25 C
Jakarta
Thursday, December 5, 2024

Menonton Bapak Memancing di Laut

Tersebutlah keluarga Wayan yang ingin mengisi liburan. Reza ingin melihat Candi Borobudur gara-gara waktu ditanya gurunya letaknya di mana, dijawabnya: Amerika Serikat. Afgan pengin ke Bromo yang disebut-sebut sebagai taman terindah ketiga di dunia justru setelah terbakar.

COBA terbakar dua kali lagi. Pasti nomor satu,” katanya.

Zaenab menuntut Wayan memenuhi janjinya waktu pacaran. Serta-merta Wayan melebarkan bibir tanpa merasa berdosa. ”Liburan ke Bali butuh uang segini,” tangannya memperagakan sedang memegang tumpukan uang. ”Kita ke laut saja. Mancing!”

Reza berteriak gembira. Ia sering berharap suatu ketika bisa bertemu presiden, lalu ditanya nama-nama ikan, lalu diberi hadiah sepeda. Afgan bersikap biasa saja meskipun suka menonton acara Tualang Si Boling. Ia mencurigai ikan yang dipancing para bocil itu hanya rekayasa. Mana ada ikan yang baru kena pancing langsung mati, tak bergerak-gerak sama sekali.

Sedang Zaenab cemberut dan pilih tidak ikut. Meskipun begitu, ia memberikan beberapa pesan kepada Wayan, dan ada satu pesan yang ditekankannya kuat-kuat. Sebab kejadiannya belum lama.

Ceritanya Zaenab, Reza, dan Afgan ditinggal Wayan waktu menonton pasar malam di alun-alun. Wayan pamit beli rokok dan tak kembali lagi. Ditelepon berkali-kali tidak diangkat. Terpaksa Zaenab dan kedua anaknya itu pulang jalan kaki.

”Kalau besok Reza dan Afgan sampai kamu tinggal di laut…” Zaenab tidak melanjutkan ucapannya. Ia lantas memilin-milin handuk, menjatuhkan ke lantai, lalu diinjak-injaknya.

Pagi itu langit cerah dan penjual tahu bulat sedang tidak lewat. Wayan, Reza, dan Afgan bersiap-siap. Tas berdesain khusus berisi perlengkapan memancing itu diletakkan Wayan di bagian depan motor, dijepit di antara dua paha.

Dipakainya helm, dirapatkannya jaket, lalu menyilakan Reza dan Afgan naik motor matik yang sudah uzur itu. Namun, belum juga Wayan sempat menstarter motor, Zaenab sudah berteriak dari dalam rumah.

”Aku tidak masak! Nunggu hasil tangkapan ikan dari laut!”

Nama asli Wayan, Bambang Santoso. Gara-gara waktu kecil pernah menderita epilepsi, teman-temannya SD memanggilnya Bambang Ayan. Sebab kadang-kadang masih suka bertingkah seperti ayam kena tetelo, ketika di depan bapaknya yang terkenal galak, para tetangga memanggilnya Wa Ayan. Namun menghilangkan Wa-nya waktu bapaknya tidak ada.

Bambang sendiri, karena menganggap namanya terlalu pasaran, mengaku bernama Wayan waktu berkenalan dengan para perempuan. Pun demikian dengan perempuan yang sekarang menjadi istrinya itu. Zaenab yang mengira Wayan orang Bali berharap suatu saat diajak pulang kampung Wayan agar bisa mandi telanjang di Pantai Kuta.

Wayan kuliah di fakultas keguruan di perguruan tinggi swasta dan lulus enam tahun dengan predikat susah payah. Hal itu lebih susah dan payah dibandingkan upaya kedua orang tuanya untuk membiayainya.

Selepas wisuda, Wayan menjadi guru honorer di SMP negeri di pinggiran ibu kota kabupaten, dan terperangkap di situ seperti katak tercebur ke lubang paralon.

Mula-mula Wayan mengira honor guru honorer besar, jauh melebihi UMR. Untuk satu jam pelajaran berdurasi yang 40 menit, honornya Rp 50 ribu. Jika mengajar 24 jam seminggu, honornya sebulan adalah Rp 50 ribu x 24 jam x 4 minggu. Lima juta kurang dua ratus ribu! Cukup banyak walaupun tidak fantastis.

Namun, Wayan hanya bisa meringis ketika tahu bahwa 24 jam yang dimaksud itu berlaku untuk penghonoran selama satu bulan! Entah manusia goblok mana yang telah menentukan perhitungan yang mahaidiot itu.

Untungnya Zaenab tak tinggal diam. Berbekal wajahnya yang cukup cantik, Zaenab menjadi supplier produk-produk kosmetik. Menawarkan skin care dan lain-lain lewat aplikasi Toksik. Dirinya sendiri sebagai modelnya. Pernah beberapa kali ditawar laki-laki; dikira sedang open BO. Namun, sampai sekarang Zaenab belum teperdaya meskipun sering kali godaan ekonomi itu begitu besarnya.

Setengah jam kemudian Wayan, Reza, dan Afgan tiba di muara. Seratus meter dari situ, laut terlihat cokelat pekat. Ombak berdebur-debur memukul tumpukan batu pemecah ombak.

Baca Juga :  Koda

Setelah memarkir motor di samping warung, Wayan membeli umpan, lalu digandengnya Reza dan Afgan menuruni lereng jalan. Wayan menghampiri pemancing yang sedang nongkrong di atas batu. Tampangnya kumal, sekumal topi yang dikenakannya.

”Sudah dapat, Pak?” Wayan melongok-longokkan leher ke wadah ikan yang jelas-jelas kosong itu.

”Belum, Mas. Sepi!”

”Jelas saja sepi! Mancingnya di sini. Dapatnya pasti sampah, bukan ikan,” Wayan meninggalkan si pemancing, lalu berkata kepada Reza dan Afgan. ”Mancing butuh teori. Tidak boleh asal. Ada perhitungannya. Kuncinya pada umpan dan tempat mancing!”

Wayan lalu bercerita, ketika teman dari temannya mancing di muara, kailnya ditarik ikan besar sekali. Butuh semalaman untuk menariknya. Bahkan, tangan teman dari temannya itu sampai keseleo. Yang menyambar umpan ikan pari raksasa. Lebih besar dibanding tampah.

”Waooo, besar sekali!” sahut Reza.

”Mungkin lebih besar lagi. Jika…”

”Keseleo gara-gara tarik-tarikan dengan ikan?” Afgan memotong ucapan yang belum selesai itu.

”Bukan,” Wayan nyengir kuda, ”kurang dua meter dari darat, senar pancingnya putus. Waktu mengejar ikan yang sudah kelihatan punggungnya itu, kakinya terpeleset lumpur, tangannya membentur batu.”

Wayan, Reza, dan Afgan tiba di bawah pohon tak jauh dari muara, dan Wayan menyempatkan menghampiri dua pemancing yang sedang sibuk memasang umpan.

”Sudah dapat, Mas?”

”Sudah! Tapi kecil-kecil!” jawab yang berjaket gambar buaya.

”Pakai umpan apa?” Wayan melongok wadah bekas cat tembok itu.

”Cacing!” jawab yang berkaus oblong gambar cicak.

”Tentu saja dapatnya kecil-kecil! Mancing di laut umpannya cacing,” Wayan mencibir, lalu menjauh, lalu berkata kepada Afgan dan Reza. ”Kalau mau dapat ikan kakap yang segede bantal, umpannya harus udang hidup seperti yang kita beli tadi.”

Wayan, Reza, dan Afgan tiba di mulut muara. Wayan memilih tempat yang teduh, di samping tanaman perdu, tak jauh dari tumpukan batu pemecah ombak. Wayan menggelar spanduk bekas penerimaan peserta didik baru, mengeluarkan botol air putih, dan menyuruh Reza dan Afgan duduk di situ.

”Jangan ke mana-mana! Ombaknya besar!”

Reza dan Afgan patuh. Sesekali mereka mengedarkan pandangan ke sekitar muara: tumpukan batu, laut, langit, dan pasir. Lain kali memperhatikan bapak mereka yang sedang sibuk.

Wayan mengeluarkan peralatan pancing, mengambil joran yang bisa dipanjangkan hingga dua meter setengah. Dipasangnya rel. Senarnya nilon berdiameter 0,18 mm mampu menarik beban sampai 8 kg tanpa khawatir putus. Lalu dipasangnya kail dan pemberat. Wayan ingin memancing dengan teknik dasaran. Saat ombak besar biasanya para ikan suka berkumpul di dasar muara.

Setelah pancingan siap, Wayan membuka besek wadah udang. Diambilnya udang paling besar, dikaitkannya ke kail. Wayan lalu menuju tumpukan batu; berdiri di atasnya, menoleh ke Reza dan Afgan.

”Sebelum melemparkan kail, jangan lupa berdoa! Minta diberi ikan besar!” Wayan mengayunkan jorannya,” Bismillah! Duh Gusti Allah, minta ikan yang segede pantat istri hamba!” berbarengan umpan dan pemberat itu mendarat di air, Wayan menutup doanya. ”Amin!”

Lima menit berlalu. Ujung joran Wayan tak bergerak-gerak atau berayun-ayun, apalagi melengkung. Wayan lalu menggulung relnya. Didapatinya umpan itu sudah tidak ada. Wayan mengerutkan kening, lalu memasang umpan baru, melemparkan ke tempat berbeda, disertai doa yang sama, lalu menoleh ke kedua anaknya yang masih bersila di atas spanduk dengan berkeringat dan wajah bosan.

”Mancing harus sabar! Rezeki akan mendatangi orang-orang yang sabar!” Wayan tersenyum. ”Acara mancing di televisi itu hanya rekayasa. Aslinya tidak semudah itu. Kadang harus menunggu berjam-jam sebelum…!”

”Pak! Pak!” Reza histeris, ”umpannya dimakan! Jorannya melengkung!”

Wayan berbalik, serta-merta mengayunkan joran ke belakang, sekuat-kuatnya, lalu cepat-cepat menggulung rel. Strike! Pekiknya dalam hati. Dirasakannya ada gerakan-gerakan pada ujung senar. Hidung Wayan kembang kempis. Entah seberapa besar ikannya.

Baca Juga :  Namamu Rahwana

”Besar, Pak?” Reza berdiri, Afgan juga. Keduanya penasaran. ”Sebesar bantal?” tanya Reza lagi.

”Sepertinya tidak sebesar itu,” Wayan terus menggulung rel. Sesekali rel murahan itu berdecit-decit seperti tikus terjepit pintu akibat mendapat tekanan di luar kesanggupannya. ”Tapi kalau tiga kilo sepertinya ada.”

Wayan terus membuat gerakan mengayun dan menggulung, dan merasakan sensasi yang luar biasa. Sepertinya, itu juga perasaan yang dirasakan si pemancing tua dalam cerita pendek yang panjang yang pernah dibacanya. Sensasional! Tapi, Wayan tak ingin menjadi pemancing yang goblok.

Buat apa mempertahankan ikan busuk. Sebesar apa pun ikannya, tetap saja tak ada gunanya jika kucing pun tak sudi mengendusnya. Justru mendatangkan penyakit. Dan baginya, memancing tidak ada kaitannya sama sekali dengan filosofi tentang perjuangan dan keuletan. Berlebih-lebihan. Tuman!

Perlahan-lahan, tapi pasti, Wayan berhasil menarik beban yang membebani kailnya itu. Jaraknya tinggal dua meter lagi dan terus mendekat, dan mendekat lebih dekat, hingga dekat sekali, dan seketika Wayan mengerutkan keningnya.

”Besar, Pak? Sebesar apa?” Reza melongok-longok.

Wayan hanya butuh dua detik untuk memikirkan jawabannya. ”I-iya! Besar sekali! Bisa dimasak satu keluarga,” sahutnya, nadanya dibuat riang gembira. Lalu, tiba-tiba, ”Aduh! Aduh! Lepas! Sialan! Padahal sudah Bapak pegang!”

”Ikannya lepas, Pak?” tanya Afgan yang semula tak acuh.

”Iya, lepas! Sayang sekali, ya?”

Wayan menarik napas dalam-dalam. Kisah nyaris dapat ikan pastilah lebih indah untuk dikenang daripada kisah konyol yang sering dialami para pemancing. Rupanya Wayan menyulut senar pancingnya dengan rokok dan kayu seukuran lengan yang hampir mencopot jantungnya itu pun seketika terbawa arus, meluncur ke dasar muara.

Wayan berdiri, menunjukkan ujung senar pancing yang rantas itu ke kedua anaknya, dan tiba-tiba merasa sangat bersalah.

Wayan mengajak kedua anaknya pindah lokasi. Satu jam kemudian, pindah lagi ke lokasi yang lain. Namun, hasilnya sama saja. Seolah-olah sudah bersepakat untuk memboikot, tak ada satu ikan pun yang menyambar umpan. Wayan pun menyerah dan memutuskan pulang. Perihal kegagalannya mendapatkan ikan sebiji pun itu, Wayan mengajukan berbagai alasan. Reza dan Afgan mengangguk-angguk, memaklumi.

Namun, saat tiba di lokasi pemancingan yang tadi disebutnya tidak ada ikannya kecuali sampah, Wayan menganulir niatnya buat menyerah setelah melihat wadah ikan pemancing bertopi kumal yang tadi diejeknya.

Buru-buru Wayan membawa Reza dan Afgan ke warung tak jauh dari tempat itu. Memesan mi goreng tanpa telur serta es teh untuk Reza dan Afgan, dan kopi hitam untuk dirinya sendiri. Setelah itu, Wayan kembali memancing. Posisinya tak jauh dari pemancing bertopi itu.

Setelah pesanan datang, Reza dan Afgan segera menyantapnya. Perut mereka lapar sekali. Empat jam hanya terisi air putih. Keduanya makan tanpa bicara. Reza berkonsentrasi penuh pada makanan kesukaannya itu. Sementara, di sela-sela menggarpu mi, Afgan sesekali menoleh ke bapaknya yang sedang memancing.

Setengah jam kemudian Wayan memasuki warung. Wajahnya semringah! Senyumnya melebar. Ditunjukkannya dua ikan berukuran cukup besar yang tergantung pada tali plastik itu ke kedua anaknya.

”Dapat, Pak?” Reza tersentak. Wajahnya bercahaya.

Wayan mengangguk, digantungnya ikan itu di pintu warung, duduk di kursi, menyeruput kopi, menyulut rokok.

”Dek, Bapak dapat ikan, tuh!” Reza menyenggol Afgan yang tetap sibuk dengan sisa-sisa es tehnya. ”Besar sekali, lah!”

”Sudah tahu!” sahut Afgan, melirik ikan yang sedang dikerubuti lalat itu, tanpa melirik bapaknya.

Wayan tersenyum masam. Dan senyum Wayan bertambah masam ketika pemancing bertopi kumal itu tiba-tiba masuk warung, menadahkan telapak tangan, dan menagih kekurangan pembayaran ikan. (*)

Tersebutlah keluarga Wayan yang ingin mengisi liburan. Reza ingin melihat Candi Borobudur gara-gara waktu ditanya gurunya letaknya di mana, dijawabnya: Amerika Serikat. Afgan pengin ke Bromo yang disebut-sebut sebagai taman terindah ketiga di dunia justru setelah terbakar.

COBA terbakar dua kali lagi. Pasti nomor satu,” katanya.

Zaenab menuntut Wayan memenuhi janjinya waktu pacaran. Serta-merta Wayan melebarkan bibir tanpa merasa berdosa. ”Liburan ke Bali butuh uang segini,” tangannya memperagakan sedang memegang tumpukan uang. ”Kita ke laut saja. Mancing!”

Reza berteriak gembira. Ia sering berharap suatu ketika bisa bertemu presiden, lalu ditanya nama-nama ikan, lalu diberi hadiah sepeda. Afgan bersikap biasa saja meskipun suka menonton acara Tualang Si Boling. Ia mencurigai ikan yang dipancing para bocil itu hanya rekayasa. Mana ada ikan yang baru kena pancing langsung mati, tak bergerak-gerak sama sekali.

Sedang Zaenab cemberut dan pilih tidak ikut. Meskipun begitu, ia memberikan beberapa pesan kepada Wayan, dan ada satu pesan yang ditekankannya kuat-kuat. Sebab kejadiannya belum lama.

Ceritanya Zaenab, Reza, dan Afgan ditinggal Wayan waktu menonton pasar malam di alun-alun. Wayan pamit beli rokok dan tak kembali lagi. Ditelepon berkali-kali tidak diangkat. Terpaksa Zaenab dan kedua anaknya itu pulang jalan kaki.

”Kalau besok Reza dan Afgan sampai kamu tinggal di laut…” Zaenab tidak melanjutkan ucapannya. Ia lantas memilin-milin handuk, menjatuhkan ke lantai, lalu diinjak-injaknya.

Pagi itu langit cerah dan penjual tahu bulat sedang tidak lewat. Wayan, Reza, dan Afgan bersiap-siap. Tas berdesain khusus berisi perlengkapan memancing itu diletakkan Wayan di bagian depan motor, dijepit di antara dua paha.

Dipakainya helm, dirapatkannya jaket, lalu menyilakan Reza dan Afgan naik motor matik yang sudah uzur itu. Namun, belum juga Wayan sempat menstarter motor, Zaenab sudah berteriak dari dalam rumah.

”Aku tidak masak! Nunggu hasil tangkapan ikan dari laut!”

Nama asli Wayan, Bambang Santoso. Gara-gara waktu kecil pernah menderita epilepsi, teman-temannya SD memanggilnya Bambang Ayan. Sebab kadang-kadang masih suka bertingkah seperti ayam kena tetelo, ketika di depan bapaknya yang terkenal galak, para tetangga memanggilnya Wa Ayan. Namun menghilangkan Wa-nya waktu bapaknya tidak ada.

Bambang sendiri, karena menganggap namanya terlalu pasaran, mengaku bernama Wayan waktu berkenalan dengan para perempuan. Pun demikian dengan perempuan yang sekarang menjadi istrinya itu. Zaenab yang mengira Wayan orang Bali berharap suatu saat diajak pulang kampung Wayan agar bisa mandi telanjang di Pantai Kuta.

Wayan kuliah di fakultas keguruan di perguruan tinggi swasta dan lulus enam tahun dengan predikat susah payah. Hal itu lebih susah dan payah dibandingkan upaya kedua orang tuanya untuk membiayainya.

Selepas wisuda, Wayan menjadi guru honorer di SMP negeri di pinggiran ibu kota kabupaten, dan terperangkap di situ seperti katak tercebur ke lubang paralon.

Mula-mula Wayan mengira honor guru honorer besar, jauh melebihi UMR. Untuk satu jam pelajaran berdurasi yang 40 menit, honornya Rp 50 ribu. Jika mengajar 24 jam seminggu, honornya sebulan adalah Rp 50 ribu x 24 jam x 4 minggu. Lima juta kurang dua ratus ribu! Cukup banyak walaupun tidak fantastis.

Namun, Wayan hanya bisa meringis ketika tahu bahwa 24 jam yang dimaksud itu berlaku untuk penghonoran selama satu bulan! Entah manusia goblok mana yang telah menentukan perhitungan yang mahaidiot itu.

Untungnya Zaenab tak tinggal diam. Berbekal wajahnya yang cukup cantik, Zaenab menjadi supplier produk-produk kosmetik. Menawarkan skin care dan lain-lain lewat aplikasi Toksik. Dirinya sendiri sebagai modelnya. Pernah beberapa kali ditawar laki-laki; dikira sedang open BO. Namun, sampai sekarang Zaenab belum teperdaya meskipun sering kali godaan ekonomi itu begitu besarnya.

Setengah jam kemudian Wayan, Reza, dan Afgan tiba di muara. Seratus meter dari situ, laut terlihat cokelat pekat. Ombak berdebur-debur memukul tumpukan batu pemecah ombak.

Baca Juga :  Koda

Setelah memarkir motor di samping warung, Wayan membeli umpan, lalu digandengnya Reza dan Afgan menuruni lereng jalan. Wayan menghampiri pemancing yang sedang nongkrong di atas batu. Tampangnya kumal, sekumal topi yang dikenakannya.

”Sudah dapat, Pak?” Wayan melongok-longokkan leher ke wadah ikan yang jelas-jelas kosong itu.

”Belum, Mas. Sepi!”

”Jelas saja sepi! Mancingnya di sini. Dapatnya pasti sampah, bukan ikan,” Wayan meninggalkan si pemancing, lalu berkata kepada Reza dan Afgan. ”Mancing butuh teori. Tidak boleh asal. Ada perhitungannya. Kuncinya pada umpan dan tempat mancing!”

Wayan lalu bercerita, ketika teman dari temannya mancing di muara, kailnya ditarik ikan besar sekali. Butuh semalaman untuk menariknya. Bahkan, tangan teman dari temannya itu sampai keseleo. Yang menyambar umpan ikan pari raksasa. Lebih besar dibanding tampah.

”Waooo, besar sekali!” sahut Reza.

”Mungkin lebih besar lagi. Jika…”

”Keseleo gara-gara tarik-tarikan dengan ikan?” Afgan memotong ucapan yang belum selesai itu.

”Bukan,” Wayan nyengir kuda, ”kurang dua meter dari darat, senar pancingnya putus. Waktu mengejar ikan yang sudah kelihatan punggungnya itu, kakinya terpeleset lumpur, tangannya membentur batu.”

Wayan, Reza, dan Afgan tiba di bawah pohon tak jauh dari muara, dan Wayan menyempatkan menghampiri dua pemancing yang sedang sibuk memasang umpan.

”Sudah dapat, Mas?”

”Sudah! Tapi kecil-kecil!” jawab yang berjaket gambar buaya.

”Pakai umpan apa?” Wayan melongok wadah bekas cat tembok itu.

”Cacing!” jawab yang berkaus oblong gambar cicak.

”Tentu saja dapatnya kecil-kecil! Mancing di laut umpannya cacing,” Wayan mencibir, lalu menjauh, lalu berkata kepada Afgan dan Reza. ”Kalau mau dapat ikan kakap yang segede bantal, umpannya harus udang hidup seperti yang kita beli tadi.”

Wayan, Reza, dan Afgan tiba di mulut muara. Wayan memilih tempat yang teduh, di samping tanaman perdu, tak jauh dari tumpukan batu pemecah ombak. Wayan menggelar spanduk bekas penerimaan peserta didik baru, mengeluarkan botol air putih, dan menyuruh Reza dan Afgan duduk di situ.

”Jangan ke mana-mana! Ombaknya besar!”

Reza dan Afgan patuh. Sesekali mereka mengedarkan pandangan ke sekitar muara: tumpukan batu, laut, langit, dan pasir. Lain kali memperhatikan bapak mereka yang sedang sibuk.

Wayan mengeluarkan peralatan pancing, mengambil joran yang bisa dipanjangkan hingga dua meter setengah. Dipasangnya rel. Senarnya nilon berdiameter 0,18 mm mampu menarik beban sampai 8 kg tanpa khawatir putus. Lalu dipasangnya kail dan pemberat. Wayan ingin memancing dengan teknik dasaran. Saat ombak besar biasanya para ikan suka berkumpul di dasar muara.

Setelah pancingan siap, Wayan membuka besek wadah udang. Diambilnya udang paling besar, dikaitkannya ke kail. Wayan lalu menuju tumpukan batu; berdiri di atasnya, menoleh ke Reza dan Afgan.

”Sebelum melemparkan kail, jangan lupa berdoa! Minta diberi ikan besar!” Wayan mengayunkan jorannya,” Bismillah! Duh Gusti Allah, minta ikan yang segede pantat istri hamba!” berbarengan umpan dan pemberat itu mendarat di air, Wayan menutup doanya. ”Amin!”

Lima menit berlalu. Ujung joran Wayan tak bergerak-gerak atau berayun-ayun, apalagi melengkung. Wayan lalu menggulung relnya. Didapatinya umpan itu sudah tidak ada. Wayan mengerutkan kening, lalu memasang umpan baru, melemparkan ke tempat berbeda, disertai doa yang sama, lalu menoleh ke kedua anaknya yang masih bersila di atas spanduk dengan berkeringat dan wajah bosan.

”Mancing harus sabar! Rezeki akan mendatangi orang-orang yang sabar!” Wayan tersenyum. ”Acara mancing di televisi itu hanya rekayasa. Aslinya tidak semudah itu. Kadang harus menunggu berjam-jam sebelum…!”

”Pak! Pak!” Reza histeris, ”umpannya dimakan! Jorannya melengkung!”

Wayan berbalik, serta-merta mengayunkan joran ke belakang, sekuat-kuatnya, lalu cepat-cepat menggulung rel. Strike! Pekiknya dalam hati. Dirasakannya ada gerakan-gerakan pada ujung senar. Hidung Wayan kembang kempis. Entah seberapa besar ikannya.

Baca Juga :  Namamu Rahwana

”Besar, Pak?” Reza berdiri, Afgan juga. Keduanya penasaran. ”Sebesar bantal?” tanya Reza lagi.

”Sepertinya tidak sebesar itu,” Wayan terus menggulung rel. Sesekali rel murahan itu berdecit-decit seperti tikus terjepit pintu akibat mendapat tekanan di luar kesanggupannya. ”Tapi kalau tiga kilo sepertinya ada.”

Wayan terus membuat gerakan mengayun dan menggulung, dan merasakan sensasi yang luar biasa. Sepertinya, itu juga perasaan yang dirasakan si pemancing tua dalam cerita pendek yang panjang yang pernah dibacanya. Sensasional! Tapi, Wayan tak ingin menjadi pemancing yang goblok.

Buat apa mempertahankan ikan busuk. Sebesar apa pun ikannya, tetap saja tak ada gunanya jika kucing pun tak sudi mengendusnya. Justru mendatangkan penyakit. Dan baginya, memancing tidak ada kaitannya sama sekali dengan filosofi tentang perjuangan dan keuletan. Berlebih-lebihan. Tuman!

Perlahan-lahan, tapi pasti, Wayan berhasil menarik beban yang membebani kailnya itu. Jaraknya tinggal dua meter lagi dan terus mendekat, dan mendekat lebih dekat, hingga dekat sekali, dan seketika Wayan mengerutkan keningnya.

”Besar, Pak? Sebesar apa?” Reza melongok-longok.

Wayan hanya butuh dua detik untuk memikirkan jawabannya. ”I-iya! Besar sekali! Bisa dimasak satu keluarga,” sahutnya, nadanya dibuat riang gembira. Lalu, tiba-tiba, ”Aduh! Aduh! Lepas! Sialan! Padahal sudah Bapak pegang!”

”Ikannya lepas, Pak?” tanya Afgan yang semula tak acuh.

”Iya, lepas! Sayang sekali, ya?”

Wayan menarik napas dalam-dalam. Kisah nyaris dapat ikan pastilah lebih indah untuk dikenang daripada kisah konyol yang sering dialami para pemancing. Rupanya Wayan menyulut senar pancingnya dengan rokok dan kayu seukuran lengan yang hampir mencopot jantungnya itu pun seketika terbawa arus, meluncur ke dasar muara.

Wayan berdiri, menunjukkan ujung senar pancing yang rantas itu ke kedua anaknya, dan tiba-tiba merasa sangat bersalah.

Wayan mengajak kedua anaknya pindah lokasi. Satu jam kemudian, pindah lagi ke lokasi yang lain. Namun, hasilnya sama saja. Seolah-olah sudah bersepakat untuk memboikot, tak ada satu ikan pun yang menyambar umpan. Wayan pun menyerah dan memutuskan pulang. Perihal kegagalannya mendapatkan ikan sebiji pun itu, Wayan mengajukan berbagai alasan. Reza dan Afgan mengangguk-angguk, memaklumi.

Namun, saat tiba di lokasi pemancingan yang tadi disebutnya tidak ada ikannya kecuali sampah, Wayan menganulir niatnya buat menyerah setelah melihat wadah ikan pemancing bertopi kumal yang tadi diejeknya.

Buru-buru Wayan membawa Reza dan Afgan ke warung tak jauh dari tempat itu. Memesan mi goreng tanpa telur serta es teh untuk Reza dan Afgan, dan kopi hitam untuk dirinya sendiri. Setelah itu, Wayan kembali memancing. Posisinya tak jauh dari pemancing bertopi itu.

Setelah pesanan datang, Reza dan Afgan segera menyantapnya. Perut mereka lapar sekali. Empat jam hanya terisi air putih. Keduanya makan tanpa bicara. Reza berkonsentrasi penuh pada makanan kesukaannya itu. Sementara, di sela-sela menggarpu mi, Afgan sesekali menoleh ke bapaknya yang sedang memancing.

Setengah jam kemudian Wayan memasuki warung. Wajahnya semringah! Senyumnya melebar. Ditunjukkannya dua ikan berukuran cukup besar yang tergantung pada tali plastik itu ke kedua anaknya.

”Dapat, Pak?” Reza tersentak. Wajahnya bercahaya.

Wayan mengangguk, digantungnya ikan itu di pintu warung, duduk di kursi, menyeruput kopi, menyulut rokok.

”Dek, Bapak dapat ikan, tuh!” Reza menyenggol Afgan yang tetap sibuk dengan sisa-sisa es tehnya. ”Besar sekali, lah!”

”Sudah tahu!” sahut Afgan, melirik ikan yang sedang dikerubuti lalat itu, tanpa melirik bapaknya.

Wayan tersenyum masam. Dan senyum Wayan bertambah masam ketika pemancing bertopi kumal itu tiba-tiba masuk warung, menadahkan telapak tangan, dan menagih kekurangan pembayaran ikan. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru