27.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Puasa Mutih

Saya lupa kapan pertama menulis tentang corona. Yang saya tidak lupa:
ada pembaca yang sampai protes –kok topiknya corona terus.

Waktu itu dikira corona itu hanya urusan
Tiongkok, padahal saya ingin memberi sinyal agar kita siap-siap lebih awal.

Belakangan saya terus menulis tentang corona.
Tidak ada lagi yang keberatan. Dari semua komentar yang saya baca –termasuk
komentar yang pesimistis belum tentu saya membacanya– tidak ada yang mengeluh.

Meski begitu ada baiknya diselingi juga yang tentang bukan corona.
Seperti yang hari ini:

Saya selalu kagum dengannya. Sejak ia masih
menjadi cleaning service. Badannya
tinggi, 172 cm, pendiam, selalu nurut, tidak pernah mengeluh, disuruh apa saja
dilaksanakan.

Ialah contoh seorang cleaning service yang akhirnya bisa
jadi general manager perusahaan office building. Namanya
Aminarto.

“Saya minta pensiun dini tetapi tidak
boleh,” ujarnya.

Saya masih sering bertemu Aminarto meski saya
tidak lagi bos di grup perusahaan tempatnya bekerja. Ia rajin ikut senam dansa
bersama saya. Sampai sekarang. Setiap pagi –kecuali Senin.

Meski sudah berjabatan general manager ia bersikap
masih seperti jadi pesuruh dulu: ia yang membawa pengeras suara ke arena senam.
Ia yang melayani para senior di grup itu.

Namun badannya tidak kurus lagi. Sudah hampir
90 kg. Hanya karena tinggi ia tidak terlihat tambun.

Tiba-tiba Aminarto tidak terlihat di area
senam. Demikian juga istrinya – -yang selalu pakai jilbab. Tidak ada yang tahu
ke mana suami-istri itu.

Pun ketika grup kami ingin memecahkan rekor:
memutar semua lagu yang kami punya. Kami ingin tahu: kami harus senam berapa
lama kalau semua lagu diputar.

Aminarto tidak kelihatan.

Kami sudah umumkan, siapa pun boleh berhenti
senam di tengah jalan. Jangan ada yang merasa malu. Hanya yang benar-benar kuat
yang boleh senam-dansa sampai semua lagu habis diputar.

Di antara 60-an anggota ternyata hampir separuh
yang kuat sampai akhir –saya termasuk di dalamnya. Total waktunya ternyata 3
jam lebih. Nonstop.

Minggu depannya barulah Aminarto muncul. Kurus
sekali. Seperti habis sakit.

“Berat badan saya turun 17 kg,”
ujarnya.

“Sakit apa?” tanya saya.

“Tidak sakit,” jawabnya.

Ia pun melirik istrinya. Seperti minta agar
istrinya saja yang menjawab.

“Kami habis nglakoni,” ujar sang
istri.

Sebagai orang Jawa saya pun segera tahu: apa
itu nglakoni.
Pasangan ini baru saja menjalani hidup tirakat cara Jawa.

Baca Juga :  Waduh ! Rumah Sakit Full, Tidak Ada Lagi Tempat Isolasi

Namun tirakat jenis apa? Puasa mutih? NgrowotMendhem? Atau apa?

“Kami baru selesai menjalani puasa
mutih,” katanyi.

“Berapa lama?” tanya saya.

“Empat puluh hari,” jawabnyi.

Ups… Makanya lama tidak terlihat.

Ups… Makanya kurus sekali.

Berarti selama 40 hari Aminarto dan suami tidak
makan apa pun kecuali nasi putih atau ketela pohon. Tanpa lauk. Tanpa rasa.
Tanpa apa pun.

“Kami pilih yang hanya makan
singkong,” ujar Aminarto. Itu pun tidak boleh digoreng atau dibakar. Hanya
boleh dikukus.

Seberapa banyak singkong yang mereka makan
setiap hari?

“Sehari dua potong,” katanya.

Mula-mula bisa empat potong. Tapi setelah
beberapa hari tidak bisa lagi sebanyak itu. Tenggorokannya tidak bisa lagi
dilalui banyak singkong. Dua minggu terakhir hanya bisa makan dua potong itu.

Namun boleh banyak minum. Hanya saja hanya
boleh minum air putih. Tidak ada batas.

“Awalnya saya bisa minum hampir dua
liter,” ujar Aminarto. Lama-lama kemampuan itu berkurang sendiri.
“Akhirnya tidak kuat lagi banyak minum,” tambahnya.

Dua minggu terakhir ia hanya bisa minum
sedikit-sedikit. Total sehari sekitar setengah liter. “Lebih dari itu
seperti ada penolakan dari dalam,” katanya.

Sepuluh hari pertama Aminarto dan istri masih
bisa ikut senam. Masih bisa satu jam penuh nonstop. Mereka tidak pernah
bercerita kalau lagi nglakoni mutih.

Lalu menghilang itu. “Saya tidak kuat
lagi. Saya ganti jalan pelan. Tiap pagi. Di sekitar rumah saja,” katanya.

Sampai hari ke-40 ia masih tetap bisa
mengerjakan pekerjaan rutin di rumah. Juga masih bisa membantu istrinya di
bisnis spa.

Selama nglakoni itu
tiap malam Aminarto juga harus menjalani ritual khusus: mandi tengah malam.
Dimulai dengan mandi seperti biasa. Pakai sabun.

Setelah itu diteruskan dengan cara mengucurkan
air tepat di atas ubun-ubun. Sebanyak 100 gayung. Mengucurkannya juga harus
pelan-pelan. Sambil terus menenangkan jiwa.

Kadang ia lupa hitungan: sudah berapa gayung.
Untuk itu ia harus memulai lagi dari hitungan pertama.

Aminarto lahir di Blitar, Jatim. Demikian juga
istrinya. Ia punya kerabat yang sering menjalani tirakat secara Jawa seperti
itu. Termasuk dikubur di kuburan selama tiga hari –puasa pendem.

Kerabat itu juga tidak memikirkan duniawi. Ia
lebih suka berkelana. Sampai Aminarto tidak pernah lagi bertemu dengannya.

Suatu saat ada rombongan kecil dari Sumatera.
Mereka disuruh guru spiritual untuk mencari seorang mursyid di Jatim.
Tanda-tandanya: mursyid itu pernah merelakan apa pun hilang darinya. Termasuk
istrinya.

Baca Juga :  1.100 Personel Polri dan 750 TNI Dikerahkan di Operasi Ketupat Telaban

Semua tanda itu mengarah ke kerabat Aminarto
tersebut. Termasuk saat si kerabat punya istri dan anak kecil. Teman SMA si
kerabat pernah jatuh cinta ke istri kerabat itu. Lalu sang istri diminta.
Diberikan.

Sejak itu si kerabat tidak kawin lagi. Anak kecil
itu pun dirawat familinya. Ia sendiri lebih banyak berkelana.

“Akhirnya kami tahu kerabat kami itu punya
banyak pengikut. Kami pun akhirnya ikut nglakoni seperti yang
dianjurkannya,” ujar Aminarto.

Termasuk puasa mutih tadi.

Saya pun baru tahu sekarang ini: mengapa ia
dulu menjadi tenaga cleaning
service
 di kantor kami.

Saat melamar menjadi cleaning service dulu
ternyata sebenarnya ia sudah di semester akhir. Di IKIP Negeri Surabaya.
Jurusan pendidikan elektro.

Tidak ada di antara kami yang tahu itu. Ia juga
tidak pernah bercerita. Ia hanya mencantumkan lulusan STM di Blitar.

Setelah lulus kuliah Aminarto melamar menjadi
pegawai negeri. Guru. Diterima. Dengan penugasan pertama menjadi guru STM di
Lampung.

Ia pun ke Blitar. Ingin pamit ke ibunya. Sang ibu
lagi sakit. Lalu minta sang anak untuk tetap di pekerjaannya di Surabaya.

Aminarto pun tetap menjadi cleaning service. Sering
disuruh wartawan membeli nasi bungkus. Setiap kali ada wartawan tiba di kantor
setiap itu pula ada permintaan yang berbeda.

Semua ia laksanakan tanpa keluhan.

Lama-lama Aminarto diminta membersihkan
komputer. Atau membetulkan kabel. Kok bisa semua. Akhirnya jadi teknisi di
ruang redaksi.

Urusan modem, transmisi, transfer berita, dan
banyak lagi menjadi pekerjaannya. Akhirnya menjadi general manager di office building ketika
kami membangun gedung perkantoran.

Aminarto memilih pensiun di umur 50 tahun. Ia
ingin membantu istrinya yang membuka spa di Surabaya.

Sambil tiap hari ikut senam bersama saya.
Berbagai jenis laku tirakat Jawa sebenarnya sudah sering saya dengar. Sejak
kecil. Sejak masih di Magetan dulu.

Namun justru baru di tahun 2020 ini saya
menyaksikan sendiri, dilakukan oleh teman senam saya sendiri.

Saya pun ingat ajaran Jawa lainnya. Yang khusus
untuk dilakoni (dijalankan) di musim virus seperti ini.

Namanya: Kidhung Luput Bilahi. Dibaca tengah
malam. Setelah mandi 100 gayung itu. Setelah puasa mutih 40 hari itu.

Itu bisa juga disebut Kidhung Luput Kolo
Bendhu.

Namun siapa yang masih hafal bait-baitnya? (***)

Saya lupa kapan pertama menulis tentang corona. Yang saya tidak lupa:
ada pembaca yang sampai protes –kok topiknya corona terus.

Waktu itu dikira corona itu hanya urusan
Tiongkok, padahal saya ingin memberi sinyal agar kita siap-siap lebih awal.

Belakangan saya terus menulis tentang corona.
Tidak ada lagi yang keberatan. Dari semua komentar yang saya baca –termasuk
komentar yang pesimistis belum tentu saya membacanya– tidak ada yang mengeluh.

Meski begitu ada baiknya diselingi juga yang tentang bukan corona.
Seperti yang hari ini:

Saya selalu kagum dengannya. Sejak ia masih
menjadi cleaning service. Badannya
tinggi, 172 cm, pendiam, selalu nurut, tidak pernah mengeluh, disuruh apa saja
dilaksanakan.

Ialah contoh seorang cleaning service yang akhirnya bisa
jadi general manager perusahaan office building. Namanya
Aminarto.

“Saya minta pensiun dini tetapi tidak
boleh,” ujarnya.

Saya masih sering bertemu Aminarto meski saya
tidak lagi bos di grup perusahaan tempatnya bekerja. Ia rajin ikut senam dansa
bersama saya. Sampai sekarang. Setiap pagi –kecuali Senin.

Meski sudah berjabatan general manager ia bersikap
masih seperti jadi pesuruh dulu: ia yang membawa pengeras suara ke arena senam.
Ia yang melayani para senior di grup itu.

Namun badannya tidak kurus lagi. Sudah hampir
90 kg. Hanya karena tinggi ia tidak terlihat tambun.

Tiba-tiba Aminarto tidak terlihat di area
senam. Demikian juga istrinya – -yang selalu pakai jilbab. Tidak ada yang tahu
ke mana suami-istri itu.

Pun ketika grup kami ingin memecahkan rekor:
memutar semua lagu yang kami punya. Kami ingin tahu: kami harus senam berapa
lama kalau semua lagu diputar.

Aminarto tidak kelihatan.

Kami sudah umumkan, siapa pun boleh berhenti
senam di tengah jalan. Jangan ada yang merasa malu. Hanya yang benar-benar kuat
yang boleh senam-dansa sampai semua lagu habis diputar.

Di antara 60-an anggota ternyata hampir separuh
yang kuat sampai akhir –saya termasuk di dalamnya. Total waktunya ternyata 3
jam lebih. Nonstop.

Minggu depannya barulah Aminarto muncul. Kurus
sekali. Seperti habis sakit.

“Berat badan saya turun 17 kg,”
ujarnya.

“Sakit apa?” tanya saya.

“Tidak sakit,” jawabnya.

Ia pun melirik istrinya. Seperti minta agar
istrinya saja yang menjawab.

“Kami habis nglakoni,” ujar sang
istri.

Sebagai orang Jawa saya pun segera tahu: apa
itu nglakoni.
Pasangan ini baru saja menjalani hidup tirakat cara Jawa.

Baca Juga :  Waduh ! Rumah Sakit Full, Tidak Ada Lagi Tempat Isolasi

Namun tirakat jenis apa? Puasa mutih? NgrowotMendhem? Atau apa?

“Kami baru selesai menjalani puasa
mutih,” katanyi.

“Berapa lama?” tanya saya.

“Empat puluh hari,” jawabnyi.

Ups… Makanya lama tidak terlihat.

Ups… Makanya kurus sekali.

Berarti selama 40 hari Aminarto dan suami tidak
makan apa pun kecuali nasi putih atau ketela pohon. Tanpa lauk. Tanpa rasa.
Tanpa apa pun.

“Kami pilih yang hanya makan
singkong,” ujar Aminarto. Itu pun tidak boleh digoreng atau dibakar. Hanya
boleh dikukus.

Seberapa banyak singkong yang mereka makan
setiap hari?

“Sehari dua potong,” katanya.

Mula-mula bisa empat potong. Tapi setelah
beberapa hari tidak bisa lagi sebanyak itu. Tenggorokannya tidak bisa lagi
dilalui banyak singkong. Dua minggu terakhir hanya bisa makan dua potong itu.

Namun boleh banyak minum. Hanya saja hanya
boleh minum air putih. Tidak ada batas.

“Awalnya saya bisa minum hampir dua
liter,” ujar Aminarto. Lama-lama kemampuan itu berkurang sendiri.
“Akhirnya tidak kuat lagi banyak minum,” tambahnya.

Dua minggu terakhir ia hanya bisa minum
sedikit-sedikit. Total sehari sekitar setengah liter. “Lebih dari itu
seperti ada penolakan dari dalam,” katanya.

Sepuluh hari pertama Aminarto dan istri masih
bisa ikut senam. Masih bisa satu jam penuh nonstop. Mereka tidak pernah
bercerita kalau lagi nglakoni mutih.

Lalu menghilang itu. “Saya tidak kuat
lagi. Saya ganti jalan pelan. Tiap pagi. Di sekitar rumah saja,” katanya.

Sampai hari ke-40 ia masih tetap bisa
mengerjakan pekerjaan rutin di rumah. Juga masih bisa membantu istrinya di
bisnis spa.

Selama nglakoni itu
tiap malam Aminarto juga harus menjalani ritual khusus: mandi tengah malam.
Dimulai dengan mandi seperti biasa. Pakai sabun.

Setelah itu diteruskan dengan cara mengucurkan
air tepat di atas ubun-ubun. Sebanyak 100 gayung. Mengucurkannya juga harus
pelan-pelan. Sambil terus menenangkan jiwa.

Kadang ia lupa hitungan: sudah berapa gayung.
Untuk itu ia harus memulai lagi dari hitungan pertama.

Aminarto lahir di Blitar, Jatim. Demikian juga
istrinya. Ia punya kerabat yang sering menjalani tirakat secara Jawa seperti
itu. Termasuk dikubur di kuburan selama tiga hari –puasa pendem.

Kerabat itu juga tidak memikirkan duniawi. Ia
lebih suka berkelana. Sampai Aminarto tidak pernah lagi bertemu dengannya.

Suatu saat ada rombongan kecil dari Sumatera.
Mereka disuruh guru spiritual untuk mencari seorang mursyid di Jatim.
Tanda-tandanya: mursyid itu pernah merelakan apa pun hilang darinya. Termasuk
istrinya.

Baca Juga :  1.100 Personel Polri dan 750 TNI Dikerahkan di Operasi Ketupat Telaban

Semua tanda itu mengarah ke kerabat Aminarto
tersebut. Termasuk saat si kerabat punya istri dan anak kecil. Teman SMA si
kerabat pernah jatuh cinta ke istri kerabat itu. Lalu sang istri diminta.
Diberikan.

Sejak itu si kerabat tidak kawin lagi. Anak kecil
itu pun dirawat familinya. Ia sendiri lebih banyak berkelana.

“Akhirnya kami tahu kerabat kami itu punya
banyak pengikut. Kami pun akhirnya ikut nglakoni seperti yang
dianjurkannya,” ujar Aminarto.

Termasuk puasa mutih tadi.

Saya pun baru tahu sekarang ini: mengapa ia
dulu menjadi tenaga cleaning
service
 di kantor kami.

Saat melamar menjadi cleaning service dulu
ternyata sebenarnya ia sudah di semester akhir. Di IKIP Negeri Surabaya.
Jurusan pendidikan elektro.

Tidak ada di antara kami yang tahu itu. Ia juga
tidak pernah bercerita. Ia hanya mencantumkan lulusan STM di Blitar.

Setelah lulus kuliah Aminarto melamar menjadi
pegawai negeri. Guru. Diterima. Dengan penugasan pertama menjadi guru STM di
Lampung.

Ia pun ke Blitar. Ingin pamit ke ibunya. Sang ibu
lagi sakit. Lalu minta sang anak untuk tetap di pekerjaannya di Surabaya.

Aminarto pun tetap menjadi cleaning service. Sering
disuruh wartawan membeli nasi bungkus. Setiap kali ada wartawan tiba di kantor
setiap itu pula ada permintaan yang berbeda.

Semua ia laksanakan tanpa keluhan.

Lama-lama Aminarto diminta membersihkan
komputer. Atau membetulkan kabel. Kok bisa semua. Akhirnya jadi teknisi di
ruang redaksi.

Urusan modem, transmisi, transfer berita, dan
banyak lagi menjadi pekerjaannya. Akhirnya menjadi general manager di office building ketika
kami membangun gedung perkantoran.

Aminarto memilih pensiun di umur 50 tahun. Ia
ingin membantu istrinya yang membuka spa di Surabaya.

Sambil tiap hari ikut senam bersama saya.
Berbagai jenis laku tirakat Jawa sebenarnya sudah sering saya dengar. Sejak
kecil. Sejak masih di Magetan dulu.

Namun justru baru di tahun 2020 ini saya
menyaksikan sendiri, dilakukan oleh teman senam saya sendiri.

Saya pun ingat ajaran Jawa lainnya. Yang khusus
untuk dilakoni (dijalankan) di musim virus seperti ini.

Namanya: Kidhung Luput Bilahi. Dibaca tengah
malam. Setelah mandi 100 gayung itu. Setelah puasa mutih 40 hari itu.

Itu bisa juga disebut Kidhung Luput Kolo
Bendhu.

Namun siapa yang masih hafal bait-baitnya? (***)

Terpopuler

Artikel Terbaru