27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Langkah Terpenggal

TERLIHAT Winai, pejabat setengah umur itu, tertegun di sisi
Thongsuk. Sesekali menenggak anggur merah. Mengisap rokok. Ia tak lagi peduli
pandangan orang, kenapa berada di sebuah bar kawasan Khao San Road. Malam
merasuk ke pusat ingar bingar turis-turis bule penuh degup dada yang
menggugupkan. Tapi sungguh, daya tarik Thongsuk tak bisa dihindarinya. Ia tak
bisa membebaskan diri dari pesona gadis belia yang sesekali liar dan sesekali
sentimental.

Giliran Thongsuk menyanyi ke
panggung, pengunjung bar bertepuk tangan. Thongsuk menyanyi dengan kegairahan
yang lekat, yang menggelisahkan jiwa lelaki, dan turis-turis merasa gemas
padanya. Hanya Winai yang tenang. Ia tak mau menampakkan kegairahan jiwanya di
hadapan banyak orang. Barulah saat gadis itu bergelayut di lengannya dalam
keletihan yang merajuk tengah malam, Winai merengkuhnya dengan lengan yang
kukuh. Ingin memberi kehangatan. Ingin memberi perlindungan.

”Aku tak percaya akan bisa terus
melindungimu macam ini,” kata Winai dalam suara yang tetap tenang.

”Mengapa begitu?” tukas Thongsuk,
mengibaskan rambut setengkuk. Punggungnya terbuka. Lengan singsat. Rok ketat.

Thongsuk menampakkan kegairahan
gadis belia. Di mata Winai, gadis itu serupa benar dengan air sungai
pegunungan, gemericik deras, bening, dan mengundang orang mencebur ke dalamnya.

”Suatu ketika, barangkali aku
akan mati tertembak,” kata Winai dengan suara tenang. ”Aku dibayangi pembunuh
bertopeng, yang suatu saat akan menembak keningku.”

Thongsuk menatapi bias kilatan
cahaya bar di puncak hidung dan lekuk bibir lelaki setengah baya itu. Ia
menggeleng. Ingin menepis bayangan menyeramkan yang menggoda kekasih gelapnya
itu. Ia tak ingin berangan-angan tentang kematian. Apalagi kematian Winai,
lelaki setengah baya yang selalu menenteramkan hatinya.

*

Tengah malam lewat, angin
beraroma embun, saat Thongsuk turun dari mobil mewah Winai. Melangkah memasuki
gang di kawasan Distrik Phra Nakhon. Memasuki rumah kecil dan kembali bersua
dengan nenek, ibu, dan adik perempuannya. Biasanya Winai hanya mau mengantar
sampai mulut gang.

Saat Winai mengantarkan gadis itu
kembali ke rumahnya, menemukan empat orang perempuan, tanpa lelaki, hatinya
tergetar.

”Besok aku akan berdoa di Kuil
Wat Pho,” ujar Thongsuk, sesampai di rumah, dan Winai menolak untuk memasuki
pintu ruang tamu. Bergegas lelaki setengah baya itu mohon diri. Ia menghindar
untuk bersua dengan nenek, ibu, dan adik perempuan gadis belia itu. Tak ingin
dicecar dengan berbagai pertanyaan.

Dan memang keesokan harinya
Thongsuk bersimpuh di ruang doa Kuil Wat Pho, dalam sunyi yang berpusar dalam
raga, sunyi yang merapuhkan tubuhnya. Dia tak memedulikan turis yang
lalu-lalang memandangi wajah patung keemasan Buddha menjelang wafat. Wajah yang
memancarkan kedamaian. Bukan wajah yang mengerang.

Bila Winai tak menjemput Thongsuk
menjelang sore, barangkali gadis belia itu masih bersimpuh, suntuk larut dalam
doa. Baru setelah Winai mengajaknya pulang, gadis belia itu bangkit. Wajahnya
sebening mawar kuning rekah pagi hari.

Baca Juga :  Periodisasi Jabatan dan Ki Ageng Suryomentaram

”Barangkali aku akan menjalani
hidup sebagai biksu,” kata Winai. ”Meninggalkan kehidupan duniawi dan mencari
kedamaian.”

Tersenyum, Thongsuk membayangkan
Winai, lelaki setengah baya itu, menggunakan jiwon yang melilit tubuh dengan
kepala gundul berkilat-kilat. Tentu ia takkan lagi dapat memanjakan diri dalam
dada bidang lelaki setengah baya itu.

*

Lepas tengah malam, Winai masih
menunggui Thongsuk menghibur penonton di bar. Di meja tersisa separo botol
anggur merah, beberapa batang rokok, asbak yang penuh puntung –sebuah pertanda
waktu dibiarkan berlalu untuk menunggu. Tapi, lelaki setengah baya itu tak
merasa bosan, duduk menanti Thongsuk selesai menyanyi. Beberapa lagu di
antaranya berkali-kali didengarnya, makin merasuk ke dalam jiwanya.

Anggur merah tinggal seteguk
dalam gelas Winai. Musik sudah berhenti. Thongsuk tak lagi menyanyi. Ia
mengisap rokok, enggan beranjak pulang. Memesan lagi sebotong anggur merah.
Meminumnya, rakus, seperti memendam rasa haus setelah pertunjukan memukau.
Winai memandangi garis punggung yang terbuka dan pinggul Thongsuk yang padat.

”Besok malam akan kuberikan kunci
rumah baru untukmu,” kata Winai. ”Ini kado ulang tahun untukmu. Berapa umurmu?
Sembilan belas?”

Sepasang mata Thongsuk bercahaya,
sekejap, dan dalam keadaan yang sangat cepat kembali sendu.

”Kalau kau tak menikahiku, kelak
dari rahimku lahir anak-anak yang tak pernah tahu siapa ayahnya.”

”Jangan cemas. Aku akan menjalani
hidup sebagai biksu,” balas Winai. ”Aku tak akan lagi bersamamu.”

”Akan segampang itu kau
meninggalkanku?”

”Tak ada yang bisa
menghalangiku.”

”Tanpa kau, bar ini akan sangat
sunyi.”

Dalam remang ruang bar yang mulai
ditinggalkan pengunjung, seseorang bertopeng mengarahkan pistolnya ke belakang
kepala Winai. Pada saat ledakan peluru berdesing, Thongsuk menjatuhkan
kepalanya ke lengan Winai. Posisi kepala Winai bergeser. Lesat peluru
menghancurkan botol anggur yang baru dipesan Thongsuk. Anggur muncrat ke segala
arah. Winai dan Thongsuk terperanjat. Gadis itu panik, memekik nyaring, memeluk
lelaki setengah baya di sisinya. Wajahnya disurukkan ke dada. Napasnya
tersengal-sengal. Winai kelihatan tenang. Mengusap-usap punggung Thongsuk yang
terbuka, tepat pada tato kupu-kupu, menenteramkan perasaan gadis belia itu.

Setelah itu sangat sunyi. Orang
tak menangkap sosok bayangan pembunuh bertopeng yang telah menembakkan
pistolnya dari ambang pintu bar. Ia serupa siluman yang gampang sekali
menghilang, serupa bayangan yang gampang lenyap.

*

Senja gerimis setelah bumi
dipanggang panas matahari tanpa angin, di rumahnya keriangan Thongsuk memancar
dari wajahnya sepanjang hari.

Dengan naik tuktuk, Thongsuk
mencapai bar tempatnya bekerja. Masih sunyi. Siapa pun yang datang di bar itu
tak penting bagi Thongsuk. Yang ditunggunya cuma kedatangan Winai. Lelaki
setengah baya itu akan hadir dengan sebuah kunci rumah baru di tengah kota.
Meski bukan di daerah pusat perbelanjaan atau dekat istana berkilau disepuh
emas, cukup baginya bila tinggal di rumah yang tidak lagi kumuh, mudah mencapai
Kuil Wat Pho dan mencapai kawasan Khao San Road. Tapi, tiba giliran gadis belia
itu menyanyi, Winai belum lagi muncul. Harapannya belum surut. Barangkali
lelaki setengah baya itu akan muncul nanti, menjelang tengah malam. Ia berharap
terjadi sebuah kejutan yang membuatnya meledakkan kebahagiaan: lelaki setengah
baya itu menyerahkan kunci rumah baru.

Baca Juga :  Misteri Pulpen di Kusen Jendela

*

Dengan lift, Winai turun dari
ruang kerja, mengantongi kunci rumah baru yang akan diberikan pada Thongsuk.
Bersiul-siul ia, membayangkan bakal bersua gadis belia dengan pakaian backless
merah menyala dan punggung terbuka. Gadis itu pasti bahagia. Tertawa-tawa
jenaka. Juga akan dilihatnya nenek, ibu, adik perempuannya yang tertawa
menempati rumah baru. Selama ini setiap mengantar Thongsuk pulang, Winai merasakan
betapa dingin wajah mereka. Betapa mereka selalu menatapinya dengan curiga.
Lelaki setengah baya itu ingin mengakhiri pandangan tiga perempuan yang menikam
dengan kecurigaan itu.

Saat Winai melangkah ke pelataran
kantornya dalam remang senja, terasa gerimis tipis menyusupi rambutnya. Ia
mencapai tempat parkir mobilnya. Usai membuka pintu mobil, sebuah bayangan
bertopeng berkelebat menembakkan pistol. Peluru melesat mengenai kening: antara
kedua ujung lengkung tebal alisnya. Tergeletak ia berlumur darah. Wajahnya
sedamai perangai patung keemasan Buddha di Kuil Wat Pho. Wajah yang ikhlas
menerima apa pun peristiwa dalam kehidupan.

*

Tak ada lagi tuktuk menjelang
dini hari. Mulut Thongsuk beraroma anggur. Napas beraroma rokok. Ia kehilangan
harapan untuk bersua Winai. Matanya sayu. Bukan mengantuk. Tapi, ia mengutuki
diri sendiri atas pemujaannya terhadap lelaki setengah baya itu. Ia harus
kembali, harus pulang, ke sebuah rumah di kawasan kumuh tempatnya dilahirkan
dan dibesarkan.

Dibukanya tas kecil. Masih
tersisa beberapa lembar uang bath. Cukup untuk membayar ongkos taksi. Sepanjang
jalan itu ia tak berkata apa pun dengan sopir. Turun di mulut gang. Melangkah
pelan-pelan ke rumah. Membuka pintu. Rumah yang dulu juga, yang sudah sangat
dikenalnya. Bukan sebuah rumah baru di pusat kota. Ditengoknya nenek dan ibu
tidur berimpit. Dipandanginya cukup lama. Dirapatkan kembali pintu kamar. Ia
mesti kembali ke kamarnya. Tidur berjejal dengan adik perempuannya. Saat
berbaring, ia masih berharap, besok pagi Winai meneleponnya, meminta maaf, dan
menyerahkan kunci rumah baru di pusat kota.

Lelah, Thongsuk tertidur di ujung
pagi yang pengap pada rumah yang melapuk. Ia masih lelap ketika fajar ibu
menonton televisi yang menyiarkan berita, ”Winai, tokoh di balik demonstrasi
yang menuntut reformasi konstitusi, ditembak mati pembunuh bertopeng.” (*)

Pandana Merdeka, Januari 2021

—

Catatan:

jiwon= jubah biksu

tuktuk= angkutan kota Bangkok, serupa bajaj di Jakarta

(S. PRASETYO UTOMO. Lahir di Jogjakarta,
7 Januari 1961. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016) dan
Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017))

TERLIHAT Winai, pejabat setengah umur itu, tertegun di sisi
Thongsuk. Sesekali menenggak anggur merah. Mengisap rokok. Ia tak lagi peduli
pandangan orang, kenapa berada di sebuah bar kawasan Khao San Road. Malam
merasuk ke pusat ingar bingar turis-turis bule penuh degup dada yang
menggugupkan. Tapi sungguh, daya tarik Thongsuk tak bisa dihindarinya. Ia tak
bisa membebaskan diri dari pesona gadis belia yang sesekali liar dan sesekali
sentimental.

Giliran Thongsuk menyanyi ke
panggung, pengunjung bar bertepuk tangan. Thongsuk menyanyi dengan kegairahan
yang lekat, yang menggelisahkan jiwa lelaki, dan turis-turis merasa gemas
padanya. Hanya Winai yang tenang. Ia tak mau menampakkan kegairahan jiwanya di
hadapan banyak orang. Barulah saat gadis itu bergelayut di lengannya dalam
keletihan yang merajuk tengah malam, Winai merengkuhnya dengan lengan yang
kukuh. Ingin memberi kehangatan. Ingin memberi perlindungan.

”Aku tak percaya akan bisa terus
melindungimu macam ini,” kata Winai dalam suara yang tetap tenang.

”Mengapa begitu?” tukas Thongsuk,
mengibaskan rambut setengkuk. Punggungnya terbuka. Lengan singsat. Rok ketat.

Thongsuk menampakkan kegairahan
gadis belia. Di mata Winai, gadis itu serupa benar dengan air sungai
pegunungan, gemericik deras, bening, dan mengundang orang mencebur ke dalamnya.

”Suatu ketika, barangkali aku
akan mati tertembak,” kata Winai dengan suara tenang. ”Aku dibayangi pembunuh
bertopeng, yang suatu saat akan menembak keningku.”

Thongsuk menatapi bias kilatan
cahaya bar di puncak hidung dan lekuk bibir lelaki setengah baya itu. Ia
menggeleng. Ingin menepis bayangan menyeramkan yang menggoda kekasih gelapnya
itu. Ia tak ingin berangan-angan tentang kematian. Apalagi kematian Winai,
lelaki setengah baya yang selalu menenteramkan hatinya.

*

Tengah malam lewat, angin
beraroma embun, saat Thongsuk turun dari mobil mewah Winai. Melangkah memasuki
gang di kawasan Distrik Phra Nakhon. Memasuki rumah kecil dan kembali bersua
dengan nenek, ibu, dan adik perempuannya. Biasanya Winai hanya mau mengantar
sampai mulut gang.

Saat Winai mengantarkan gadis itu
kembali ke rumahnya, menemukan empat orang perempuan, tanpa lelaki, hatinya
tergetar.

”Besok aku akan berdoa di Kuil
Wat Pho,” ujar Thongsuk, sesampai di rumah, dan Winai menolak untuk memasuki
pintu ruang tamu. Bergegas lelaki setengah baya itu mohon diri. Ia menghindar
untuk bersua dengan nenek, ibu, dan adik perempuan gadis belia itu. Tak ingin
dicecar dengan berbagai pertanyaan.

Dan memang keesokan harinya
Thongsuk bersimpuh di ruang doa Kuil Wat Pho, dalam sunyi yang berpusar dalam
raga, sunyi yang merapuhkan tubuhnya. Dia tak memedulikan turis yang
lalu-lalang memandangi wajah patung keemasan Buddha menjelang wafat. Wajah yang
memancarkan kedamaian. Bukan wajah yang mengerang.

Bila Winai tak menjemput Thongsuk
menjelang sore, barangkali gadis belia itu masih bersimpuh, suntuk larut dalam
doa. Baru setelah Winai mengajaknya pulang, gadis belia itu bangkit. Wajahnya
sebening mawar kuning rekah pagi hari.

Baca Juga :  Periodisasi Jabatan dan Ki Ageng Suryomentaram

”Barangkali aku akan menjalani
hidup sebagai biksu,” kata Winai. ”Meninggalkan kehidupan duniawi dan mencari
kedamaian.”

Tersenyum, Thongsuk membayangkan
Winai, lelaki setengah baya itu, menggunakan jiwon yang melilit tubuh dengan
kepala gundul berkilat-kilat. Tentu ia takkan lagi dapat memanjakan diri dalam
dada bidang lelaki setengah baya itu.

*

Lepas tengah malam, Winai masih
menunggui Thongsuk menghibur penonton di bar. Di meja tersisa separo botol
anggur merah, beberapa batang rokok, asbak yang penuh puntung –sebuah pertanda
waktu dibiarkan berlalu untuk menunggu. Tapi, lelaki setengah baya itu tak
merasa bosan, duduk menanti Thongsuk selesai menyanyi. Beberapa lagu di
antaranya berkali-kali didengarnya, makin merasuk ke dalam jiwanya.

Anggur merah tinggal seteguk
dalam gelas Winai. Musik sudah berhenti. Thongsuk tak lagi menyanyi. Ia
mengisap rokok, enggan beranjak pulang. Memesan lagi sebotong anggur merah.
Meminumnya, rakus, seperti memendam rasa haus setelah pertunjukan memukau.
Winai memandangi garis punggung yang terbuka dan pinggul Thongsuk yang padat.

”Besok malam akan kuberikan kunci
rumah baru untukmu,” kata Winai. ”Ini kado ulang tahun untukmu. Berapa umurmu?
Sembilan belas?”

Sepasang mata Thongsuk bercahaya,
sekejap, dan dalam keadaan yang sangat cepat kembali sendu.

”Kalau kau tak menikahiku, kelak
dari rahimku lahir anak-anak yang tak pernah tahu siapa ayahnya.”

”Jangan cemas. Aku akan menjalani
hidup sebagai biksu,” balas Winai. ”Aku tak akan lagi bersamamu.”

”Akan segampang itu kau
meninggalkanku?”

”Tak ada yang bisa
menghalangiku.”

”Tanpa kau, bar ini akan sangat
sunyi.”

Dalam remang ruang bar yang mulai
ditinggalkan pengunjung, seseorang bertopeng mengarahkan pistolnya ke belakang
kepala Winai. Pada saat ledakan peluru berdesing, Thongsuk menjatuhkan
kepalanya ke lengan Winai. Posisi kepala Winai bergeser. Lesat peluru
menghancurkan botol anggur yang baru dipesan Thongsuk. Anggur muncrat ke segala
arah. Winai dan Thongsuk terperanjat. Gadis itu panik, memekik nyaring, memeluk
lelaki setengah baya di sisinya. Wajahnya disurukkan ke dada. Napasnya
tersengal-sengal. Winai kelihatan tenang. Mengusap-usap punggung Thongsuk yang
terbuka, tepat pada tato kupu-kupu, menenteramkan perasaan gadis belia itu.

Setelah itu sangat sunyi. Orang
tak menangkap sosok bayangan pembunuh bertopeng yang telah menembakkan
pistolnya dari ambang pintu bar. Ia serupa siluman yang gampang sekali
menghilang, serupa bayangan yang gampang lenyap.

*

Senja gerimis setelah bumi
dipanggang panas matahari tanpa angin, di rumahnya keriangan Thongsuk memancar
dari wajahnya sepanjang hari.

Dengan naik tuktuk, Thongsuk
mencapai bar tempatnya bekerja. Masih sunyi. Siapa pun yang datang di bar itu
tak penting bagi Thongsuk. Yang ditunggunya cuma kedatangan Winai. Lelaki
setengah baya itu akan hadir dengan sebuah kunci rumah baru di tengah kota.
Meski bukan di daerah pusat perbelanjaan atau dekat istana berkilau disepuh
emas, cukup baginya bila tinggal di rumah yang tidak lagi kumuh, mudah mencapai
Kuil Wat Pho dan mencapai kawasan Khao San Road. Tapi, tiba giliran gadis belia
itu menyanyi, Winai belum lagi muncul. Harapannya belum surut. Barangkali
lelaki setengah baya itu akan muncul nanti, menjelang tengah malam. Ia berharap
terjadi sebuah kejutan yang membuatnya meledakkan kebahagiaan: lelaki setengah
baya itu menyerahkan kunci rumah baru.

Baca Juga :  Misteri Pulpen di Kusen Jendela

*

Dengan lift, Winai turun dari
ruang kerja, mengantongi kunci rumah baru yang akan diberikan pada Thongsuk.
Bersiul-siul ia, membayangkan bakal bersua gadis belia dengan pakaian backless
merah menyala dan punggung terbuka. Gadis itu pasti bahagia. Tertawa-tawa
jenaka. Juga akan dilihatnya nenek, ibu, adik perempuannya yang tertawa
menempati rumah baru. Selama ini setiap mengantar Thongsuk pulang, Winai merasakan
betapa dingin wajah mereka. Betapa mereka selalu menatapinya dengan curiga.
Lelaki setengah baya itu ingin mengakhiri pandangan tiga perempuan yang menikam
dengan kecurigaan itu.

Saat Winai melangkah ke pelataran
kantornya dalam remang senja, terasa gerimis tipis menyusupi rambutnya. Ia
mencapai tempat parkir mobilnya. Usai membuka pintu mobil, sebuah bayangan
bertopeng berkelebat menembakkan pistol. Peluru melesat mengenai kening: antara
kedua ujung lengkung tebal alisnya. Tergeletak ia berlumur darah. Wajahnya
sedamai perangai patung keemasan Buddha di Kuil Wat Pho. Wajah yang ikhlas
menerima apa pun peristiwa dalam kehidupan.

*

Tak ada lagi tuktuk menjelang
dini hari. Mulut Thongsuk beraroma anggur. Napas beraroma rokok. Ia kehilangan
harapan untuk bersua Winai. Matanya sayu. Bukan mengantuk. Tapi, ia mengutuki
diri sendiri atas pemujaannya terhadap lelaki setengah baya itu. Ia harus
kembali, harus pulang, ke sebuah rumah di kawasan kumuh tempatnya dilahirkan
dan dibesarkan.

Dibukanya tas kecil. Masih
tersisa beberapa lembar uang bath. Cukup untuk membayar ongkos taksi. Sepanjang
jalan itu ia tak berkata apa pun dengan sopir. Turun di mulut gang. Melangkah
pelan-pelan ke rumah. Membuka pintu. Rumah yang dulu juga, yang sudah sangat
dikenalnya. Bukan sebuah rumah baru di pusat kota. Ditengoknya nenek dan ibu
tidur berimpit. Dipandanginya cukup lama. Dirapatkan kembali pintu kamar. Ia
mesti kembali ke kamarnya. Tidur berjejal dengan adik perempuannya. Saat
berbaring, ia masih berharap, besok pagi Winai meneleponnya, meminta maaf, dan
menyerahkan kunci rumah baru di pusat kota.

Lelah, Thongsuk tertidur di ujung
pagi yang pengap pada rumah yang melapuk. Ia masih lelap ketika fajar ibu
menonton televisi yang menyiarkan berita, ”Winai, tokoh di balik demonstrasi
yang menuntut reformasi konstitusi, ditembak mati pembunuh bertopeng.” (*)

Pandana Merdeka, Januari 2021

—

Catatan:

jiwon= jubah biksu

tuktuk= angkutan kota Bangkok, serupa bajaj di Jakarta

(S. PRASETYO UTOMO. Lahir di Jogjakarta,
7 Januari 1961. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016) dan
Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017))

Terpopuler

Artikel Terbaru