30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sajak: Kepada Anakku

Kepada Anakku

1.

Dadaku,

Dentum traktor yang menghancurkan rumah

di pinggir kali; sentuhlah

Dekatkan telingamu ke sini

Tangisan anak-anak

Teriakan ibu-ibu yang kenangannya terhapus

Makin terdengar kencang

Telingamu yang menempel di dadaku

Meredamkan suara tembakan yang

dipantulkan ke udara

 

2.

Aku ingin menyusuimu seperti ketika bayi

Tapi bayangmu lebih tinggi dari pohon jambu

di rumah lama kita

Kantukmu tak terusik

Dan kamu sudah bisa tidur tanpa pelukku

Ketika kamu melempar senyum

Senyummu adalah air bagi si haus

Senyummu adalah matahari tenggelam bagi

sepasang kekasih

Senyummu adalah kembang api di dalam

alun-alun diriku

3.

Aku memuja matamu yang berbinar

 

Lampu-lampu gemerlap di pulau seberang

Ketika kita di pelabuhan

Ketika aku marah

Air pasang dan kapal kita terombang-ambing

Tapi kamulah tali kendaliku yang

Baca Juga :  Soekarno Bapakku

menyeberangi arus bahaya

Karenamulah, Lautan surut

Dan arus mengantarkan kapal kita ke tujuan.

 

Rumah

Rumah yang kita bangun penuh dengan pintu

Masuklah dari arah yang kau inginkan

Sebab setiap aku menutupnya

Seluruh kunci patah

Dan ia terbuka menunggu kedatanganmu

Di depan jendela,

Kita akan menikmati kopi

Bertautan tangan

Menyusuri sawah dan gulma dalam tubuh kita

Peta pada garis kita lesap

Masuk ke dalam dan seluruh pintu telah tertutup

Sebuah cermin retak

Kita berkaca sambil telanjang

Bau Masakan Ibu

Telah kau panaskan santan

Pada tungkumu

Kualimu bulat

Hatimu lurus seperti kayu

di halaman rumah

Sering kamu memantik api

Menyalakan unggun

Menggiling cabai dan mengupas bawang

Hingga asapnya membubung

dan menerbangkanmu

Gulaimu telah menggelegak

Tapi kamu tak sempat mematikan api

Hanya meninggalkan halaman kosong

Baca Juga :  Perhatikan Paragraf Terakhir

Yang begitu lama kubiarkan tak terisi

Aku masih sering melamunkan

pohon rambutan

Tempat kita biasa memasak bersama di bawahnya

Semua masih sama tapi kamu sudah tak ada

Bermigrasi

Di atas kapal kita berpegang tangan

Duduk pada lantai yang lembap

Dan angin yang tak menentu

Rumah kita begitu jauh

tak terlihat

Bunga-bunga di halaman akan kering

Tapi aku membawa telingamu yang mirip kupu-kupu di dalam tamanku

Kapal terus melaju

Lampu-lampu kota kita makin tak terlihat

Terapung-apung,

Kita terapung-apung dalam gelombang

rambutmu

Di kota yang kita tinggalkan

Bunyi bedil lebih melengking dari bayi yang kita timang

MUTIA SUKMA, Pengajar, penulis, dan peneliti. Pendidikannya ditempuh di Jurusan Bahasa dan Sastra Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jogjakarta dan Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada.

Kepada Anakku

1.

Dadaku,

Dentum traktor yang menghancurkan rumah

di pinggir kali; sentuhlah

Dekatkan telingamu ke sini

Tangisan anak-anak

Teriakan ibu-ibu yang kenangannya terhapus

Makin terdengar kencang

Telingamu yang menempel di dadaku

Meredamkan suara tembakan yang

dipantulkan ke udara

 

2.

Aku ingin menyusuimu seperti ketika bayi

Tapi bayangmu lebih tinggi dari pohon jambu

di rumah lama kita

Kantukmu tak terusik

Dan kamu sudah bisa tidur tanpa pelukku

Ketika kamu melempar senyum

Senyummu adalah air bagi si haus

Senyummu adalah matahari tenggelam bagi

sepasang kekasih

Senyummu adalah kembang api di dalam

alun-alun diriku

3.

Aku memuja matamu yang berbinar

 

Lampu-lampu gemerlap di pulau seberang

Ketika kita di pelabuhan

Ketika aku marah

Air pasang dan kapal kita terombang-ambing

Tapi kamulah tali kendaliku yang

Baca Juga :  Soekarno Bapakku

menyeberangi arus bahaya

Karenamulah, Lautan surut

Dan arus mengantarkan kapal kita ke tujuan.

 

Rumah

Rumah yang kita bangun penuh dengan pintu

Masuklah dari arah yang kau inginkan

Sebab setiap aku menutupnya

Seluruh kunci patah

Dan ia terbuka menunggu kedatanganmu

Di depan jendela,

Kita akan menikmati kopi

Bertautan tangan

Menyusuri sawah dan gulma dalam tubuh kita

Peta pada garis kita lesap

Masuk ke dalam dan seluruh pintu telah tertutup

Sebuah cermin retak

Kita berkaca sambil telanjang

Bau Masakan Ibu

Telah kau panaskan santan

Pada tungkumu

Kualimu bulat

Hatimu lurus seperti kayu

di halaman rumah

Sering kamu memantik api

Menyalakan unggun

Menggiling cabai dan mengupas bawang

Hingga asapnya membubung

dan menerbangkanmu

Gulaimu telah menggelegak

Tapi kamu tak sempat mematikan api

Hanya meninggalkan halaman kosong

Baca Juga :  Perhatikan Paragraf Terakhir

Yang begitu lama kubiarkan tak terisi

Aku masih sering melamunkan

pohon rambutan

Tempat kita biasa memasak bersama di bawahnya

Semua masih sama tapi kamu sudah tak ada

Bermigrasi

Di atas kapal kita berpegang tangan

Duduk pada lantai yang lembap

Dan angin yang tak menentu

Rumah kita begitu jauh

tak terlihat

Bunga-bunga di halaman akan kering

Tapi aku membawa telingamu yang mirip kupu-kupu di dalam tamanku

Kapal terus melaju

Lampu-lampu kota kita makin tak terlihat

Terapung-apung,

Kita terapung-apung dalam gelombang

rambutmu

Di kota yang kita tinggalkan

Bunyi bedil lebih melengking dari bayi yang kita timang

MUTIA SUKMA, Pengajar, penulis, dan peneliti. Pendidikannya ditempuh di Jurusan Bahasa dan Sastra Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jogjakarta dan Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada.

Terpopuler

Artikel Terbaru