Kepada Anakku
1.
Dadaku,
Dentum traktor yang menghancurkan rumah
di pinggir kali; sentuhlah
Dekatkan telingamu ke sini
Tangisan anak-anak
Teriakan ibu-ibu yang kenangannya terhapus
Makin terdengar kencang
Telingamu yang menempel di dadaku
Meredamkan suara tembakan yang
dipantulkan ke udara
2.
Aku ingin menyusuimu seperti ketika bayi
Tapi bayangmu lebih tinggi dari pohon jambu
di rumah lama kita
Kantukmu tak terusik
Dan kamu sudah bisa tidur tanpa pelukku
Ketika kamu melempar senyum
Senyummu adalah air bagi si haus
Senyummu adalah matahari tenggelam bagi
sepasang kekasih
Senyummu adalah kembang api di dalam
alun-alun diriku
3.
Aku memuja matamu yang berbinar
Lampu-lampu gemerlap di pulau seberang
Ketika kita di pelabuhan
Ketika aku marah
Air pasang dan kapal kita terombang-ambing
Tapi kamulah tali kendaliku yang
menyeberangi arus bahaya
Karenamulah, Lautan surut
Dan arus mengantarkan kapal kita ke tujuan.
—
Rumah
Rumah yang kita bangun penuh dengan pintu
Masuklah dari arah yang kau inginkan
Sebab setiap aku menutupnya
Seluruh kunci patah
Dan ia terbuka menunggu kedatanganmu
Di depan jendela,
Kita akan menikmati kopi
Bertautan tangan
Menyusuri sawah dan gulma dalam tubuh kita
Peta pada garis kita lesap
Masuk ke dalam dan seluruh pintu telah tertutup
Sebuah cermin retak
Kita berkaca sambil telanjang
—
Bau Masakan Ibu
Telah kau panaskan santan
Pada tungkumu
Kualimu bulat
Hatimu lurus seperti kayu
di halaman rumah
Sering kamu memantik api
Menyalakan unggun
Menggiling cabai dan mengupas bawang
Hingga asapnya membubung
dan menerbangkanmu
Gulaimu telah menggelegak
Tapi kamu tak sempat mematikan api
Hanya meninggalkan halaman kosong
Yang begitu lama kubiarkan tak terisi
Aku masih sering melamunkan
pohon rambutan
Tempat kita biasa memasak bersama di bawahnya
Semua masih sama tapi kamu sudah tak ada
—
Bermigrasi
Di atas kapal kita berpegang tangan
Duduk pada lantai yang lembap
Dan angin yang tak menentu
Rumah kita begitu jauh
tak terlihat
Bunga-bunga di halaman akan kering
Tapi aku membawa telingamu yang mirip kupu-kupu di dalam tamanku
Kapal terus melaju
Lampu-lampu kota kita makin tak terlihat
Terapung-apung,
Kita terapung-apung dalam gelombang
rambutmu
Di kota yang kita tinggalkan
Bunyi bedil lebih melengking dari bayi yang kita timang
—
MUTIA SUKMA, Pengajar, penulis, dan peneliti. Pendidikannya ditempuh di Jurusan Bahasa dan Sastra Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jogjakarta dan Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada.