31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Sentil Tito Karnavian, Yusril: Mendagri Tak Bisa Pecat Kepala Daerah

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Ahli hukum tata negara, Prof Yusril Ihza
Mahendra menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendari) yang menyebut
kepala daerah bisa dipecat jika melakukan pelanggaran.

Mendagri menerbitkan instruksi
penegakan protokol kesehatan kepada kepala daerah untuk mengendalikan penyebaran
virus corona atu Covid-19.

Instruksi Mendagri ini mengacu
pada UU 23 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67 b dan pasal 78.

“Saya sampaikan kepada gubernur,
bupati, dan wali kota untuk mengindahkan instruksi ini karena ada risiko
menurut UU. Kalau UU dilanggar dapat dilakukan pemberhentian,” kata Tito dalam
rapat di Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/11).

Menanggapi hal itu, Yusril
menegaskan bahwa Instruksi Mendagri tidak dapat dijadikan dasar untuk
memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan
perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam menghadapi
Pandemi Covid-19.

Menurut Yusril, proses
pelaksanaan pemberhentian kepala daerah tetap harus berdasarkan pada UU No 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Semua proses pemberhentian kepala
daerah, tetap harus dilakukan melalui DPRD melalui proses pemakzulan atau
impeachment.

Selengkapnya simak tulisan Yusril
Ihza Mahendra berikut ini:

Instruksi Mendagri No 6 Tahun
2020 Dan Pemberhentian Kepala Daerah

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Pertanyaan Wartawan Kompas.com

Selamat siang Prof Yusril. Izin Prof, mohon pandangan dari Prof Yusril
terkait instruksi penegakkan protokol kesehatan dari Mendagri No. 6 Tahun 2020
yang menyatakan kepala daerah bisa diberhentikan bila tak menegakkan protokol
kesehatan.

Dalam instruksinya Mendagri mengacu pada UU 23 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 67 b dan pasal 78.

Apakah kelalaian dalam penegakkan protokol kesehatan bisa dikenakan
sanksi pemberhentian sebagaimana Pasal 67 b dan 78 UU Pemda Prof?

Jawab:

Upaya untuk Menegakkan Protokol
Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19 semuanya telah dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti PP No 21 Tahun 2020 tentang
PSBB yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan yang lebih rendah
oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta pejabat lainnya.

Landasan hukum Pemerintah dalam
menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait Protokol Kesehatan itu adalah
UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No UU No 6 Tahun
2018 tentang Karantina Kesehatan. Pelaksanaannya di daerah mengacu kepada
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

Baca Juga :  Kini Sengketa Pilkada Bisa Daftar Online

Kepada Daerah, baik Gubernur,
Bupati atau Walikota berdasarkan ketentuan Pasal 67 huruf b UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemda berkewajiban untuk melaksanakan semua peraturan
perundang-undangan, termasuk semua peraturan perundang-undangan tentang
Penegakan Protokol Kesehatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 78 c
Kepala Daerah dapat diberhentikan dengan alasan antara lain “tidak melaksanakan
kewajiban kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf b” yakni tidak
mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal
ini, yang dimaksud Mendagri, adalah peraturan perundang-undangan terkait
Pelaksanaan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19.

Apakah Mendagri Dapat
Memberhentikan Kepala Daerah?

Pertanyaan selanjutnya yang perlu
dijelaskan adalah apakah Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu dapat dijadikan
dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah yang tidak melaksanakan seluruh
peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam
menghadapi Pandemi Covid-19? Jawabannya tentu saja tidak.

Instruksi Presiden, Instruksi
Menteri dan sejenisnya pada hakikatnya adalah perintah tertulis dari atasan
kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Saya mendraf RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
untuk pertama kali tahun 2003 — yang menjadi UU No 10 Tahun 2004, kemudian
diganti dengan UU No 12 Tahun 2011 dan telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019
— sudah tidak mencantumkan lagi Inpres sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan. Ini untuk mengakhiri keragu-raguan tentang status Inpres
yang sangat banyak diterbitkan pada masa Presiden Soeharto.

Bahwa di dalam Instruksi Mendagri
No 6 Tahun 2020 itu ada ancaman kepada Kepala Daerah yang tidak mau
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol
Kesehatan, hal itu bisa saja terjadi. Namun proses pelaksanaan pemberhentian
Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

Sebagaimana kita maklum UU
Pemerintahan Daerah sekarang menyerahkan pemilihan kepala daerah secara
langsung kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU di
daerah. KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan mana
sebagai pemenang dalam Pilkada. Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang
sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga :  PDIP Optimistis Dapat Kursi Menteri Paling Banyak

Pasangan manapun yang ditetapkan
KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh
Pemerintah. Presiden atau Mendagri tinggal menerbitkan Keputusan tentang
Pengesahan Pasangan Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih dan melantiknya. Dengan
demikian, Presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentian
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Mendagri juga tidak berwenang mengambil
prakarsa memberhentikan Bupati dan Walikota beserta wakilnya.

Semua proses pemberhentian Kepala
Daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1)
huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan
Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD. Jika ada DPRD yang
berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses
pemakzulan (impeachment).

Jika DPRD berpendapat cukup
alasan bagi Kepala Daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib
disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan apakah pendapat
DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak. Untuk tegaknya keadilan, maka
Kepala Daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung
untuk membela diri.

Jadi, proses pemakzulan itu akan
memakan waktu lama, mungkin setahun mungkin pula lebih. Apa yang jelas bagi
kita adalah Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau
“mencopot” Kepada Daerah karena Kepada Daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat
melalui DPRD.

Kewenangan Presiden dan Mendagri
hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan
oleh DPRD dalam hal Kepala Daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana
di atas lima tahun. Atau didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan
terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI. Kalau dakwaan tidak
terbukti dan Kepala Daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih
tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya.

Demikian jawaban saya.

Jakarta 19 November 2020

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Ahli hukum tata negara, Prof Yusril Ihza
Mahendra menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendari) yang menyebut
kepala daerah bisa dipecat jika melakukan pelanggaran.

Mendagri menerbitkan instruksi
penegakan protokol kesehatan kepada kepala daerah untuk mengendalikan penyebaran
virus corona atu Covid-19.

Instruksi Mendagri ini mengacu
pada UU 23 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67 b dan pasal 78.

“Saya sampaikan kepada gubernur,
bupati, dan wali kota untuk mengindahkan instruksi ini karena ada risiko
menurut UU. Kalau UU dilanggar dapat dilakukan pemberhentian,” kata Tito dalam
rapat di Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/11).

Menanggapi hal itu, Yusril
menegaskan bahwa Instruksi Mendagri tidak dapat dijadikan dasar untuk
memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan
perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam menghadapi
Pandemi Covid-19.

Menurut Yusril, proses
pelaksanaan pemberhentian kepala daerah tetap harus berdasarkan pada UU No 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Semua proses pemberhentian kepala
daerah, tetap harus dilakukan melalui DPRD melalui proses pemakzulan atau
impeachment.

Selengkapnya simak tulisan Yusril
Ihza Mahendra berikut ini:

Instruksi Mendagri No 6 Tahun
2020 Dan Pemberhentian Kepala Daerah

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Pertanyaan Wartawan Kompas.com

Selamat siang Prof Yusril. Izin Prof, mohon pandangan dari Prof Yusril
terkait instruksi penegakkan protokol kesehatan dari Mendagri No. 6 Tahun 2020
yang menyatakan kepala daerah bisa diberhentikan bila tak menegakkan protokol
kesehatan.

Dalam instruksinya Mendagri mengacu pada UU 23 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 67 b dan pasal 78.

Apakah kelalaian dalam penegakkan protokol kesehatan bisa dikenakan
sanksi pemberhentian sebagaimana Pasal 67 b dan 78 UU Pemda Prof?

Jawab:

Upaya untuk Menegakkan Protokol
Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19 semuanya telah dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti PP No 21 Tahun 2020 tentang
PSBB yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan yang lebih rendah
oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta pejabat lainnya.

Landasan hukum Pemerintah dalam
menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait Protokol Kesehatan itu adalah
UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No UU No 6 Tahun
2018 tentang Karantina Kesehatan. Pelaksanaannya di daerah mengacu kepada
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

Baca Juga :  Kini Sengketa Pilkada Bisa Daftar Online

Kepada Daerah, baik Gubernur,
Bupati atau Walikota berdasarkan ketentuan Pasal 67 huruf b UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemda berkewajiban untuk melaksanakan semua peraturan
perundang-undangan, termasuk semua peraturan perundang-undangan tentang
Penegakan Protokol Kesehatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 78 c
Kepala Daerah dapat diberhentikan dengan alasan antara lain “tidak melaksanakan
kewajiban kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf b” yakni tidak
mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal
ini, yang dimaksud Mendagri, adalah peraturan perundang-undangan terkait
Pelaksanaan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19.

Apakah Mendagri Dapat
Memberhentikan Kepala Daerah?

Pertanyaan selanjutnya yang perlu
dijelaskan adalah apakah Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu dapat dijadikan
dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah yang tidak melaksanakan seluruh
peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam
menghadapi Pandemi Covid-19? Jawabannya tentu saja tidak.

Instruksi Presiden, Instruksi
Menteri dan sejenisnya pada hakikatnya adalah perintah tertulis dari atasan
kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Saya mendraf RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
untuk pertama kali tahun 2003 — yang menjadi UU No 10 Tahun 2004, kemudian
diganti dengan UU No 12 Tahun 2011 dan telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019
— sudah tidak mencantumkan lagi Inpres sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan. Ini untuk mengakhiri keragu-raguan tentang status Inpres
yang sangat banyak diterbitkan pada masa Presiden Soeharto.

Bahwa di dalam Instruksi Mendagri
No 6 Tahun 2020 itu ada ancaman kepada Kepala Daerah yang tidak mau
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol
Kesehatan, hal itu bisa saja terjadi. Namun proses pelaksanaan pemberhentian
Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

Sebagaimana kita maklum UU
Pemerintahan Daerah sekarang menyerahkan pemilihan kepala daerah secara
langsung kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU di
daerah. KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan mana
sebagai pemenang dalam Pilkada. Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang
sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga :  PDIP Optimistis Dapat Kursi Menteri Paling Banyak

Pasangan manapun yang ditetapkan
KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh
Pemerintah. Presiden atau Mendagri tinggal menerbitkan Keputusan tentang
Pengesahan Pasangan Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih dan melantiknya. Dengan
demikian, Presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentian
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Mendagri juga tidak berwenang mengambil
prakarsa memberhentikan Bupati dan Walikota beserta wakilnya.

Semua proses pemberhentian Kepala
Daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1)
huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan
Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD. Jika ada DPRD yang
berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses
pemakzulan (impeachment).

Jika DPRD berpendapat cukup
alasan bagi Kepala Daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib
disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan apakah pendapat
DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak. Untuk tegaknya keadilan, maka
Kepala Daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung
untuk membela diri.

Jadi, proses pemakzulan itu akan
memakan waktu lama, mungkin setahun mungkin pula lebih. Apa yang jelas bagi
kita adalah Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau
“mencopot” Kepada Daerah karena Kepada Daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat
melalui DPRD.

Kewenangan Presiden dan Mendagri
hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan
oleh DPRD dalam hal Kepala Daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana
di atas lima tahun. Atau didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan
terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI. Kalau dakwaan tidak
terbukti dan Kepala Daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih
tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya.

Demikian jawaban saya.

Jakarta 19 November 2020

Terpopuler

Artikel Terbaru