33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kota Rantau

Kota Rantau

Beri aku kota yang terbenam pasang naik dan tertimbun pendatang

kota yang memasang lampu sorot di ketinggian, lampu yang senantiasa

memecah awan pengidap udara buruk, kita dipaksa mencintai kemacetan

sebagai bagian dari ciri kota yang tegak di atas tanah lumpur

kota yang melintangkan rel tanpa palang pintu di tengah jalan.

Aku menyenangi Westminster Chime di Jakarta Kota

stasiun yang selalu menyediakan pertemuan canggung

seperti perjumpaan seorang tambun memetik janggut seakan senar

dengan lelaki buncit menepuk-nepuk perut seperti gendang tersandang

saling bersahut nada-nada rumpang, menggeletar badan seakan terangsang.

Beri aku segala yang zalim dari kota ini

tanah berongga puluhan depa, drainase disumbat kulit kabel

tiang pancang dibiarkan menjulang sekenanya, sebab mabukku

adalah mabuk aroma bensin tengah hari tegak, lambung berisi umpatan

untuk orang-orang di Senayan, dan tubuhku adalah labirin jalan layang.

Beri aku segala yang dibentangkan bagi Jakarta

Agar keberangkatan direka kembali, sebelum gelombang migrasi perantau

Meruntuhkan kampung halaman.

Jakarta, 2019

—————

Makan Nasi Padang

Beri aku induk lauk, Engku

lauk kedai nasi yang paling engkau banggakan

mungkin gulai tunjang dalam pinggan besar, gulai ikan karang

dengan taring seukuran tusuk gigi, paling tidak hidangkanlah

Baca Juga :  Jama’ Taksir

ayam kampung digoreng bersama cabai Bukittinggi,

rendangkan juga kopi jagung Tanah Datar

hamparkan semuanya pada meja paling lebar.

Aku terbawa kampung dalam lambung besar, Engku

tapi di kedai ini yang keluar tidak lain dari sendawa angin.

Sebab kau berikan nasi ditanak kelewat lambuk

jengkol muda direbus tergesa, kulit petai cina

gulai nangka peram dipanaskan berulang tiga malam

sekuali gulai tembesu terminyak seraya pecah santan

belum selesai carut aku gumamkan ketika nila goreng hambar

hangus pada moncong itu menyisakan pahit arang di lidah

kau hidangkan air kelapa tua meninggalkan masam di pangkal lengan

membuat kulit ketiak ditumbuhi rambut kasar serupa akar pinang.

Aku ingin induk lauk dari kedai ini, Engku

gulai dengan kuah santan kental bergelintin

dendeng kerbau cabai muda, setidaknya ikan goreng

disiram cabai merah sewarna bibir orang rumahmu

”si Padang bila membuka kedai nasi di rantau

tak pernah menyambal dengan benar”.

Denpasar, 2019

—————

Teragak

Adalah harum ruku-ruku, tebaran miang serai

dan rambatan sirih pada pagar tak seberapa tinggi

aku membayangkan pagi dimulai dari kamar belakang

dengan jendela tidak pernah dimasuki cahaya matahari.

Baca Juga :  Sajak Angga Trio Sanjaya

Kudengar, mungkin sekadar terngiang kembali

suara beras ditampih ketika hari mulai tinggi

bunyi katup kuali jatuh tersinggung sanduk

aku baru tahu, kangen bisa sebegini buruk.

Di kejauhan ini, ketika pagi tinggal air berjatuhan dari keran

dan lantai membekaskan lembap, aku gumamkan bahasa ibu

kuputar dendang perantauan, kumainkan mantra penjemput badan

namun rindu seperti demam tumbuh gigi, ngilu hingga tembesu.

Aku bayangkan pula tampuk lengkuas pecah ditumbuk

irisan daun limau, sekalian ruku-ruku tumbuh bersemak

tapi tidak dapat kujangkau didih santan mengering perlahan

serai lupa disiram, bunga pepaya jantan merasi di belakang.

Pagi ini kupikir di rumah kembali, menghirup bau tanah basah

tapi dengung pada telinga masih tentang air jatuh dari keran

lembap menggigilkan badan, maka seketika itu pula aku tahu

batuk basah masih menggantung di paru, demam masih begitu.

Pekanbaru, 2020

__________________

ILHAMDI PUTRA. Lahir di
Padang, Sumatera Barat. Bergiat di ruang riset sastra dan humaniora Lab Pauh 9.
Tulisannya disiarkan media cetak dan elektronik serta dihimpun dalam beberapa
antologi bersama. Menghadiri beberapa pertemuan kesusastraan, salah satunya
Ubud Writers and Readers Festival 2019 (Ubud, Bali), sebagai emerging writers.

Kota Rantau

Beri aku kota yang terbenam pasang naik dan tertimbun pendatang

kota yang memasang lampu sorot di ketinggian, lampu yang senantiasa

memecah awan pengidap udara buruk, kita dipaksa mencintai kemacetan

sebagai bagian dari ciri kota yang tegak di atas tanah lumpur

kota yang melintangkan rel tanpa palang pintu di tengah jalan.

Aku menyenangi Westminster Chime di Jakarta Kota

stasiun yang selalu menyediakan pertemuan canggung

seperti perjumpaan seorang tambun memetik janggut seakan senar

dengan lelaki buncit menepuk-nepuk perut seperti gendang tersandang

saling bersahut nada-nada rumpang, menggeletar badan seakan terangsang.

Beri aku segala yang zalim dari kota ini

tanah berongga puluhan depa, drainase disumbat kulit kabel

tiang pancang dibiarkan menjulang sekenanya, sebab mabukku

adalah mabuk aroma bensin tengah hari tegak, lambung berisi umpatan

untuk orang-orang di Senayan, dan tubuhku adalah labirin jalan layang.

Beri aku segala yang dibentangkan bagi Jakarta

Agar keberangkatan direka kembali, sebelum gelombang migrasi perantau

Meruntuhkan kampung halaman.

Jakarta, 2019

—————

Makan Nasi Padang

Beri aku induk lauk, Engku

lauk kedai nasi yang paling engkau banggakan

mungkin gulai tunjang dalam pinggan besar, gulai ikan karang

dengan taring seukuran tusuk gigi, paling tidak hidangkanlah

Baca Juga :  Jama’ Taksir

ayam kampung digoreng bersama cabai Bukittinggi,

rendangkan juga kopi jagung Tanah Datar

hamparkan semuanya pada meja paling lebar.

Aku terbawa kampung dalam lambung besar, Engku

tapi di kedai ini yang keluar tidak lain dari sendawa angin.

Sebab kau berikan nasi ditanak kelewat lambuk

jengkol muda direbus tergesa, kulit petai cina

gulai nangka peram dipanaskan berulang tiga malam

sekuali gulai tembesu terminyak seraya pecah santan

belum selesai carut aku gumamkan ketika nila goreng hambar

hangus pada moncong itu menyisakan pahit arang di lidah

kau hidangkan air kelapa tua meninggalkan masam di pangkal lengan

membuat kulit ketiak ditumbuhi rambut kasar serupa akar pinang.

Aku ingin induk lauk dari kedai ini, Engku

gulai dengan kuah santan kental bergelintin

dendeng kerbau cabai muda, setidaknya ikan goreng

disiram cabai merah sewarna bibir orang rumahmu

”si Padang bila membuka kedai nasi di rantau

tak pernah menyambal dengan benar”.

Denpasar, 2019

—————

Teragak

Adalah harum ruku-ruku, tebaran miang serai

dan rambatan sirih pada pagar tak seberapa tinggi

aku membayangkan pagi dimulai dari kamar belakang

dengan jendela tidak pernah dimasuki cahaya matahari.

Baca Juga :  Sajak Angga Trio Sanjaya

Kudengar, mungkin sekadar terngiang kembali

suara beras ditampih ketika hari mulai tinggi

bunyi katup kuali jatuh tersinggung sanduk

aku baru tahu, kangen bisa sebegini buruk.

Di kejauhan ini, ketika pagi tinggal air berjatuhan dari keran

dan lantai membekaskan lembap, aku gumamkan bahasa ibu

kuputar dendang perantauan, kumainkan mantra penjemput badan

namun rindu seperti demam tumbuh gigi, ngilu hingga tembesu.

Aku bayangkan pula tampuk lengkuas pecah ditumbuk

irisan daun limau, sekalian ruku-ruku tumbuh bersemak

tapi tidak dapat kujangkau didih santan mengering perlahan

serai lupa disiram, bunga pepaya jantan merasi di belakang.

Pagi ini kupikir di rumah kembali, menghirup bau tanah basah

tapi dengung pada telinga masih tentang air jatuh dari keran

lembap menggigilkan badan, maka seketika itu pula aku tahu

batuk basah masih menggantung di paru, demam masih begitu.

Pekanbaru, 2020

__________________

ILHAMDI PUTRA. Lahir di
Padang, Sumatera Barat. Bergiat di ruang riset sastra dan humaniora Lab Pauh 9.
Tulisannya disiarkan media cetak dan elektronik serta dihimpun dalam beberapa
antologi bersama. Menghadiri beberapa pertemuan kesusastraan, salah satunya
Ubud Writers and Readers Festival 2019 (Ubud, Bali), sebagai emerging writers.

Terpopuler

Artikel Terbaru