33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sekotak Cinta Bersampul Koran

”Apa isi paketnya, Pak?”

 

”Cinta.”

 

Perempuan penjaga di jasa pengiriman barang
itu tersenyum. Dia memperhatikan lelaki berambut putih yang masih berdiri di
hadapannya dengan tenang.

 

KATA cinta bukanlah jawaban yang
diinginkannya meski tempatnya bekerja adalah perusahaan ekspedisi berasas cinta
–motonya pun berbunyi: Demi Cinta, Semua Bisa. Dia lebih berharap kata buku
atau baju atau makanan untuk isi kotak bersampul koran yang sedang ditimbangnya
itu. ”Cokelat? Bunga? Atau apa?”

 

”Cinta.”

 

Perempuan itu kembali memandang mata lelaki
tersebut. Kali ini tidak ada senyum. Sinar matanya pun menunjukkan suatu
ketegasan. Dia pun menarik jari-jarinya dari papan ketik komputer. ”Benda, Pak.
Benda apa dalam kotak ini?”

 

”Cinta.”

 

”Baiklah, kalau ini memang cinta, tapi dia
berwujud apa!” suara perempuan itu mulai meninggi.

 

Lelaki berambut putih tersadar. Dia paham,
perempuan di hadapannya mulai tak tenang. Dan ketika perempuan marah, mengalah
adalah sikap yang tepat. Dia pun duduk di kursi plastik tepat di seberang meja
sang perempuan. Geraknya begitu hati-hati seakan takut kalau sang perempuan
akan bertambah suntuk. ”Boleh aku cerita?”

 

”Isinya apa?”

 

”Dari ceritaku akan terjawab isi kotak ini…”

 

Si perempuan menarik napas panjang. Masih ada
orang seperti ini, pikirnya, yang menggilai cinta hingga mau merepotkan diri
dan mengorbankan waktu demi keyakinan yang berarti entah. Tapi sudahlah,
katanya dalam hati, ikuti saja maunya sampai mana. Dia melihat ke belakang
posisi duduk lelaki tersebut. Kosong. Tidak ada yang mengantre. ”Baiklah,
silakan…”

 

Lalu, dengan perlahan lelaki itu mulai
bercerita. Dia awali dengan menyebutkan namanya, Dame, yang berarti ketenangan.
Nama yang unik karena bisa dipakai oleh lelaki atau perempuan, jadi tidak bisa
diklaim oleh jenis kelamin tertentu. Persis dengan artinya, ketenangan juga
milik orang banyak dan tidak semata untuk kalangan tertentu. Dia mengaku lahir
pada 30 Agustus 1959. Tepatnya lima hari setelah diterapkannya sanering atau
yang disebut oleh pemerintah sebagai usaha penyehatan uang: pecahan 500 rupiah
menjadi 50 rupiah dan 1000 rupiah menjadi 100 rupiah. Atau nyatanya, pemotongan
nilai mata uang. Artinya, saat itu nilai rupiah dipotong hingga 90 persen.
Banyak yang pingsan, bahkan meninggal, karena tak siap dengan kebijakan
tersebut. Mereka tak terima karena pemotongan nilai rupiah ternyata tak
diimbangi dengan nilai barang. Nilai atau harga barang tetap, tapi nilai uang
berkurang.

 

”Itulah sebab kenapa namaku Dame. Maksudnya,
ketika situasi tak jelas seperti itu, kita harus tetap tenang. Ya, damai.
Bapakku tak ingin aku ikut susah, tidak seperti tetangga yang memberikan nama
anaknya Susanna sebagai langkah untuk mengenang masa kelam tersebut,” kata
lelaki berambut putih itu.

 

Si perempuan seperti terkejut mendengar
informasi yang belum pernah didengarnya itu. ”Bukankah itu mirip rencana
pemerintah sekarang? Ya, tempo hari kan ada rencana mau jadikan 1000 rupiah
menjadi 1 rupiah. Bukankah itu lebih gawat?”

 

”Beda. Kalau rencana ini jadi dilakukan,
nilai 1 rupiah tetap sama dengan 1000 rupiah. Maksudnya, dengan 1000 rupiah
kamu bisa mendapatkan satu permen, maka dengan 1 rupiah juga begitu. Kalau
dulu, tetap butuh 100 rupiah untuk sebuah permen, tapi uangmu yang 1000 rupiah
tadi sudah menjadi 1 rupiah.”

Baca Juga :  Sajak: Kepada Anakku

 

Si perempuan mengerutkan dahi, tapi dia tak
mau ambil pusing. Dia pandangi kotak bersampul koran tadi. ”Jadi, isinya uang?”

 

”Cinta.”

 

”Ah!”

 

”Biarkan aku cerita…”

 

”Ya sudah, silakan!” balas si perempuan
sambil mengambil gawainya, mengecek akunnya di media sosial, berharap ada
status yang bisa dia komentari.

 

Lelaki berambut putih tahu, perempuan di
depannya berusaha mengalihkan perhatian, tapi dia percaya suaranya pasti masih
terdengar. Maka, dia pun kembali bercerita tentang masa kecilnya. Tentang rumah
orang tuanya yang berada tepat di seberang kantor salah satu partai terbesar
saat itu. Keberadaan rumah tersebut secara langsung membuat bapaknya sering
bergaul dengan orang-orang partai. Bapaknya sering diberi buku.

 

Saat itu, posisi bapaknya lumayan di
tempatnya bekerja. Dia adalah kepala kantor perkebunan. Sang bapak memang ahli
dalam urusan pohon karet yang saat itu sedang marak.

 

”Jadi, Bapak anaknya PKI?” tiba-tiba si
perempuan berujar dengan nada yang gamang.

 

Lelaki berambut putih tersenyum. Dia tidak
menggeleng atau mengangguk. Dia malah melanjutkan ceritanya. Katanya, meski era
susah, waktu itu adalah masa yang indah. Kedudukan ayahnya sebagai kepala
kantor membuat mereka memiliki fasilitas yang lumayan. Adik ibunya dan adik
bapaknya bahkan sampai ikut tinggal di rumah mereka. Itulah sebab, dia memiliki
cukup banyak pengasuh. Tapi, masalahnya, dia tidak merasakan langsung atau
tepatnya tidak mengingatnya. Cerita ini dia dapatkan sekian tahun kemudian
ketika dia mulai besar, tepatnya ketika dia mulai berseragam abu-abu melalui
mulut ibunya yang seperti tak bisa berhenti ketika ditanyai soal masa tersebut.
Ibu memang terlalu bangga dengan bapak, tepatnya ketika mengambil keputusan
untuk kembali ke kampung –ke lembah di Pegunungan Bukit Barisan– menjadi petani
untuk mengurus lahan warisan leluhur yang luas jelang kejadian yang kemudian
dikenal dengan Gestapu itu. Bapaknya terselamatkan karena sang kakek yang sudah
bertitel haji meninggal dunia. Sejak itulah mereka jadi orang kampung. Status
pegawai negeri dengan pangkat tinggi rela mereka lepaskan dan ternyata itu pula
yang menjadikan mereka aman.

 

”Jadi, status Bapak sebagai anak PKI enggak
ketahuan?”

 

Lelaki berambut putih tidak tersenyum. Dengan
tenang dia mengatakan bahwa bapaknya bukan PKI. Kebetulan saja bapaknya itu
berteman dengan anggota PKI karena rumahnya memang berada di seberang kantor
partai tersebut.

 

”Bisa saja bapaknya Bapak PKI kan?”

 

Mendengar tuduhan semacam itu, lelaki
barambut putih tidak marah. Dia malah kembali tersenyum. Dia malah bercerita
soal lain. Tepatnya, setelah sekian tahun menjadi petani, bapaknya kemudian
memilih pindah ke kota provinsi. Bekerja di sebuah perusahaan perkebunan sawit milik
orang asing. Sang bapak langsung mendapat posisi bagus hingga berkantor di kota
dan tidak ditugaskan ke kebun-kebun yang berada di pedalaman.

 

”Ceritanya tak menarik, Pak. Kupikir soal
PKI, gak seru!” kata si perempuan sembari kembali memperhatikan gawainya. Tapi,
tak lama kemudian, ”Eh, jadi apa isi kotak ini?”

 

”Cinta.”

 

”Ah! Sudahlah cerita lagi!”

Baca Juga :  Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing

 

Lelaki berambut putih itu membenarkan letak
duduknya, sama sekali tidak melihat ke belakang. Sepertinya dia begitu yakin
memang tak ada yang mengirim paket hari ini selain dirinya. Lalu, dengan nada
suara yang sedikit bergetar dia bercerita tentang perempuan yang menawan.
Perempuan itu anak seorang guru sejarah dan bercita-cita ingin menjadi guru
juga. Namanya Ida, ya, nama yang pasaran untuk anak kelahiran tahun 1960-an.
Pada suatu ketika, pohon-pohon di taman kota penuh dengan ukiran nama Ida. Ya,
lelaki berambut putih itulah yang mengukirnya tanpa pernah berani meletakkan
namanya sendiri bersanding dengan nama perempuan incaran tersebut. Dan
ketakutan itu ternyata berbuah, sampai akhir hidup ternyata Ida tetap
sendirian. Ida tewas dalam suatu kasus pembunuhan setelah sebelumnya diperkosa
ketika usianya belum sampai di angka 20 tahun.

 

”Belakangan aku tahu, dia ternyata berharap
ada namaku di pohon-pohon itu bersanding dengan namanya,” kata lelaki berambut
putih pelan.

 

Si perempuan tetap diam. Gawainya telah dia
letakkan di meja. Hari pun mulai petang. Dia tak khawatir, dengan cerita yang
mulai mengerucut itu, sebentar lagi dia pasti tahu apa yang ada di dalam kotak
bersampul koran tersebut, ”Lanjutkan, Pak, ceritanya.”

 

Si lelaki berambut putih malah diam. Dia
memandang perempuan di depannya dengan dalam.

 

”Jangan bilang perempuan itu mirip dengan
aku?”

 

Sang lelaki tertawa dan menggelengkan kepala.
”Ceritaku sudah selesai,” katanya.

 

Otomatis jari perempuan itu hinggap di
kepalanya. Menggaruk-garuk. ”Itu saja! Tak seru!”

 

”Jadi, apa isinya?” katanya lagi.

 

”Cinta.”

 

Emosi si perempuan langsung meninggi dan siap
untuk diluapkan. Tapi, lelaki itu malah pergi tanpa bisa dicegah. Selembar uang
100 ribu rupiah terletak begitu saja di meja. Si perempuan melihat timbangan
dan alamat tujuan –sebuah kantor kementerian di ibu kota– dari paket tersebut.
Dan, dia paham harga jasa untuk paket itu hanya puluhan ribu rupiah.

 

”Mampuslah situ, mau apa isinya terserah!”
katanya kemudian sambil meletakkan kotak tersebut ke dalam bungkus plastik
transparan sebagai tanda paket siap dikirimkan.

 

”Eh!” teriaknya sesaat akan melempar paket
tersebut ke keranjang. Terlihat dengan jelas di matanya bungkus koran tersebut
–terletak di tepi kertas putih yang dijadikan alas untuk menulis alamat tujuan–
ada berita kecil yang menggoda. Dia membacanya dengan serius dan setelah itu,
tanpa disuruh, dia langsung terbahak-bahak.

 

”Dasar orang tua gila!” katanya sambil
melemparkan paket bersampul koran yang memuat berita kecil tentang pengakuan
seorang pria berambut putih yang suka mengirimkan paket kosong ke kantor-kantor
pemerintahan agar terbebas dari pikun.

 

”Patut ditiru juga ini…” kata perempuan itu
dalam hati. Tentu, sambil tersenyum. (*)

 

Medan Johor, 2020

 

—

 

MURAM BATU

 

Lahir di Limapuluh, Sumatera Utara. Pengarang
kumpulan cerpen Hujan Kota Arang (Basabasi, 2018); novela Tepi Toba (Basabasi,
2019); kumcer Kartini Boru Regar, Tahi Kecoa, dan Walikota (Gading, 2020).
Sejak balita tinggal di Langsa, Aceh. Begitu tamat SMA merantau ke Jogjakarta
selama 11 tahun. Dan, kini menetap di Medan.

”Apa isi paketnya, Pak?”

 

”Cinta.”

 

Perempuan penjaga di jasa pengiriman barang
itu tersenyum. Dia memperhatikan lelaki berambut putih yang masih berdiri di
hadapannya dengan tenang.

 

KATA cinta bukanlah jawaban yang
diinginkannya meski tempatnya bekerja adalah perusahaan ekspedisi berasas cinta
–motonya pun berbunyi: Demi Cinta, Semua Bisa. Dia lebih berharap kata buku
atau baju atau makanan untuk isi kotak bersampul koran yang sedang ditimbangnya
itu. ”Cokelat? Bunga? Atau apa?”

 

”Cinta.”

 

Perempuan itu kembali memandang mata lelaki
tersebut. Kali ini tidak ada senyum. Sinar matanya pun menunjukkan suatu
ketegasan. Dia pun menarik jari-jarinya dari papan ketik komputer. ”Benda, Pak.
Benda apa dalam kotak ini?”

 

”Cinta.”

 

”Baiklah, kalau ini memang cinta, tapi dia
berwujud apa!” suara perempuan itu mulai meninggi.

 

Lelaki berambut putih tersadar. Dia paham,
perempuan di hadapannya mulai tak tenang. Dan ketika perempuan marah, mengalah
adalah sikap yang tepat. Dia pun duduk di kursi plastik tepat di seberang meja
sang perempuan. Geraknya begitu hati-hati seakan takut kalau sang perempuan
akan bertambah suntuk. ”Boleh aku cerita?”

 

”Isinya apa?”

 

”Dari ceritaku akan terjawab isi kotak ini…”

 

Si perempuan menarik napas panjang. Masih ada
orang seperti ini, pikirnya, yang menggilai cinta hingga mau merepotkan diri
dan mengorbankan waktu demi keyakinan yang berarti entah. Tapi sudahlah,
katanya dalam hati, ikuti saja maunya sampai mana. Dia melihat ke belakang
posisi duduk lelaki tersebut. Kosong. Tidak ada yang mengantre. ”Baiklah,
silakan…”

 

Lalu, dengan perlahan lelaki itu mulai
bercerita. Dia awali dengan menyebutkan namanya, Dame, yang berarti ketenangan.
Nama yang unik karena bisa dipakai oleh lelaki atau perempuan, jadi tidak bisa
diklaim oleh jenis kelamin tertentu. Persis dengan artinya, ketenangan juga
milik orang banyak dan tidak semata untuk kalangan tertentu. Dia mengaku lahir
pada 30 Agustus 1959. Tepatnya lima hari setelah diterapkannya sanering atau
yang disebut oleh pemerintah sebagai usaha penyehatan uang: pecahan 500 rupiah
menjadi 50 rupiah dan 1000 rupiah menjadi 100 rupiah. Atau nyatanya, pemotongan
nilai mata uang. Artinya, saat itu nilai rupiah dipotong hingga 90 persen.
Banyak yang pingsan, bahkan meninggal, karena tak siap dengan kebijakan
tersebut. Mereka tak terima karena pemotongan nilai rupiah ternyata tak
diimbangi dengan nilai barang. Nilai atau harga barang tetap, tapi nilai uang
berkurang.

 

”Itulah sebab kenapa namaku Dame. Maksudnya,
ketika situasi tak jelas seperti itu, kita harus tetap tenang. Ya, damai.
Bapakku tak ingin aku ikut susah, tidak seperti tetangga yang memberikan nama
anaknya Susanna sebagai langkah untuk mengenang masa kelam tersebut,” kata
lelaki berambut putih itu.

 

Si perempuan seperti terkejut mendengar
informasi yang belum pernah didengarnya itu. ”Bukankah itu mirip rencana
pemerintah sekarang? Ya, tempo hari kan ada rencana mau jadikan 1000 rupiah
menjadi 1 rupiah. Bukankah itu lebih gawat?”

 

”Beda. Kalau rencana ini jadi dilakukan,
nilai 1 rupiah tetap sama dengan 1000 rupiah. Maksudnya, dengan 1000 rupiah
kamu bisa mendapatkan satu permen, maka dengan 1 rupiah juga begitu. Kalau
dulu, tetap butuh 100 rupiah untuk sebuah permen, tapi uangmu yang 1000 rupiah
tadi sudah menjadi 1 rupiah.”

Baca Juga :  Sajak: Kepada Anakku

 

Si perempuan mengerutkan dahi, tapi dia tak
mau ambil pusing. Dia pandangi kotak bersampul koran tadi. ”Jadi, isinya uang?”

 

”Cinta.”

 

”Ah!”

 

”Biarkan aku cerita…”

 

”Ya sudah, silakan!” balas si perempuan
sambil mengambil gawainya, mengecek akunnya di media sosial, berharap ada
status yang bisa dia komentari.

 

Lelaki berambut putih tahu, perempuan di
depannya berusaha mengalihkan perhatian, tapi dia percaya suaranya pasti masih
terdengar. Maka, dia pun kembali bercerita tentang masa kecilnya. Tentang rumah
orang tuanya yang berada tepat di seberang kantor salah satu partai terbesar
saat itu. Keberadaan rumah tersebut secara langsung membuat bapaknya sering
bergaul dengan orang-orang partai. Bapaknya sering diberi buku.

 

Saat itu, posisi bapaknya lumayan di
tempatnya bekerja. Dia adalah kepala kantor perkebunan. Sang bapak memang ahli
dalam urusan pohon karet yang saat itu sedang marak.

 

”Jadi, Bapak anaknya PKI?” tiba-tiba si
perempuan berujar dengan nada yang gamang.

 

Lelaki berambut putih tersenyum. Dia tidak
menggeleng atau mengangguk. Dia malah melanjutkan ceritanya. Katanya, meski era
susah, waktu itu adalah masa yang indah. Kedudukan ayahnya sebagai kepala
kantor membuat mereka memiliki fasilitas yang lumayan. Adik ibunya dan adik
bapaknya bahkan sampai ikut tinggal di rumah mereka. Itulah sebab, dia memiliki
cukup banyak pengasuh. Tapi, masalahnya, dia tidak merasakan langsung atau
tepatnya tidak mengingatnya. Cerita ini dia dapatkan sekian tahun kemudian
ketika dia mulai besar, tepatnya ketika dia mulai berseragam abu-abu melalui
mulut ibunya yang seperti tak bisa berhenti ketika ditanyai soal masa tersebut.
Ibu memang terlalu bangga dengan bapak, tepatnya ketika mengambil keputusan
untuk kembali ke kampung –ke lembah di Pegunungan Bukit Barisan– menjadi petani
untuk mengurus lahan warisan leluhur yang luas jelang kejadian yang kemudian
dikenal dengan Gestapu itu. Bapaknya terselamatkan karena sang kakek yang sudah
bertitel haji meninggal dunia. Sejak itulah mereka jadi orang kampung. Status
pegawai negeri dengan pangkat tinggi rela mereka lepaskan dan ternyata itu pula
yang menjadikan mereka aman.

 

”Jadi, status Bapak sebagai anak PKI enggak
ketahuan?”

 

Lelaki berambut putih tidak tersenyum. Dengan
tenang dia mengatakan bahwa bapaknya bukan PKI. Kebetulan saja bapaknya itu
berteman dengan anggota PKI karena rumahnya memang berada di seberang kantor
partai tersebut.

 

”Bisa saja bapaknya Bapak PKI kan?”

 

Mendengar tuduhan semacam itu, lelaki
barambut putih tidak marah. Dia malah kembali tersenyum. Dia malah bercerita
soal lain. Tepatnya, setelah sekian tahun menjadi petani, bapaknya kemudian
memilih pindah ke kota provinsi. Bekerja di sebuah perusahaan perkebunan sawit milik
orang asing. Sang bapak langsung mendapat posisi bagus hingga berkantor di kota
dan tidak ditugaskan ke kebun-kebun yang berada di pedalaman.

 

”Ceritanya tak menarik, Pak. Kupikir soal
PKI, gak seru!” kata si perempuan sembari kembali memperhatikan gawainya. Tapi,
tak lama kemudian, ”Eh, jadi apa isi kotak ini?”

 

”Cinta.”

 

”Ah! Sudahlah cerita lagi!”

Baca Juga :  Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing

 

Lelaki berambut putih itu membenarkan letak
duduknya, sama sekali tidak melihat ke belakang. Sepertinya dia begitu yakin
memang tak ada yang mengirim paket hari ini selain dirinya. Lalu, dengan nada
suara yang sedikit bergetar dia bercerita tentang perempuan yang menawan.
Perempuan itu anak seorang guru sejarah dan bercita-cita ingin menjadi guru
juga. Namanya Ida, ya, nama yang pasaran untuk anak kelahiran tahun 1960-an.
Pada suatu ketika, pohon-pohon di taman kota penuh dengan ukiran nama Ida. Ya,
lelaki berambut putih itulah yang mengukirnya tanpa pernah berani meletakkan
namanya sendiri bersanding dengan nama perempuan incaran tersebut. Dan
ketakutan itu ternyata berbuah, sampai akhir hidup ternyata Ida tetap
sendirian. Ida tewas dalam suatu kasus pembunuhan setelah sebelumnya diperkosa
ketika usianya belum sampai di angka 20 tahun.

 

”Belakangan aku tahu, dia ternyata berharap
ada namaku di pohon-pohon itu bersanding dengan namanya,” kata lelaki berambut
putih pelan.

 

Si perempuan tetap diam. Gawainya telah dia
letakkan di meja. Hari pun mulai petang. Dia tak khawatir, dengan cerita yang
mulai mengerucut itu, sebentar lagi dia pasti tahu apa yang ada di dalam kotak
bersampul koran tersebut, ”Lanjutkan, Pak, ceritanya.”

 

Si lelaki berambut putih malah diam. Dia
memandang perempuan di depannya dengan dalam.

 

”Jangan bilang perempuan itu mirip dengan
aku?”

 

Sang lelaki tertawa dan menggelengkan kepala.
”Ceritaku sudah selesai,” katanya.

 

Otomatis jari perempuan itu hinggap di
kepalanya. Menggaruk-garuk. ”Itu saja! Tak seru!”

 

”Jadi, apa isinya?” katanya lagi.

 

”Cinta.”

 

Emosi si perempuan langsung meninggi dan siap
untuk diluapkan. Tapi, lelaki itu malah pergi tanpa bisa dicegah. Selembar uang
100 ribu rupiah terletak begitu saja di meja. Si perempuan melihat timbangan
dan alamat tujuan –sebuah kantor kementerian di ibu kota– dari paket tersebut.
Dan, dia paham harga jasa untuk paket itu hanya puluhan ribu rupiah.

 

”Mampuslah situ, mau apa isinya terserah!”
katanya kemudian sambil meletakkan kotak tersebut ke dalam bungkus plastik
transparan sebagai tanda paket siap dikirimkan.

 

”Eh!” teriaknya sesaat akan melempar paket
tersebut ke keranjang. Terlihat dengan jelas di matanya bungkus koran tersebut
–terletak di tepi kertas putih yang dijadikan alas untuk menulis alamat tujuan–
ada berita kecil yang menggoda. Dia membacanya dengan serius dan setelah itu,
tanpa disuruh, dia langsung terbahak-bahak.

 

”Dasar orang tua gila!” katanya sambil
melemparkan paket bersampul koran yang memuat berita kecil tentang pengakuan
seorang pria berambut putih yang suka mengirimkan paket kosong ke kantor-kantor
pemerintahan agar terbebas dari pikun.

 

”Patut ditiru juga ini…” kata perempuan itu
dalam hati. Tentu, sambil tersenyum. (*)

 

Medan Johor, 2020

 

—

 

MURAM BATU

 

Lahir di Limapuluh, Sumatera Utara. Pengarang
kumpulan cerpen Hujan Kota Arang (Basabasi, 2018); novela Tepi Toba (Basabasi,
2019); kumcer Kartini Boru Regar, Tahi Kecoa, dan Walikota (Gading, 2020).
Sejak balita tinggal di Langsa, Aceh. Begitu tamat SMA merantau ke Jogjakarta
selama 11 tahun. Dan, kini menetap di Medan.

Terpopuler

Artikel Terbaru