28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Gerakan Nikah

Setelah menikah Khasbi Fakih langsung
mendirikan Nikah Institute. Bersama istrinya: Nurul Hidayati. 
  

Caranya pun sangat sederhana –untuk
ukuran era digital. Hanya dengan senjata WhatsApp (WA). Itulah bisnis pengantin
baru asal Pekalongan itu. Sampai sekarang.

Umur perkawinan mereka baru dua tahun.
Segitu juga umur Nikah Institute. Alumninya sudah 1.300 orang.

Begitu banyak orang ingin menikah.
Mereka itulah konsumen Nikah Institute. Mereka bisa mendapat bekal ilmu untuk
menikah di situ. Mereka juga bisa bertanya apa saja mengenai pernikahan.

Nikah Institute lantas membuka kelas: di
WA pula. Bentuknya WA Group. Biayanya Rp 275.000. Bisa dibayar dua kali.

Pertama dibuka peserta didiknya 98
orang. Mayoritas wanita. Sekitar 70 persen.

Meski di WA yang maya kelasnya dipisah.
Wanita di kelas tersendiri. Laki-laki terpisah.

Nikah Institute punya lima orang guru.
Mata pelajarannya fikih nikah, fikih ibadah, datang bulan, nikah-cerai-iddah,
tata ara mencari istri/suami, finansial, smart preneur, dan kamasutra.

Ada pelajaran kamasutra?

“Benar,” ujar Khasbi, yang
kini berumur 27 tahun. “Bahan-bahannya dari kitab pondok yang
muktabaroh,” tambah Khasbi.

Di pondok pesantren memang dipelajari
juga ilmu kamasutra. Sebagai bagian pelajaran di sekitar pernikahan. Untuk
level santri yang sudah tinggi. 

Kitab-kitab gundul di bidang itu
misalnya Fathul Izar dan Qurotul Uyun.

Kurikulum di Nikah Institute juga
sederhana. Pada hari pertama sang guru memberikan pelajaran. Dalam bentuk
ceramah di voice note. Suara sang guru bisa diklik di WA Group.
Selama satu jam.

Hari kedua adalah tanya jawab. Dibatasi
30 pertanyaan. 

Sebelum jam 12 siang kuota itu biasanya
sudah penuh. Saatnya guru memberikan jawaban. Lewat teks. Bukan suara. Seperti
membalas WA. 

Baca Juga :  Jukir Liar di Palangka Raya Diberi Peringatan

Seluruh kelas di grup itu bisa membaca
pertanyaan siapa pun. Juga bisa membaca jawaban dari guru.

Hari ketiga ceramah lagi. Dari guru
lain. Untuk mata pelajaran lain. Hari berikutnya tanya jawab lagi.
Selang-seling hari. Ceramah dan tanya jawab.

Begitulah seterusnya. Selama satu
bulan. 

Habis itu Anda pun sudah siap
menikah. 

Bunyi pertanyaan umumnya yang
praktis-praktis seperti ini: bolehkah pihak wanita mengajukan permintaan atas
nilai dan jenis mahar (mas kawin).

 

Jawab sang guru tidak sekedar boleh atau
tidak. “Permintaan seperti itu tidak lazim. Juga kurang baik. Bisa
menimbulkan kesan kok belum-belum sudah mata duitan,” jawab sang guru.
“Tapi, itu boleh saja,” jawab sang guru.

Ada juga pertanyaan unik: janda kawin
dengan duda. Masing-masing membawa anak. Anak mereka saling jatuh cinta.
Bolehkah mereka kawin?

Jawabnya: boleh. Anak-anak itu tidak
memiliki hubungan darah. Bukan muhrim. Tidak saling membatalkan.

Khasbi lulusan pondok pesantren Ploso,
Kediri. Ia lahir di Lebak Siu dekat Slawi, selatan Tegal, Jateng. Itulah desa
yang terkenal di seluruh Indonesia. Kalau ada orang jual martabak LBS tanyalah
dari mana mereka.

Tamat SD Khasbi langsung dikirim ke
Ploso –mengikuti jejak anak-anak lain di desa itu.

Sampai umur 20 tahun Khasbi belum punya
ponsel. Di pondok Ploso santri tidak boleh memegang ponsel.

Ia bisa mematikan keinginannya memiliki
ponsel. Seperti juga mematikan keinginan mencintai sepak bola. 

Awalnya ia ingin sekali nonton Liga
Italia. Yang lagi top kala itu. “Saya harus  mematikan keinginan
nonton bola itu,” katanya.

Pun Khasbi bisa mematikan keinginan
untuk pacaran.

Baca Juga :  Kapolres Pastikan Pilkada di Kobar Berlangsung Aman

Dengan istrinya ini pun Khasbi tidak
melewati masa pacaran. Bisa dibilang ketemu langsung kawin.

Pertemuan itu terjadi di Seoul, Korea
Selatan. Nurul Hidayati lagi kuliah di sana. Tingkat S3. Calon doktor. Bidang
nanotechnology.

Nurul memang sarjana biologi. Dari
Unair. Lalu meraih master bidang microbiology. Lantas kerja di STIKES
Malang. 

STIKES-lah yang mengirimnyi ke
Korea. 

Di Seoul Nurul menjadi Ketua Fatayat NU
(organisasi pemudi Nahdlatul Ulama) cabang Korea Selatan.

Khasbi adalah Pengurus Pusat Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (PP Lakpesdam NU)
Fatayat Korea mengundang Lakpesdam. Untuk acara keagamaan di Korsel. Yang
ditugaskan ke sana adalah Khasbi.

Di Seoul itu pula mereka memutuskan:
kawin.

Saat Khasbi pulang, Nurul langsung
menyusul pulang. Kuliah S3-nyi diistirahatkan dulu.

Sampai sekarang Nurul belum balik ke
Korea. Terlibat usaha Nikah Institute suaminya.

Mereka juga berencana meningkatkan usaha
itu. Lagi berpikir untuk tidak hanya menggunakan voice note di
WA.

 Dari mana Khasbi mendapat ide
bisnisnya itu?

 “Dari instagram,”
katanya.

 Tahun itu Khasbi menemukan
instagram yang menggelisahkan hatinya. Yakni adanya kampanye besar
“Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran”. 

 “Follower instagram itu lebih
dari satu juta anak muda,” ujar Khasbi.

Gerakan itu tidak sebatas di instagram.
Juga dilanjutkan dengan pembentukan komunitas “Langsung Kawin”. Di
seluruh Indonesia.

Khasbi khawatir para remaja itu akan
kekurangan bekal dalam menikah. Gerakan itu sekaligus membuat kecenderungan
menikah muda. 

Khasbi pun ingin membekali mereka dengan
ilmu nikah. Termasuk ilmu mencari istri yang benar. Yang sesuai dengan kaidah
agama.

Maka jadilah Nikah Institute. 

Jadilah bisnis itu.(dis)

Setelah menikah Khasbi Fakih langsung
mendirikan Nikah Institute. Bersama istrinya: Nurul Hidayati. 
  

Caranya pun sangat sederhana –untuk
ukuran era digital. Hanya dengan senjata WhatsApp (WA). Itulah bisnis pengantin
baru asal Pekalongan itu. Sampai sekarang.

Umur perkawinan mereka baru dua tahun.
Segitu juga umur Nikah Institute. Alumninya sudah 1.300 orang.

Begitu banyak orang ingin menikah.
Mereka itulah konsumen Nikah Institute. Mereka bisa mendapat bekal ilmu untuk
menikah di situ. Mereka juga bisa bertanya apa saja mengenai pernikahan.

Nikah Institute lantas membuka kelas: di
WA pula. Bentuknya WA Group. Biayanya Rp 275.000. Bisa dibayar dua kali.

Pertama dibuka peserta didiknya 98
orang. Mayoritas wanita. Sekitar 70 persen.

Meski di WA yang maya kelasnya dipisah.
Wanita di kelas tersendiri. Laki-laki terpisah.

Nikah Institute punya lima orang guru.
Mata pelajarannya fikih nikah, fikih ibadah, datang bulan, nikah-cerai-iddah,
tata ara mencari istri/suami, finansial, smart preneur, dan kamasutra.

Ada pelajaran kamasutra?

“Benar,” ujar Khasbi, yang
kini berumur 27 tahun. “Bahan-bahannya dari kitab pondok yang
muktabaroh,” tambah Khasbi.

Di pondok pesantren memang dipelajari
juga ilmu kamasutra. Sebagai bagian pelajaran di sekitar pernikahan. Untuk
level santri yang sudah tinggi. 

Kitab-kitab gundul di bidang itu
misalnya Fathul Izar dan Qurotul Uyun.

Kurikulum di Nikah Institute juga
sederhana. Pada hari pertama sang guru memberikan pelajaran. Dalam bentuk
ceramah di voice note. Suara sang guru bisa diklik di WA Group.
Selama satu jam.

Hari kedua adalah tanya jawab. Dibatasi
30 pertanyaan. 

Sebelum jam 12 siang kuota itu biasanya
sudah penuh. Saatnya guru memberikan jawaban. Lewat teks. Bukan suara. Seperti
membalas WA. 

Baca Juga :  Jukir Liar di Palangka Raya Diberi Peringatan

Seluruh kelas di grup itu bisa membaca
pertanyaan siapa pun. Juga bisa membaca jawaban dari guru.

Hari ketiga ceramah lagi. Dari guru
lain. Untuk mata pelajaran lain. Hari berikutnya tanya jawab lagi.
Selang-seling hari. Ceramah dan tanya jawab.

Begitulah seterusnya. Selama satu
bulan. 

Habis itu Anda pun sudah siap
menikah. 

Bunyi pertanyaan umumnya yang
praktis-praktis seperti ini: bolehkah pihak wanita mengajukan permintaan atas
nilai dan jenis mahar (mas kawin).

 

Jawab sang guru tidak sekedar boleh atau
tidak. “Permintaan seperti itu tidak lazim. Juga kurang baik. Bisa
menimbulkan kesan kok belum-belum sudah mata duitan,” jawab sang guru.
“Tapi, itu boleh saja,” jawab sang guru.

Ada juga pertanyaan unik: janda kawin
dengan duda. Masing-masing membawa anak. Anak mereka saling jatuh cinta.
Bolehkah mereka kawin?

Jawabnya: boleh. Anak-anak itu tidak
memiliki hubungan darah. Bukan muhrim. Tidak saling membatalkan.

Khasbi lulusan pondok pesantren Ploso,
Kediri. Ia lahir di Lebak Siu dekat Slawi, selatan Tegal, Jateng. Itulah desa
yang terkenal di seluruh Indonesia. Kalau ada orang jual martabak LBS tanyalah
dari mana mereka.

Tamat SD Khasbi langsung dikirim ke
Ploso –mengikuti jejak anak-anak lain di desa itu.

Sampai umur 20 tahun Khasbi belum punya
ponsel. Di pondok Ploso santri tidak boleh memegang ponsel.

Ia bisa mematikan keinginannya memiliki
ponsel. Seperti juga mematikan keinginan mencintai sepak bola. 

Awalnya ia ingin sekali nonton Liga
Italia. Yang lagi top kala itu. “Saya harus  mematikan keinginan
nonton bola itu,” katanya.

Pun Khasbi bisa mematikan keinginan
untuk pacaran.

Baca Juga :  Kapolres Pastikan Pilkada di Kobar Berlangsung Aman

Dengan istrinya ini pun Khasbi tidak
melewati masa pacaran. Bisa dibilang ketemu langsung kawin.

Pertemuan itu terjadi di Seoul, Korea
Selatan. Nurul Hidayati lagi kuliah di sana. Tingkat S3. Calon doktor. Bidang
nanotechnology.

Nurul memang sarjana biologi. Dari
Unair. Lalu meraih master bidang microbiology. Lantas kerja di STIKES
Malang. 

STIKES-lah yang mengirimnyi ke
Korea. 

Di Seoul Nurul menjadi Ketua Fatayat NU
(organisasi pemudi Nahdlatul Ulama) cabang Korea Selatan.

Khasbi adalah Pengurus Pusat Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (PP Lakpesdam NU)
Fatayat Korea mengundang Lakpesdam. Untuk acara keagamaan di Korsel. Yang
ditugaskan ke sana adalah Khasbi.

Di Seoul itu pula mereka memutuskan:
kawin.

Saat Khasbi pulang, Nurul langsung
menyusul pulang. Kuliah S3-nyi diistirahatkan dulu.

Sampai sekarang Nurul belum balik ke
Korea. Terlibat usaha Nikah Institute suaminya.

Mereka juga berencana meningkatkan usaha
itu. Lagi berpikir untuk tidak hanya menggunakan voice note di
WA.

 Dari mana Khasbi mendapat ide
bisnisnya itu?

 “Dari instagram,”
katanya.

 Tahun itu Khasbi menemukan
instagram yang menggelisahkan hatinya. Yakni adanya kampanye besar
“Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran”. 

 “Follower instagram itu lebih
dari satu juta anak muda,” ujar Khasbi.

Gerakan itu tidak sebatas di instagram.
Juga dilanjutkan dengan pembentukan komunitas “Langsung Kawin”. Di
seluruh Indonesia.

Khasbi khawatir para remaja itu akan
kekurangan bekal dalam menikah. Gerakan itu sekaligus membuat kecenderungan
menikah muda. 

Khasbi pun ingin membekali mereka dengan
ilmu nikah. Termasuk ilmu mencari istri yang benar. Yang sesuai dengan kaidah
agama.

Maka jadilah Nikah Institute. 

Jadilah bisnis itu.(dis)

Terpopuler

Artikel Terbaru