26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Jama’ Taksir

”Beliau menginginkan anak lelaki sebagai penerus.”

”Memangnya kenapa kalau perempuan?” kejarku.

Kau terdiam sejenak. ”Karena perempuan selalu menjadi isim maf’ul, bukan isim fa’il.”

Jawabanmu serasa menyuapiku dengan ”tahu-tempe”, istilah lain dari nahwu-sharaf ketika di pondok dan menjadi menu wajib para santri.

”Kita dinikahi, bukan menikahi. Diboyong, bukan memboyong. Jadi makmum, bukan imam,” tambahmu, membuatku terpaksa menelan pertanyaan sendiri.

KENYATAANNYA memang demikian. Bahkan sebelum janur melengkung di pintu halaman, dulu calon suamiku sudah menyampaikan bahwa seminggu setelah acara pernikahan aku akan dibawa pulang.

”Dan kau tahu sendiri, sepuluh anak yang kulahirkan semua perempuan.” Senyum lebarmu seolah tengah menertawakan diri sendiri.

”Tapi, bukankah…” kalimatku terhenti ragu seperti jarum mesin yang mendadak patah.

… bukankah kau pernah bercerita soal kesepakatan dengan suamimu bahwa tidak akan ada perempuan kedua, ketiga, apalagi keempat, dengan memberinya sepuluh keturunan? Menurutmu, alasan kuat seorang kiai berpoligami hanyalah ingin memperbanyak umat nabi.

”Bukankah kita pernah belajar tentang isim maupun fi’il yang bisa mu’rab sesuai kedudukan dan amil-nya?”

Seperti memahami kalimatku yang terpenggal.

”Demikian juga dalam hidup. Manusia dan perilakunya bisa berubah sesuai keadaan. Kemungkinan berubah itu selalu ada,” lanjutmu, menjatuhkan punggung ke sandaran sofa.

”Termasuk mengubah janji yang sudah disepakati?” susulku cepat.

”Itu bisa saja terjadi.”

Ketakberdayaan yang berusaha kausembunyikan membuatku membatu sekian detik.

”Aku bukan menolak konsep poligami yang diperbolehkan dalam syariah. Itu bukan hal yang buruk selama memenuhi syarat, hak dan kewajiban. Hanya, aku sendiri yang tak sanggup menjalaninya. Hatiku tidak sesuci itu!” kembali menarik punggung, membukakan tutup stoples berisi kastengel dan nastar kurma, lalu mengangsurkannya padaku bergantian.

Kuambil satu kastengel tanpa minat memakannya.

”Orang boleh minta apa pun dariku, asal jangan minta berbagi suami.” Kau masih bisa menjaga nada suaramu sedatar mungkin, seperti air sungai yang tampak diam tanpa gerak.

Kuakui kau memang pemurah hati. Terbiasa berbagi apa pun yang kaumiliki, walaupun itu sudah menjadi peraturan tak tertulis kalau di pondok. Setiap mendapat kiriman, berbagai macam makanan dan camilan yang dibawakan orang tuamu dibagi-bagikan, tanpa berpikir menyisakan untuk besok.

Bahkan hingga sekarang, ketika kau memintaku datang karena ingin menjahit pakaian, bagasi mobil yang mengantarku pulang hampir penuh dari berbagai macam pemberianmu. Entah itu pisang, beras, sayur, ubi, kacang tanah yang masih dengan kulitnya. Katamu, itu hasil oleh-oleh dari para tamu.

Jika petani sekitar selesai panen tanam, hasil terbaik yang dihaturkan padamu tak lupa kausisihkan sebagian untukku. Dua santrimu yang mengantarkannya ke rumah.

”Perlakuan adil mungkin bisa dilakukan, tapi kasih sayang tidak akan pernah terbagi rata, karena itu soal rasa.”

”Itukah sebabnya, ingin melahirkan anak lelaki meskipun harus hamil sampai sekian kali?”

Seharusnya aku bisa menahan tatapan dan menekan tinggi suaraku, sebab di sini para santri dan tamu-tamumu biasa menunduk dan bersuara kecil setengah berbisik.

”Jika itu sanggup kulakukan, kenapa tidak?”

Baca Juga :  Asrama Santri di Palangkaraya Terbakar, Kerugian Capai Rp100 Juta

”Kalau nanti masih lahir perempuan?” kejarku menahan jengkel.

”Selama masih bisa hamil, bisa dicoba lagi.”

Ipeeeeeeh! Sampai kapan kau akan jadi mesin peternak? Itu konyol sekali! Memangnya melahirkan anak itu seperti kuis? Umpatan itu hanya merusuh dalam hati.

Andai Sanot ada di sini, aku yakin dia juga akan mengomelimu sebagaimana sering dilakukan ketika kau susah sekali dibangunkan. Dia pasti akan menceramahimu tentang risiko kehamilan di usia 40-an. Atau, mungkin saja memberi pandangan lain mengenai posisi perempuan yang tecermin dalam sejarah Islam.

Sesama teman seangkatan, seasrama, dan sekelas yang sama-sama belajar mandiri juga beradaptasi sejak hari-hari pertama menjadi santri di usia tak lebih dari 13 tahun, banyak hal yang sudah kita lalui bersama. Mencuci dan memasak merupakan pekerjaan baru yang sama-sama kita lakukan dengan canggung dan serbakeliru. Ketiduran pada jam-jam kajian, terlambat bangun sebelum subuh, disuruh membersihkan toilet akibat tidak salat Tahajud, menjadi tali yang saling mengikat satu sama lain.

Kau ingat, gara-gara muntah saat membersihkan toilet itulah Sanot jera dan menjadi anak paling rajin bangun sebelum pukul 3 dan menjadi alarm kita berdua. Sanot juga yang sering membantu kita saat kesulitan memahami pelajaran dan menjadi penasihat ketika kita melanggar aturan kepesantrenan.

Tinggalkan ke-nyai-an dan ke-lora-an kalian di rumah. Jangan bawa ke sini! Dawuh kiai sepuh yang dijadikan pengumuman di atas pintu gerbang pondok dan menjadi pegangan para santri membuat kami terlambat menyadari status ke-nyai-anmu.

Meskipun berbeda status sosial, persahabatan kita terjalin begitu saja dan mulai terbiasa memanggil nama masing-masing dengan sekenanya.

Akan tetapi, sekarang kita sudah bukan santri yang sering antre di depan toilet setiap pagi dan terbiasa mendengar teriakan dan gedoran pintu; ”Woi, bawa toilet dari rumah kalau mau lama-lama!”. Kita sudah sama-sama membangun keluarga dan meniti jalan nasib yang berbeda-beda dengan ragam persoalan di dalamnya.

Waktu dan jarak sering jadi dinding yang kian pekat. Terbukti, sejak menikah, hanya dua kali kita bertemu dengan Sanot, pas acara pertemuan alumni. Kau masih ingat saat dia bilang bahwa suaminya tidak mengizinkan bepergian jauh jika dirinya sedang tidak di rumah? Itu sebabnya Sanot jarang menghadiri pertemuan alumni yang biasa diadakan pada bulan Syawal, merangkap halalbihalal. Padahal jarak tempuh dari rumahnya ke pondok tidak lebih dari 10 kilometer.

Kadang kupikir, pernikahan memang menjadi penjara suci kedua bagi perempuan setelah pondok pesantren.

Sedangkan kini kau sudah menjadi Nyai Lathifah, istri seorang kiai penceramah sekaligus pewaris tunggal pondok pesantren asuhan orang tuanya. Bukan Ipeh yang dulu sering kesulitan mengenali jama’ taksir karena bentuknya yang tak beraturan dan tidak ada tanda khusus, hingga suara Sanot sering meninggi dengan sendirinya setiap kali memberi penjelasan yang sama. Kau sudah menjadi Nyai Lathifah yang sibuk mendidik santri, menerima tamu, dan menghadiri undangan. Sudah menjadi seorang ibu dari 10 putri yang kesemuanya tumbuh besar dalam asuhan santri abdi. Bukan Ipeh yang dulu sering berdiri selama hampir tiga jam gara-gara gagal menyetor hafalan.

Baca Juga :  Dua Pembunuh dalam Satu Waktu

Dengan posisimu saat ini, tentu aku harus menjaga sikap. Harus belajar menahan kesal.

”Sudah berapa bulan?” kulirik perutmu sekilas. Dengan lingkar dada mencapai 130 cm, lingkar pinggang 124 cm, dan panjang gamis kurang dari 125 cm, hamil atau tidak hampir tidak ada bedanya.

”Baru empat bulan,” setangkup senyum menggaris tipis di bibirmu, seolah ingin menjelaskan bahwa semua akan baik-baik saja. Sebagaimana saat akan menghadapi ujian menjelang haflatul imtihan padahal malam sebelumnya telah dikalahkan oleh kantuk hingga tidak semua materi ujian berhasil kaukuasai.

Kutarik napas dalam, lalu mengembuskannya diam-diam.

Bayi terakhir yang kaulahirkan mungkin baru menginjak 12 bulan. Seingatku, waktu itu baju Lebaran-mu yang kujahit belum sempat diambil ketika keburu melahirkan, menjelang malam 27 Ramadan, saat wali santri berbondong-bondong menghaturkan nasi ketan dan kolak pisang.

Kukira bayi itu akan menjadi putri bungsu. Ternyata….

 

***

Dengan saksama kuperhatikan gulungan kain yang berjajar di rak displai dan yang tersampir pada boneka, lalu memeriksa kualitas seratnya dengan sentuhan. Ada cotton combed, cotton silk, chambray, jersey, viscos, wol merino, chasmere, dengan aneka warna, baik yang polos maupun bermotif.

Sebulat tubuhmu memang harus dicarikan kain yang nyaman, berdaya serap tinggi, bahan jatuh, dan warna yang tidak terlalu terang. Motif besar-besar hanya akan membuat tubuhmu kelihatan semakin bulat mengembang. Apalagi dengan potongan daster.

Baru saja aku menimbang-nimbang pilihan pada kain yang tersampir di tubuh salah satu boneka dan hendak memanggil pelayan toko, ketika tanpa sengaja kulihat seseorang berdiri dekat meja pemotong. Wajah perempuan yang rasanya kukenal. Kuperhatikan lebih dekat agar semakin jelas.

Dengan baju kurung dan jilbab lebar menutupi separo badan, bentuk tubuhnya memang sulit kukenali. Apalagi kelihatannya sedang hamil tua. Akan tetapi, wajah itu tidak banyak berubah.

Belum sempat kudekati, dia sudah melangkah pergi setelah menerima bungkusan kainnya dari pelayan, tanpa sempat melihatku. Tatapanku terus mengikutinya hingga ke area parkir. Ada seorang lelaki berjubah putih dengan serban melilit kepala, menggendong bocah lelaki, berdiri dekat Avanza silver, tengah menunggu.

Hampir tak bisa kupercaya ketika mereka sama-sama masuk ke mobil.

Kabar terakhir yang pernah kuterima, suaminya meninggal di usia pernikahan mereka menginjak 6 tahun tanpa anak. Dan dia memilih hidup sendiri dengan menjadi hafizah sambil mengajar di sebuah pondok dengan panggilan Ustadah Uswatun Hasanah.

Haruskah kuberi tahu dirimu bahwa sahabat yang sering mengajari kita bagaimana cara memasak, mengunyah, dan menikmati ”tahu-tempe” telah membangun jama’ taksir bersama suamimu? Pertanyaan itu terus memburuku hingga ke rumah. (*)

Madura, Februari 2023

*) MUNA MASYARI

Penulis asal Pamekasan. Buku-bukunya pernah mendapatkan penghargaan Sutasoma dari Balai Bahasa Jatim dan Kemendikbudristek sebagai buku cerpen terbaik. Juga masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 untuk novelnya, Damar Kambang.

”Beliau menginginkan anak lelaki sebagai penerus.”

”Memangnya kenapa kalau perempuan?” kejarku.

Kau terdiam sejenak. ”Karena perempuan selalu menjadi isim maf’ul, bukan isim fa’il.”

Jawabanmu serasa menyuapiku dengan ”tahu-tempe”, istilah lain dari nahwu-sharaf ketika di pondok dan menjadi menu wajib para santri.

”Kita dinikahi, bukan menikahi. Diboyong, bukan memboyong. Jadi makmum, bukan imam,” tambahmu, membuatku terpaksa menelan pertanyaan sendiri.

KENYATAANNYA memang demikian. Bahkan sebelum janur melengkung di pintu halaman, dulu calon suamiku sudah menyampaikan bahwa seminggu setelah acara pernikahan aku akan dibawa pulang.

”Dan kau tahu sendiri, sepuluh anak yang kulahirkan semua perempuan.” Senyum lebarmu seolah tengah menertawakan diri sendiri.

”Tapi, bukankah…” kalimatku terhenti ragu seperti jarum mesin yang mendadak patah.

… bukankah kau pernah bercerita soal kesepakatan dengan suamimu bahwa tidak akan ada perempuan kedua, ketiga, apalagi keempat, dengan memberinya sepuluh keturunan? Menurutmu, alasan kuat seorang kiai berpoligami hanyalah ingin memperbanyak umat nabi.

”Bukankah kita pernah belajar tentang isim maupun fi’il yang bisa mu’rab sesuai kedudukan dan amil-nya?”

Seperti memahami kalimatku yang terpenggal.

”Demikian juga dalam hidup. Manusia dan perilakunya bisa berubah sesuai keadaan. Kemungkinan berubah itu selalu ada,” lanjutmu, menjatuhkan punggung ke sandaran sofa.

”Termasuk mengubah janji yang sudah disepakati?” susulku cepat.

”Itu bisa saja terjadi.”

Ketakberdayaan yang berusaha kausembunyikan membuatku membatu sekian detik.

”Aku bukan menolak konsep poligami yang diperbolehkan dalam syariah. Itu bukan hal yang buruk selama memenuhi syarat, hak dan kewajiban. Hanya, aku sendiri yang tak sanggup menjalaninya. Hatiku tidak sesuci itu!” kembali menarik punggung, membukakan tutup stoples berisi kastengel dan nastar kurma, lalu mengangsurkannya padaku bergantian.

Kuambil satu kastengel tanpa minat memakannya.

”Orang boleh minta apa pun dariku, asal jangan minta berbagi suami.” Kau masih bisa menjaga nada suaramu sedatar mungkin, seperti air sungai yang tampak diam tanpa gerak.

Kuakui kau memang pemurah hati. Terbiasa berbagi apa pun yang kaumiliki, walaupun itu sudah menjadi peraturan tak tertulis kalau di pondok. Setiap mendapat kiriman, berbagai macam makanan dan camilan yang dibawakan orang tuamu dibagi-bagikan, tanpa berpikir menyisakan untuk besok.

Bahkan hingga sekarang, ketika kau memintaku datang karena ingin menjahit pakaian, bagasi mobil yang mengantarku pulang hampir penuh dari berbagai macam pemberianmu. Entah itu pisang, beras, sayur, ubi, kacang tanah yang masih dengan kulitnya. Katamu, itu hasil oleh-oleh dari para tamu.

Jika petani sekitar selesai panen tanam, hasil terbaik yang dihaturkan padamu tak lupa kausisihkan sebagian untukku. Dua santrimu yang mengantarkannya ke rumah.

”Perlakuan adil mungkin bisa dilakukan, tapi kasih sayang tidak akan pernah terbagi rata, karena itu soal rasa.”

”Itukah sebabnya, ingin melahirkan anak lelaki meskipun harus hamil sampai sekian kali?”

Seharusnya aku bisa menahan tatapan dan menekan tinggi suaraku, sebab di sini para santri dan tamu-tamumu biasa menunduk dan bersuara kecil setengah berbisik.

”Jika itu sanggup kulakukan, kenapa tidak?”

Baca Juga :  Asrama Santri di Palangkaraya Terbakar, Kerugian Capai Rp100 Juta

”Kalau nanti masih lahir perempuan?” kejarku menahan jengkel.

”Selama masih bisa hamil, bisa dicoba lagi.”

Ipeeeeeeh! Sampai kapan kau akan jadi mesin peternak? Itu konyol sekali! Memangnya melahirkan anak itu seperti kuis? Umpatan itu hanya merusuh dalam hati.

Andai Sanot ada di sini, aku yakin dia juga akan mengomelimu sebagaimana sering dilakukan ketika kau susah sekali dibangunkan. Dia pasti akan menceramahimu tentang risiko kehamilan di usia 40-an. Atau, mungkin saja memberi pandangan lain mengenai posisi perempuan yang tecermin dalam sejarah Islam.

Sesama teman seangkatan, seasrama, dan sekelas yang sama-sama belajar mandiri juga beradaptasi sejak hari-hari pertama menjadi santri di usia tak lebih dari 13 tahun, banyak hal yang sudah kita lalui bersama. Mencuci dan memasak merupakan pekerjaan baru yang sama-sama kita lakukan dengan canggung dan serbakeliru. Ketiduran pada jam-jam kajian, terlambat bangun sebelum subuh, disuruh membersihkan toilet akibat tidak salat Tahajud, menjadi tali yang saling mengikat satu sama lain.

Kau ingat, gara-gara muntah saat membersihkan toilet itulah Sanot jera dan menjadi anak paling rajin bangun sebelum pukul 3 dan menjadi alarm kita berdua. Sanot juga yang sering membantu kita saat kesulitan memahami pelajaran dan menjadi penasihat ketika kita melanggar aturan kepesantrenan.

Tinggalkan ke-nyai-an dan ke-lora-an kalian di rumah. Jangan bawa ke sini! Dawuh kiai sepuh yang dijadikan pengumuman di atas pintu gerbang pondok dan menjadi pegangan para santri membuat kami terlambat menyadari status ke-nyai-anmu.

Meskipun berbeda status sosial, persahabatan kita terjalin begitu saja dan mulai terbiasa memanggil nama masing-masing dengan sekenanya.

Akan tetapi, sekarang kita sudah bukan santri yang sering antre di depan toilet setiap pagi dan terbiasa mendengar teriakan dan gedoran pintu; ”Woi, bawa toilet dari rumah kalau mau lama-lama!”. Kita sudah sama-sama membangun keluarga dan meniti jalan nasib yang berbeda-beda dengan ragam persoalan di dalamnya.

Waktu dan jarak sering jadi dinding yang kian pekat. Terbukti, sejak menikah, hanya dua kali kita bertemu dengan Sanot, pas acara pertemuan alumni. Kau masih ingat saat dia bilang bahwa suaminya tidak mengizinkan bepergian jauh jika dirinya sedang tidak di rumah? Itu sebabnya Sanot jarang menghadiri pertemuan alumni yang biasa diadakan pada bulan Syawal, merangkap halalbihalal. Padahal jarak tempuh dari rumahnya ke pondok tidak lebih dari 10 kilometer.

Kadang kupikir, pernikahan memang menjadi penjara suci kedua bagi perempuan setelah pondok pesantren.

Sedangkan kini kau sudah menjadi Nyai Lathifah, istri seorang kiai penceramah sekaligus pewaris tunggal pondok pesantren asuhan orang tuanya. Bukan Ipeh yang dulu sering kesulitan mengenali jama’ taksir karena bentuknya yang tak beraturan dan tidak ada tanda khusus, hingga suara Sanot sering meninggi dengan sendirinya setiap kali memberi penjelasan yang sama. Kau sudah menjadi Nyai Lathifah yang sibuk mendidik santri, menerima tamu, dan menghadiri undangan. Sudah menjadi seorang ibu dari 10 putri yang kesemuanya tumbuh besar dalam asuhan santri abdi. Bukan Ipeh yang dulu sering berdiri selama hampir tiga jam gara-gara gagal menyetor hafalan.

Baca Juga :  Dua Pembunuh dalam Satu Waktu

Dengan posisimu saat ini, tentu aku harus menjaga sikap. Harus belajar menahan kesal.

”Sudah berapa bulan?” kulirik perutmu sekilas. Dengan lingkar dada mencapai 130 cm, lingkar pinggang 124 cm, dan panjang gamis kurang dari 125 cm, hamil atau tidak hampir tidak ada bedanya.

”Baru empat bulan,” setangkup senyum menggaris tipis di bibirmu, seolah ingin menjelaskan bahwa semua akan baik-baik saja. Sebagaimana saat akan menghadapi ujian menjelang haflatul imtihan padahal malam sebelumnya telah dikalahkan oleh kantuk hingga tidak semua materi ujian berhasil kaukuasai.

Kutarik napas dalam, lalu mengembuskannya diam-diam.

Bayi terakhir yang kaulahirkan mungkin baru menginjak 12 bulan. Seingatku, waktu itu baju Lebaran-mu yang kujahit belum sempat diambil ketika keburu melahirkan, menjelang malam 27 Ramadan, saat wali santri berbondong-bondong menghaturkan nasi ketan dan kolak pisang.

Kukira bayi itu akan menjadi putri bungsu. Ternyata….

 

***

Dengan saksama kuperhatikan gulungan kain yang berjajar di rak displai dan yang tersampir pada boneka, lalu memeriksa kualitas seratnya dengan sentuhan. Ada cotton combed, cotton silk, chambray, jersey, viscos, wol merino, chasmere, dengan aneka warna, baik yang polos maupun bermotif.

Sebulat tubuhmu memang harus dicarikan kain yang nyaman, berdaya serap tinggi, bahan jatuh, dan warna yang tidak terlalu terang. Motif besar-besar hanya akan membuat tubuhmu kelihatan semakin bulat mengembang. Apalagi dengan potongan daster.

Baru saja aku menimbang-nimbang pilihan pada kain yang tersampir di tubuh salah satu boneka dan hendak memanggil pelayan toko, ketika tanpa sengaja kulihat seseorang berdiri dekat meja pemotong. Wajah perempuan yang rasanya kukenal. Kuperhatikan lebih dekat agar semakin jelas.

Dengan baju kurung dan jilbab lebar menutupi separo badan, bentuk tubuhnya memang sulit kukenali. Apalagi kelihatannya sedang hamil tua. Akan tetapi, wajah itu tidak banyak berubah.

Belum sempat kudekati, dia sudah melangkah pergi setelah menerima bungkusan kainnya dari pelayan, tanpa sempat melihatku. Tatapanku terus mengikutinya hingga ke area parkir. Ada seorang lelaki berjubah putih dengan serban melilit kepala, menggendong bocah lelaki, berdiri dekat Avanza silver, tengah menunggu.

Hampir tak bisa kupercaya ketika mereka sama-sama masuk ke mobil.

Kabar terakhir yang pernah kuterima, suaminya meninggal di usia pernikahan mereka menginjak 6 tahun tanpa anak. Dan dia memilih hidup sendiri dengan menjadi hafizah sambil mengajar di sebuah pondok dengan panggilan Ustadah Uswatun Hasanah.

Haruskah kuberi tahu dirimu bahwa sahabat yang sering mengajari kita bagaimana cara memasak, mengunyah, dan menikmati ”tahu-tempe” telah membangun jama’ taksir bersama suamimu? Pertanyaan itu terus memburuku hingga ke rumah. (*)

Madura, Februari 2023

*) MUNA MASYARI

Penulis asal Pamekasan. Buku-bukunya pernah mendapatkan penghargaan Sutasoma dari Balai Bahasa Jatim dan Kemendikbudristek sebagai buku cerpen terbaik. Juga masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 untuk novelnya, Damar Kambang.

Terpopuler

Artikel Terbaru