Aku tidak siap! Aku tidak siap! Aku tidak pernah siap! Cinta tak pernah lebih kuat dari mati!” jeritku terlepas untuk kali pertama. Seketika kau menghentikan langkahmu dan menatapku nanar.

Kita masih berdiri dengan jarak tak kurang dari dua meter ketika kereta itu melaju selaju-lajunya di hadapan kita. Angin bercampur debu menampar wajah dan tubuh kita yang rapuh, kuyu, dan nyaris tumbang.

Kereta terus melaju, gerbong demi gerbong seperti menertawai kita, mempecundangi kita, dan kita masih saja berdiri seperti pohon perdu tua. Selepas gerbong terakhir melintas di hadapan kita, yang tampak hanya rel-rel dan kerikil yang rebah dan tampak begitu lelah.

Orang-orang berlarian mengerumuni kita, mencecar kita, memaki kita, mengumpat kita semau mereka. Dan bagi kita, mereka hanya makhluk-makhluk yang tak pernah mengerti. Mereka terus berkerumun dan menggerakkan mulut-mulut bau mereka. Telingaku seperti berdengung.

Sejurus kemudian, kau melepaskan genggaman tanganmu dengan kasar –seperti mencampakkan sesuatu– dan pergi menyibak kerumunan dengan mata memerah.

Kau meninggalkanku. Dari sela-sela tubuh orang yang berkerumun itu, aku melihat punggungmu yang berjalan terguncang-guncang kian mengecil, kian menjauh. Dan rel-rel itu masih saja menatapku dengan dingin. (*)

Rel-rel menatap dingin, seperti mata golok yang menatap leher para binatang yang gelisah di rumah jagal. Kita duduk di sisian rel ini sedari subuh. Kita menghitung, tak kurang dari lima kereta telah berlalu-lalang melampaui kita –yang hanya duduk dan saling bergenggaman tangan.

AKU menggigil dan tak berani mengangkat kepala. Dan kautahu, aku menggigil bukan karena hawa dingin. Tapi karena hawa kematian yang sedari tadi menjawil-jawil tengkukku, yang rasanya jauh lebih dingin.

Kau datang hanya dengan sebotol air mineral dan roti sobek yang kaubawa dalam tas plastik kecil bertulisan nama sebuah minimarket. Sedangkan aku datang hanya membawa diri yang diam-diam telah kaucuri dari orang tuaku menjelang subuh tadi.

”Kita harus yakin, dan kita juga harus siap,” katamu berkali-kali.

Dan aku tak pernah yakin pada apa pun. Namun kematian, meskipun kau tak yakin padanya, ia tetap akan menghampirimu, bukan? Sedari subuh tadi, ketika aku berjingkat kabur lewat pintu belakang, sampai kita bertemu dan saling bergenggaman tangan, tak sepatah kata pun meluncur dari mulutku.

Aku lebih banyak menunduk. Sedangkan kau tak henti-hentinya meyakinkan bahwa cinta adalah sesuatu yang lebih kuat, bahkan dari maut. Kautahu, sebanyak apa pun kau meyakinkan aku, aku tetap tak akan goyah, karena bagaimanapun, maut bukanlah sesuatu yang pantas dijadikan mainan, apalagi taruhan.

Sejak kereta pertama melintas, kau sudah menggenggam tanganku erat-erat (seakan berusaha menariknya) dan bertanya, ”Bagaimana? Kau sudah siap?”

Dan aku masih menggeleng dengan isakan yang sentimental. Kau meraih kepalaku ke dalam pelukanmu sambari berkata, ”Tidak apa-apa. Kita akan menunggu kereta selanjutnya, sampai kau siap.”

 

Aku ingin bilang padamu bahwa sebenarnya aku tak pernah siap. Ketika kereta kedua, ketiga, dan keempat datang, kau pun menanyakan pertanyaan yang sama, dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama. Hingga kau meraih tanganku dan mengajakku untuk mampir ke warung nasi campur di pinggiran rel.

Mungkin pemilik warung menatap kita dengan tatapan heran: dua mudi-mudi yang sedari subuh hingga matahari meninggi hanya duduk-duduk di sisian rel sambil bergandengan tangan. Dan sebelum kita mampir ke warung itu, kita sempat mendengar seorang lelaki menggerundel membicarakan kita dari dalam warung itu, ”Pacaran kok di pinggir rel, sebenarnya mereka itu mau pacaran atau mau cari mati?”

Dan kita hanya tersenyum mendengar itu. Senyum yang getir.

”Biar saja mereka bicara apa, mereka tak akan pernah mengerti,” katamu dengan nada sinis. Dan aku masih saja diam dalam dekapanmu. Ketika kita benar-benar singgah ke warung itu, orang-orang di dalam warung jadi bungkam. Hanya suara piring yang beradu dengan sendok, atau suara pantat cangkir yang menyentuh nampan, atau suara tempe tepung yang dicelupkan ke minyak panas.

Kau memesan dua porsi nasi campur dan dua gelas teh hangat. Kau mengunyah sarapanmu ragu-ragu, sedangkan aku malah mendiamkannya.

”Ayolah, itu sudah dipesan. Makanlah supaya badanmu tidak gemetar,” katamu nyaring tanpa memedulikan pelanggan lain yang mendelik ke arah kita dengan tatapan aneh. Aku menyeruput teh hangat sekali dan mendiamkannya lagi.

”Apa mau kusuapi?” katamu lagi. Orang-orang kembali memelototi kita, anak pemilik warung yang masih remaja menutupi mulutnya karena membisikkan sesuatu pada ibunya.

Baca Juga :  Rasuk

Aku mulai menyentuh nasi campur itu dan memasukkannya ke dalam mulut, sesendok demi sesendok. Sungguh, aku ingin muntah. Bukankah seseorang yang siap mati seharusnya tak sempat memikirkan rasa lapar?

”Kalau memang nggak mau ya sudah, nggak usah dipaksa,” katamu sambil mengelap mulutku dengan sapu tangan marun yang kaurogoh dari saku bajumu. Orang-orang masih mencuri-curi pandang ke arah kita sambil menyeruput kopi, teh, atau memasukkan nasi ke mulut mereka. Kau tak peduli.

Setelah membayar, kita pun kembali ke tempat semula, dan barulah orang-orang di dalam warung berbincang dengan suara nyaring, suara mereka seperti kawanan lebah yang terusik. Kita tahu, mereka membicarakan kita.

”Kita tak harus peduli, bukan?” katamu. Aku mengiyakan.

Kita duduk di tempat semula dengan posisi seperti semula, saling bergenggaman tangan. Rel-rel masih menatap kita dengan dingin. Anak pemilik warung mengintip kita dari jendela warungnya. Kaubalas memelototinya, hingga ia beringsut masuk.

”Aku benar-benar heran. Mengapa orang-orang selalu ingin tahu urusan orang lain?” katamu dengan dongkol. Ketika itu kereta kelima hampir melintas, kita tahu dari guncangan lirih yang membuat senar-senar kawat di sisian rel bergerak-gerak seperti dawai raksasa yang dipetik oleh tangan yang tidak tampak.

”Kau siap?” tanyamu lagi. ”Kalau kau siap, kita bisa melakukannya sekarang. Percayalah, ini tidak akan sakit. Bukankah rasa sakit yang paling sakit sudah kita telan bersama. Ayolah, kita sudah membuat kesepakatan. Kita akan memberi pelajaran berharga pada mereka.”

Aku benar-benar tak habis pikir, tidak adakah pelajaran lain yang bisa kita sepakati? Mengapa harus maut? Sebenarnya aku ingin berkata padamu demikian: Setelah tubuh kita tercerai-berai oleh moncong kereta yang melaju tanpa ampun, kita tak akan pernah tahu apakah orang tua kita mendapatkan pelajaran berharga atau malah bersyukur karena anak-anak mereka yang pembangkang telah lenyap dari muka bumi.

Namun aku masih membisu, aku tidak sampai hati menatap matamu yang telah begitu yakin bahwa maut adalah jalan terbaik bagi dua insan yang cinta kasihnya dianggap sebagai sesuatu yang konyol dan tergesa. Dua insan yang kebahagiaannya tak pernah direstui. Kau ingin, kita membuktikan pada mereka bahwa cinta kita lebih kuat dari apa pun, bahkan kematian.

Ketika kereta kelima melaju di hadapan kita dengan kecepatan yang tak bisa kita kilas, angin yang serampangan telah mengibaskan rambut dan rokku, sementara debu beterbangan, membuat kita menutup mata dan hidung.

”Baiklah, mungkin kereta selanjutnya,” katamu sambil menghalau debu dari hadapan kita dengan sapu tanganmu.

”Kereta selanjutnya adalah kereta supercepat yang biasanya melaju lebih kencang dari kereta lain. Seperti cahaya. Mungkin kereta berikutnya adalah kereta terbaik. Jadi, kau harus siap,” ungkapmu lagi.

Aku tak tahu mengapa tubuhku semakin gemetar. Seperti tubuhmu juga. Tapi aku gentar. Tak sepertimu yang begitu yakin pada kebahagiaan di dunia lain. Entahlah, pikiranku tidak di situ. Detik ini aku malah membayangkan, kedua orang tua kita sedang kelimpungan mencari kita yang hilang sejak subuh hari.

Tanpa salam pamit. Memang, untuk mati, seseorang tak perlu pamit pada siapa pun. Tak ada waktu untuk itu. Tapi kau tak pernah tahu bahwa semakin dekat langkahku menuju rel-rel itu, kegamanganku kian berlipat-lipat. Lebih-lebih ketika kereta-kereta itu melaju dengan kecepatan tanpa batas. Aku benar-benar gentar.

Baca Juga :  Pak RT Membawa Gergaji

Sebenarnya aku pernah berpendapat, kalaupun kita harus mati bersamaan, kita bisa memilih cara yang lebih santun, seperti minum racun serangga, misalnya. Namun kau berkilah, setelah orang tua kita mendapati mulut kita berbusa-busa mereka akan segera melarikan kita ke rumah sakit dan kita akan semakin celaka karena kita selamat. Jadi, aku tak membantah usulmu untuk meleburkan tubuh kita di moncong kereta yang tengah melaju dengan kecepatan cahaya.

Tapi sekali lagi, setiap kali kereta-kereta itu datang dan kau menanyakan apakah aku sudah siap, aku semakin gemetar dan semakin tidak siap. Bahkan diam-diam, aku ingin membatalkan niat konyol ini.

Ketika pikiranku melambai ke mana-mana, dan waktu bergegas tanpa mau tahu, kereta keenam telah datang. Kereta supercepat yang katamu melaju dengan kecepatan cahaya.

Dari kejauhan suara dengungnya begitu menyeramkan. Serupa sangkakala yang akan menamatkan dunia kita. Itukah malaikat maut yang hendak mencabut nyawa kita? Sisian rel kembali berguncang dan terus menatap kita dengan dingin. Senar-senar kawat juga turut berguncang. Seakan mereka bersorak.

Kau berdiri dan meraih tanganku, ”Kali ini kita harus siap. Kita sudah melewatkan lima kereta, dan kita tidak akan melewatkannya lagi. Kita harus siap.”

Tubuhku gemetar. Tanganku gemetar. Dari kejauhan, lampu di kepala kereta berkedip-kedip seperti mata iblis yang genit. Kereta semakin dekat. Dan kau menggenggam tanganku semakin erat.

Mungkin kau melihat kegamangan yang nyata di mataku sehingga kau menyeretku begitu rupa menuju tengah rel yang lebih tampak seperti mata golok yang siap mencincang tubuh kita. Kereta semakin dekat, kita pun berjalan semakin dekat.

Orang-orang dari dalam warung berhamburan keluar. Mereka mengatai kita gila sambil berteriak tak keruan. Sebagian menjerit-jerit. Kereta masih beberapa puluh meter lagi. Dan karena kereta itu melaju dengan kecepatan cahaya, kita hanya butuh hitungan detik untuk sampai di neraka. Kau masih terus menyeretku.

”Aku tidak siap! Aku tidak siap! Aku tidak pernah siap! Cinta tak pernah lebih kuat dari mati!” jeritku terlepas untuk kali pertama. Seketika kau menghentikan langkahmu dan menatapku nanar.

Kita masih berdiri dengan jarak tak kurang dari dua meter ketika kereta itu melaju selaju-lajunya di hadapan kita. Angin bercampur debu menampar wajah dan tubuh kita yang rapuh, kuyu, dan nyaris tumbang.

Kereta terus melaju, gerbong demi gerbong seperti menertawai kita, mempecundangi kita, dan kita masih saja berdiri seperti pohon perdu tua. Selepas gerbong terakhir melintas di hadapan kita, yang tampak hanya rel-rel dan kerikil yang rebah dan tampak begitu lelah.

Orang-orang berlarian mengerumuni kita, mencecar kita, memaki kita, mengumpat kita semau mereka. Dan bagi kita, mereka hanya makhluk-makhluk yang tak pernah mengerti. Mereka terus berkerumun dan menggerakkan mulut-mulut bau mereka. Telingaku seperti berdengung.

Sejurus kemudian, kau melepaskan genggaman tanganmu dengan kasar –seperti mencampakkan sesuatu– dan pergi menyibak kerumunan dengan mata memerah.

Kau meninggalkanku. Dari sela-sela tubuh orang yang berkerumun itu, aku melihat punggungmu yang berjalan terguncang-guncang kian mengecil, kian menjauh. Dan rel-rel itu masih saja menatapku dengan dingin. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru