27.3 C
Jakarta
Tuesday, April 30, 2024

Pulut Durian Batal Dikirimkan

Oleh T. AGUS KHAIDIR

Inilah yang selalu menjadi rindu saat berada jauh. Bebauan sedap dari dapur Mak. Terlebih di hari-hari Ramadan dan aku tak berkesempatan pulang. Bebauan itu sekonyong-konyong saja muncul entah dari mana; menyergap hidung, membelai ingatan, menguar kenangan yang kemudian menjelmakan berbagai komposisi hidangan di meja makan.

TIAP kali rindu tiba di puncak yang kulakukan adalah memejam dan membiarkan bayangan hidangan-hidangan itu menari-nari di pelupuk mataku. Bubur pedas, anyang pakis, pajri nenas. Betapa menyelerakan!

Tak kalah sering hadir gulai masam ikan senangin. Berlemak nian padahal tanpa santan, dengan rasa kincung tipis-tipis yang memesona. Lalu ayam kari, ikan pari sambal belacan, gulai ikan salai dan daun ubi tumbuk, dan sudah barang tentu kerang masak tauco petai siapa bisa melupa? Kerangnya yang segar, tauco yang membawa aksen gurih-manis, dan pastinya, aroma petai yang ciamik melambai-lambai. Alahai!

Maka memang nyaris tak bisa kutahan gejolak perasaan tatkala hidungku menangkap bebauan yang sangat khas. Aku melonjak dari kasur. Seketika lelahku lesap. Penat dan terak-rerak badan jejak perjalanan panjang tujuh setengah jam: Taipei–Kuala Lumpur–Medan, dilanjutkan kurang lebih 45 menit menumpang bus bandara yang penuh sesak, seperti hilang tak berbekas.

Namun, langkahku segera surut. Mak tidak sendirian di dapur. Adikku, Laila, berdiri tak jauh darinya. Kulihat air mukanya keruh.

”Mak untuk apa masak begini banyak?” tanyanya.

Dua tungku kompor menyala. Mak melepas daging durian dari bijinya, memasukkannya ke panci, lantas mengaduk-aduknya bersama santan yang dilarutkan dengan gula pasir, gula aren, sedikit garam, dan beberapa helai daun pandan. Bebauan yang tercium sampai ke kamar berasal dari sini. Kinca durian mengental seiring tambahan tepung maizena.

Tutup kukusan di tungku yang lain terbuka, membubungkan asap tipis yang mengirim aroma yang sungguh tiada kalah memukau. Aroma ketan disiram santan. Juga harum pandan.

”Kau lupa hari ini giliran kita menyediakan makanan berbuka di masjid?”

Wajah Laila makin keruh dan mulai memucat pula. Ia memandangku sembari mengempas napas. Gesturnya serbasalah.

Ah, ya, ya. Kira-kira lima bulan lalu, lewat telepon, Laila bercerita penuh semangat, sebelum akhirnya, di ujung percakapan, memintaku mengontak Ayah.

”Abang besar-besarkan, lah, sedikit hati Ayah. Supaya naik lagi semangatnya.”

”Apakah memang parah sekali?”

”Ayah sekarang salat di Masjid An-Nur.”

”Masjid An-Nur?”

”Masjid seberang tanah lapang.”

”Astagfirullah! Sampai begitu?”

Ihwal perkara adalah penolakan Haji Zainuddin Tambi untuk dicalonkan kembali sebagai ketua Badan Kenaziran Masjid Al-Islah. Bilangnya, cukuplah sudah tujuh periode, regenerasi mesti segera dilakukan. Semua sependapat dan sepakat. Namun, seperhelaan napas langsung mencuat pertanyaan: siapa sosok pengganti yang tepat?

Dari sekian nama yang berseliweran kemudian tersaring kandidat-kandidat potensial. Mulanya lima; Abdul Manan, Anwar Sadat, Pawang Jailani, Leman Dogol, dan Edi Kulkas. Menjelang batas akhir pendaftaran, entah bagaimana dan dari mana bermula, sejumlah jemaah mengajukan sekaligus mendaftarkan Ayah.

Peta persaingan berubah. Terutama lantaran pengalamannya menjadi nazir dan juru doa di berbagai perkumpulan perwiridan, Ayah muncul sebagai kuda hitam. Iya, ini memang sekadar pemilihan ketua masjid.

Namun jangan silap! Jangan dikira tidak ada politik yang menyeruak. Jangan dikira, lantaran tak menyertakan ideologi kebangsaan dan partai-partai, politik yang mengiringinya berjalan serbalurus dan lugu. Justru sebaliknya, politik level mikro ini diwarnai silang sengkarut kerumitan yang sungguh tiada kalah dari kontestasi memilih kepala negara.

Pemilihan diawali seleksi administrasi dan dua kandidat segera masuk kotak. Leman Dogol dan Edi Kulkas gugur lantaran mereka tidak pernah jadi bagian dari kepengurusan di periode-periode sebelumnya. Perkara rekam jejak juga jadi pertimbangan.

Bertahun lalu, Leman Dogol dikenal sebagai pejudi kelas berat. Leman berjudi apa saja, dari poker sampai rolet, dari sepak bola, tinju, badminton, hingga balap kuda di Australia dan balap anjing di Singapura. Ia piawai menghitung angka-angka kemungkinan.

Baca Juga :  Nyala Api di Serban Syekh Lemahbang

Berapa angka main, berapa cari kawan, berapa taysen. Namun memang kartu domino; kartu dogol, yang membuatnya masyhur seantero kota kecil kami ini. Sampai dia bertobat, menjauhi judi dan mulai dekat ke masjid, tidak pernah ada yang bisa membuat Leman meninggalkan arena sebagai orang kalah.

Edi Kulkas lain lagi. Bertahun-tahun warga akrab dengan suaranya saat melantunkan azan. Hampir tidak pernah ia absen, terkadang, bahkan lengkap dari duhur sampai subuh. Suaranya yang merdu mendayu itu menyusup sampai ke sudut-sudut kamar. Namun ingatan pada tahun-tahun yang lain, tahun-tahun tatkala ia kerap meletupkan keonaran-keonaran yang meresahkan, tetap tak lekang.

Edi konon punya ilmu kebal. Tahan bacok segala macam senjata tajam. Pun kabarnya peluru. Konon ia bisa melompat tinggi, bisa berlari selekas angin dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sekedipan mata. Konon Edi pernah mencoba membuang ilmu-ilmu ini, tapi gagal dan berbalik jadi lawan yang membuatnya kejang-kejang dan kesurupan di waktu-waktu tertentu.

Empat kandidat tersisa. Seleksi berikutnya pengetahuan agama. Termasuk membaca Alquran, dan sampai di sini, sesungguhnya Pawang Jailani berpotensi jadi yang terdepan.

Sebelum menjalani hidup sebagai pawang kera (sering pula diminta menangkap ular, biawak, dan laba-laba), Jailani pernah menimba ilmu di sejumlah dayah dan pesantren di Jawa, dan sepanjang waktu itu dia empat kali ikut MTQ tingkat kabupaten dan dua kali jadi perwakilan di tingkat provinsi.

Lepas itu dia mengajar mengaji. Aku dan Laila sempat jadi muridnya. Singkat kata, dari sisi kompetensi Pawang Jailani tak perlu diragukan lagi.

Namun ternyata langkah Jailani justru terhenti di tahap ini. Sebabnya apa tidak terang. Merambat dalam bisik, disebut-sebut sejumlah orang tua dan orang-orang yang dituakan kurang berkenan padanya. Konon lantaran pekerjaannya [’macam mana malunya ketua masjid kita seorang pawang kera?’].

Kedua, Jailani dikenal bermulut tajam. Tak segan dia melontar kritik terbuka kepada Haji Zainuddin dan orang-orang di lingkaran pengurus, menyebut mereka malas dan berpikiran monoton. Terkait upaya memakmurkan masjid, misalnya. Jailani bilang, ada banyak jalan selain sekadar menunggu sumbangan-sumbangan jemaah. Selentingan beredar, Jailani juga yang kali pertama melecut isu kepengurusan Haji Zainuddin melakukan penggelapan dana bantuan Kementerian Agama.

Maka saingan bagi Ayah tinggal Abdul Manan dan Anwar Sadat. Kandidat-kandidat terkuat yang sejak awal memang diprediksi bakal bersaing ketat. Dua orang ini pensiunan pegawai pemerintah. Mantan pejabat tinggi di kementerian. Selain itu, mereka juga penyumbang-penyumbang utama di masa kepemimpinan Haji Zainuddin.

Sebut sembarang acara yang digelar, entah itu Maulid, Isra Mikraj, Nuzulul Quran, atau katakan festival nasyid, puisi Islami, atawa marhaban, merekalah penanggung dananya. Ada kas masjid, memang. Ada juga amplop-amplop sumbangan yang diedarkan oleh para pemuda ke rumah-rumah warga.

Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa besaran kas dan isi amplop-amplop ini selalu jauh dari cukup, dan dalam situasi begini, di hari-hari terakhir jelang tenggat acara, biasanya, para pengurus masjid datang ke rumah Abdul Manan dan Anwar Sadat, dan mereka akan dengan ringan menutup kekurangan, berapa pun jumlahnya.

Abdul Manan disapa ”Buya”, sedangkan Anwar Sadat kerap dipanggil ”Ketua”. Setelah pensiun Anwar Sadat memimpin organisasi kepemudaan sembari menjalankan bisnis leveransir, penyedia tanah dan pasir dan kerikil kerukan untuk proyek-proyek pembangunan jalan, jembatan, dan gedung-gedung bertingkat. Keduanya sudah pernah pergi ke Tanah Suci, masing-masing tiga kali.

Ayah tahu diri dan memilih mundur. Namun dari sinilah persoalan bermula. Abdul Manan dan Anwar Sadat sama-sama menginginkan Ayah berada di pihak mereka. Sebenarnya tidak ada masalah andaikan Ayah, yang pada akhirnya memilih berada di kubu Anwar Sadat (bertahun lalu Anwar Sadat pernah membantu menuntaskan utang-utang Wak Jalal, abang Ayah), bersikap pasif saja. Sekadar jadi tim hore-hore –tak usah berkontribusi apa-apa, cukup mendukung dan mengamini.

Baca Juga :  Burung Sangkar

Ayah sebaliknya, justru ingin mengambil peran lebih. Ia melakukan hal-hal yang menurutnya penting. Belakangan diketahui Anwar Sadat –dan orang-orang di lingkaran terdekatnya– merasa tidak senang. Mereka menganggap Ayah melangkah kelewat jauh.

”Mulanya Ayah curiga, Bang, kok, mendadak jemaah masjid jadi lebih ramai. Banyak wajah-wajah yang tidak Ayah kenal,” kata Laila di telepon waktu itu.

Demikianlah. Walau sebatas politik kecil-kecilan, kontestasi pemilihan ketua masjid ini memang serius. Tidak ecek-ecek. Tidak asal-asalan. Ada mekanisme yang dijalankan. Berangkat dari pemikiran Haji Zainuddin dan para orang tua dan orang-orang yang dituakan, ada regulasi yang disusun dan disepakati bersama.

Ada penyampaian visi dan misi. Ada kampanye. Mengenai pemilih ditetapkan bahwa yang memiliki hak suara adalah siapa pun jemaah Masjid Al-Islah tanpa kecuali: laki-laki, perempuan, tua, muda, termasuk remaja dengan usia minimal 15.

Letak persoalannya di sini. Ayah, menurut Laila, sejak awal sudah mewanti-wanti. Selain menaikkan usia minimal menjadi 17, untuk meminimalkan muslihat dan penyelewengan, Ayah juga mengusulkan batasan domisili. Pemilih adalah jemaah aktif yang bertempat tinggal dalam radius tertentu dari masjid. Tanpa batasan-batasan ini mana jemaah sah dan mana jemaah liar sulit dideteksi.

”Tapi mereka menertawakan Ayah, Bang, menyebut Ayah khawatir terlalu berlebihan. Haji Zainuddin bahkan bilang muslihat dan penyelewengan hanya mungkin terjadi pada kerja-kerja dunia, sementara ini pekerjaan untuk akhirat,” kata Laila.

Ketika kemudian muslihat dan penyelewengan betul-betul terjadi Ayah buka suara lagi. Lebih keras dan lantang. Masalahnya, sebut Laila, sampai sejauh itu Ayah tidak tahu bahwa jemaah-jemaah liar yang mulai bermunculan sekitar tiga pekan sebelum hari pemilihan didatangkan oleh Anwar Sadat.

Tibalah hari penentuan. Dalam perhitungan suara, Anwar Sadat menang telak.

”Kurang lebih satu minggu setelah terpilih Ketua Sadat menyusun kepengurusan, Bang. Orang-orangnya duduk. Juga beberapa orang yang tadinya di kubu Buya. Nama Ayah tidak masuk, Bang.

Ayah mulanya biasa-biasa saja. Bilang Ayah, ’biarlah, Ayah sudah pernah jadi pengurus, mungkin memang ada pahala tapi capeknya juga tak terkira’. Namun lama-lama Ayah risi juga, Bang. Ayah merasa dikucilkan. Tiap kali ke masjid, orang-orang yang tadinya akrab jadi menjauh, bahkan takut-takut untuk sekadar menegur Ayah.”

***

Petang mulai meremang. Laila duduk menonton televisi yang mengalirkan sinetron religi. Di rumah hanya kami bertiga. Ayah sebentar tadi pulang, mandi, lalu pergi lagi untuk menyiapkan berbuka, Tarawih, dan tadarus di masjid seberang tanah lapang. Sebelum pergi, Ayah menunjukkan pada Mak selembar kertas berisi jadwal penyedia makanan dan minuman berbuka di Masjid Al-Islah.

Tahun-tahun Ramadan sebelumnya, tak kuingat sejak kapan, Ayah selalu dapat giliran empat kali sepanjang bulan. Masing-masing sekali di tiap pekan. Persisnya pertengahan pekan, Kamis atau Jumat. Lantaran berulang, kukira, jadwal ini sudah Mak hafal luar kepala. Namun kali ini nama Ayah tak ada.

Mak tidak berkata apa-apa. Ia menyelesaikan memasak pulut durian, lantas menuangkannya ke mangkuk kaca. Harum durian kian mengusik selera. Mak menyusun piring-piring dan gelas di meja makan dengan kecekatan yang sama sekali belum surut. Mak juga memasukkan pulut durian ke beberapa rantang kaleng.

”Kauantarkan pulut durian ini ke tetangga-tetangga, Laila. Mak telanjur masak, takkan habis kita begini banyak.” (*)

Medan, 2024

  1. AGUS KHAIDIR, Lahir di Bima, NTB. Saat ini tinggal di Medan, Sumut. Bekerja sebagai wartawan dan fotografer.

Oleh T. AGUS KHAIDIR

Inilah yang selalu menjadi rindu saat berada jauh. Bebauan sedap dari dapur Mak. Terlebih di hari-hari Ramadan dan aku tak berkesempatan pulang. Bebauan itu sekonyong-konyong saja muncul entah dari mana; menyergap hidung, membelai ingatan, menguar kenangan yang kemudian menjelmakan berbagai komposisi hidangan di meja makan.

TIAP kali rindu tiba di puncak yang kulakukan adalah memejam dan membiarkan bayangan hidangan-hidangan itu menari-nari di pelupuk mataku. Bubur pedas, anyang pakis, pajri nenas. Betapa menyelerakan!

Tak kalah sering hadir gulai masam ikan senangin. Berlemak nian padahal tanpa santan, dengan rasa kincung tipis-tipis yang memesona. Lalu ayam kari, ikan pari sambal belacan, gulai ikan salai dan daun ubi tumbuk, dan sudah barang tentu kerang masak tauco petai siapa bisa melupa? Kerangnya yang segar, tauco yang membawa aksen gurih-manis, dan pastinya, aroma petai yang ciamik melambai-lambai. Alahai!

Maka memang nyaris tak bisa kutahan gejolak perasaan tatkala hidungku menangkap bebauan yang sangat khas. Aku melonjak dari kasur. Seketika lelahku lesap. Penat dan terak-rerak badan jejak perjalanan panjang tujuh setengah jam: Taipei–Kuala Lumpur–Medan, dilanjutkan kurang lebih 45 menit menumpang bus bandara yang penuh sesak, seperti hilang tak berbekas.

Namun, langkahku segera surut. Mak tidak sendirian di dapur. Adikku, Laila, berdiri tak jauh darinya. Kulihat air mukanya keruh.

”Mak untuk apa masak begini banyak?” tanyanya.

Dua tungku kompor menyala. Mak melepas daging durian dari bijinya, memasukkannya ke panci, lantas mengaduk-aduknya bersama santan yang dilarutkan dengan gula pasir, gula aren, sedikit garam, dan beberapa helai daun pandan. Bebauan yang tercium sampai ke kamar berasal dari sini. Kinca durian mengental seiring tambahan tepung maizena.

Tutup kukusan di tungku yang lain terbuka, membubungkan asap tipis yang mengirim aroma yang sungguh tiada kalah memukau. Aroma ketan disiram santan. Juga harum pandan.

”Kau lupa hari ini giliran kita menyediakan makanan berbuka di masjid?”

Wajah Laila makin keruh dan mulai memucat pula. Ia memandangku sembari mengempas napas. Gesturnya serbasalah.

Ah, ya, ya. Kira-kira lima bulan lalu, lewat telepon, Laila bercerita penuh semangat, sebelum akhirnya, di ujung percakapan, memintaku mengontak Ayah.

”Abang besar-besarkan, lah, sedikit hati Ayah. Supaya naik lagi semangatnya.”

”Apakah memang parah sekali?”

”Ayah sekarang salat di Masjid An-Nur.”

”Masjid An-Nur?”

”Masjid seberang tanah lapang.”

”Astagfirullah! Sampai begitu?”

Ihwal perkara adalah penolakan Haji Zainuddin Tambi untuk dicalonkan kembali sebagai ketua Badan Kenaziran Masjid Al-Islah. Bilangnya, cukuplah sudah tujuh periode, regenerasi mesti segera dilakukan. Semua sependapat dan sepakat. Namun, seperhelaan napas langsung mencuat pertanyaan: siapa sosok pengganti yang tepat?

Dari sekian nama yang berseliweran kemudian tersaring kandidat-kandidat potensial. Mulanya lima; Abdul Manan, Anwar Sadat, Pawang Jailani, Leman Dogol, dan Edi Kulkas. Menjelang batas akhir pendaftaran, entah bagaimana dan dari mana bermula, sejumlah jemaah mengajukan sekaligus mendaftarkan Ayah.

Peta persaingan berubah. Terutama lantaran pengalamannya menjadi nazir dan juru doa di berbagai perkumpulan perwiridan, Ayah muncul sebagai kuda hitam. Iya, ini memang sekadar pemilihan ketua masjid.

Namun jangan silap! Jangan dikira tidak ada politik yang menyeruak. Jangan dikira, lantaran tak menyertakan ideologi kebangsaan dan partai-partai, politik yang mengiringinya berjalan serbalurus dan lugu. Justru sebaliknya, politik level mikro ini diwarnai silang sengkarut kerumitan yang sungguh tiada kalah dari kontestasi memilih kepala negara.

Pemilihan diawali seleksi administrasi dan dua kandidat segera masuk kotak. Leman Dogol dan Edi Kulkas gugur lantaran mereka tidak pernah jadi bagian dari kepengurusan di periode-periode sebelumnya. Perkara rekam jejak juga jadi pertimbangan.

Bertahun lalu, Leman Dogol dikenal sebagai pejudi kelas berat. Leman berjudi apa saja, dari poker sampai rolet, dari sepak bola, tinju, badminton, hingga balap kuda di Australia dan balap anjing di Singapura. Ia piawai menghitung angka-angka kemungkinan.

Baca Juga :  Nyala Api di Serban Syekh Lemahbang

Berapa angka main, berapa cari kawan, berapa taysen. Namun memang kartu domino; kartu dogol, yang membuatnya masyhur seantero kota kecil kami ini. Sampai dia bertobat, menjauhi judi dan mulai dekat ke masjid, tidak pernah ada yang bisa membuat Leman meninggalkan arena sebagai orang kalah.

Edi Kulkas lain lagi. Bertahun-tahun warga akrab dengan suaranya saat melantunkan azan. Hampir tidak pernah ia absen, terkadang, bahkan lengkap dari duhur sampai subuh. Suaranya yang merdu mendayu itu menyusup sampai ke sudut-sudut kamar. Namun ingatan pada tahun-tahun yang lain, tahun-tahun tatkala ia kerap meletupkan keonaran-keonaran yang meresahkan, tetap tak lekang.

Edi konon punya ilmu kebal. Tahan bacok segala macam senjata tajam. Pun kabarnya peluru. Konon ia bisa melompat tinggi, bisa berlari selekas angin dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sekedipan mata. Konon Edi pernah mencoba membuang ilmu-ilmu ini, tapi gagal dan berbalik jadi lawan yang membuatnya kejang-kejang dan kesurupan di waktu-waktu tertentu.

Empat kandidat tersisa. Seleksi berikutnya pengetahuan agama. Termasuk membaca Alquran, dan sampai di sini, sesungguhnya Pawang Jailani berpotensi jadi yang terdepan.

Sebelum menjalani hidup sebagai pawang kera (sering pula diminta menangkap ular, biawak, dan laba-laba), Jailani pernah menimba ilmu di sejumlah dayah dan pesantren di Jawa, dan sepanjang waktu itu dia empat kali ikut MTQ tingkat kabupaten dan dua kali jadi perwakilan di tingkat provinsi.

Lepas itu dia mengajar mengaji. Aku dan Laila sempat jadi muridnya. Singkat kata, dari sisi kompetensi Pawang Jailani tak perlu diragukan lagi.

Namun ternyata langkah Jailani justru terhenti di tahap ini. Sebabnya apa tidak terang. Merambat dalam bisik, disebut-sebut sejumlah orang tua dan orang-orang yang dituakan kurang berkenan padanya. Konon lantaran pekerjaannya [’macam mana malunya ketua masjid kita seorang pawang kera?’].

Kedua, Jailani dikenal bermulut tajam. Tak segan dia melontar kritik terbuka kepada Haji Zainuddin dan orang-orang di lingkaran pengurus, menyebut mereka malas dan berpikiran monoton. Terkait upaya memakmurkan masjid, misalnya. Jailani bilang, ada banyak jalan selain sekadar menunggu sumbangan-sumbangan jemaah. Selentingan beredar, Jailani juga yang kali pertama melecut isu kepengurusan Haji Zainuddin melakukan penggelapan dana bantuan Kementerian Agama.

Maka saingan bagi Ayah tinggal Abdul Manan dan Anwar Sadat. Kandidat-kandidat terkuat yang sejak awal memang diprediksi bakal bersaing ketat. Dua orang ini pensiunan pegawai pemerintah. Mantan pejabat tinggi di kementerian. Selain itu, mereka juga penyumbang-penyumbang utama di masa kepemimpinan Haji Zainuddin.

Sebut sembarang acara yang digelar, entah itu Maulid, Isra Mikraj, Nuzulul Quran, atau katakan festival nasyid, puisi Islami, atawa marhaban, merekalah penanggung dananya. Ada kas masjid, memang. Ada juga amplop-amplop sumbangan yang diedarkan oleh para pemuda ke rumah-rumah warga.

Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa besaran kas dan isi amplop-amplop ini selalu jauh dari cukup, dan dalam situasi begini, di hari-hari terakhir jelang tenggat acara, biasanya, para pengurus masjid datang ke rumah Abdul Manan dan Anwar Sadat, dan mereka akan dengan ringan menutup kekurangan, berapa pun jumlahnya.

Abdul Manan disapa ”Buya”, sedangkan Anwar Sadat kerap dipanggil ”Ketua”. Setelah pensiun Anwar Sadat memimpin organisasi kepemudaan sembari menjalankan bisnis leveransir, penyedia tanah dan pasir dan kerikil kerukan untuk proyek-proyek pembangunan jalan, jembatan, dan gedung-gedung bertingkat. Keduanya sudah pernah pergi ke Tanah Suci, masing-masing tiga kali.

Ayah tahu diri dan memilih mundur. Namun dari sinilah persoalan bermula. Abdul Manan dan Anwar Sadat sama-sama menginginkan Ayah berada di pihak mereka. Sebenarnya tidak ada masalah andaikan Ayah, yang pada akhirnya memilih berada di kubu Anwar Sadat (bertahun lalu Anwar Sadat pernah membantu menuntaskan utang-utang Wak Jalal, abang Ayah), bersikap pasif saja. Sekadar jadi tim hore-hore –tak usah berkontribusi apa-apa, cukup mendukung dan mengamini.

Baca Juga :  Burung Sangkar

Ayah sebaliknya, justru ingin mengambil peran lebih. Ia melakukan hal-hal yang menurutnya penting. Belakangan diketahui Anwar Sadat –dan orang-orang di lingkaran terdekatnya– merasa tidak senang. Mereka menganggap Ayah melangkah kelewat jauh.

”Mulanya Ayah curiga, Bang, kok, mendadak jemaah masjid jadi lebih ramai. Banyak wajah-wajah yang tidak Ayah kenal,” kata Laila di telepon waktu itu.

Demikianlah. Walau sebatas politik kecil-kecilan, kontestasi pemilihan ketua masjid ini memang serius. Tidak ecek-ecek. Tidak asal-asalan. Ada mekanisme yang dijalankan. Berangkat dari pemikiran Haji Zainuddin dan para orang tua dan orang-orang yang dituakan, ada regulasi yang disusun dan disepakati bersama.

Ada penyampaian visi dan misi. Ada kampanye. Mengenai pemilih ditetapkan bahwa yang memiliki hak suara adalah siapa pun jemaah Masjid Al-Islah tanpa kecuali: laki-laki, perempuan, tua, muda, termasuk remaja dengan usia minimal 15.

Letak persoalannya di sini. Ayah, menurut Laila, sejak awal sudah mewanti-wanti. Selain menaikkan usia minimal menjadi 17, untuk meminimalkan muslihat dan penyelewengan, Ayah juga mengusulkan batasan domisili. Pemilih adalah jemaah aktif yang bertempat tinggal dalam radius tertentu dari masjid. Tanpa batasan-batasan ini mana jemaah sah dan mana jemaah liar sulit dideteksi.

”Tapi mereka menertawakan Ayah, Bang, menyebut Ayah khawatir terlalu berlebihan. Haji Zainuddin bahkan bilang muslihat dan penyelewengan hanya mungkin terjadi pada kerja-kerja dunia, sementara ini pekerjaan untuk akhirat,” kata Laila.

Ketika kemudian muslihat dan penyelewengan betul-betul terjadi Ayah buka suara lagi. Lebih keras dan lantang. Masalahnya, sebut Laila, sampai sejauh itu Ayah tidak tahu bahwa jemaah-jemaah liar yang mulai bermunculan sekitar tiga pekan sebelum hari pemilihan didatangkan oleh Anwar Sadat.

Tibalah hari penentuan. Dalam perhitungan suara, Anwar Sadat menang telak.

”Kurang lebih satu minggu setelah terpilih Ketua Sadat menyusun kepengurusan, Bang. Orang-orangnya duduk. Juga beberapa orang yang tadinya di kubu Buya. Nama Ayah tidak masuk, Bang.

Ayah mulanya biasa-biasa saja. Bilang Ayah, ’biarlah, Ayah sudah pernah jadi pengurus, mungkin memang ada pahala tapi capeknya juga tak terkira’. Namun lama-lama Ayah risi juga, Bang. Ayah merasa dikucilkan. Tiap kali ke masjid, orang-orang yang tadinya akrab jadi menjauh, bahkan takut-takut untuk sekadar menegur Ayah.”

***

Petang mulai meremang. Laila duduk menonton televisi yang mengalirkan sinetron religi. Di rumah hanya kami bertiga. Ayah sebentar tadi pulang, mandi, lalu pergi lagi untuk menyiapkan berbuka, Tarawih, dan tadarus di masjid seberang tanah lapang. Sebelum pergi, Ayah menunjukkan pada Mak selembar kertas berisi jadwal penyedia makanan dan minuman berbuka di Masjid Al-Islah.

Tahun-tahun Ramadan sebelumnya, tak kuingat sejak kapan, Ayah selalu dapat giliran empat kali sepanjang bulan. Masing-masing sekali di tiap pekan. Persisnya pertengahan pekan, Kamis atau Jumat. Lantaran berulang, kukira, jadwal ini sudah Mak hafal luar kepala. Namun kali ini nama Ayah tak ada.

Mak tidak berkata apa-apa. Ia menyelesaikan memasak pulut durian, lantas menuangkannya ke mangkuk kaca. Harum durian kian mengusik selera. Mak menyusun piring-piring dan gelas di meja makan dengan kecekatan yang sama sekali belum surut. Mak juga memasukkan pulut durian ke beberapa rantang kaleng.

”Kauantarkan pulut durian ini ke tetangga-tetangga, Laila. Mak telanjur masak, takkan habis kita begini banyak.” (*)

Medan, 2024

  1. AGUS KHAIDIR, Lahir di Bima, NTB. Saat ini tinggal di Medan, Sumut. Bekerja sebagai wartawan dan fotografer.

Terpopuler

Artikel Terbaru