33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Jenderal Buta Hurup

PROKALTENG.CO – Seperti botek aku menyelinap masuk ke dalam rongga
sebatang pohon saat terdengar tembakan, disusul teriakan dan jerit-tangis
perempuan dan anak-anak. Bunyi tembakan itu terdengar tak putus-putus, mirip
letupan biji jagung yang digoreng di tungku tanah. Karena takut, aku memejamkan
mata. Tapi, suara-suara itu terus terdengar, membuatku cemas. Pikiranku tertuju
kepada orang tua dan saudara-saudaraku di rumah.

Dengan terpaksa aku melongok ke
luar, memandang ke lembah melalui celah batang pohon: Astagaaa…! Di antara
garis-garis pematang sawah yang dihiasi sisa jerami, orang-orang berlari
lintang pukang mencari tempat berlindung di bawah pematang, di balik rumpun
pisang, atau di bekas kubangan kerbau. Beberapa orang terlihat
berguling-guling, menggerakkan tangan dan kaki seperti katak, lalu diam membeku
seperti onggokan bebatuan di sekitarnya.

Di antara mereka tampak si
buntung, Kimin, menyeret-nyeret pahanya di atas bongkahan tanah tegalan, tempat
ia mencari iwong ubi, sisa panen. (Sewaktu aku naik ke bukit tadi, aku memang
melihat Kimin sedang menggali sisa ubi di ladang).

Saat angin berembus menggerakkan
sulur-sulur pepohonan, dari celahnya terlihat sederet orang berseragam loreng
di lereng bukit, menembakkan senjata ke orang-orang di lembah, disusul kepulan
asap tipis di udara.

Sesungguhnya aku tak paham apa
yang terjadi pagi itu. Usiaku masih terlalu muda untuk memahami persoalan dunia
seperti perang, politik, terorisme, dan lain-lain. Setahuku, perang hanya ada
di televisi dan potongan surat kabar yang sesekali nyasar ke kampungku sebagai
bungkus terasi atau garam yang dibawa ibu dari pasar. Tidak pernah terlintas di
benakku bahwa kebiadaban semacam itu akan memorak-porandakan kampung kami,
apalagi sampai berwindu-windu.

Pagi itu, seperti biasa, kalau
aku bolos sekolah –karena takut pada pelajaran membaca–, ibu akan menyuruhku
mencari buah labu liar di lereng bukit. ”Daripada kamu sibuk main layangan,
lebih baik pergi cari bahan sayuran di bukit.” katanya. Karena saban aku turun
dari bukit, ibu akan tersenyum semringah melihat isi keranjang di punggungku.
Tak hanya labu liar dan pepaya muda, tapi juga seikat kuling. Pernah juga aku
kembali dari bukit sambil menggendong anak babi yang masih merah, hingga aku
dihujani pujian oleh orang sekampung.

Kendati di sekolah aku sering
tidak naik kelas, di mata orang sekampung aku adalah anak yang hebat karena
sejak kecil sudah bisa membantu orang tua. Mengenai kelebihanku, Pu Ranggot,
dukun beranak yang membantu persalinanku, meramalkan bahwa kelak aku akan
menjadi orang besar (meskipun sampai sekarang aku belum paham maksud
ramalannya, yang menurutku terlalu mengada-ada).

Suara tembakan terus terdengar
siang-malam. Rasa takut meremas batang zakarku hingga aku tak berani keluar
dari rongga batang kenari. Lapar berbaur ngantuk membuatku tertidur sambil
berjongkok di atas serpihan kayu lapuk. Tetapi, setiap hendak memejamkan mata,
aku akan selalu dikagetkan oleh suara tembakan di lembah. Akibatnya, sepanjang
malam aku hanya duduk berjongkok di dalam batang pohon sambil mendengarkan
suara-suara malam yang ditingkahi ratapan burung kuokuo di dahan kenari. Dalam
keadaan ngantuk, semua itu seolah terjadi di alam mimpi.

Saat terjaga di pagi hari, aku
nekat keluar dari lubang pohon, lalu memanjat pohon pepaya dan memetik buahnya
yang geroak dimakan codot. Sambil mengupas pepaya dengan golok yang selalu
menemani setiap ke bukit (kelak dengan golok itu aku menikam beberapa tentara
musuh), aku berharap ada orang kampung yang naik ke bukit. Tapi, hingga
menjelang petang berikutnya, tak seorang pun yang datang. Sementara suara tembakan
terus terdengar susul-menyusul dalam tempo hitungan menit. Aku juga melihat
kobaran api dari bangunan-bangunan yang terbakar, termasuk rumahku, yang di
pagi hari tinggal tumpukan abu. Keadaan di bawah itu membuatku memutuskan untuk
tidak kembali lagi ke kampung. Terlalu berisiko. Lagi pula, hendak pulang ke
mana, rumah sudah jadi abu. Keberadaan keluarga juga tidak jelas, masih hidup
atau mati. Di mana mereka sekarang?

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Sejak itulah aku memutuskan untuk
tinggal di hutan dan mulai menjadi ”siluman” yang hanya keluar di malam hari.

Lambat laun aku telah tumbuh jadi
orang liar, hidup dengan buah-buahan liar dan binatang liar seperti kadal,
tokek, codot, biawak, ular, dan lain-lain. Atau mencuri makanan ke kampung yang
kini dikuasai tentara penjajah. Dari seorang bocah liar, secara cepat aku
berubah menjadi seorang pemberontak. Membunuh demi serantang nasi atau
sebongkah roti untuk menyambung hidup di dalam hutan yang tak layak dihuni
manusia.

Mula-mula aku membunuh tentara
yang memergokiku saat mencuri nasi di dapur. Kemudian seorang sersan yang
sedang piket serta beberapa tentara lainnya di tempat dan waktu yang berbeda.
Karena aku masih kecil, bocah 12 tahun, mereka tak menaruh kecurigaan. Oleh
karenanya, ketika mereka lengah, aku langsung mengambil kesempatan, menikam
perut atau leher mereka dari belakang dengan golok yang telah kuasah di
permukaan batu. Setelah mereka tergeletak tidak berdaya dalam keadaan bersimbah
darah, aku pun merampas senjata dan barang-barang yang melekat di tubuh mereka,
termasuk tanda pangkat di pundak. Hingga di dalam lubang pohon yang kini mirip
”gudang senjata” itu terdapat puluhan senjata berbagai jenis, juga benda-benda
lain seperti arloji, cincin, kacamata, korek gas, dan lain-lain. Termasuk,
setumpuk tanda pangkat.

Lima atau enam tahun kemudian,
aku mulai memiliki anak buah. Orang-orang kampung yang tidak lagi memiliki
rumah dan hidup telantar di jalan-jalan mulai ikut bergabung denganku. Kami pun
membentuk gerakan bawah tanah. Pada waktu-waktu tertentu kami akan melakukan
penyerangan ke markas tentara. Selain membunuh musuh, kami akan merampas
senjata dan merampok gudang logistik. Hal itu kami lakukan setiap ada
kesempatan, saat mereka lengah.

Belakangan orang-orang telah
mengenalku sebagai pemimpin pemberontak. Kalangan tentara musuh menyebutku
sebagai Jenderal ”Kancil” karena usiaku yang masih belia, 16 tahun. Sedangkan
orang-orang sekampung, termasuk bekas teman-teman sekolahku, menyebutku
”Jenderal Buta Hurup” karena mereka tahu aku tidak bisa membaca. Selama lima tahun
di SD, aku lebih sering tidak naik kelas sehingga tetap bertahan di kelas II
hingga pecah perang.

***

Puluhan tahun kemudian, di
sela-sela kesibukan menggarap sawah dan ladang untuk keperluan penjajah,
orang-orang kampung akan bercakap-cakap lirih tentang Tugil, yang kini lebih
dikenal sebagai Jenderal Buta Hurup. Setiap menyebut nama Tugil alias Jenderal Buta
Hurup, hati mereka akan berdebar-debar. Sebab, dari tengah mereka telah lahir
seorang pemimpin yang akan membebaskan mereka dari perbudakan. Mereka merasa
bangga dan dada mereka akan membusung manakala menyebut nama Tugil, yang
dikabarkan hilang di hari penyerbuan itu. Intinya, Jenderal Buta Hurup telah
menumbuhkan rasa percaya diri mereka yang selama ini hidup tertindas.

Jenderal Buta Hurup sangat
ditakuti tentara musuh, kendati persenjataan mereka supercanggih. Di mata
tentara pendudukan, Jenderal Buta Hurup ibarat ”hantu” yang keberadaannya sulit
diterka. Sebab, ia akan tiba-tiba menyerang di waktu yang tak terduga.
Kadang-kadang siang hari, di saat tentara pendudukan istirahat makan siang. Dan
yang membuat mereka selalu waswas, setiap Jenderal Buta Hurup menyerang dengan
pasukan silumannya, korbannya tak pernah sedikit, selalu di atas seratus orang.
Sehingga di kalangan mereka terkenal sekali pendapat, ”Jenderal Buta Hurup tak
akan menyerang kalau korbannya di bawah seratus.” Akibat serangan-serangan
telak Jenderal Buta Hurup, tak kurang dari tiga komandan dan lima jenderal
telah jadi korban. Sedangkan perwira menengah sekelas kolonel dan kapten sudah
tak terhitung jumlahnya.

Konon, menurut data intelijen
pemerintah jajahan, sebagian anggota pasukan Jenderal Buta Hurup berpakaian
compang-camping dengan rambut awut-awutan mirip bakeq-beraq penghuni hutan.
Selain berpenampilan seperti gembel, mereka juga buta hurup, tapi kemampuan
mereka melebihi tentara profesional yang telah mengikuti berbagai latihan.
Mereka terbiasa berjalan dalam gelap dan mengenal medan seperti mengenal urat
tangan sendiri. Seorang anggota pasukan Jenderal Buta Hurup yang berhasil
terpantau kamera pengintai malah ada yang bermata picek. Tapi, soal
kemampuannya berlari dalam gelap, jangan diragukan. Kakinya seakan punya mata
sehingga tak pernah tergelincir di lubang. Mereka juga akan dengan mudah muncul
dan menghilang di balik sebatang pohon atau selembar daun jati.

Baca Juga :  Bunglon Ngaku Anjing Penjaga

Tentang kemampuan mereka berlari
dalam gelap ini, memang sudah disebutkan dalam naskah lontar orang Bukit.
Menurut naskah lontar tersebut, leluhur orang Bukit adalah para perampok.
Tradisi merampok itu berlaku secara turun-temurun hingga ribuan tahun kemudian.
Sebelum seorang anak laki-laki diajak merampok, ia akan dilatih berlari dalam
gelap di rawa-rawa, di atas batu berlumut di sungai, dan lain-lain. Selain itu,
mereka juga bisa menghilang di tempat terang seperti bayangan.

Kemampuan itulah yang membuat
tentara musuh sering merasa kewalahan ketika berhadapan dengan tentara
pemberontak yang bersembunyi di gua-gua di sepanjang Pegunungan Megusang. Ilmu
leluhur itulah yang membuat pasukan Jenderal Buta Hurup sangat disegani.

Cerita-cerita tentang kesaktian
Jenderal Buta Hurup itu menjadi kebanggaan orang-orang Bukit. Mereka akan
menceritakan kisah itu secara berulang-ulang kepada anak-anaknya. Seorang anak
yang sedang menangis akan langsung terdiam ketika ayahnya mulai bercerita
tentang Jenderal Buta Hurup. Hingga lambat laun kisah Jenderal Buta Hurup mulai
menjadi cerita pelipur lara di tengah kesengsaraan. Mirip mitos Ratu Adil atau
Mesias.

***

Pada suatu malam, dua atau tiga
puluh tahun kemudian, Kopral Siwur, yang matanya picek, datang tergopoh-gopoh.
Semula orang-orang mengira ada tentara musuh yang datang menuju markas mereka
di tengah hutan.

”Malam, Komandan…” Siwur memberi
hormat.

”Malam…”

”Lapor…! Ada wanita tua yang
diusung pakai tandu naik ke bukit…” kata Siwur, lalu menyerahkan teropong ke
tangan sang jenderal.

Jenderal Buta Hurup mengarahkan
lensa teropong melalui celah pepohonan. Tetapi, karena terhalang daun-daun dan
bayangan mendung, matanya tak bisa melihat dengan jelas objek samar-samar yang
bergerak di bawah cahaya bulan yang juga samar-samar. Beberapa jam lalu
Jenderal Buta Hurup memang memerintahkan Regu Kancil yang berjumlah tujuh orang
untuk menyergap tentara musuh yang sedang memperbaiki pembangkit listrik.

”Malam, Dan…” Kapten Dagul yang
muncul dari kegelapan memberi hormat.

”Ya, ada apa, Gul…?”

”Lapor…! Kami membawa ibunda
komandan…”

Kata-kata Kapten Dagul terdengar
bagai mukjizat di telinga Jenderal Buta Hurup. ”Bagaimana mungkin orang tua
yang telah kuperkirakan hilang berpuluh-puluh tahun silam kini ternyata masih
hidup?” pikir Jenderal Buta Hurup yang langsung melompat-lompat seperti botek,
menyongsong ibunya yang tengah ditandu melewati terowongan di bawah hutan
kaktus.

”Inaaaak…!” pekiknya seraya
menangkap tubuh ibunya dari tandu, kemudian memeluknya.

”Tugil…” seru wanita itu dengan
suara lirih, lalu meraba wajah anaknya yang dipenuhi bekas luka.

Malam itu juga dilangsungkan
upacara kenaikan pangkat kepada tujuh anggota Regu Kancil yang sukses dalam
operasi kilat. Jenderal Buta Hurup dengan pakaian kebesaran keluar dari lubang
pohon, disambut hormat senjata oleh anak buahnya.

Mata wanita itu berkaca-kaca
menyaksikan anaknya yang buta hurup menjadi jenderal. (*)

Mataram, 2019–2020

CATATAN:

botek = anak monyet

iwong = tunas dari ubi yang tersisa setelah dipanen

kuling = jamur yang menempel di pohon mati

bakeq-beraq = hantu, penunggu
hutan

(ADAM GOTTAR PARRA. Lahir 12
September 1967 di Praya, Lombok Tengah. Menulis cerita pendek di sejumlah media
cetak. Karyanya juga dimuat dalam beberapa buku kumpulan cerpen bersama)

PROKALTENG.CO – Seperti botek aku menyelinap masuk ke dalam rongga
sebatang pohon saat terdengar tembakan, disusul teriakan dan jerit-tangis
perempuan dan anak-anak. Bunyi tembakan itu terdengar tak putus-putus, mirip
letupan biji jagung yang digoreng di tungku tanah. Karena takut, aku memejamkan
mata. Tapi, suara-suara itu terus terdengar, membuatku cemas. Pikiranku tertuju
kepada orang tua dan saudara-saudaraku di rumah.

Dengan terpaksa aku melongok ke
luar, memandang ke lembah melalui celah batang pohon: Astagaaa…! Di antara
garis-garis pematang sawah yang dihiasi sisa jerami, orang-orang berlari
lintang pukang mencari tempat berlindung di bawah pematang, di balik rumpun
pisang, atau di bekas kubangan kerbau. Beberapa orang terlihat
berguling-guling, menggerakkan tangan dan kaki seperti katak, lalu diam membeku
seperti onggokan bebatuan di sekitarnya.

Di antara mereka tampak si
buntung, Kimin, menyeret-nyeret pahanya di atas bongkahan tanah tegalan, tempat
ia mencari iwong ubi, sisa panen. (Sewaktu aku naik ke bukit tadi, aku memang
melihat Kimin sedang menggali sisa ubi di ladang).

Saat angin berembus menggerakkan
sulur-sulur pepohonan, dari celahnya terlihat sederet orang berseragam loreng
di lereng bukit, menembakkan senjata ke orang-orang di lembah, disusul kepulan
asap tipis di udara.

Sesungguhnya aku tak paham apa
yang terjadi pagi itu. Usiaku masih terlalu muda untuk memahami persoalan dunia
seperti perang, politik, terorisme, dan lain-lain. Setahuku, perang hanya ada
di televisi dan potongan surat kabar yang sesekali nyasar ke kampungku sebagai
bungkus terasi atau garam yang dibawa ibu dari pasar. Tidak pernah terlintas di
benakku bahwa kebiadaban semacam itu akan memorak-porandakan kampung kami,
apalagi sampai berwindu-windu.

Pagi itu, seperti biasa, kalau
aku bolos sekolah –karena takut pada pelajaran membaca–, ibu akan menyuruhku
mencari buah labu liar di lereng bukit. ”Daripada kamu sibuk main layangan,
lebih baik pergi cari bahan sayuran di bukit.” katanya. Karena saban aku turun
dari bukit, ibu akan tersenyum semringah melihat isi keranjang di punggungku.
Tak hanya labu liar dan pepaya muda, tapi juga seikat kuling. Pernah juga aku
kembali dari bukit sambil menggendong anak babi yang masih merah, hingga aku
dihujani pujian oleh orang sekampung.

Kendati di sekolah aku sering
tidak naik kelas, di mata orang sekampung aku adalah anak yang hebat karena
sejak kecil sudah bisa membantu orang tua. Mengenai kelebihanku, Pu Ranggot,
dukun beranak yang membantu persalinanku, meramalkan bahwa kelak aku akan
menjadi orang besar (meskipun sampai sekarang aku belum paham maksud
ramalannya, yang menurutku terlalu mengada-ada).

Suara tembakan terus terdengar
siang-malam. Rasa takut meremas batang zakarku hingga aku tak berani keluar
dari rongga batang kenari. Lapar berbaur ngantuk membuatku tertidur sambil
berjongkok di atas serpihan kayu lapuk. Tetapi, setiap hendak memejamkan mata,
aku akan selalu dikagetkan oleh suara tembakan di lembah. Akibatnya, sepanjang
malam aku hanya duduk berjongkok di dalam batang pohon sambil mendengarkan
suara-suara malam yang ditingkahi ratapan burung kuokuo di dahan kenari. Dalam
keadaan ngantuk, semua itu seolah terjadi di alam mimpi.

Saat terjaga di pagi hari, aku
nekat keluar dari lubang pohon, lalu memanjat pohon pepaya dan memetik buahnya
yang geroak dimakan codot. Sambil mengupas pepaya dengan golok yang selalu
menemani setiap ke bukit (kelak dengan golok itu aku menikam beberapa tentara
musuh), aku berharap ada orang kampung yang naik ke bukit. Tapi, hingga
menjelang petang berikutnya, tak seorang pun yang datang. Sementara suara tembakan
terus terdengar susul-menyusul dalam tempo hitungan menit. Aku juga melihat
kobaran api dari bangunan-bangunan yang terbakar, termasuk rumahku, yang di
pagi hari tinggal tumpukan abu. Keadaan di bawah itu membuatku memutuskan untuk
tidak kembali lagi ke kampung. Terlalu berisiko. Lagi pula, hendak pulang ke
mana, rumah sudah jadi abu. Keberadaan keluarga juga tidak jelas, masih hidup
atau mati. Di mana mereka sekarang?

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Sejak itulah aku memutuskan untuk
tinggal di hutan dan mulai menjadi ”siluman” yang hanya keluar di malam hari.

Lambat laun aku telah tumbuh jadi
orang liar, hidup dengan buah-buahan liar dan binatang liar seperti kadal,
tokek, codot, biawak, ular, dan lain-lain. Atau mencuri makanan ke kampung yang
kini dikuasai tentara penjajah. Dari seorang bocah liar, secara cepat aku
berubah menjadi seorang pemberontak. Membunuh demi serantang nasi atau
sebongkah roti untuk menyambung hidup di dalam hutan yang tak layak dihuni
manusia.

Mula-mula aku membunuh tentara
yang memergokiku saat mencuri nasi di dapur. Kemudian seorang sersan yang
sedang piket serta beberapa tentara lainnya di tempat dan waktu yang berbeda.
Karena aku masih kecil, bocah 12 tahun, mereka tak menaruh kecurigaan. Oleh
karenanya, ketika mereka lengah, aku langsung mengambil kesempatan, menikam
perut atau leher mereka dari belakang dengan golok yang telah kuasah di
permukaan batu. Setelah mereka tergeletak tidak berdaya dalam keadaan bersimbah
darah, aku pun merampas senjata dan barang-barang yang melekat di tubuh mereka,
termasuk tanda pangkat di pundak. Hingga di dalam lubang pohon yang kini mirip
”gudang senjata” itu terdapat puluhan senjata berbagai jenis, juga benda-benda
lain seperti arloji, cincin, kacamata, korek gas, dan lain-lain. Termasuk,
setumpuk tanda pangkat.

Lima atau enam tahun kemudian,
aku mulai memiliki anak buah. Orang-orang kampung yang tidak lagi memiliki
rumah dan hidup telantar di jalan-jalan mulai ikut bergabung denganku. Kami pun
membentuk gerakan bawah tanah. Pada waktu-waktu tertentu kami akan melakukan
penyerangan ke markas tentara. Selain membunuh musuh, kami akan merampas
senjata dan merampok gudang logistik. Hal itu kami lakukan setiap ada
kesempatan, saat mereka lengah.

Belakangan orang-orang telah
mengenalku sebagai pemimpin pemberontak. Kalangan tentara musuh menyebutku
sebagai Jenderal ”Kancil” karena usiaku yang masih belia, 16 tahun. Sedangkan
orang-orang sekampung, termasuk bekas teman-teman sekolahku, menyebutku
”Jenderal Buta Hurup” karena mereka tahu aku tidak bisa membaca. Selama lima tahun
di SD, aku lebih sering tidak naik kelas sehingga tetap bertahan di kelas II
hingga pecah perang.

***

Puluhan tahun kemudian, di
sela-sela kesibukan menggarap sawah dan ladang untuk keperluan penjajah,
orang-orang kampung akan bercakap-cakap lirih tentang Tugil, yang kini lebih
dikenal sebagai Jenderal Buta Hurup. Setiap menyebut nama Tugil alias Jenderal Buta
Hurup, hati mereka akan berdebar-debar. Sebab, dari tengah mereka telah lahir
seorang pemimpin yang akan membebaskan mereka dari perbudakan. Mereka merasa
bangga dan dada mereka akan membusung manakala menyebut nama Tugil, yang
dikabarkan hilang di hari penyerbuan itu. Intinya, Jenderal Buta Hurup telah
menumbuhkan rasa percaya diri mereka yang selama ini hidup tertindas.

Jenderal Buta Hurup sangat
ditakuti tentara musuh, kendati persenjataan mereka supercanggih. Di mata
tentara pendudukan, Jenderal Buta Hurup ibarat ”hantu” yang keberadaannya sulit
diterka. Sebab, ia akan tiba-tiba menyerang di waktu yang tak terduga.
Kadang-kadang siang hari, di saat tentara pendudukan istirahat makan siang. Dan
yang membuat mereka selalu waswas, setiap Jenderal Buta Hurup menyerang dengan
pasukan silumannya, korbannya tak pernah sedikit, selalu di atas seratus orang.
Sehingga di kalangan mereka terkenal sekali pendapat, ”Jenderal Buta Hurup tak
akan menyerang kalau korbannya di bawah seratus.” Akibat serangan-serangan
telak Jenderal Buta Hurup, tak kurang dari tiga komandan dan lima jenderal
telah jadi korban. Sedangkan perwira menengah sekelas kolonel dan kapten sudah
tak terhitung jumlahnya.

Konon, menurut data intelijen
pemerintah jajahan, sebagian anggota pasukan Jenderal Buta Hurup berpakaian
compang-camping dengan rambut awut-awutan mirip bakeq-beraq penghuni hutan.
Selain berpenampilan seperti gembel, mereka juga buta hurup, tapi kemampuan
mereka melebihi tentara profesional yang telah mengikuti berbagai latihan.
Mereka terbiasa berjalan dalam gelap dan mengenal medan seperti mengenal urat
tangan sendiri. Seorang anggota pasukan Jenderal Buta Hurup yang berhasil
terpantau kamera pengintai malah ada yang bermata picek. Tapi, soal
kemampuannya berlari dalam gelap, jangan diragukan. Kakinya seakan punya mata
sehingga tak pernah tergelincir di lubang. Mereka juga akan dengan mudah muncul
dan menghilang di balik sebatang pohon atau selembar daun jati.

Baca Juga :  Bunglon Ngaku Anjing Penjaga

Tentang kemampuan mereka berlari
dalam gelap ini, memang sudah disebutkan dalam naskah lontar orang Bukit.
Menurut naskah lontar tersebut, leluhur orang Bukit adalah para perampok.
Tradisi merampok itu berlaku secara turun-temurun hingga ribuan tahun kemudian.
Sebelum seorang anak laki-laki diajak merampok, ia akan dilatih berlari dalam
gelap di rawa-rawa, di atas batu berlumut di sungai, dan lain-lain. Selain itu,
mereka juga bisa menghilang di tempat terang seperti bayangan.

Kemampuan itulah yang membuat
tentara musuh sering merasa kewalahan ketika berhadapan dengan tentara
pemberontak yang bersembunyi di gua-gua di sepanjang Pegunungan Megusang. Ilmu
leluhur itulah yang membuat pasukan Jenderal Buta Hurup sangat disegani.

Cerita-cerita tentang kesaktian
Jenderal Buta Hurup itu menjadi kebanggaan orang-orang Bukit. Mereka akan
menceritakan kisah itu secara berulang-ulang kepada anak-anaknya. Seorang anak
yang sedang menangis akan langsung terdiam ketika ayahnya mulai bercerita
tentang Jenderal Buta Hurup. Hingga lambat laun kisah Jenderal Buta Hurup mulai
menjadi cerita pelipur lara di tengah kesengsaraan. Mirip mitos Ratu Adil atau
Mesias.

***

Pada suatu malam, dua atau tiga
puluh tahun kemudian, Kopral Siwur, yang matanya picek, datang tergopoh-gopoh.
Semula orang-orang mengira ada tentara musuh yang datang menuju markas mereka
di tengah hutan.

”Malam, Komandan…” Siwur memberi
hormat.

”Malam…”

”Lapor…! Ada wanita tua yang
diusung pakai tandu naik ke bukit…” kata Siwur, lalu menyerahkan teropong ke
tangan sang jenderal.

Jenderal Buta Hurup mengarahkan
lensa teropong melalui celah pepohonan. Tetapi, karena terhalang daun-daun dan
bayangan mendung, matanya tak bisa melihat dengan jelas objek samar-samar yang
bergerak di bawah cahaya bulan yang juga samar-samar. Beberapa jam lalu
Jenderal Buta Hurup memang memerintahkan Regu Kancil yang berjumlah tujuh orang
untuk menyergap tentara musuh yang sedang memperbaiki pembangkit listrik.

”Malam, Dan…” Kapten Dagul yang
muncul dari kegelapan memberi hormat.

”Ya, ada apa, Gul…?”

”Lapor…! Kami membawa ibunda
komandan…”

Kata-kata Kapten Dagul terdengar
bagai mukjizat di telinga Jenderal Buta Hurup. ”Bagaimana mungkin orang tua
yang telah kuperkirakan hilang berpuluh-puluh tahun silam kini ternyata masih
hidup?” pikir Jenderal Buta Hurup yang langsung melompat-lompat seperti botek,
menyongsong ibunya yang tengah ditandu melewati terowongan di bawah hutan
kaktus.

”Inaaaak…!” pekiknya seraya
menangkap tubuh ibunya dari tandu, kemudian memeluknya.

”Tugil…” seru wanita itu dengan
suara lirih, lalu meraba wajah anaknya yang dipenuhi bekas luka.

Malam itu juga dilangsungkan
upacara kenaikan pangkat kepada tujuh anggota Regu Kancil yang sukses dalam
operasi kilat. Jenderal Buta Hurup dengan pakaian kebesaran keluar dari lubang
pohon, disambut hormat senjata oleh anak buahnya.

Mata wanita itu berkaca-kaca
menyaksikan anaknya yang buta hurup menjadi jenderal. (*)

Mataram, 2019–2020

CATATAN:

botek = anak monyet

iwong = tunas dari ubi yang tersisa setelah dipanen

kuling = jamur yang menempel di pohon mati

bakeq-beraq = hantu, penunggu
hutan

(ADAM GOTTAR PARRA. Lahir 12
September 1967 di Praya, Lombok Tengah. Menulis cerita pendek di sejumlah media
cetak. Karyanya juga dimuat dalam beberapa buku kumpulan cerpen bersama)

Terpopuler

Artikel Terbaru