26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Bahagia Langit

Kadang-kadang saya terpaksa.
Termasuk terpaksa mendefinisikan ”apakah bahagia itu”. 

Tema seminar hari itu sebenarnya
”pengaruh instrumentasi dalam industri 4.0”.

Penyelenggaranya pun Departemen
Instrumentasi Fakultas Vokasi Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. Pekan
lalu. 

Tapi pembicara sebelumnya sudah
membahas tema itu. Termasuk wanita muda cantik berjilbab dari PT Yokogawa. Yang
produk instrumentasinya juga pernah saya beli untuk bisnis saya waktu itu.

Saya tidak punya pengetahuan
lebih baik dari para pembicara itu. Materi yang saya siapkan pun ya yang
begitu-begitu itu.

Maka saya semilih tema lain:
pentingnya manusia di balik semua itu. Atau tidak pentingnya manusia di era itu
nanti. Tergantung manusianya.

Pertanyaan peserta pun jauh dari
tema utama. Misalnya bagaimana saya bisa terus kelihatan antusias. Atau
bagaimana bisa banyak senyum. Bagaimana pula tahan menghadapi tekanan
–utamanya tahun-tahun itu.

Saya lihat banyak psikolog yang
hadir. Termasuk seorang ibu dari Semarang. Yang konsultasi psikologi onlinenyi
laris sekali –dan tidak mau berbayar.

Hari itu sang psikolog mengungkap
soal meningkatnya bunuh diri remaja –bahkan sudah ada panduan untuk bunuh diri
di dunia maya.

Maka pembicaraan pindah dari
industri 4.0 ke soal bahagia. Saya pun terdesak untuk terpaksa berteori.
Tentang bahagia.

Tapi saya takut pada para
psikolog di situ. Maka saya minta merekalah yang lebih dulu berteori. Dari buku
pun boleh. Siapa tahu sudah ada buku yang menulis definisi ”apakah bahagia
itu”.

Tidak satu pun mau bicara. Saya
minta ibu Semarang itu yang bicara. Juga tidak mau.

Maka terpaksa saya sendiri yang
mendefinisikan apakah bahagia itu. 

”Bahagia adalah tercapainya keinginan”.

Baca Juga :  Dukung Pasangan Sugianto - Edy, Kader Gerindra Ini Siap Menerima Konse

Kian tercapai sebuah keinginan
kian bahagia seseorang.

Kian agak tercapai kian agak
bahagia.

Kian tidak tercapai kian tidak
bahagia.

Maka mencapai kebahagiaan itu
mudah: jangan menaruh keinginan terlalu tinggi. Yang terlalu sulit mencapainya.
Taruhlah keinginan Anda di ketinggian yang Anda bisa mencapainya.

Bagaimana dengan pameo ”taruhlah
cita-citamu setinggi langit?” 

Tentu itu baik. Asal bisa
mencapainya. Kalau tidak, cita-cita itu hanya untuk ditaruh saja di langit.

Untuk apa?

Lantas ada yang bertanya: apakah
gerangan cita-cita saya. 

Saya agak gagap menyawabnya.

”Saya ini merasa beruntung karena
tidak pernah punya cita-cita.”

Ah, masaaak…

Ups… Mungkin punya juga. Tapi
derajatnya di bawah cita-cita. Hanya sebatas keinginan.

”Cita-cita itu untuk dicapai”.

”Keinginan itu untuk
diharap”. 

Mungkin karena keluarga saya
sangat miskin, di lingkungan tetangga yang miskin dan di desa yang miskin, di
kecamatan yang miskin.

Rasanya hidup itu tidak layak
kalau harus punya cita-cita. Topik cita-cita tidak pernah dibicarakan di desa
saya dulu. Dan itu bukan topik sama sekali.

Topik di lingkungan seperti itu
hanyalah bagaimana bisa hidup besok pagi. Termasuk harus utang beras ke
tetangga yang mana lagi.

Keinginan saya waktu kecil pun
hanyalah bagaimana bisa tidak sekolah. Kadang saya memang berangkat ke sekolah.
Tapi di tengah jalan belok ke sungai. Mencari ikan.

Keinginan naik kelas pun tidak
pernah ada. Dan saya pernah tidak naik kelas. Saya gagal naik dari kelas 3 ke
kelas 4 Muallimin (sebelum akhirnya dipisah menjadi Tsanawiyah dan Aliyah).

Waktu SMA (Aliyah) barulah saya
punya keinginan: untuk punya sepatu. Bekas pun sudah sangat membahagiakan. Saat
itu saya satu-satunya yang tidak pakai sandal atau sepatu di kelas SMA itu.

Baca Juga :  Pungli di Dunia Pendidikan Masih Jadi Perhatian Serius Pemko

Di kelas 2 Aliyah sepatu itu
terbeli. Bekas. Bagian depannya sudah berlubang. Saya hanya berani memakainya
seminggu sekali. Tiap hari Senin saja. Agar tidak cepat rusak.

Tiap hari Senin memang ada
upacara bendara. Saya sesekali harus menjadi komandan upacara. Itu pun sudah
membuat tumit lecet.

Setahun kemudian barulah punya
keinginan lanjutan: memiliki sepeda. Yang minimalis sekali pun. Yang penting
ada roda, rantai, sadel dan stangnya.

Itu pun baru tercapai setelah di
akhir tahun kelas 3.

Begitulah. Keinginan saya itu
datang bertahap. Satu tercapai muncul keinginan berikutnya.

Kian lama keinginan itu datang
kian cepat. Levelnya pun kian tinggi. Akhirnya sampai ke langit juga.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.

Apa kelebihan punya keinginan
berjenjang?

Tentu, mencapainya lebih mudah.
Tidak dicapai pun bisa datang sendiri.

Dengan keinginan yang tidak
tinggi pikiran bisa lebih fokus. Hanya memikirkan ”itu”. Tidak terganggu oleh
”ini itu”.

Tenaga bisa sepenuhnya dicurahkan
ke ”situ”. Tidak diecer kemana-mana.

Ada energi tersembunyi di balik
keinginan bertahap itu. Yang datangnya energi misterius itu mungkin tidak bisa
diteorikan. Atau bisa –kalau ada yang mau membuat teorinya.

”Setiap kali seseorang berhasil
mencapai keinginan, setiap itu pula rasa percaya dirinya meningkat”.

Bukan hanya memunculkan percaya
diri, tapi juga ini: bisa memunculkan gairah plus antusiasme.

Adanya gairah dan antusiasme
itulah yang akan membuat lebih mudah mencapai keinginan tahap berikutnya.

Langit memang penting –untuk
tempat gantungan. Tapi langit kadang juga terlalu tinggi untuk didaki. (dahlan
iskan)

 

Kadang-kadang saya terpaksa.
Termasuk terpaksa mendefinisikan ”apakah bahagia itu”. 

Tema seminar hari itu sebenarnya
”pengaruh instrumentasi dalam industri 4.0”.

Penyelenggaranya pun Departemen
Instrumentasi Fakultas Vokasi Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. Pekan
lalu. 

Tapi pembicara sebelumnya sudah
membahas tema itu. Termasuk wanita muda cantik berjilbab dari PT Yokogawa. Yang
produk instrumentasinya juga pernah saya beli untuk bisnis saya waktu itu.

Saya tidak punya pengetahuan
lebih baik dari para pembicara itu. Materi yang saya siapkan pun ya yang
begitu-begitu itu.

Maka saya semilih tema lain:
pentingnya manusia di balik semua itu. Atau tidak pentingnya manusia di era itu
nanti. Tergantung manusianya.

Pertanyaan peserta pun jauh dari
tema utama. Misalnya bagaimana saya bisa terus kelihatan antusias. Atau
bagaimana bisa banyak senyum. Bagaimana pula tahan menghadapi tekanan
–utamanya tahun-tahun itu.

Saya lihat banyak psikolog yang
hadir. Termasuk seorang ibu dari Semarang. Yang konsultasi psikologi onlinenyi
laris sekali –dan tidak mau berbayar.

Hari itu sang psikolog mengungkap
soal meningkatnya bunuh diri remaja –bahkan sudah ada panduan untuk bunuh diri
di dunia maya.

Maka pembicaraan pindah dari
industri 4.0 ke soal bahagia. Saya pun terdesak untuk terpaksa berteori.
Tentang bahagia.

Tapi saya takut pada para
psikolog di situ. Maka saya minta merekalah yang lebih dulu berteori. Dari buku
pun boleh. Siapa tahu sudah ada buku yang menulis definisi ”apakah bahagia
itu”.

Tidak satu pun mau bicara. Saya
minta ibu Semarang itu yang bicara. Juga tidak mau.

Maka terpaksa saya sendiri yang
mendefinisikan apakah bahagia itu. 

”Bahagia adalah tercapainya keinginan”.

Baca Juga :  Dukung Pasangan Sugianto - Edy, Kader Gerindra Ini Siap Menerima Konse

Kian tercapai sebuah keinginan
kian bahagia seseorang.

Kian agak tercapai kian agak
bahagia.

Kian tidak tercapai kian tidak
bahagia.

Maka mencapai kebahagiaan itu
mudah: jangan menaruh keinginan terlalu tinggi. Yang terlalu sulit mencapainya.
Taruhlah keinginan Anda di ketinggian yang Anda bisa mencapainya.

Bagaimana dengan pameo ”taruhlah
cita-citamu setinggi langit?” 

Tentu itu baik. Asal bisa
mencapainya. Kalau tidak, cita-cita itu hanya untuk ditaruh saja di langit.

Untuk apa?

Lantas ada yang bertanya: apakah
gerangan cita-cita saya. 

Saya agak gagap menyawabnya.

”Saya ini merasa beruntung karena
tidak pernah punya cita-cita.”

Ah, masaaak…

Ups… Mungkin punya juga. Tapi
derajatnya di bawah cita-cita. Hanya sebatas keinginan.

”Cita-cita itu untuk dicapai”.

”Keinginan itu untuk
diharap”. 

Mungkin karena keluarga saya
sangat miskin, di lingkungan tetangga yang miskin dan di desa yang miskin, di
kecamatan yang miskin.

Rasanya hidup itu tidak layak
kalau harus punya cita-cita. Topik cita-cita tidak pernah dibicarakan di desa
saya dulu. Dan itu bukan topik sama sekali.

Topik di lingkungan seperti itu
hanyalah bagaimana bisa hidup besok pagi. Termasuk harus utang beras ke
tetangga yang mana lagi.

Keinginan saya waktu kecil pun
hanyalah bagaimana bisa tidak sekolah. Kadang saya memang berangkat ke sekolah.
Tapi di tengah jalan belok ke sungai. Mencari ikan.

Keinginan naik kelas pun tidak
pernah ada. Dan saya pernah tidak naik kelas. Saya gagal naik dari kelas 3 ke
kelas 4 Muallimin (sebelum akhirnya dipisah menjadi Tsanawiyah dan Aliyah).

Waktu SMA (Aliyah) barulah saya
punya keinginan: untuk punya sepatu. Bekas pun sudah sangat membahagiakan. Saat
itu saya satu-satunya yang tidak pakai sandal atau sepatu di kelas SMA itu.

Baca Juga :  Pungli di Dunia Pendidikan Masih Jadi Perhatian Serius Pemko

Di kelas 2 Aliyah sepatu itu
terbeli. Bekas. Bagian depannya sudah berlubang. Saya hanya berani memakainya
seminggu sekali. Tiap hari Senin saja. Agar tidak cepat rusak.

Tiap hari Senin memang ada
upacara bendara. Saya sesekali harus menjadi komandan upacara. Itu pun sudah
membuat tumit lecet.

Setahun kemudian barulah punya
keinginan lanjutan: memiliki sepeda. Yang minimalis sekali pun. Yang penting
ada roda, rantai, sadel dan stangnya.

Itu pun baru tercapai setelah di
akhir tahun kelas 3.

Begitulah. Keinginan saya itu
datang bertahap. Satu tercapai muncul keinginan berikutnya.

Kian lama keinginan itu datang
kian cepat. Levelnya pun kian tinggi. Akhirnya sampai ke langit juga.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.

Apa kelebihan punya keinginan
berjenjang?

Tentu, mencapainya lebih mudah.
Tidak dicapai pun bisa datang sendiri.

Dengan keinginan yang tidak
tinggi pikiran bisa lebih fokus. Hanya memikirkan ”itu”. Tidak terganggu oleh
”ini itu”.

Tenaga bisa sepenuhnya dicurahkan
ke ”situ”. Tidak diecer kemana-mana.

Ada energi tersembunyi di balik
keinginan bertahap itu. Yang datangnya energi misterius itu mungkin tidak bisa
diteorikan. Atau bisa –kalau ada yang mau membuat teorinya.

”Setiap kali seseorang berhasil
mencapai keinginan, setiap itu pula rasa percaya dirinya meningkat”.

Bukan hanya memunculkan percaya
diri, tapi juga ini: bisa memunculkan gairah plus antusiasme.

Adanya gairah dan antusiasme
itulah yang akan membuat lebih mudah mencapai keinginan tahap berikutnya.

Langit memang penting –untuk
tempat gantungan. Tapi langit kadang juga terlalu tinggi untuk didaki. (dahlan
iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru