30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Namamu Rahwana

Oleh ARTIE AHMAD

Nama adalah doa, namun kau dikutuk ibumu lewat namamu. Setidaknya itu menurutmu. Rahwana, satu kata mewakili segala bentuk keburukan di atas dunia. Aku bahkan nyaris tertawa saat mendengar namamu untuk kali pertama. Mengapa harus Rahwana?

MENGAPA bukan nama lain saja, Arjuna misalnya jauh lebih baik meski aku tak benar-benar menyukai sosok itu.

Tapi mungkin memang nasibmu, kau memiliki seorang ibu nyentrik seperti itu. Saat melihatmu dalam buaian ibumu, kuingat umurmu baru 7 hari kala itu, aku sudah menduga bahwa kehidupanmu kelak tak mudah lantaran menyandang nama seperti itu. Laksmi, ibumu itu memang keras kepala, sudah kuminta ia mengganti namamu sebelum mendaftarkan data dirimu ke dukcapil, sebelum akta kelahiranmu dibikin, tapi orang keras kepala itu enggan mendengarku dan jadilah kau memiliki nama Rahwana secara legal dan menggelikan.

”Seharusnya kauganti nama anakmu itu. Jangan Rahwana, nama itu tak cocok untuk manusia!” aku memandang wajahmu, saat itu kau lelap dalam pangkuan ibumu.

”Memangnya kenapa kalau kunamakan dia Rahwana? Nama itu bagus.” Ibumu memang keras kepala.

”Itu nama raja jahat, kau tak tahu cerita Ramayana?”

”Tahu. Siapa yang tak tahu tentang epos itu?”

”Lantas mengapa kau menamakan anakmu Rahwana? Ah, mengapa tidak Rama atau setidaknya Laksmana?”

Ibumu hanya menggelengkan kepala, tangan kanannya sibuk mengusap rambutmu. Dia tak segera menjawab pertanyaanku, malahan kemudian sibuk termangu-mangu. Aku tak bisa mengubah kemauannya dalam memberi nama untukmu. Baginya Rahwana tetaplah bagus. Aku mengajukan lagi nama untukmu, kusebut Wibisana namun lagi-lagi baginya itu kurang menarik.

”Anakku harus memiliki nama yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. Bayangkan saja, di Indonesia ini berapa juta orang yang menyandang nama Rama, Laksmana, juga Wibisana. Ketiga nama itu biasa saja, tapi cobalah kaucari berapa jumlah orang dengan nama Rahwana. Masih jarang, sangat jarang, bahkan mungkin tak ada. Sekarang aku memiliki anak lelaki dan dia jadi satu-satunya yang menyandang nama Rahwana.”

 

Aku tak mengerti mengapa ibumu begitu menggandrungi nama Rahwana. Sejak kecil dulu aku telah dijejali dengan segala macam dongeng dan epos. Salah satu epos itu Ramayana. Sejak dulu hingga kini, tokoh Rama tentu saja menjadi idola. Rama, tokoh protagonis dengan watak luhur budi, tampan, serta keturunan suci. Kisah cinta Rama dengan Sita selalu menjadi primadona. Kecantikan Sita nan memesona menambah kembang cerita epos itu jauh lebih menarik.

Meski sudah kuingatkan menyoal cerita Ramayana, ibumu masih bersikeras memberikan nama itu untukmu. Aku bukan seorang ahli nujum, namun sudah kuketahui bahwa kelak kau akan selalu direpotkan lantaran namamu, dan tebakanku tak meleset. Nasibmu tak sebagus dongeng pengantar tidur. Sungguh semua orang yang mengenalmu pasti akan bertanya, namamu itu benar doa berisi harapan atau sekadar kutukan berisi rutukan.

 

Kau terlahir saat negeri ini sedang dilanda susah. Sehari sebelum kelahiranmu, sebuah mal besar di ibu kota dibakar massa. Kautahu berapa nyawa melayang karenanya? Wah, banyak sekali sampai aku lupa. Sesaat sebelum kau lahir, kami semua dibuat kalang kabut.

Mobil-mobil pengangkut sembako macet di mana-mana, jalanan tak terkendali, mobilisasi tersendat bahkan kemudian mati suri. Nyaris saja kami mengalami langka pangan, namun untungnya waktu itu tak berlarut-larut. Tapi ada kisah menyeramkan, ibumu dan aku memiliki kawan baik bernama Aling.

Baca Juga :  Sekotak Cinta Bersampul Koran

Rumah kami satu kompleks, kautahu apa yang terjadi dengan rumah Aling. Rumah itu nyaris terbakar karena dua buah bom molotov meledak menghancurkan kaca depan rumah Aling. Aku mengetahui semua itu dari ibumu, lewat sambungan telepon suaranya sedikit bergetar, tampak betul dia ketakutan. Tak kusangka seorang nyentrik seperti ibumu bisa ketakutan seperti itu.

Kau belum terlahir saat kekalutan itu terjadi. Ontran-ontran pecah di mana-mana, berita di radio dan televisi seolah tak pernah berhenti. Ibumu tak berani ke mana-mana saat itu, bahkan dia tak kuasa melihat rumah Aling. Akulah yang pergi ke kompleks sebelah, rumah Aling kelihatan payah.

Tapi Aling sudah perlahan bangkit, bekas pecahan kaca sudah dibersihkan meninggalkan lubang menganga di jendela. Kusampaikan kabar baik Aling kepada ibumu, saat itu dia sudah terengah-engah duduk di sofa, katanya bayi di dalam perutnya akan merangsek keluar. Kau lahir malam sesudahnya. Bayi laki-laki montok, berwajah bulat, dengan kulit seterang ibumu.

Kau tak mirip ibumu, melainkan mirip seorang penerbang muda yang gugur lantaran pesawat capung tunggangannya menukik dan menghantam parit beberapa bulan sebelumnya. Itu bapakmu tentu saja, bukan tetangga.

Kau tak mengenal Aling lantaran beberapa waktu setelah dilempar bom molotov itu dia dan seluruh keluarganya bedol desa terbang ke Amerika. Aling juga tak sempat mengenalmu, anak kawan karibnya yang tak sempat ia temui lantaran pergi mencari suaka. Mungkin andai Aling mengenalmu dan mendengar namamu saat kau lahir, dia bakalan berteriak seperti melihat hantu. Sebenarnya beberapa tahun lalu aku sempat menemui Aling saat berkunjung ke Amerika.

Dia telah berkeluarga, memiliki anak, suami setia dan hidup nyaman di Massachusetts. Saat bertemu dengannya, aku lupa menceritakan tentangmu. Mungkin lain kali kalau aku berkesempatan ke Amerika lagi akan kuceritakan tentangmu. Seorang pemuda dengan nama lahir Rahwana.

Kau selalu marah dengan ibumu. Itu kuketahui tanpa harus mendengarnya dari bibir ibumu. Ada waktu dia menceritakan tentang tabiatmu, tapi tak kulihat raut sedih di sana.

”Rahwana ngamuk lagi.” Begitu ujar ibumu saat bertemu denganku. Dia membawa kabar bahwa kau mengamuk lagi setelah minggu lalu pun begitu.

”Mengapa anakmu mengamuk?”

Aku bertanya lantaran kau selalu memiliki alasan berbeda-beda saban kali mengamuk.

”Dia mendapatkan KTP. Usianya sudah 17, katanya orang-orang di kecamatan menertawakan namanya. Dia malu dan bersusah hati. Kukatakan bahwa nama Rahwana itu baik. Dia tak percaya, lalu marah dan membolos tak mau pergi les bahasa Inggris.”

Aku ingin membelamu bahwa andai aku dirimu tentu juga akan marah. Aku juga tak menyalahkan orang-orang kantor kecamatan, tentu nama tak lazim itu membuat mereka akan tertawa terpingkal-pingkal lantaran geli dan heran.

”Tentu dia marah. Pasti malu, kaubayangkan saja bagaimana orang-orang menertawakan namanya. Sungguh, nama hanya satu kata dan tak biasa pula.”

Ibumu hanya tertawa pendek. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan bergumam beberapa kali bahwa namamu itu bagus sekali. Nama yang langka, dan mungkin tak ada duanya.

Kau tentu akan selalu kesal dengan nama itu. Sungguh menyandang nama seorang raja jahat dan buruk rupa bukan perkara gampang. Selama bertahun-tahun mengenalmu, aku sering kali mencari jawaban mengapa ibumu memberimu nama itu. Namun tak kunjung kutemukan jawabannya, ibumu selalu tak jujur bahkan ada waktu dia seolah bermain rahasia. Barulah beberapa waktu lalu saat kutemui ia di rumah sakit, kudapatkan jawabannya.

Baca Juga :  Lima Belas Juta untuk Juto

Aku tak tahu apakah menyoal cerita ibumu akan kauterima, namun ada baiknya kautahu mengapa namamu Rahwana bukan nama lain. Menurut ibumu, kisah cinta Rama, Sita, dan Rahwana sesungguhnya rumit. Rama digambarkan sebagai sosok sempurna, sebagai jelmaan Dewa tentu ia tanpa cacat cela. Kisah cintanya kepada sang istri Sita selalu menawan.

Cinta nan murni tak ubahnya anggrek hutan yang belum dijamah tangan manusia. Sita, perempuan molek dengan keagungan Dewi, bagai teratai di danau cantik, anggun dan selalu memesona. Lalu muncullah Rahwana, tokoh antagonis berwatak buruk begitu pula rupanya. Sosok menakutkan dan demikian menggandrungi Sita. Sampai satu hari kau tentu tahu, Rahwana menculik Sita lalu membawanya ke Alengka.

Kisah cinta itu berakhir dengan terbakarnya Alengka, Rahwana tumbang dan Sita kembali kepada Rama. Namun meski istri tercinta telah kembali, Sita tetap diragukan kesuciannya oleh Rama. Maka kita tahu juga ada tragedi Sita Obong. Sang dewi ingin membuktikan ketulusan dan kemurnian cintanya lewat lalapan api yang nyatanya tak bisa membakar kulitnya.

”Lalu mengapa kau begitu terobsesi dengan Rahwana. Bukankah kautahu dia seburuk itu.” Aku kembali bertanya untuk kali kesekian.

”Kautahu bahwa menurutku cinta Rahwana lebih murni dari Rama. Dia mencintai Sita dengan teramat tulus, sedangkan Rama bahkan tak menaruh percaya kepada istrinya sendiri.”

”Rahwana menculik Sita!” aku menyela.

”Jika Rahwana hanya mencintai Sita lantaran nafsu, tentu saja barang mudah untuk raja Alengka itu merudapaksa sang dewi. Namun tidak, cinta Rahwana begitu tulus, dia hanya menunggu perempuan yang ia cintai melihat keberadaannya, tanpa berusaha untuk memaksa terlebih merudapaksa. Itulah mengapa saat kembali kepada Sri Rama, Sita masih murni seperti awal mulanya. Kautahu, tak banyak lelaki bisa seperti Rahwana, selalu mencintai meski tak pernah ditanggapi.”

Ibumu memiliki pandangan lain menyoal Rahwana. Aku tak bisa mengelak perkataannya. Mungkin memanglah begitu, Rahwana memiliki cinta murni, namun keburukan rupa dan tabiat menutupi segalanya. Ibumu menegaskan bahwa Rahwana membuktikan meski seorang raksasa sekalipun tetap saja memiliki rasa kasih di dalam sanubarinya.

Meski kasih itu tak bisa lestari dan harus dihancurkan atas nama kebajikan, keburukan haruslah dikalahkan, dan sejarah tetaplah menulis seorang Rahwana haruslah dibinasakan.

Mungkin kau pun seperti aku, tak benar-benar tahu mengapa ibumu memiliki obsesi dengan Rahwana. Ceritanya mengenai cinta Rahwana tak selalu cukup untuk kita. Kau tentu ingat, kita telah mengantarkan jasad ibumu ke liang lahad seratus hari lalu. Perempuan nyentrik itu mengalah setelah jantungnya lemah dan enggan lagi memompa. Aku tak bisa lagi menanyakan perihal namamu, tak bisa lagi membelamu saat kau cekcok dengannya lantaran nama aneh itu.

Meski ibumu telah berkalang tanah, keinginannya masih selalu ada. Sebagai karibnya aku memahami itu. Saat ini dia ingin kau bangga dengan namamu. Baginya, kau seorang lelaki dengan cinta semurni air telaga, maka itulah ia namakan kau… Rahwana. (*)

ARTIE AHMAD, Lahir di Salatiga. Buku terbarunya Persekutuan Perempuan-Perempuan Lajang (Langgam Pustaka, 2022)

Oleh ARTIE AHMAD

Nama adalah doa, namun kau dikutuk ibumu lewat namamu. Setidaknya itu menurutmu. Rahwana, satu kata mewakili segala bentuk keburukan di atas dunia. Aku bahkan nyaris tertawa saat mendengar namamu untuk kali pertama. Mengapa harus Rahwana?

MENGAPA bukan nama lain saja, Arjuna misalnya jauh lebih baik meski aku tak benar-benar menyukai sosok itu.

Tapi mungkin memang nasibmu, kau memiliki seorang ibu nyentrik seperti itu. Saat melihatmu dalam buaian ibumu, kuingat umurmu baru 7 hari kala itu, aku sudah menduga bahwa kehidupanmu kelak tak mudah lantaran menyandang nama seperti itu. Laksmi, ibumu itu memang keras kepala, sudah kuminta ia mengganti namamu sebelum mendaftarkan data dirimu ke dukcapil, sebelum akta kelahiranmu dibikin, tapi orang keras kepala itu enggan mendengarku dan jadilah kau memiliki nama Rahwana secara legal dan menggelikan.

”Seharusnya kauganti nama anakmu itu. Jangan Rahwana, nama itu tak cocok untuk manusia!” aku memandang wajahmu, saat itu kau lelap dalam pangkuan ibumu.

”Memangnya kenapa kalau kunamakan dia Rahwana? Nama itu bagus.” Ibumu memang keras kepala.

”Itu nama raja jahat, kau tak tahu cerita Ramayana?”

”Tahu. Siapa yang tak tahu tentang epos itu?”

”Lantas mengapa kau menamakan anakmu Rahwana? Ah, mengapa tidak Rama atau setidaknya Laksmana?”

Ibumu hanya menggelengkan kepala, tangan kanannya sibuk mengusap rambutmu. Dia tak segera menjawab pertanyaanku, malahan kemudian sibuk termangu-mangu. Aku tak bisa mengubah kemauannya dalam memberi nama untukmu. Baginya Rahwana tetaplah bagus. Aku mengajukan lagi nama untukmu, kusebut Wibisana namun lagi-lagi baginya itu kurang menarik.

”Anakku harus memiliki nama yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. Bayangkan saja, di Indonesia ini berapa juta orang yang menyandang nama Rama, Laksmana, juga Wibisana. Ketiga nama itu biasa saja, tapi cobalah kaucari berapa jumlah orang dengan nama Rahwana. Masih jarang, sangat jarang, bahkan mungkin tak ada. Sekarang aku memiliki anak lelaki dan dia jadi satu-satunya yang menyandang nama Rahwana.”

 

Aku tak mengerti mengapa ibumu begitu menggandrungi nama Rahwana. Sejak kecil dulu aku telah dijejali dengan segala macam dongeng dan epos. Salah satu epos itu Ramayana. Sejak dulu hingga kini, tokoh Rama tentu saja menjadi idola. Rama, tokoh protagonis dengan watak luhur budi, tampan, serta keturunan suci. Kisah cinta Rama dengan Sita selalu menjadi primadona. Kecantikan Sita nan memesona menambah kembang cerita epos itu jauh lebih menarik.

Meski sudah kuingatkan menyoal cerita Ramayana, ibumu masih bersikeras memberikan nama itu untukmu. Aku bukan seorang ahli nujum, namun sudah kuketahui bahwa kelak kau akan selalu direpotkan lantaran namamu, dan tebakanku tak meleset. Nasibmu tak sebagus dongeng pengantar tidur. Sungguh semua orang yang mengenalmu pasti akan bertanya, namamu itu benar doa berisi harapan atau sekadar kutukan berisi rutukan.

 

Kau terlahir saat negeri ini sedang dilanda susah. Sehari sebelum kelahiranmu, sebuah mal besar di ibu kota dibakar massa. Kautahu berapa nyawa melayang karenanya? Wah, banyak sekali sampai aku lupa. Sesaat sebelum kau lahir, kami semua dibuat kalang kabut.

Mobil-mobil pengangkut sembako macet di mana-mana, jalanan tak terkendali, mobilisasi tersendat bahkan kemudian mati suri. Nyaris saja kami mengalami langka pangan, namun untungnya waktu itu tak berlarut-larut. Tapi ada kisah menyeramkan, ibumu dan aku memiliki kawan baik bernama Aling.

Baca Juga :  Sekotak Cinta Bersampul Koran

Rumah kami satu kompleks, kautahu apa yang terjadi dengan rumah Aling. Rumah itu nyaris terbakar karena dua buah bom molotov meledak menghancurkan kaca depan rumah Aling. Aku mengetahui semua itu dari ibumu, lewat sambungan telepon suaranya sedikit bergetar, tampak betul dia ketakutan. Tak kusangka seorang nyentrik seperti ibumu bisa ketakutan seperti itu.

Kau belum terlahir saat kekalutan itu terjadi. Ontran-ontran pecah di mana-mana, berita di radio dan televisi seolah tak pernah berhenti. Ibumu tak berani ke mana-mana saat itu, bahkan dia tak kuasa melihat rumah Aling. Akulah yang pergi ke kompleks sebelah, rumah Aling kelihatan payah.

Tapi Aling sudah perlahan bangkit, bekas pecahan kaca sudah dibersihkan meninggalkan lubang menganga di jendela. Kusampaikan kabar baik Aling kepada ibumu, saat itu dia sudah terengah-engah duduk di sofa, katanya bayi di dalam perutnya akan merangsek keluar. Kau lahir malam sesudahnya. Bayi laki-laki montok, berwajah bulat, dengan kulit seterang ibumu.

Kau tak mirip ibumu, melainkan mirip seorang penerbang muda yang gugur lantaran pesawat capung tunggangannya menukik dan menghantam parit beberapa bulan sebelumnya. Itu bapakmu tentu saja, bukan tetangga.

Kau tak mengenal Aling lantaran beberapa waktu setelah dilempar bom molotov itu dia dan seluruh keluarganya bedol desa terbang ke Amerika. Aling juga tak sempat mengenalmu, anak kawan karibnya yang tak sempat ia temui lantaran pergi mencari suaka. Mungkin andai Aling mengenalmu dan mendengar namamu saat kau lahir, dia bakalan berteriak seperti melihat hantu. Sebenarnya beberapa tahun lalu aku sempat menemui Aling saat berkunjung ke Amerika.

Dia telah berkeluarga, memiliki anak, suami setia dan hidup nyaman di Massachusetts. Saat bertemu dengannya, aku lupa menceritakan tentangmu. Mungkin lain kali kalau aku berkesempatan ke Amerika lagi akan kuceritakan tentangmu. Seorang pemuda dengan nama lahir Rahwana.

Kau selalu marah dengan ibumu. Itu kuketahui tanpa harus mendengarnya dari bibir ibumu. Ada waktu dia menceritakan tentang tabiatmu, tapi tak kulihat raut sedih di sana.

”Rahwana ngamuk lagi.” Begitu ujar ibumu saat bertemu denganku. Dia membawa kabar bahwa kau mengamuk lagi setelah minggu lalu pun begitu.

”Mengapa anakmu mengamuk?”

Aku bertanya lantaran kau selalu memiliki alasan berbeda-beda saban kali mengamuk.

”Dia mendapatkan KTP. Usianya sudah 17, katanya orang-orang di kecamatan menertawakan namanya. Dia malu dan bersusah hati. Kukatakan bahwa nama Rahwana itu baik. Dia tak percaya, lalu marah dan membolos tak mau pergi les bahasa Inggris.”

Aku ingin membelamu bahwa andai aku dirimu tentu juga akan marah. Aku juga tak menyalahkan orang-orang kantor kecamatan, tentu nama tak lazim itu membuat mereka akan tertawa terpingkal-pingkal lantaran geli dan heran.

”Tentu dia marah. Pasti malu, kaubayangkan saja bagaimana orang-orang menertawakan namanya. Sungguh, nama hanya satu kata dan tak biasa pula.”

Ibumu hanya tertawa pendek. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan bergumam beberapa kali bahwa namamu itu bagus sekali. Nama yang langka, dan mungkin tak ada duanya.

Kau tentu akan selalu kesal dengan nama itu. Sungguh menyandang nama seorang raja jahat dan buruk rupa bukan perkara gampang. Selama bertahun-tahun mengenalmu, aku sering kali mencari jawaban mengapa ibumu memberimu nama itu. Namun tak kunjung kutemukan jawabannya, ibumu selalu tak jujur bahkan ada waktu dia seolah bermain rahasia. Barulah beberapa waktu lalu saat kutemui ia di rumah sakit, kudapatkan jawabannya.

Baca Juga :  Lima Belas Juta untuk Juto

Aku tak tahu apakah menyoal cerita ibumu akan kauterima, namun ada baiknya kautahu mengapa namamu Rahwana bukan nama lain. Menurut ibumu, kisah cinta Rama, Sita, dan Rahwana sesungguhnya rumit. Rama digambarkan sebagai sosok sempurna, sebagai jelmaan Dewa tentu ia tanpa cacat cela. Kisah cintanya kepada sang istri Sita selalu menawan.

Cinta nan murni tak ubahnya anggrek hutan yang belum dijamah tangan manusia. Sita, perempuan molek dengan keagungan Dewi, bagai teratai di danau cantik, anggun dan selalu memesona. Lalu muncullah Rahwana, tokoh antagonis berwatak buruk begitu pula rupanya. Sosok menakutkan dan demikian menggandrungi Sita. Sampai satu hari kau tentu tahu, Rahwana menculik Sita lalu membawanya ke Alengka.

Kisah cinta itu berakhir dengan terbakarnya Alengka, Rahwana tumbang dan Sita kembali kepada Rama. Namun meski istri tercinta telah kembali, Sita tetap diragukan kesuciannya oleh Rama. Maka kita tahu juga ada tragedi Sita Obong. Sang dewi ingin membuktikan ketulusan dan kemurnian cintanya lewat lalapan api yang nyatanya tak bisa membakar kulitnya.

”Lalu mengapa kau begitu terobsesi dengan Rahwana. Bukankah kautahu dia seburuk itu.” Aku kembali bertanya untuk kali kesekian.

”Kautahu bahwa menurutku cinta Rahwana lebih murni dari Rama. Dia mencintai Sita dengan teramat tulus, sedangkan Rama bahkan tak menaruh percaya kepada istrinya sendiri.”

”Rahwana menculik Sita!” aku menyela.

”Jika Rahwana hanya mencintai Sita lantaran nafsu, tentu saja barang mudah untuk raja Alengka itu merudapaksa sang dewi. Namun tidak, cinta Rahwana begitu tulus, dia hanya menunggu perempuan yang ia cintai melihat keberadaannya, tanpa berusaha untuk memaksa terlebih merudapaksa. Itulah mengapa saat kembali kepada Sri Rama, Sita masih murni seperti awal mulanya. Kautahu, tak banyak lelaki bisa seperti Rahwana, selalu mencintai meski tak pernah ditanggapi.”

Ibumu memiliki pandangan lain menyoal Rahwana. Aku tak bisa mengelak perkataannya. Mungkin memanglah begitu, Rahwana memiliki cinta murni, namun keburukan rupa dan tabiat menutupi segalanya. Ibumu menegaskan bahwa Rahwana membuktikan meski seorang raksasa sekalipun tetap saja memiliki rasa kasih di dalam sanubarinya.

Meski kasih itu tak bisa lestari dan harus dihancurkan atas nama kebajikan, keburukan haruslah dikalahkan, dan sejarah tetaplah menulis seorang Rahwana haruslah dibinasakan.

Mungkin kau pun seperti aku, tak benar-benar tahu mengapa ibumu memiliki obsesi dengan Rahwana. Ceritanya mengenai cinta Rahwana tak selalu cukup untuk kita. Kau tentu ingat, kita telah mengantarkan jasad ibumu ke liang lahad seratus hari lalu. Perempuan nyentrik itu mengalah setelah jantungnya lemah dan enggan lagi memompa. Aku tak bisa lagi menanyakan perihal namamu, tak bisa lagi membelamu saat kau cekcok dengannya lantaran nama aneh itu.

Meski ibumu telah berkalang tanah, keinginannya masih selalu ada. Sebagai karibnya aku memahami itu. Saat ini dia ingin kau bangga dengan namamu. Baginya, kau seorang lelaki dengan cinta semurni air telaga, maka itulah ia namakan kau… Rahwana. (*)

ARTIE AHMAD, Lahir di Salatiga. Buku terbarunya Persekutuan Perempuan-Perempuan Lajang (Langgam Pustaka, 2022)

Terpopuler

Artikel Terbaru