27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Periodisasi Jabatan dan Ki Ageng Suryomentaram

KONSTITUSI sedang dipersekusi. Setiap tindakan maupun gagasan mengakali norma tertinggi negara adalah perbuatan ”memalak kaidah hukum dasar”. Ramainya cuatan mengusung tambahan periodisasi jabatan yang tidak sesuai konstitusi merupakan ”sensasi” yang layak dipersangkakan membonceng agenda amandemen V UUD 1945.

Keriuhan menuju 2024 yang diwarnai kosakata pilpras-pilpres menjadi kesaksian ada yang tidak sensitif atas situasi pagebluk Covid-19. Ada petualang yang berancang-ancang mengajak melanggengkan kekuasaan. Demokrasi seolah dijunjung tinggi, padahal ditikam dalam-dalam yang menghasilkan rasa perih.

Tahun 2024 terus dikilik. Untuk apa kalau bukan bermaksud memupuk pundi-pundi kuasa. Sebuah hasrat yang amat kentara dalam langgam pantun berikut ini.

Gendang gendut tali kecapi

Kenyanglah perut senanglah hati

Pinggang tak retak nasi tak dingin

Tuan tak hendak kami tak ingin

 

Masalahnya adalah ada ”budak para tuan” yang berkehendak. Rakyat dibuat bingung serta digiring untuk mendapatkan ”aset demokrasi” di kala pandemi meninggi. Saya pada mulanya selalu berupaya tidak nimbrung dalam konstelasi ini. Namun, untuk menjawab pertanyaan dari banyak kolega mengenai agenda menambah periodisasi jabatan, tulisan ini dipersembahkan.

Renungkanlah bahwa wahana jabatan bukanlah tema monolitik, tetapi sangat menelisik banyak sisi dengan keragaman dimensinya. Di sana ada serumpun aktor pengendali demokrasi. Juga terhelat aspek hukum, keadilan, kemanusiaan, sosial budaya, ideologi, ekonomi, serta ”angan-angan sehimpunan wakil yang tidak searah aspirasi rakyat” maupun sisi historisnya.

 

Periodisasi berkuasa dalam rentang waktu haruslah dibaca dalam bingkai ”tapal batas demokrasi”. Jabatan adalah infrastruktur yang disediakan agar rakyat ada yang mengurus melalui ekosistem kepemimpinan. Pejabat tidaklah elok membuat ”tarian hukum” tanpa gendang konstitusi. Politisi diniscayakan memahami agar menghadirkan wacana yang memanggul etape kekuasaan.

Saatnya hukum sebagai a set of rule or norm dieja dengan mengelaborasinya ke ranah ”social order” bermuatan kepatutan. Para cendekia harus diajak mendialogkan jabatan publik dalam konteks kesewajaran. Para pelaku kekuasaan selayaknya memiliki ”ruang hati” dalam standar good governance. Pada konten inilah jabatan diemban dengan prinsip taat konstitusi. Jadikanlah kewenangan sebagai esensi yang mengikuti formasi berkonstitusi sehingga tidak menggelombangkan kegaduhan.

Baca Juga :  Jenderal Buta Hurup

Kekuasaan diperuntukkan secara fungsional bagi mereka yang bertanggung jawab menjaga ”regenerasi jabatan” secara patut. Jabatan yang berbatas sebagai spirit reformasi yang sedang ”dilego” untuk ”dibungkus” di masa pandemi harus disadari. Koordinat kenegaraan memotret penghormatan perilaku pejabat sedang diuji oleh rasa setianya kepada konstitusi. Bukan mengonstruksi amandemen untuk menambah periodisasi yang menurut bahasa iklan ”sesuai selera sang pemberani”.

Saya sendiri tentu berkomitmen untuk menyuarakan pilihan apa yang sebaiknya dilakukan: tiada lain berdemokrasi yang konstitusional. Negara ini adalah taman sari penyemaian ”pemilik masa depan” yang diajari arti penting periodisasi jabatan. Jangan ada pesimisme bahwa bangsa ini tidak punya banyak calon pemimpin. Inilah saat fenomenal bagi perwujudan peradaban demokrasi yang dibangun dengan norma ”tahu diri” daripada mengutak-atik periodisasi.

Tata hukum sering menjadi panggung bagaimana hukum dipentaskan. Publik dapat menyimak jalannya penggawa negara melalui beragam media sosial dan mempunyai kesan yang persepsionis tentang apa yang sedang dipentaskan. Jabatan secara terminologis sejatinya bukan forum ”pembenaran legitimasi legal” semata, melainkan peneguhan format kepantasan.

Lembaga negara dinisbahkan mengusung integritas yuridis yang diunggah melalui tahapan yang prosedural. Jangan sampai soal periodisasi jabatan di hari-hari mendatang akan terasa amat dramatis dan menjadi literasi yang bernuansa telenovelis untuk diikuti. Sebuah episode yang menyedot perhatian khalayak. Nyamankah mereka menyaksikan rakyat yang pontang-panting dalam kesehariannya? Sementara ada ”tim riset” yang justru sibuk berdiskusi soal periodisasi.

 

Terhadap hal ini saya teringat ungkapan Ki Ageng Suryomentaram yang dituliskan Goenawan Mohamad: ”Yang menangis adalah yang berpunya; yang berpunya adalah yang kehilangan; yang kehilangan adalah mereka yang ingin.”

Baca Juga :  Kota Rantau

Ki Ageng Suryomentaram lahir 20 Mei 1892, anak ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII, dan mendapat gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram di usia 18 tahun. Diceritakan oleh Goenawan dengan merujuk tulisan Marcel Bonneff: pada suatu hari, dalam perjalanan ke sebuah pesta perkawinan ke Keraton Surakarta, dari jendela kereta api sang pangeran melihat ke luar. Di bentangan sawah, sejumlah manusia berkeringat, bersusah payah mencari sesuap nasi. Sementara itu, di gerbong tersebut ia duduk dengan megah dan nyaman: kenikmatan yang diperolehnya semata-mata karena ia dilahirkan di suatu tempat yang tak harus diraih. Bisakah ia berbahagia?

Sejak saat itulah Suryomentaram mempertanyakan hal yang oleh orang lain didiamkan: arti benda bagi hidup, arti punya bagi manusia. Alkisah, akhirnya ia meninggalkan keraton. Sebelum umurnya 30 tahun, salah satu bangsawan terkaya di Yogyakarta itu memberikan harta bendanya kepada sopir atau pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah Banyumas. Ia memakai nama ”Notodongso” dan praktis menghilang.

Ketika raja menyuruh orang mencari putranya yang ganjil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang menggali sumur. Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bringin. Apa yang dicarinya? Suprana-suprene, aku kok durung tau kepethuk wong –selama ini aku belum pernah berjumpa manusia. Mungkin ia tahu manusia sekarang lebur di antara milik (harta) dan melik (keinginan untuk mendapatkan sesuatu). Adakah kita sedang hidup dalam atmosfer kepe-milik-an atau kepe-melik-an? Siapa yang mau menjadi Ki Ageng Suryomentaram dalam hasrat mengarak jabatan yang berjeda? (*)

 

Suparto Wijoyo, Wakil Direktur Bidang Riset, Pengabdian, Digitalisasi, dan Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

KONSTITUSI sedang dipersekusi. Setiap tindakan maupun gagasan mengakali norma tertinggi negara adalah perbuatan ”memalak kaidah hukum dasar”. Ramainya cuatan mengusung tambahan periodisasi jabatan yang tidak sesuai konstitusi merupakan ”sensasi” yang layak dipersangkakan membonceng agenda amandemen V UUD 1945.

Keriuhan menuju 2024 yang diwarnai kosakata pilpras-pilpres menjadi kesaksian ada yang tidak sensitif atas situasi pagebluk Covid-19. Ada petualang yang berancang-ancang mengajak melanggengkan kekuasaan. Demokrasi seolah dijunjung tinggi, padahal ditikam dalam-dalam yang menghasilkan rasa perih.

Tahun 2024 terus dikilik. Untuk apa kalau bukan bermaksud memupuk pundi-pundi kuasa. Sebuah hasrat yang amat kentara dalam langgam pantun berikut ini.

Gendang gendut tali kecapi

Kenyanglah perut senanglah hati

Pinggang tak retak nasi tak dingin

Tuan tak hendak kami tak ingin

 

Masalahnya adalah ada ”budak para tuan” yang berkehendak. Rakyat dibuat bingung serta digiring untuk mendapatkan ”aset demokrasi” di kala pandemi meninggi. Saya pada mulanya selalu berupaya tidak nimbrung dalam konstelasi ini. Namun, untuk menjawab pertanyaan dari banyak kolega mengenai agenda menambah periodisasi jabatan, tulisan ini dipersembahkan.

Renungkanlah bahwa wahana jabatan bukanlah tema monolitik, tetapi sangat menelisik banyak sisi dengan keragaman dimensinya. Di sana ada serumpun aktor pengendali demokrasi. Juga terhelat aspek hukum, keadilan, kemanusiaan, sosial budaya, ideologi, ekonomi, serta ”angan-angan sehimpunan wakil yang tidak searah aspirasi rakyat” maupun sisi historisnya.

 

Periodisasi berkuasa dalam rentang waktu haruslah dibaca dalam bingkai ”tapal batas demokrasi”. Jabatan adalah infrastruktur yang disediakan agar rakyat ada yang mengurus melalui ekosistem kepemimpinan. Pejabat tidaklah elok membuat ”tarian hukum” tanpa gendang konstitusi. Politisi diniscayakan memahami agar menghadirkan wacana yang memanggul etape kekuasaan.

Saatnya hukum sebagai a set of rule or norm dieja dengan mengelaborasinya ke ranah ”social order” bermuatan kepatutan. Para cendekia harus diajak mendialogkan jabatan publik dalam konteks kesewajaran. Para pelaku kekuasaan selayaknya memiliki ”ruang hati” dalam standar good governance. Pada konten inilah jabatan diemban dengan prinsip taat konstitusi. Jadikanlah kewenangan sebagai esensi yang mengikuti formasi berkonstitusi sehingga tidak menggelombangkan kegaduhan.

Baca Juga :  Jenderal Buta Hurup

Kekuasaan diperuntukkan secara fungsional bagi mereka yang bertanggung jawab menjaga ”regenerasi jabatan” secara patut. Jabatan yang berbatas sebagai spirit reformasi yang sedang ”dilego” untuk ”dibungkus” di masa pandemi harus disadari. Koordinat kenegaraan memotret penghormatan perilaku pejabat sedang diuji oleh rasa setianya kepada konstitusi. Bukan mengonstruksi amandemen untuk menambah periodisasi yang menurut bahasa iklan ”sesuai selera sang pemberani”.

Saya sendiri tentu berkomitmen untuk menyuarakan pilihan apa yang sebaiknya dilakukan: tiada lain berdemokrasi yang konstitusional. Negara ini adalah taman sari penyemaian ”pemilik masa depan” yang diajari arti penting periodisasi jabatan. Jangan ada pesimisme bahwa bangsa ini tidak punya banyak calon pemimpin. Inilah saat fenomenal bagi perwujudan peradaban demokrasi yang dibangun dengan norma ”tahu diri” daripada mengutak-atik periodisasi.

Tata hukum sering menjadi panggung bagaimana hukum dipentaskan. Publik dapat menyimak jalannya penggawa negara melalui beragam media sosial dan mempunyai kesan yang persepsionis tentang apa yang sedang dipentaskan. Jabatan secara terminologis sejatinya bukan forum ”pembenaran legitimasi legal” semata, melainkan peneguhan format kepantasan.

Lembaga negara dinisbahkan mengusung integritas yuridis yang diunggah melalui tahapan yang prosedural. Jangan sampai soal periodisasi jabatan di hari-hari mendatang akan terasa amat dramatis dan menjadi literasi yang bernuansa telenovelis untuk diikuti. Sebuah episode yang menyedot perhatian khalayak. Nyamankah mereka menyaksikan rakyat yang pontang-panting dalam kesehariannya? Sementara ada ”tim riset” yang justru sibuk berdiskusi soal periodisasi.

 

Terhadap hal ini saya teringat ungkapan Ki Ageng Suryomentaram yang dituliskan Goenawan Mohamad: ”Yang menangis adalah yang berpunya; yang berpunya adalah yang kehilangan; yang kehilangan adalah mereka yang ingin.”

Baca Juga :  Kota Rantau

Ki Ageng Suryomentaram lahir 20 Mei 1892, anak ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII, dan mendapat gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram di usia 18 tahun. Diceritakan oleh Goenawan dengan merujuk tulisan Marcel Bonneff: pada suatu hari, dalam perjalanan ke sebuah pesta perkawinan ke Keraton Surakarta, dari jendela kereta api sang pangeran melihat ke luar. Di bentangan sawah, sejumlah manusia berkeringat, bersusah payah mencari sesuap nasi. Sementara itu, di gerbong tersebut ia duduk dengan megah dan nyaman: kenikmatan yang diperolehnya semata-mata karena ia dilahirkan di suatu tempat yang tak harus diraih. Bisakah ia berbahagia?

Sejak saat itulah Suryomentaram mempertanyakan hal yang oleh orang lain didiamkan: arti benda bagi hidup, arti punya bagi manusia. Alkisah, akhirnya ia meninggalkan keraton. Sebelum umurnya 30 tahun, salah satu bangsawan terkaya di Yogyakarta itu memberikan harta bendanya kepada sopir atau pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah Banyumas. Ia memakai nama ”Notodongso” dan praktis menghilang.

Ketika raja menyuruh orang mencari putranya yang ganjil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang menggali sumur. Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bringin. Apa yang dicarinya? Suprana-suprene, aku kok durung tau kepethuk wong –selama ini aku belum pernah berjumpa manusia. Mungkin ia tahu manusia sekarang lebur di antara milik (harta) dan melik (keinginan untuk mendapatkan sesuatu). Adakah kita sedang hidup dalam atmosfer kepe-milik-an atau kepe-melik-an? Siapa yang mau menjadi Ki Ageng Suryomentaram dalam hasrat mengarak jabatan yang berjeda? (*)

 

Suparto Wijoyo, Wakil Direktur Bidang Riset, Pengabdian, Digitalisasi, dan Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru