31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Lima Belas Juta untuk Juto

Oleh HASBUNALLAH HARIS

Bujang mengambil minyak tancho di dalam lemari pakaian sebelum kemudian menghadap ke cermin kamar yang sudah sedikit buram. Bagian atas cermin itu sudah retak, dan sebagai antisipasi agar kaca tetap kokoh, laki-laki flamboyan itu menempelkan stiker Rhoma Irama dengan gitarnya yang sangat legendaris dan tersenyum penuh. Jangan Begadang, tulisan itu dicetak setebal dan sejernih mungkin.

BUJANG, sudah siap waang1?” Terdengar teriakan dari ruang depan.

”Sebentar lagi,” jawab suara dari dalam bilik. Malam itu keduanya sudah sepakat akan pergi melihat rabab bersama. Cupak yang selalu disiplin soal waktu harus menekan ego ketika berhadapan dengan Bujang yang suka berdandan dan berlama-lama. ”Kita tidak akan terlambat, santai saja,” tambahnya lagi, kali ini dia sudah selesai dengan ritualnya dan mengunci pintu kamar.

Cupak segera berdiri, menyampirkan kain sarung ke leher dan punggung sambil komat-kamit. Sudah setengah jam dia menanti dan hasilnya nyaris tak ada bedanya. Kulit Bujang masih hitam terbakar matahari, mukanya juga. Tak ada yang spesial kecuali model rambutnya yang mencolok dan terlihat mengenaskan macam macang becucut.

Keduanya sudah meninggalkan rumah-rumah bagonjong dan terus melintas di bawah temaram malam bulan Juni. Hanya ada jalan setapak yang menghubungkan kampung mereka dengan kampung sebelah. Kiri kanan hanya ditumbuhi perdu dan beberapa batang kelapa condong yang sudah uzur. Bujang berjalan rapat ke sisi Cupak, bulu kuduknya mulai meremang.

Apalagi melihat nayang2 di tangan laki-laki itu sudah nyaris sampai ke pangkalnya, berarti sebentar lagi mereka akan berjalan tanpa penerangan apa pun. Meski bulan separo menggantung di atas sana, cahayanya hilang-hilang timbul dipeluk awan. Kadang ada kadang asyik bercumbu, tak peduli dengan dua manusia yang berjalan bersisian di bawah dangau rumah gadang ujung kampung, rumah gadang Piak Seha.

Konon, orang-orang sering melihat si empu rumah yang sudah almarhumah itu berdiri di tingkok3 dengan kain telekung terlilit di sekujur tubuh. Sejak saat itu entah dari mana datangnya, puluhan cerita keseraman rumah gadang Piak Seha mengalir deras bagi orang-orang Batu Bajanjang dan Banuaran. Ceritanya lekat di lepau nasi, pangkalan ronda, panggung sandiwara, sekolah, bahkan kantor wali nagari.

”Aih, ramai betul, Cupak. Sudah tak dapat bagian lagi kita,” keluh Bujang berhenti di belakang punggung orang yang ramai. Cupak hanya diam, mengutuk dalam hati; sudah sejak tadi kubilang pada kau, Bujang kalera.4

Cupak beringsut ke arah batang durian meranggas yang kelihatan agak tinggi. Dari sana mereka dapat menyaksikan tukang rabab yang mendendangkan cerita Puti Karang Putiah. Di sana ternyata juga sudah ada Miun, kawan satu sekolah mereka. Sudah sejak tadi dia sampai di sana dan jongkok sambil membalut diri pakai kain sarung.

”Aha, baru kulihat kalian, dari mana saja?” tanya laki-laki itu masih jongkok dan tak peduli dengan tukang rabab.

”Kami baru sampai, ramai betul ternyata.”

”Tentulah, sudah makan limpiang5 dan pinyaram5 kalian? Sebentar, kuambilkan,” kata Miun lagi, beberapa detik kemudian sudah hilang di balik kerumunan orang ramai yang sedang menonton. Miun adalah satu-satunya sahabat mereka yang demikian cuah dan mau berbagi dengan orang lain, terserah apa saja itu.

Di kelas dia juga leluasa membagikan PR atau lembar ujiannya. Meski tak pernah mencecap juara kelas, anak laki-laki cungkring, mata cekung, dan suara nyaring itu tak pernah melepaskan peringkat empat belas sejak cawu pertama.

Tak menunggu lama, Miun kembali dengan air muka semringah. Dikeluarkannya sepiring penuh limpiang dan pinyaram dari baik kain sarungnya yang kumal itu, pun ditambah beberapa genggam emping pulut yang diambilnya sambil berlari karena takut ketahuan. Melihat barang yang satu itu, mata Bujang dan Cupak langsung berbinar-binar.

”Aih, tak sia-sia kita datang kemari malam ni, Cupak. Walau datang belakangan, tapi tetap kabagian jatah, sayang tak sekalian dengan kopi.” Bujang mencomot satu limpiang yang masih panas.

Baca Juga :  Perseteruan Dua Pejabat di Katingan Diproses Polisi

”Diberi hati mintak jantung waang agaknya,” rutuk Miun nelangsa.

Cupak terkekeh, ikut mengambil satu pinyaram. ”Tak ada kopi, pinyaram pun jadilah, daripada tidak sama sekali. Terima kasih, Miun.”

Miun lalu merapatkan duduknya ke Bujang dan Cupak. Matanya awas menatap sekitar, lalu pelan-pelan dia mulai berbisik pada kawannya yang sedang asyik mengunyah emping pulut yang ditumbuk itu.

”Sudah dengar kalian kabar baru?” tanya Miun cadas, berbisik, bersinergi macam merencanakan sesuatu. ”Simauang,” lanjutnya lebih bertenaga. ”Dia baru saja beli anjing baru yang sangat mantap, paling besar, paling top, diantar langsung dari Bukittinggi. Kabarnya besok mau adu tanding di Darsan.”

Demi nama anjing disebut-sebut, pucuk telinga Cupak langsung berdiri. Dia sudah tahu reputasi Simauang yang gemar gonta-ganti anjing yang sangat hebat, bermartabat, lincah, dan dapat diandalkan. Barangkali karena reputasinya itu jugalah dia diangkat secara hormat untuk menjadi ketua Persatuan Buru Babi (PBB) di kampung mereka.

Entah dari mana dan sejak kapan Simauang mau berinvestasi kepada anjing pemburu. Dia tidak mencatatnya, namun minatnya itu timbul setelah melihat adu babi di Baso, Agam, beberapa tahun lalu. Ada sebuah sekolah luar biasa (SLB) di sana. Sepelemparan batu dari SLB Baso itulah berdiri panggung adu babi lengkap dengan jalur-jalurnya.

Babi yang berhasil ditangkap akan dilepas dan anjing-anjing akan berkejaran saling terkam. Bisa dibilang itu adalah gelanggangnya pemburu, sebuah training untuk anjing yang baru berlatih, dan sebuah ajang pamer untuk anjing-anjing pemburu yang sudah berpengalaman. Sementara bagi babi yang menjadi tokoh sentralnya adalah tragedi berkepanjangan.

”Tradisi Minangkabau, warisan leluhur, kita harus terus melestarikan budaya buru babi ini. Berburu itu bukan hobi, melainkan panggilan jiwa,” raung Simauang satu kali setelah berhasil membeli seekor anjing peranakan berwarna oranye yang dicat dengan cat semprot membentuk angka 49 di pantatnya. Sebagai orang kaya, tentu saja Simauang dikaruniai banyak teman. Jadi, ketika dia diajukan untuk menjadi ketua PBB, nyaris semua orang mengamininya.

Tiba-tiba Miun memecah keheningan. ”Babi hitam yang membunuh Mak Lepai dulu, yang berhasil ditangkap Mak Simauang, kabarnya besok akan dikorbankan. Jadi, selepas sekolah besok kita harus ke Darsan untuk melihat kehebatan anjing itu. Bagaimana?”

Bujang mengangguk, dia tak ada masalah. ”Boleh, selepas itu boleh juga kita pergi mandi-mandi ke batang bangko6 sekalian.”

Miun kembali menggamit kedua lengan sahabatnya, kali ini berbisik lebih keras. ”Kabarnya anjing itu dibeli seharga lima belas juta, Kawan. L-I-M-A B-E-L-A-S J-U-T-A, cash.”

***

Tempat pautan anjing sudah penuh. Pohon-pohon di dekat kawasan Darsan juga sudah minta ampun karena tiba-tiba menjadi tempat mengikat anjing-anjing tak tahu adat itu. Beberapa di antara mereka kencing terang-terangan di dekat tuannya dan anjing betina yang centil. Semua pemandangan itu tak lepas dari mata tiga remaja yang sedang bersemangat tersebut.

Hingga pada puncaknya, sebuah mobil Jeep putih hitam (benar-benar Jeep karena bukan Carry yang dipangkas atau dimodifikasi) masuk ke Darsan, disertai gonggongan keras dari anjing yang dikurung di dalam sangkar besar. Di sebelahnya ada sebuah sangkar besi yang nyaris sama besarnya. Isinya bukan anjing, melainkan seekor babi hutan yang gemuk, padat, dan beringas.

Seluruh mata beralih. Orang-orang tentu sudah tahu siapa yang datang, Simauang Tuah dengan kroni-kroninya. Orang-orang terpana melihat anjing yang terkurung di dalam sangkar besi, diturunkan oleh Jintan dan dua orang lainnya dengan hati-hati. Anjing itu tak menyalak lagi, namun seluruh mata anjing-anjing yang hadir di sana tertuju padanya.

Dia sudah bagaikan anjing alpha, pemimpin para anjing. Anjing-anjing betina menjauh dari pejantan yang terikat, hendak melompat mendekati si anjing hitam. Anjing-anjing jantan yang sudah tiba lebih dulu memandang dengan muka sayu, tunduk, mengakui kekalahan mereka bahkan sebelum berkenalan.

Baca Juga :  Ben Berharap Usulan PSBB Segera Terlaksana

Jintan begitu semangat, juga anjing di dalam sangkar. Dia mendengus-dengus, matanya tajam, lidahnya terjulur keluar sepanjang nyaris sepuluh senti, perutnya kurus, tungkai kakinya panjang, dan napasnya kembang kempis karena terlalu bersemangat.

Saat keluar, telinganya langsung tegak, pun lehernya. Dia menjiplak tabiat tuannya yang suka berbangga dalam bicara, menyombongkan kalung mewah yang melingkar di leher anjing bernama Si Juto itu.

Pintu sangkar dibuka. Babi keluar mendengus-dengus, anjing riuh menarik-narik lehernya sendiri, menggonggong serentak bagai menyanyikan himne selamat datang. Namun hanya beberapa anjing yang dibiarkan mendekat, empat anjing spesial yang dipilih sendiri oleh Simauang untuk membuka pertama. Orang-orang bersorak-sorai bagai perlombaan panjat pinang, menjagokan anjing yang begitu besar itu.

Beberapa di antara yang hadir berbisik ”Berapa kilo makan anjing itu sehari?” atau ”Agaknya makan anjing itu sama dengan makan kita, Ketua sudah bagai mengadopsi seorang laki-laki dewasa ke dalam kartu keluarganya.” Dan semua hiruk pikuk itu dianggap angin lalu bagi Simauang, memberi makan anjing apa susahnya?

Percobaan pertama, anjing dilepas, babi dilepas. Babi lari terbirit-birit, anjing mengejar dengan ganas, orang-orang berteriak membusa-busa, mengacungkan tangan, memekik bagai siamang di tengah rimba. Beberapa yang datang tanpa membawa seekor anjing pun tebersit untuk membeli anjing, namun takut dengan bini di rumah.

Beberapa yang datang membawa anjing kecil hendak pulang cepat-cepat sebab malu anjingnya nyata tak akan bisa melawan. Cupak, Bujang, dan Miun menyaksikan semua itu dari atas pohon parawe yang meranggas.

Dia melihat babi itu meradang, anjing yang menggertak, babi terguling di jalur pacu, anjing yang mundur lalu maju lagi dengan takut-takut. Nyata benar pandangan siaga menjelang sore itu bak pasar petang dadakan. Semua orang yang hadir di sana memuji kehebatan anjing Simauang. Pria bertopi koboi itu tersenyum semringah, tak pernah selebar itu senyumnya selama satu dekade terakhir.

”Gigit ekornya, ayo maju!”

”Kakinya, jangan ekornya,” teriak yang lain pula.

”Apa saja, yang penting gigit. Iya seperti itu, matikan saja babi itu!”

Menjelang magrib, entah setan apa yang masuk ke dalam tubuh Simauang, pria itu mencoba duel antara Juto dan babi legendaris. Pengumuman itu disambut meriah oleh hadirin yang hadir. Itu adalah pemandangan yang sangat dinantikan. Mereka yakin cerita duel sore itu akan tetap hangat sebulan ke depan.

Anjing dan babi dilepas bersamaan, kali ini babi besar itu tidak lari. Kepalanya tepat menghadap Juto, seperti yang diharapkan. Keduanya berduel. Babi yang sudah kelelahan itu mendengus marah, beberapa bagian di punggung dan perutnya kelihatan sudah memerah akibat terkena cakaran. Sementara Juto tetap dalam kondisi prima, tenaganya kuat, gonggongan dan gigitnya kencang, dia melompat-lompat menerjang babi hutan itu.

”Lihat, anjing itu sudah menggigit paha babi, mana mungkin lagi dia bisa melawan. Tenaganya sudah habis,” erang Bujang.

”Lihat saja, semakin dia terluka, dia akan semakin kuat.”

Belum kering mulut Cupak berucap demikian, dengan sekali tangkapan, babi berhasil mencaplok leher Juto. Anjing itu memekik nyaring, tak seperti gonggongannya yang sudah-sudah, kali ini rintihan kesakitan. Semua orang terpana kecuali Simauang dan Jintan. Mereka segera mengejar ke tengah gelanggang untuk menyelamatkan anjing hitam besar tersebut.

Namun di luar dugaan, babi melepaskan gigitannya dan berlari kencang lurus ke arah pagar, secepat anak panah yang terlepas dari busurnya. Sementara Juto yang malang menggelepar di tengah gelanggang Darsan, sebelum kemudian diam tak bergerak. Raib sudah uang 15 juta milik Simauang. Benar kata orang-orang dahulu, kalau ingin cepat menghabiskan duit, ikatkan saja ke pantat anjing! (*)

HASBUNALLAH HARIS, Mahasiswa UIN Imam Bonjol, Padang

Oleh HASBUNALLAH HARIS

Bujang mengambil minyak tancho di dalam lemari pakaian sebelum kemudian menghadap ke cermin kamar yang sudah sedikit buram. Bagian atas cermin itu sudah retak, dan sebagai antisipasi agar kaca tetap kokoh, laki-laki flamboyan itu menempelkan stiker Rhoma Irama dengan gitarnya yang sangat legendaris dan tersenyum penuh. Jangan Begadang, tulisan itu dicetak setebal dan sejernih mungkin.

BUJANG, sudah siap waang1?” Terdengar teriakan dari ruang depan.

”Sebentar lagi,” jawab suara dari dalam bilik. Malam itu keduanya sudah sepakat akan pergi melihat rabab bersama. Cupak yang selalu disiplin soal waktu harus menekan ego ketika berhadapan dengan Bujang yang suka berdandan dan berlama-lama. ”Kita tidak akan terlambat, santai saja,” tambahnya lagi, kali ini dia sudah selesai dengan ritualnya dan mengunci pintu kamar.

Cupak segera berdiri, menyampirkan kain sarung ke leher dan punggung sambil komat-kamit. Sudah setengah jam dia menanti dan hasilnya nyaris tak ada bedanya. Kulit Bujang masih hitam terbakar matahari, mukanya juga. Tak ada yang spesial kecuali model rambutnya yang mencolok dan terlihat mengenaskan macam macang becucut.

Keduanya sudah meninggalkan rumah-rumah bagonjong dan terus melintas di bawah temaram malam bulan Juni. Hanya ada jalan setapak yang menghubungkan kampung mereka dengan kampung sebelah. Kiri kanan hanya ditumbuhi perdu dan beberapa batang kelapa condong yang sudah uzur. Bujang berjalan rapat ke sisi Cupak, bulu kuduknya mulai meremang.

Apalagi melihat nayang2 di tangan laki-laki itu sudah nyaris sampai ke pangkalnya, berarti sebentar lagi mereka akan berjalan tanpa penerangan apa pun. Meski bulan separo menggantung di atas sana, cahayanya hilang-hilang timbul dipeluk awan. Kadang ada kadang asyik bercumbu, tak peduli dengan dua manusia yang berjalan bersisian di bawah dangau rumah gadang ujung kampung, rumah gadang Piak Seha.

Konon, orang-orang sering melihat si empu rumah yang sudah almarhumah itu berdiri di tingkok3 dengan kain telekung terlilit di sekujur tubuh. Sejak saat itu entah dari mana datangnya, puluhan cerita keseraman rumah gadang Piak Seha mengalir deras bagi orang-orang Batu Bajanjang dan Banuaran. Ceritanya lekat di lepau nasi, pangkalan ronda, panggung sandiwara, sekolah, bahkan kantor wali nagari.

”Aih, ramai betul, Cupak. Sudah tak dapat bagian lagi kita,” keluh Bujang berhenti di belakang punggung orang yang ramai. Cupak hanya diam, mengutuk dalam hati; sudah sejak tadi kubilang pada kau, Bujang kalera.4

Cupak beringsut ke arah batang durian meranggas yang kelihatan agak tinggi. Dari sana mereka dapat menyaksikan tukang rabab yang mendendangkan cerita Puti Karang Putiah. Di sana ternyata juga sudah ada Miun, kawan satu sekolah mereka. Sudah sejak tadi dia sampai di sana dan jongkok sambil membalut diri pakai kain sarung.

”Aha, baru kulihat kalian, dari mana saja?” tanya laki-laki itu masih jongkok dan tak peduli dengan tukang rabab.

”Kami baru sampai, ramai betul ternyata.”

”Tentulah, sudah makan limpiang5 dan pinyaram5 kalian? Sebentar, kuambilkan,” kata Miun lagi, beberapa detik kemudian sudah hilang di balik kerumunan orang ramai yang sedang menonton. Miun adalah satu-satunya sahabat mereka yang demikian cuah dan mau berbagi dengan orang lain, terserah apa saja itu.

Di kelas dia juga leluasa membagikan PR atau lembar ujiannya. Meski tak pernah mencecap juara kelas, anak laki-laki cungkring, mata cekung, dan suara nyaring itu tak pernah melepaskan peringkat empat belas sejak cawu pertama.

Tak menunggu lama, Miun kembali dengan air muka semringah. Dikeluarkannya sepiring penuh limpiang dan pinyaram dari baik kain sarungnya yang kumal itu, pun ditambah beberapa genggam emping pulut yang diambilnya sambil berlari karena takut ketahuan. Melihat barang yang satu itu, mata Bujang dan Cupak langsung berbinar-binar.

”Aih, tak sia-sia kita datang kemari malam ni, Cupak. Walau datang belakangan, tapi tetap kabagian jatah, sayang tak sekalian dengan kopi.” Bujang mencomot satu limpiang yang masih panas.

Baca Juga :  Perseteruan Dua Pejabat di Katingan Diproses Polisi

”Diberi hati mintak jantung waang agaknya,” rutuk Miun nelangsa.

Cupak terkekeh, ikut mengambil satu pinyaram. ”Tak ada kopi, pinyaram pun jadilah, daripada tidak sama sekali. Terima kasih, Miun.”

Miun lalu merapatkan duduknya ke Bujang dan Cupak. Matanya awas menatap sekitar, lalu pelan-pelan dia mulai berbisik pada kawannya yang sedang asyik mengunyah emping pulut yang ditumbuk itu.

”Sudah dengar kalian kabar baru?” tanya Miun cadas, berbisik, bersinergi macam merencanakan sesuatu. ”Simauang,” lanjutnya lebih bertenaga. ”Dia baru saja beli anjing baru yang sangat mantap, paling besar, paling top, diantar langsung dari Bukittinggi. Kabarnya besok mau adu tanding di Darsan.”

Demi nama anjing disebut-sebut, pucuk telinga Cupak langsung berdiri. Dia sudah tahu reputasi Simauang yang gemar gonta-ganti anjing yang sangat hebat, bermartabat, lincah, dan dapat diandalkan. Barangkali karena reputasinya itu jugalah dia diangkat secara hormat untuk menjadi ketua Persatuan Buru Babi (PBB) di kampung mereka.

Entah dari mana dan sejak kapan Simauang mau berinvestasi kepada anjing pemburu. Dia tidak mencatatnya, namun minatnya itu timbul setelah melihat adu babi di Baso, Agam, beberapa tahun lalu. Ada sebuah sekolah luar biasa (SLB) di sana. Sepelemparan batu dari SLB Baso itulah berdiri panggung adu babi lengkap dengan jalur-jalurnya.

Babi yang berhasil ditangkap akan dilepas dan anjing-anjing akan berkejaran saling terkam. Bisa dibilang itu adalah gelanggangnya pemburu, sebuah training untuk anjing yang baru berlatih, dan sebuah ajang pamer untuk anjing-anjing pemburu yang sudah berpengalaman. Sementara bagi babi yang menjadi tokoh sentralnya adalah tragedi berkepanjangan.

”Tradisi Minangkabau, warisan leluhur, kita harus terus melestarikan budaya buru babi ini. Berburu itu bukan hobi, melainkan panggilan jiwa,” raung Simauang satu kali setelah berhasil membeli seekor anjing peranakan berwarna oranye yang dicat dengan cat semprot membentuk angka 49 di pantatnya. Sebagai orang kaya, tentu saja Simauang dikaruniai banyak teman. Jadi, ketika dia diajukan untuk menjadi ketua PBB, nyaris semua orang mengamininya.

Tiba-tiba Miun memecah keheningan. ”Babi hitam yang membunuh Mak Lepai dulu, yang berhasil ditangkap Mak Simauang, kabarnya besok akan dikorbankan. Jadi, selepas sekolah besok kita harus ke Darsan untuk melihat kehebatan anjing itu. Bagaimana?”

Bujang mengangguk, dia tak ada masalah. ”Boleh, selepas itu boleh juga kita pergi mandi-mandi ke batang bangko6 sekalian.”

Miun kembali menggamit kedua lengan sahabatnya, kali ini berbisik lebih keras. ”Kabarnya anjing itu dibeli seharga lima belas juta, Kawan. L-I-M-A B-E-L-A-S J-U-T-A, cash.”

***

Tempat pautan anjing sudah penuh. Pohon-pohon di dekat kawasan Darsan juga sudah minta ampun karena tiba-tiba menjadi tempat mengikat anjing-anjing tak tahu adat itu. Beberapa di antara mereka kencing terang-terangan di dekat tuannya dan anjing betina yang centil. Semua pemandangan itu tak lepas dari mata tiga remaja yang sedang bersemangat tersebut.

Hingga pada puncaknya, sebuah mobil Jeep putih hitam (benar-benar Jeep karena bukan Carry yang dipangkas atau dimodifikasi) masuk ke Darsan, disertai gonggongan keras dari anjing yang dikurung di dalam sangkar besar. Di sebelahnya ada sebuah sangkar besi yang nyaris sama besarnya. Isinya bukan anjing, melainkan seekor babi hutan yang gemuk, padat, dan beringas.

Seluruh mata beralih. Orang-orang tentu sudah tahu siapa yang datang, Simauang Tuah dengan kroni-kroninya. Orang-orang terpana melihat anjing yang terkurung di dalam sangkar besi, diturunkan oleh Jintan dan dua orang lainnya dengan hati-hati. Anjing itu tak menyalak lagi, namun seluruh mata anjing-anjing yang hadir di sana tertuju padanya.

Dia sudah bagaikan anjing alpha, pemimpin para anjing. Anjing-anjing betina menjauh dari pejantan yang terikat, hendak melompat mendekati si anjing hitam. Anjing-anjing jantan yang sudah tiba lebih dulu memandang dengan muka sayu, tunduk, mengakui kekalahan mereka bahkan sebelum berkenalan.

Baca Juga :  Ben Berharap Usulan PSBB Segera Terlaksana

Jintan begitu semangat, juga anjing di dalam sangkar. Dia mendengus-dengus, matanya tajam, lidahnya terjulur keluar sepanjang nyaris sepuluh senti, perutnya kurus, tungkai kakinya panjang, dan napasnya kembang kempis karena terlalu bersemangat.

Saat keluar, telinganya langsung tegak, pun lehernya. Dia menjiplak tabiat tuannya yang suka berbangga dalam bicara, menyombongkan kalung mewah yang melingkar di leher anjing bernama Si Juto itu.

Pintu sangkar dibuka. Babi keluar mendengus-dengus, anjing riuh menarik-narik lehernya sendiri, menggonggong serentak bagai menyanyikan himne selamat datang. Namun hanya beberapa anjing yang dibiarkan mendekat, empat anjing spesial yang dipilih sendiri oleh Simauang untuk membuka pertama. Orang-orang bersorak-sorai bagai perlombaan panjat pinang, menjagokan anjing yang begitu besar itu.

Beberapa di antara yang hadir berbisik ”Berapa kilo makan anjing itu sehari?” atau ”Agaknya makan anjing itu sama dengan makan kita, Ketua sudah bagai mengadopsi seorang laki-laki dewasa ke dalam kartu keluarganya.” Dan semua hiruk pikuk itu dianggap angin lalu bagi Simauang, memberi makan anjing apa susahnya?

Percobaan pertama, anjing dilepas, babi dilepas. Babi lari terbirit-birit, anjing mengejar dengan ganas, orang-orang berteriak membusa-busa, mengacungkan tangan, memekik bagai siamang di tengah rimba. Beberapa yang datang tanpa membawa seekor anjing pun tebersit untuk membeli anjing, namun takut dengan bini di rumah.

Beberapa yang datang membawa anjing kecil hendak pulang cepat-cepat sebab malu anjingnya nyata tak akan bisa melawan. Cupak, Bujang, dan Miun menyaksikan semua itu dari atas pohon parawe yang meranggas.

Dia melihat babi itu meradang, anjing yang menggertak, babi terguling di jalur pacu, anjing yang mundur lalu maju lagi dengan takut-takut. Nyata benar pandangan siaga menjelang sore itu bak pasar petang dadakan. Semua orang yang hadir di sana memuji kehebatan anjing Simauang. Pria bertopi koboi itu tersenyum semringah, tak pernah selebar itu senyumnya selama satu dekade terakhir.

”Gigit ekornya, ayo maju!”

”Kakinya, jangan ekornya,” teriak yang lain pula.

”Apa saja, yang penting gigit. Iya seperti itu, matikan saja babi itu!”

Menjelang magrib, entah setan apa yang masuk ke dalam tubuh Simauang, pria itu mencoba duel antara Juto dan babi legendaris. Pengumuman itu disambut meriah oleh hadirin yang hadir. Itu adalah pemandangan yang sangat dinantikan. Mereka yakin cerita duel sore itu akan tetap hangat sebulan ke depan.

Anjing dan babi dilepas bersamaan, kali ini babi besar itu tidak lari. Kepalanya tepat menghadap Juto, seperti yang diharapkan. Keduanya berduel. Babi yang sudah kelelahan itu mendengus marah, beberapa bagian di punggung dan perutnya kelihatan sudah memerah akibat terkena cakaran. Sementara Juto tetap dalam kondisi prima, tenaganya kuat, gonggongan dan gigitnya kencang, dia melompat-lompat menerjang babi hutan itu.

”Lihat, anjing itu sudah menggigit paha babi, mana mungkin lagi dia bisa melawan. Tenaganya sudah habis,” erang Bujang.

”Lihat saja, semakin dia terluka, dia akan semakin kuat.”

Belum kering mulut Cupak berucap demikian, dengan sekali tangkapan, babi berhasil mencaplok leher Juto. Anjing itu memekik nyaring, tak seperti gonggongannya yang sudah-sudah, kali ini rintihan kesakitan. Semua orang terpana kecuali Simauang dan Jintan. Mereka segera mengejar ke tengah gelanggang untuk menyelamatkan anjing hitam besar tersebut.

Namun di luar dugaan, babi melepaskan gigitannya dan berlari kencang lurus ke arah pagar, secepat anak panah yang terlepas dari busurnya. Sementara Juto yang malang menggelepar di tengah gelanggang Darsan, sebelum kemudian diam tak bergerak. Raib sudah uang 15 juta milik Simauang. Benar kata orang-orang dahulu, kalau ingin cepat menghabiskan duit, ikatkan saja ke pantat anjing! (*)

HASBUNALLAH HARIS, Mahasiswa UIN Imam Bonjol, Padang

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru