30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Perhatikan Paragraf Terakhir

PROKALTENG.CO – “Malamnya yang usai tentu saja karena sudah
terdengar azan Subuh dan mesti mandi wajib, sementara di luar cuaca dingin
berkabut pada Kamis, 30 Desember, dan jam dinding menunjuk pukul empat lebih
dua puluh menit. ’Cinta dan bercinta, keduanya ingatan yang pendek, Sayang,’
kata Dimas menggombal kepada istrinya.

Lalu ia memeriksa pemberitahuan
ucapan selamat menempuh hidup baru di medsos dan sesaat kemudian berkata, ’yang
panjang adalah kenangannya, adalah keinginan mengulang-ulang rasanya.’ Itu
benar, tapi catatan ini juga panjang, istrinya senyum memberikan gulungan
kertas putih dalam ikatan pita merah.

Ketika membuka tiap lembar dari
lima halaman kuarto, hasil ketikan komputer, spasi ganda, ukuran huruf dua
belas poin, dengan margin standar, dan berisi enam belas pasal rumah tangga,
Dimas berkali-kali tertawa terbahak-bahak pada pasal yang menurutnya lucu
sekali hingga membuat istrinya sah-suh, meminta diam, takut dikira ada
macam-macam sama ibu mertua dan saudara yang kelelahan menerima tamu kemarin.”

Saya mengacungkan tangan, mentor
melihat, lalu ia mendekat membaca paragraf pembuka tersebut sambil berdiri di
samping meja.

Ia berkata bahwa sebagai paragraf
pembuka, mestinya saya menunjukkan kejadian sehingga mengikat pembaca, bukannya
menceritakan. Tunjukkan saja, misalnya pasal apa saja. Tapi, kata saya, itu
lima halaman spasi ganda dengan enam belas pasal. Apa tidak memakan ruang
cerita pendek ini? Dia menjawab, kalau begitu pilih yang bikin Dimas
terbahak-bahak, sebenarnya itu pasal tentang apa. Vulgar tidak apa-apa? Tanya
saya. Ia berubah serius, lalu berkata, kalau ini mau dikirim ke media, usahakan
yang tidak vulgar, jangan sampai kena pasal lain dan tidak dimuat. Begini saja,
katanya, kamu ingin menulis dengan gaya apa?

Seperti materi hari ini, jawab
saya, realisme-magis.

Kalau begitu, kata mentor,
munculkan ini sejak paragraf awal. Ia menaikkan volume bicara agar terdengar
seluruh peserta kelas penulisan kreatif, yang terdiri atas lima belas orang. Ia
bilang perhatikan kembali sumbu x dan y serta relasi level realitas terhadap
realitas itu sendiri. Ia berjalan ke papan tulis putih di depan, menghadap
peserta kursus di meja bundar. Perhatikan baik-baik, kata mentor berambut
gondrong dengan ujung memutih, berkacamata hitam dengan tali menjuntai di kedua
sisi, dan selalu memakai baju hitam seperti pendekar berkabung pada gelanggang
kehidupan yang kelahiran manusianya ditangisi dan kematiannya justru disyukuri,
perhatikan sebentar, abaikan menulisnya dulu. Lihat, lanjutnya, terapkan ini.

Bukan hanya soal aneh-aneh atau
hantu-hantu. Harus tahu persis apa itu magis, apa itu keajaiban, apa itu
mitologi dan legenda, dan apa itu hal fantastis. Perhatikan sumbu pergerakan
realitas pada sumbu x ini, katanya, dan jangan terfokus pada paragraf pertama,
ingat paragraf akhir juga sangat penting, sekarang lanjutkan menulisnya. Oke
kalau harus menunjukkannya langsung, kata saya. Kemudian, saya menulis ulang
paragraf pembuka.

”Ia membangun kamar mandi
tambahan di depan rumah baru setelah pindahan dari mertua, lengkap dengan
pancuran air, landasan batu-batu kerikil, dan tempelan peraturan penjelasan
pasal nomor sembilan. Ia meminta suaminya cuci kaki, lantas mandi bersih
sebelum masuk rumah seperti orang zaman dulu setelah pergi dari tempat
tertentu. Tapi, kata suaminya saat peraturan dibacakan, aku bukan dari kuburan,
bukan dari tempat angker, bukan dari rumah sakit, bukan dari tempat yang ada
penyakit; aku dari kantor, kantor kampus yang bersih, memiliki tukang sapu,
tukang pel, tukang cuci piring, tukang buat teh, dan jadwal senam Jumat sehat,
aturan Kamis bahagia, dan anjuran Rabu ceria. Apa jawaban istrinya? Jawabnya,
sesungguhnya, Sayang, kantor bisa menjadi kuburan, tempat angker, rumah sakit,
dan pembawa penyakit ke dalam rumah. Kamu bisa tiba-tiba seperti orang mati
tidur panjang tak peduli istri saat pulang sehabis lembur kerjaan menumpuk,
kata istrinya, kamu bisa tiba-tiba kerasukan iblis paling pemarah dan
memaki-maki istri yang tidak bersalah saat masalah di kantor dibawa-bawa
pelampiasannya ke dalam rumah, dan kamu bisa tiba-tiba pulang ke rumah dalam
keadaan sakit akibat pergaulan buruk di kantor, dan pikirkan, ke mana kamu akan
pulang kalau bukan ke rumah?”

Baca Juga :  Bunglon Ngaku Anjing Penjaga

Saya mengacungkan tangan, mentor
melihat, tapi memberi isyarat tunggu. Ia sedang memeriksa tulisan peserta lain.

Ketika ia sudah berdiri di
samping meja dan membaca, ia berkata, repetisinya sudah baik, tapi mana
realisme-magisnya? Serta terasa kurang langsung, masih seperti rubrik tanya
jawab kesehatan keluarga. Oke, kata saya, dan mulai menulis lagi, menggantinya
dengan seperti ini.

”Ia membeli lemari besi, dengan
empat laci, dan empat kunci rahasia. Ia meletakkannya di beranda. Setelah
suaminya mandi di kamar mandi baru di depan rumah, yang membuat tetangga dan
orang lewat mengernyitkan dahi, ia meminta suaminya memasukkan hal-hal berikut
ke dalam lemari besi; di laci paling bawah berkas dokumen dari kantor, laci
atasnya pemikiran dan hasrat naik jabatan di kantor, laci atasnya lagi
kedudukan dan gelar di kantor, dan laci paling atas adalah laptop, telepon
genggam, tas, dan alat tulis kantor. ’Dengan cara seperti ini,’ kata istrinya,
’kamu pulang sebagai suamiku, bukan sebagai dosen, penyair, atau seksi
sertifikat dan bagian konsumsi seminar literasi.’

Malam harinya, lemari besi itu
berisik oleh jeritan dramatis telepon genggam, dan suaminya merasa harus segera
mengangkat dan mencongkel lemari yang disegel kunci rahasia, ia merasa harus
segera merespons, jangan-jangan itu dari dekan, atau bahkan rektor. Ia merasa
harus mengerjakan sesuatu, takut besok dimarahi, takut terlambat bertindak,
takut dipecat. Ia berteriak-teriak, sementara istrinya sudah mengikat kaki dan
tangannya ke kursi dengan tali tambang yang dipersiapkan, menutup mulutnya
dengan lakban hitam, menyajikan mendoan hangat dengan cabai hijau istimewa.

’Kebiasaan buruk masa mudamu bisa
menjadi candu. Kamu dibayar dari jam delapan pagi hingga empat sore dengan lima
hari kerja, Sayang, bukan dibayar untuk pekerja sepanjang waktu dan seumur
hidupmu sampai pensiun atau kematian datang. Di luar jam kerja itu, bekerjalah
sepenuh waktu bagiku, sebagai suamiku yang bahagia sepenuhnya. Nikmati makanan
hangat, jalan-jalan, bercinta, dan mengulang-ulangnya lagi bagi ingatan kita
yang pendek. Apa itu pekerjaan yang berat bagimu sekarang?’”

Saya mengacungkan tangan, tapi
mentor tidak ada di depan sana. Punggung saya ditepuk dari belakang. Ia berkata
tidak perlu angkat tangan. Ia ada di belakang saya dari tadi, melihat saya
menulis. Saya tersenyum.

Begini? Tanya saya. Mentor
menjawab bahwa itu terlalu panjang sebagai paragraf, sudut pandangnya berat ke
tokoh perempuan, dan belum ada realisme-magisnya. Dan, lanjutnya, unsur
lokalitas. Kalau mau diterima, unsur lokalitas sedang penting-pentingnya buat ada
di dalam cerita pendek, tentu agar mudah dimuat, memberi pembaca wawasan daerah
lain, kalau perlu masukkan bahasa daerah yang sulit dan rumit, nanti gampang
dibuat catatan kakinya. Oke, kata saya, akan saya coba lagi dan tunggu
sebentar, jangan pergi, bagaimana kalau saya menulisnya seperti ini.

Baca Juga :  Langkah Terpenggal

”Sebelum membeli lemari besi,
sebelum membuat kamar mandi di halaman rumah, sebelum mengajukan aturan rumah
tangga sebanyak lima halaman kuarto spasi ganda, sebelum prosesi malam pertama,
mereka menikah pada Rabu yang cerah, dengan kelembapan udara tinggi, angin
bertiup dari arah selatan, tamu banyak yang datang, tetangga melingkar ramai
menonton hiburan di tepi tayup hajatan, dan di atas pasir hitam basah akibat
hujan semalam ada empat pemain kuda lumping dibiarkan tidak disembuhkan dari
kesurupan. Mereka berdiri kaku dengan mata melotot dan tangan menegang mengepal
selama tiga jam penelitian ilmiah.”

Kalau begini bagaimana? Tanya
saya. Kuda lumping? Tanya mentor. Unsur lokalitas di lingkungan sosial tempat
Dimas dan istrinya tinggal, jawab saya. O, ya, ya, realisme-magisnya? Tanya
mentor. Ada, jawab saya, akan saya letakkan di paragraf berikutnya ditulis
seperti ini.

”Sebagai dosen dan penyair, Dimas
memiliki dorongan kuat untuk meneliti manusia, bahkan di saat harusnya ia duduk
manis wangi dan wajahnya penuh bedak, menerima jabat tangan di pelaminan. Empat
kuda lumping yang sudah kesurupan dengan iringan gamelan dan taburan bunga
mawar gaib ia ambil alih. Ia meminta iringan musik gamelan dihentikan. Orang-orang
merasa itu tidak wajar, tapi karena yang punya hajat yang membayar, mau
bagaimana lagi. Ia lalu terbukti secara sah dan meyakinkan di muka umum telah
melakukan percobaan yang belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Ia pertama-tama mengganti iringan
musik gamelan dengan rekaman musik rock. Hasilnya, empat pemain kesurupan itu
masih menari atraktif, namun gerakannya memang lebih kacau dan agak
serampangan; mengibas-ngibaskan kepala sehingga mahkota kesatria berkuda di
kepala mereka jatuh ke tanah pasir basah. Barangkali musik ini belum akrab di
dunia gaib. Kedua, ia menggantinya dengan slow-rock, dan mereka nyata menari
lebih pelan memang. Saat ia menggantinya dengan musik dangdut, tariannya
berubah menjadi syahdu dan didominasi goyang pinggul, langkah-langkah kecil,
dan jari-jemari mekar kuncup-mekar kuncup nikmat sekali. Keajaiban terjadi saat
musik yang dimainkan, dari rekaman disalurkan ke pengeras suara, berganti
dengan musik jazz, rebana, reggae, dan instrumental piano Chopin.”

Seperti ini? Tanya saya. Boleh,
kata mentor, bagaimana itu pola tarian mereka akhirnya? Nanti akan saya
jelaskan di bagian paragraf akhir, kata saya, karena itu paragraf yang penting
juga. Saya selesaikan dulu bagian awalnya. Oke, kata mentor penulisan kreatif,
saya tunggu. (*)

Xi’an, 11 Desember 2020

(EKO TRIONO. Lahir di Cilacap,
1989. Menulis kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016)
dan Republik Rakyat Lucu (2018) serta novel Para Penjahat dan Kesunyiannya
Masing-Masing (2018). Kini bermukim di Xi’an, Tiongkok)

PROKALTENG.CO – “Malamnya yang usai tentu saja karena sudah
terdengar azan Subuh dan mesti mandi wajib, sementara di luar cuaca dingin
berkabut pada Kamis, 30 Desember, dan jam dinding menunjuk pukul empat lebih
dua puluh menit. ’Cinta dan bercinta, keduanya ingatan yang pendek, Sayang,’
kata Dimas menggombal kepada istrinya.

Lalu ia memeriksa pemberitahuan
ucapan selamat menempuh hidup baru di medsos dan sesaat kemudian berkata, ’yang
panjang adalah kenangannya, adalah keinginan mengulang-ulang rasanya.’ Itu
benar, tapi catatan ini juga panjang, istrinya senyum memberikan gulungan
kertas putih dalam ikatan pita merah.

Ketika membuka tiap lembar dari
lima halaman kuarto, hasil ketikan komputer, spasi ganda, ukuran huruf dua
belas poin, dengan margin standar, dan berisi enam belas pasal rumah tangga,
Dimas berkali-kali tertawa terbahak-bahak pada pasal yang menurutnya lucu
sekali hingga membuat istrinya sah-suh, meminta diam, takut dikira ada
macam-macam sama ibu mertua dan saudara yang kelelahan menerima tamu kemarin.”

Saya mengacungkan tangan, mentor
melihat, lalu ia mendekat membaca paragraf pembuka tersebut sambil berdiri di
samping meja.

Ia berkata bahwa sebagai paragraf
pembuka, mestinya saya menunjukkan kejadian sehingga mengikat pembaca, bukannya
menceritakan. Tunjukkan saja, misalnya pasal apa saja. Tapi, kata saya, itu
lima halaman spasi ganda dengan enam belas pasal. Apa tidak memakan ruang
cerita pendek ini? Dia menjawab, kalau begitu pilih yang bikin Dimas
terbahak-bahak, sebenarnya itu pasal tentang apa. Vulgar tidak apa-apa? Tanya
saya. Ia berubah serius, lalu berkata, kalau ini mau dikirim ke media, usahakan
yang tidak vulgar, jangan sampai kena pasal lain dan tidak dimuat. Begini saja,
katanya, kamu ingin menulis dengan gaya apa?

Seperti materi hari ini, jawab
saya, realisme-magis.

Kalau begitu, kata mentor,
munculkan ini sejak paragraf awal. Ia menaikkan volume bicara agar terdengar
seluruh peserta kelas penulisan kreatif, yang terdiri atas lima belas orang. Ia
bilang perhatikan kembali sumbu x dan y serta relasi level realitas terhadap
realitas itu sendiri. Ia berjalan ke papan tulis putih di depan, menghadap
peserta kursus di meja bundar. Perhatikan baik-baik, kata mentor berambut
gondrong dengan ujung memutih, berkacamata hitam dengan tali menjuntai di kedua
sisi, dan selalu memakai baju hitam seperti pendekar berkabung pada gelanggang
kehidupan yang kelahiran manusianya ditangisi dan kematiannya justru disyukuri,
perhatikan sebentar, abaikan menulisnya dulu. Lihat, lanjutnya, terapkan ini.

Bukan hanya soal aneh-aneh atau
hantu-hantu. Harus tahu persis apa itu magis, apa itu keajaiban, apa itu
mitologi dan legenda, dan apa itu hal fantastis. Perhatikan sumbu pergerakan
realitas pada sumbu x ini, katanya, dan jangan terfokus pada paragraf pertama,
ingat paragraf akhir juga sangat penting, sekarang lanjutkan menulisnya. Oke
kalau harus menunjukkannya langsung, kata saya. Kemudian, saya menulis ulang
paragraf pembuka.

”Ia membangun kamar mandi
tambahan di depan rumah baru setelah pindahan dari mertua, lengkap dengan
pancuran air, landasan batu-batu kerikil, dan tempelan peraturan penjelasan
pasal nomor sembilan. Ia meminta suaminya cuci kaki, lantas mandi bersih
sebelum masuk rumah seperti orang zaman dulu setelah pergi dari tempat
tertentu. Tapi, kata suaminya saat peraturan dibacakan, aku bukan dari kuburan,
bukan dari tempat angker, bukan dari rumah sakit, bukan dari tempat yang ada
penyakit; aku dari kantor, kantor kampus yang bersih, memiliki tukang sapu,
tukang pel, tukang cuci piring, tukang buat teh, dan jadwal senam Jumat sehat,
aturan Kamis bahagia, dan anjuran Rabu ceria. Apa jawaban istrinya? Jawabnya,
sesungguhnya, Sayang, kantor bisa menjadi kuburan, tempat angker, rumah sakit,
dan pembawa penyakit ke dalam rumah. Kamu bisa tiba-tiba seperti orang mati
tidur panjang tak peduli istri saat pulang sehabis lembur kerjaan menumpuk,
kata istrinya, kamu bisa tiba-tiba kerasukan iblis paling pemarah dan
memaki-maki istri yang tidak bersalah saat masalah di kantor dibawa-bawa
pelampiasannya ke dalam rumah, dan kamu bisa tiba-tiba pulang ke rumah dalam
keadaan sakit akibat pergaulan buruk di kantor, dan pikirkan, ke mana kamu akan
pulang kalau bukan ke rumah?”

Baca Juga :  Bunglon Ngaku Anjing Penjaga

Saya mengacungkan tangan, mentor
melihat, tapi memberi isyarat tunggu. Ia sedang memeriksa tulisan peserta lain.

Ketika ia sudah berdiri di
samping meja dan membaca, ia berkata, repetisinya sudah baik, tapi mana
realisme-magisnya? Serta terasa kurang langsung, masih seperti rubrik tanya
jawab kesehatan keluarga. Oke, kata saya, dan mulai menulis lagi, menggantinya
dengan seperti ini.

”Ia membeli lemari besi, dengan
empat laci, dan empat kunci rahasia. Ia meletakkannya di beranda. Setelah
suaminya mandi di kamar mandi baru di depan rumah, yang membuat tetangga dan
orang lewat mengernyitkan dahi, ia meminta suaminya memasukkan hal-hal berikut
ke dalam lemari besi; di laci paling bawah berkas dokumen dari kantor, laci
atasnya pemikiran dan hasrat naik jabatan di kantor, laci atasnya lagi
kedudukan dan gelar di kantor, dan laci paling atas adalah laptop, telepon
genggam, tas, dan alat tulis kantor. ’Dengan cara seperti ini,’ kata istrinya,
’kamu pulang sebagai suamiku, bukan sebagai dosen, penyair, atau seksi
sertifikat dan bagian konsumsi seminar literasi.’

Malam harinya, lemari besi itu
berisik oleh jeritan dramatis telepon genggam, dan suaminya merasa harus segera
mengangkat dan mencongkel lemari yang disegel kunci rahasia, ia merasa harus
segera merespons, jangan-jangan itu dari dekan, atau bahkan rektor. Ia merasa
harus mengerjakan sesuatu, takut besok dimarahi, takut terlambat bertindak,
takut dipecat. Ia berteriak-teriak, sementara istrinya sudah mengikat kaki dan
tangannya ke kursi dengan tali tambang yang dipersiapkan, menutup mulutnya
dengan lakban hitam, menyajikan mendoan hangat dengan cabai hijau istimewa.

’Kebiasaan buruk masa mudamu bisa
menjadi candu. Kamu dibayar dari jam delapan pagi hingga empat sore dengan lima
hari kerja, Sayang, bukan dibayar untuk pekerja sepanjang waktu dan seumur
hidupmu sampai pensiun atau kematian datang. Di luar jam kerja itu, bekerjalah
sepenuh waktu bagiku, sebagai suamiku yang bahagia sepenuhnya. Nikmati makanan
hangat, jalan-jalan, bercinta, dan mengulang-ulangnya lagi bagi ingatan kita
yang pendek. Apa itu pekerjaan yang berat bagimu sekarang?’”

Saya mengacungkan tangan, tapi
mentor tidak ada di depan sana. Punggung saya ditepuk dari belakang. Ia berkata
tidak perlu angkat tangan. Ia ada di belakang saya dari tadi, melihat saya
menulis. Saya tersenyum.

Begini? Tanya saya. Mentor
menjawab bahwa itu terlalu panjang sebagai paragraf, sudut pandangnya berat ke
tokoh perempuan, dan belum ada realisme-magisnya. Dan, lanjutnya, unsur
lokalitas. Kalau mau diterima, unsur lokalitas sedang penting-pentingnya buat ada
di dalam cerita pendek, tentu agar mudah dimuat, memberi pembaca wawasan daerah
lain, kalau perlu masukkan bahasa daerah yang sulit dan rumit, nanti gampang
dibuat catatan kakinya. Oke, kata saya, akan saya coba lagi dan tunggu
sebentar, jangan pergi, bagaimana kalau saya menulisnya seperti ini.

Baca Juga :  Langkah Terpenggal

”Sebelum membeli lemari besi,
sebelum membuat kamar mandi di halaman rumah, sebelum mengajukan aturan rumah
tangga sebanyak lima halaman kuarto spasi ganda, sebelum prosesi malam pertama,
mereka menikah pada Rabu yang cerah, dengan kelembapan udara tinggi, angin
bertiup dari arah selatan, tamu banyak yang datang, tetangga melingkar ramai
menonton hiburan di tepi tayup hajatan, dan di atas pasir hitam basah akibat
hujan semalam ada empat pemain kuda lumping dibiarkan tidak disembuhkan dari
kesurupan. Mereka berdiri kaku dengan mata melotot dan tangan menegang mengepal
selama tiga jam penelitian ilmiah.”

Kalau begini bagaimana? Tanya
saya. Kuda lumping? Tanya mentor. Unsur lokalitas di lingkungan sosial tempat
Dimas dan istrinya tinggal, jawab saya. O, ya, ya, realisme-magisnya? Tanya
mentor. Ada, jawab saya, akan saya letakkan di paragraf berikutnya ditulis
seperti ini.

”Sebagai dosen dan penyair, Dimas
memiliki dorongan kuat untuk meneliti manusia, bahkan di saat harusnya ia duduk
manis wangi dan wajahnya penuh bedak, menerima jabat tangan di pelaminan. Empat
kuda lumping yang sudah kesurupan dengan iringan gamelan dan taburan bunga
mawar gaib ia ambil alih. Ia meminta iringan musik gamelan dihentikan. Orang-orang
merasa itu tidak wajar, tapi karena yang punya hajat yang membayar, mau
bagaimana lagi. Ia lalu terbukti secara sah dan meyakinkan di muka umum telah
melakukan percobaan yang belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Ia pertama-tama mengganti iringan
musik gamelan dengan rekaman musik rock. Hasilnya, empat pemain kesurupan itu
masih menari atraktif, namun gerakannya memang lebih kacau dan agak
serampangan; mengibas-ngibaskan kepala sehingga mahkota kesatria berkuda di
kepala mereka jatuh ke tanah pasir basah. Barangkali musik ini belum akrab di
dunia gaib. Kedua, ia menggantinya dengan slow-rock, dan mereka nyata menari
lebih pelan memang. Saat ia menggantinya dengan musik dangdut, tariannya
berubah menjadi syahdu dan didominasi goyang pinggul, langkah-langkah kecil,
dan jari-jemari mekar kuncup-mekar kuncup nikmat sekali. Keajaiban terjadi saat
musik yang dimainkan, dari rekaman disalurkan ke pengeras suara, berganti
dengan musik jazz, rebana, reggae, dan instrumental piano Chopin.”

Seperti ini? Tanya saya. Boleh,
kata mentor, bagaimana itu pola tarian mereka akhirnya? Nanti akan saya
jelaskan di bagian paragraf akhir, kata saya, karena itu paragraf yang penting
juga. Saya selesaikan dulu bagian awalnya. Oke, kata mentor penulisan kreatif,
saya tunggu. (*)

Xi’an, 11 Desember 2020

(EKO TRIONO. Lahir di Cilacap,
1989. Menulis kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016)
dan Republik Rakyat Lucu (2018) serta novel Para Penjahat dan Kesunyiannya
Masing-Masing (2018). Kini bermukim di Xi’an, Tiongkok)

Terpopuler

Artikel Terbaru