28 C
Jakarta
Friday, May 3, 2024

Genderuwo

Sambil menarik bahuku agar lebih mendekat, Elyas berbisik: ”Coba perhatikan.” Maka aku memperhatikan apa yang ditunjuknya. Sebuah rumah. Dua lantai. Dengan gerbang setinggi hampir dua meter.

NAMUN, aku tidak melihat apa-apa, kecuali rumah biasa. Kami mengamat-amati rumah tersebut sambil bergelayut di sebatang pohon, yang tidak kuketahui namanya, beberapa meter dari rumah tersebut.

”Apa?” tanyaku. ”Tidak ada apa-apa kok.”

”Coba perhatikan lebih teliti. Jendela itu…” ucap Elyas.

Dua jam sebelumnya, usai rapat yang melelahkan di posko pemenangan, aku diserang rasa lapar. Sebetulnya, sejak menikah aku tidak biasa makan di sembarang tempat. Ada beberapa rumah makan langgananku, yang menurut pandangan umum cukup mahal.

Namun, karena saat itu rasa lapar tak terganggungkan, aku terpaksa memilih rumah makan yang paling dekat dari posko. Maka singgahlah aku di Rumah Makan Surga yang terletak di Jalan Banda, sama seperti posko pemenangan itu. Aku memesan sate kambing dan es jeruk.

Saat menunggu pesanan diantar, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Itu Elyas. Ia memesan rawon dan air mineral, lantas tanpa izin langsung duduk satu meja denganku. Setelah basa-basi sebentar, kami berbincang-bincang akrab sambil mengunyah makanan.

Elyas kawan lamaku; kawan di sekolah menengah dulu. Badannya terbilang tambun, matanya sipit seperti garis yang tak sengaja dibuat. Ia senang sekali makan. Mungkin tidak ada hal lain yang lebih menyenangkan buatnya, kecuali makanan. Sewaktu di sekolah menengah sebetulnya aku tidak begitu menyukainya.

Ia terlampau bengal dan suka mengambil risiko-risiko yang tidak perlu. Suatu hari, misalnya, dengan kesombongan tertentu ia merangkak melewati kawat berduri yang dibentangkan sebagai pagar kebun labu. Karena badannya tambun, ia tidak berhasil melewati bentangan kawat itu. Bokongnya tertancap duri besi. Aku yang kemudian harus repot memanggil orang untuk menolongnya.

Sebetulnya, Elyas mulai bertingkah semacam itu setelah suatu peristiwa yang dialaminya ketika kami baru masuk kelas satu. Saat itu Elyas menghilang. Orang tuanya mendatangi sekolah untuk mengabarkan sekaligus mencari keberadaan Elyas.

Sudah tiga hari Elyas tidak pulang dan selama itu pula ia tidak masuk sekolah. Orang tuanya tidak berhasil melacak keberadaannya. Begitu juga pihak sekolah. Mereka kemudian sepakat melaporkan kasus tersebut ke polisi setelah Elyas menghilang selama seminggu.

Namun, tiba-tiba saja Elyas muncul. Ia pulang tanpa kekurangan apa-apa, bahkan ia pulang dengan suatu kelebihan. Berat badannya bertambah dan pipinya jadi lebih gembul. Ketika orang tuanya bertanya, Elyas cuma bilang bahwa ia tidak ke mana-mana. Ia tetap di rumah dan pergi sekolah seperti biasa. Elyas bahkan terheran-heran kenapa orang-orang menganggap ia menghilang.

Sejak peristiwa itu Elyas agak dekat denganku. Aku tidak tahu sebabnya. Saat itu aku tidak begitu memperhatikan peristiwa-peristiwa di sekitarku, termasuk peristiwa menghilangnya Elyas –meski sesekali aku berkomentar, aku tidak pernah sungguh-sungguh memikirkannya.

Ketika kami makan malam di Rumah Makan Surga, Elyas kembali menyinggung peristiwa menghilangnya ia dulu. Namun, ceritanya kali ini agak berbeda. Ia bilang, sebetulnya waktu itu ia dibawa genderuwo. Aku tidak terperanjat mendengar pengakuannya. Bagiku tidak penting sama sekali, apakah Elyas diculik genderuwo atau cuma mau bikin sensasi.

Sekarang kami sudah bukan kanak-kanak lagi. Hanya, mau tidak mau aku tetap membayangkan sosok genderuwo; sosok serupa monyet besar berbulu lebat dan bertampang menyeramkan, menggendong tubuh Elyas yang saat itu masih kurus dan membawanya memasuki alam gaib.

”Aku dibawa ke sebuah rumah besar. Di rumah itu banyak orang. Mereka semua berpakaian rapi dan bersih. Selama aku di sana, bersama orang-orang itu, kegiatan kami cuma makan. Banyak sekali makanan, seperti tidak ada habisnya. Semuanya enak-enak.

Baca Juga :  Kota Rantau

Dan aku seperti tidak kenyang-kenyang. Begitu juga semua orang di rumah itu. Mereka terus-menerus makan. Sampai tubuh mereka membengkak, menggelembung seperti balon. Dan, kautahu, salah seorang yang ada di rumah besar itu masih kulihat sampai sekarang. Ia tinggal di kota ini.”

”Sebentar,” selaku setelah meneguk es jeruk usai potongan daging terakhir masuk ke perutku. ”Kaubilang genderuwo. Seperti apa rupanya?”

”Nah itu, jangan kaubayangkan genderuwo itu seperti yang diceritakan orang-orang; berbadan besar dan berbulu lebat, macam monyet. Kalau wujudnya seperti itu, mana mau aku ketika ia mengajakku ke rumah besar itu.”

Ketika Elyas mengatakan hal itu, ia sudah menghabiskan semangkuk soto, dan soto itu dipesannya bukan setelah rawon tadi, melainkan setelah seporsi pecel, seekor gurami bakar, dan seporsi bakso habis dilahapnya.

”Setelah kita makan, aku berencana mengajakmu ke rumah orang yang tadi kumaksud. Rumahnya tidak jauh dari sini. Di Jalan Irian. Kaumau kan?”

Aku berpikir sejenak. Jalan Irian seperti sayatan kecil bagi Jalan Veteran yang lebih besar. Orang jarang melewati Jalan Irian sebab jalan itu bukan jalan pintas. Ujungnya adalah areal pemakaman tua yang terletak di mulut perkampungan yang warganya banyak bekerja sebagai pembuat batu nisan.

”Sepertinya tidak bisa. Aku harus segera pulang. Istriku sedang hamil besar. Ia tentu tidak bisa ditinggal lama-lama,” jawabku.

”Sebentar saja. Takkan menghabiskan waktu terlalu lama. Tempatnya dekat dan kita cuma akan melihat-lihat dari luar.”

Sejak dahulu aku memang tidak bisa menolak ajakan Elyas. Untuk hal itu, aku juga tidak tahu apa sebabnya. Elyas seperti punya daya sihir untuk melemahkan penolakanku.

Maka setelah makan, setelah Elyas memesan lagi seporsi nasi goreng dan semangkuk mi kuah dan segera menghabiskannya, berangkatlah kami ke rumah yang dimaksudkannya. Elyas menumpang mobilku sebab ia ternyata tidak membawa kendaraan.

”Perhatikan di jendela itu…” kata Elyas lagi. Maka kuperhatikan jendela yang gordennya terbuka. Tidak ada yang aneh, kecuali lampu yang menyala, berbeda dengan lampu-lampu lain di rumah itu. ”Itu dia…” kata Elyas lagi. Namun, aku tak bisa melihat dia yang dimaksudkannya itu.

”Ayo kita lihat lebih dekat,” tiba-tiba Elyas menarik tanganku; mengajakku turun dari pohon. Aku tak sempat menolak. Sampai di bawah, Elyas terus menyeretku sampai di gerbang rumah itu, dan tanpa bertanya terus membawaku ke satu bagian di sudut dinding pagar. Di sana ternyata ada sebuah pintu kecil. Elyas menarikku masuk. Aku tergagap-gagap. ”Apa yang kaulakukan? Kau mau apa?” tanyaku.

”Ayo masuk. Sebentar saja. Kita langsung pulang setelah kau bisa melihat orang itu dengan lebih jelas.”

Aku masuk. Sampai di halaman yang luas, kembali tanpa bertanya Elyas menghambur ke pintu utama. Terpaksa aku mengikutinya. Pintu tidak dikunci, atau Elyas telah memakai kunci lain untuk membukanya, aku tidak begitu tahu. Yang jelas kemudian kami sudah ada di dalam rumah.

Bagian dalam rumah itu sangat luas, sampai-sampai terasa aneh. Kalau dilihat dari luar, tidak mungkin ruangan dalam rumah bisa seluas itu. Meskipun lampu tidak menyala, aku dapat melihat ruangan itu nyaris tanpa perabotan, kecuali beberapa topeng yang tertempel di dinding.

Elyas mengendap-endap menuju tangga. Sekali lagi aku terpaksa mengikutinya. ”Hati-hati,” ujarnya. Baru kulihat di anak tangga ada terbentang kawat-kawat berduri.

Sampai di lantai dua; lantai tempat jendela yang kami saksikan tadi berada, ruangan terlihat lebih luas lagi. Elyas bergerak menuju pintu, satu-satunya pintu di ruangan itu.

Baca Juga :  Pendulum

”Ayo…” bisiknya ketika aku cuma diam di bibir tangga.

Elyas membuka pintu dan menarik tanganku. Kami masuk.

Di ruangan itu lampu memang menyala sehingga ruangan terang benderang. Ada banyak meja, dan tiap meja penuh oleh berbagai makanan. Kursi-kursi di sekeliling tiap-tiap meja juga dipenuhi orang. Sangat banyak orang sampai-sampai aku merasa sedang berada di sebuah pasar malam, atau pesta besar.

Mereka semua seperti tidak melihat kemunculan aku dan Elyas. Tiba-tiba aku teringat sebuah pesta besar. Pesta perkawinan yang tak lain adalah pesta perkawinanku sendiri dengan Dama Tansil, anak pemilik perusahaan Tansil Group.

”Lihat mereka. Seperti inilah yang kutemukan ketika aku dibawa dulu,” ucap Elyas.

”Tapi…” ucapku, ”kenapa kau mengajakku kemari?”

”Kenapa? Kau bisa memikirkannya sendiri. Perhatikan saja mereka…”

Aku memperhatikan satu per satu orang-orang yang tak henti-hentinya makan. Mereka makan dengan membabi buta, melahap tanpa jeda semua hidangan yang juga terus-menerus ditambah. Mula-mula aku merasa tak mengenal mereka, tapi setelah kuamat-amati aku mulai merasa mengenal mereka.

Namun, aku tidak ingat di mana pernah bertemu mereka. Kecuali seorang laki-laki yang duduk di salah satu meja. Ia tak lain adalah Leo Tansil, mertuaku.

Aku merinding. Suatu perasaan aneh menyelubungiku. Tempat apa ini. Kenapa mertuaku ada di sini. Aku mau menggebrak Elyas saat tiba-tiba ruangan jadi hening. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Dari arah tirai merah di sudut jauh sana, muncul seorang bocah laki-laki.

Ia berpakaian jas resmi dengan dasi kupu-kupu. Mukanya pucat seperti kebanyakan bedak, tapi bibirnya merah. Ia melompat-lompat dan menggerak-gerakkan sikunya seperti sedang menari.

Seorang laki-laki lain, yang bertubuh luar biasa jangkung, tiba-tiba bersuara. Tampaknya ia adalah pemandu acara. Ia berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti, tapi dapat kupahami bahwa ia memperkenalkan si bocah kepada hadirin sebab kemudian si bocah membungkuk lalu kembali melompat-lompat mendekati sebuah mimbar yang dari tadi tidak kuperhatikan. Bocah itu berdiri di mimbar seperti seorang pejabat.

Elyas mendekat dan berbisik di telingaku: ”Itu genderuwo…”

Aku tak menanggapi. ”Dan kautahu siapa dia sebenarnya?” tanya Elyas.

Sebetulnya tidak ada pentingnya aku mengetahui siapa bocah yang disebutnya genderuwo itu. Keseluruhan situasi itu dengan sendirinya telah membuatku merasa gila. Aku bahkan berpikir-pikir apakah sate yang kumakan tadi sudah dicampur bahan kimia tertentu. Aku sedang mencalonkan diri jadi anggota dewan, pasti ada musuh yang diam-diam ingin menghancurkanku. Mungkin Elyas sudah dibayar pihak lawan untuk melaksanakan itu.

”Maksudmu?” tanyaku akhirnya.

”Perhatikan…”

Setelah beberapa kata pembuka yang juga tak kumengerti, bocah di mimbar memanggil seseorang. Ruangan serentak riuh oleh lolongan, raungan, kaok-kaok menyeramkan dari mulut semua orang di ruangan itu. Lantas mereka semua kembali melahap dengan ugal-ugalan semua makanan seolah-olah mereka sedang mengiringi orang yang dipanggil itu maju ke mimbar.

Seseorang kembali muncul dari balik tirai merah, sebagaimana bocah tadi. Saat kuamat-amati orang yang kemudian maju ke mimbar itu, aku tercengang. Ia seorang perempuan jelita. Dan ia tidak lain adalah Dama Tansil, istriku.

”Genderuwo itu anakmu…” bisik Elyas sekali lagi.

Aku tidak peduli lagi apa yang dikatakan atau akan dikatakan Elyas. Sekarang aku sungguh-sungguh tidak tahan lagi. Aku merasa lapar, sangat lapar. Aku mau makan. Aku harus makan. Aku harus melahap semua makanan di ruangan itu, secepatnya, sekenyang-kenyangnya. (*)

KIKI SULISTYO, Lahir di Ampenan, Lombok. Buku puisinya, Tuhan Padi, meraih Penghargaan Sastra Kemendikbudristek (2023). Kumpulan cerpen terbarunya berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).

Sambil menarik bahuku agar lebih mendekat, Elyas berbisik: ”Coba perhatikan.” Maka aku memperhatikan apa yang ditunjuknya. Sebuah rumah. Dua lantai. Dengan gerbang setinggi hampir dua meter.

NAMUN, aku tidak melihat apa-apa, kecuali rumah biasa. Kami mengamat-amati rumah tersebut sambil bergelayut di sebatang pohon, yang tidak kuketahui namanya, beberapa meter dari rumah tersebut.

”Apa?” tanyaku. ”Tidak ada apa-apa kok.”

”Coba perhatikan lebih teliti. Jendela itu…” ucap Elyas.

Dua jam sebelumnya, usai rapat yang melelahkan di posko pemenangan, aku diserang rasa lapar. Sebetulnya, sejak menikah aku tidak biasa makan di sembarang tempat. Ada beberapa rumah makan langgananku, yang menurut pandangan umum cukup mahal.

Namun, karena saat itu rasa lapar tak terganggungkan, aku terpaksa memilih rumah makan yang paling dekat dari posko. Maka singgahlah aku di Rumah Makan Surga yang terletak di Jalan Banda, sama seperti posko pemenangan itu. Aku memesan sate kambing dan es jeruk.

Saat menunggu pesanan diantar, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Itu Elyas. Ia memesan rawon dan air mineral, lantas tanpa izin langsung duduk satu meja denganku. Setelah basa-basi sebentar, kami berbincang-bincang akrab sambil mengunyah makanan.

Elyas kawan lamaku; kawan di sekolah menengah dulu. Badannya terbilang tambun, matanya sipit seperti garis yang tak sengaja dibuat. Ia senang sekali makan. Mungkin tidak ada hal lain yang lebih menyenangkan buatnya, kecuali makanan. Sewaktu di sekolah menengah sebetulnya aku tidak begitu menyukainya.

Ia terlampau bengal dan suka mengambil risiko-risiko yang tidak perlu. Suatu hari, misalnya, dengan kesombongan tertentu ia merangkak melewati kawat berduri yang dibentangkan sebagai pagar kebun labu. Karena badannya tambun, ia tidak berhasil melewati bentangan kawat itu. Bokongnya tertancap duri besi. Aku yang kemudian harus repot memanggil orang untuk menolongnya.

Sebetulnya, Elyas mulai bertingkah semacam itu setelah suatu peristiwa yang dialaminya ketika kami baru masuk kelas satu. Saat itu Elyas menghilang. Orang tuanya mendatangi sekolah untuk mengabarkan sekaligus mencari keberadaan Elyas.

Sudah tiga hari Elyas tidak pulang dan selama itu pula ia tidak masuk sekolah. Orang tuanya tidak berhasil melacak keberadaannya. Begitu juga pihak sekolah. Mereka kemudian sepakat melaporkan kasus tersebut ke polisi setelah Elyas menghilang selama seminggu.

Namun, tiba-tiba saja Elyas muncul. Ia pulang tanpa kekurangan apa-apa, bahkan ia pulang dengan suatu kelebihan. Berat badannya bertambah dan pipinya jadi lebih gembul. Ketika orang tuanya bertanya, Elyas cuma bilang bahwa ia tidak ke mana-mana. Ia tetap di rumah dan pergi sekolah seperti biasa. Elyas bahkan terheran-heran kenapa orang-orang menganggap ia menghilang.

Sejak peristiwa itu Elyas agak dekat denganku. Aku tidak tahu sebabnya. Saat itu aku tidak begitu memperhatikan peristiwa-peristiwa di sekitarku, termasuk peristiwa menghilangnya Elyas –meski sesekali aku berkomentar, aku tidak pernah sungguh-sungguh memikirkannya.

Ketika kami makan malam di Rumah Makan Surga, Elyas kembali menyinggung peristiwa menghilangnya ia dulu. Namun, ceritanya kali ini agak berbeda. Ia bilang, sebetulnya waktu itu ia dibawa genderuwo. Aku tidak terperanjat mendengar pengakuannya. Bagiku tidak penting sama sekali, apakah Elyas diculik genderuwo atau cuma mau bikin sensasi.

Sekarang kami sudah bukan kanak-kanak lagi. Hanya, mau tidak mau aku tetap membayangkan sosok genderuwo; sosok serupa monyet besar berbulu lebat dan bertampang menyeramkan, menggendong tubuh Elyas yang saat itu masih kurus dan membawanya memasuki alam gaib.

”Aku dibawa ke sebuah rumah besar. Di rumah itu banyak orang. Mereka semua berpakaian rapi dan bersih. Selama aku di sana, bersama orang-orang itu, kegiatan kami cuma makan. Banyak sekali makanan, seperti tidak ada habisnya. Semuanya enak-enak.

Baca Juga :  Kota Rantau

Dan aku seperti tidak kenyang-kenyang. Begitu juga semua orang di rumah itu. Mereka terus-menerus makan. Sampai tubuh mereka membengkak, menggelembung seperti balon. Dan, kautahu, salah seorang yang ada di rumah besar itu masih kulihat sampai sekarang. Ia tinggal di kota ini.”

”Sebentar,” selaku setelah meneguk es jeruk usai potongan daging terakhir masuk ke perutku. ”Kaubilang genderuwo. Seperti apa rupanya?”

”Nah itu, jangan kaubayangkan genderuwo itu seperti yang diceritakan orang-orang; berbadan besar dan berbulu lebat, macam monyet. Kalau wujudnya seperti itu, mana mau aku ketika ia mengajakku ke rumah besar itu.”

Ketika Elyas mengatakan hal itu, ia sudah menghabiskan semangkuk soto, dan soto itu dipesannya bukan setelah rawon tadi, melainkan setelah seporsi pecel, seekor gurami bakar, dan seporsi bakso habis dilahapnya.

”Setelah kita makan, aku berencana mengajakmu ke rumah orang yang tadi kumaksud. Rumahnya tidak jauh dari sini. Di Jalan Irian. Kaumau kan?”

Aku berpikir sejenak. Jalan Irian seperti sayatan kecil bagi Jalan Veteran yang lebih besar. Orang jarang melewati Jalan Irian sebab jalan itu bukan jalan pintas. Ujungnya adalah areal pemakaman tua yang terletak di mulut perkampungan yang warganya banyak bekerja sebagai pembuat batu nisan.

”Sepertinya tidak bisa. Aku harus segera pulang. Istriku sedang hamil besar. Ia tentu tidak bisa ditinggal lama-lama,” jawabku.

”Sebentar saja. Takkan menghabiskan waktu terlalu lama. Tempatnya dekat dan kita cuma akan melihat-lihat dari luar.”

Sejak dahulu aku memang tidak bisa menolak ajakan Elyas. Untuk hal itu, aku juga tidak tahu apa sebabnya. Elyas seperti punya daya sihir untuk melemahkan penolakanku.

Maka setelah makan, setelah Elyas memesan lagi seporsi nasi goreng dan semangkuk mi kuah dan segera menghabiskannya, berangkatlah kami ke rumah yang dimaksudkannya. Elyas menumpang mobilku sebab ia ternyata tidak membawa kendaraan.

”Perhatikan di jendela itu…” kata Elyas lagi. Maka kuperhatikan jendela yang gordennya terbuka. Tidak ada yang aneh, kecuali lampu yang menyala, berbeda dengan lampu-lampu lain di rumah itu. ”Itu dia…” kata Elyas lagi. Namun, aku tak bisa melihat dia yang dimaksudkannya itu.

”Ayo kita lihat lebih dekat,” tiba-tiba Elyas menarik tanganku; mengajakku turun dari pohon. Aku tak sempat menolak. Sampai di bawah, Elyas terus menyeretku sampai di gerbang rumah itu, dan tanpa bertanya terus membawaku ke satu bagian di sudut dinding pagar. Di sana ternyata ada sebuah pintu kecil. Elyas menarikku masuk. Aku tergagap-gagap. ”Apa yang kaulakukan? Kau mau apa?” tanyaku.

”Ayo masuk. Sebentar saja. Kita langsung pulang setelah kau bisa melihat orang itu dengan lebih jelas.”

Aku masuk. Sampai di halaman yang luas, kembali tanpa bertanya Elyas menghambur ke pintu utama. Terpaksa aku mengikutinya. Pintu tidak dikunci, atau Elyas telah memakai kunci lain untuk membukanya, aku tidak begitu tahu. Yang jelas kemudian kami sudah ada di dalam rumah.

Bagian dalam rumah itu sangat luas, sampai-sampai terasa aneh. Kalau dilihat dari luar, tidak mungkin ruangan dalam rumah bisa seluas itu. Meskipun lampu tidak menyala, aku dapat melihat ruangan itu nyaris tanpa perabotan, kecuali beberapa topeng yang tertempel di dinding.

Elyas mengendap-endap menuju tangga. Sekali lagi aku terpaksa mengikutinya. ”Hati-hati,” ujarnya. Baru kulihat di anak tangga ada terbentang kawat-kawat berduri.

Sampai di lantai dua; lantai tempat jendela yang kami saksikan tadi berada, ruangan terlihat lebih luas lagi. Elyas bergerak menuju pintu, satu-satunya pintu di ruangan itu.

Baca Juga :  Pendulum

”Ayo…” bisiknya ketika aku cuma diam di bibir tangga.

Elyas membuka pintu dan menarik tanganku. Kami masuk.

Di ruangan itu lampu memang menyala sehingga ruangan terang benderang. Ada banyak meja, dan tiap meja penuh oleh berbagai makanan. Kursi-kursi di sekeliling tiap-tiap meja juga dipenuhi orang. Sangat banyak orang sampai-sampai aku merasa sedang berada di sebuah pasar malam, atau pesta besar.

Mereka semua seperti tidak melihat kemunculan aku dan Elyas. Tiba-tiba aku teringat sebuah pesta besar. Pesta perkawinan yang tak lain adalah pesta perkawinanku sendiri dengan Dama Tansil, anak pemilik perusahaan Tansil Group.

”Lihat mereka. Seperti inilah yang kutemukan ketika aku dibawa dulu,” ucap Elyas.

”Tapi…” ucapku, ”kenapa kau mengajakku kemari?”

”Kenapa? Kau bisa memikirkannya sendiri. Perhatikan saja mereka…”

Aku memperhatikan satu per satu orang-orang yang tak henti-hentinya makan. Mereka makan dengan membabi buta, melahap tanpa jeda semua hidangan yang juga terus-menerus ditambah. Mula-mula aku merasa tak mengenal mereka, tapi setelah kuamat-amati aku mulai merasa mengenal mereka.

Namun, aku tidak ingat di mana pernah bertemu mereka. Kecuali seorang laki-laki yang duduk di salah satu meja. Ia tak lain adalah Leo Tansil, mertuaku.

Aku merinding. Suatu perasaan aneh menyelubungiku. Tempat apa ini. Kenapa mertuaku ada di sini. Aku mau menggebrak Elyas saat tiba-tiba ruangan jadi hening. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Dari arah tirai merah di sudut jauh sana, muncul seorang bocah laki-laki.

Ia berpakaian jas resmi dengan dasi kupu-kupu. Mukanya pucat seperti kebanyakan bedak, tapi bibirnya merah. Ia melompat-lompat dan menggerak-gerakkan sikunya seperti sedang menari.

Seorang laki-laki lain, yang bertubuh luar biasa jangkung, tiba-tiba bersuara. Tampaknya ia adalah pemandu acara. Ia berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti, tapi dapat kupahami bahwa ia memperkenalkan si bocah kepada hadirin sebab kemudian si bocah membungkuk lalu kembali melompat-lompat mendekati sebuah mimbar yang dari tadi tidak kuperhatikan. Bocah itu berdiri di mimbar seperti seorang pejabat.

Elyas mendekat dan berbisik di telingaku: ”Itu genderuwo…”

Aku tak menanggapi. ”Dan kautahu siapa dia sebenarnya?” tanya Elyas.

Sebetulnya tidak ada pentingnya aku mengetahui siapa bocah yang disebutnya genderuwo itu. Keseluruhan situasi itu dengan sendirinya telah membuatku merasa gila. Aku bahkan berpikir-pikir apakah sate yang kumakan tadi sudah dicampur bahan kimia tertentu. Aku sedang mencalonkan diri jadi anggota dewan, pasti ada musuh yang diam-diam ingin menghancurkanku. Mungkin Elyas sudah dibayar pihak lawan untuk melaksanakan itu.

”Maksudmu?” tanyaku akhirnya.

”Perhatikan…”

Setelah beberapa kata pembuka yang juga tak kumengerti, bocah di mimbar memanggil seseorang. Ruangan serentak riuh oleh lolongan, raungan, kaok-kaok menyeramkan dari mulut semua orang di ruangan itu. Lantas mereka semua kembali melahap dengan ugal-ugalan semua makanan seolah-olah mereka sedang mengiringi orang yang dipanggil itu maju ke mimbar.

Seseorang kembali muncul dari balik tirai merah, sebagaimana bocah tadi. Saat kuamat-amati orang yang kemudian maju ke mimbar itu, aku tercengang. Ia seorang perempuan jelita. Dan ia tidak lain adalah Dama Tansil, istriku.

”Genderuwo itu anakmu…” bisik Elyas sekali lagi.

Aku tidak peduli lagi apa yang dikatakan atau akan dikatakan Elyas. Sekarang aku sungguh-sungguh tidak tahan lagi. Aku merasa lapar, sangat lapar. Aku mau makan. Aku harus makan. Aku harus melahap semua makanan di ruangan itu, secepatnya, sekenyang-kenyangnya. (*)

KIKI SULISTYO, Lahir di Ampenan, Lombok. Buku puisinya, Tuhan Padi, meraih Penghargaan Sastra Kemendikbudristek (2023). Kumpulan cerpen terbarunya berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).

Terpopuler

Artikel Terbaru