31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Menuju Normal

Tidak ada yang kaget. Ya kan?
Padahal Indonesia sudah melewati angka 10.000. Anda pun kelihatannya tidak.
Perasaan umum seperti biasa-biasa saja. 

Angka 10.000 itu seperti kalah
wibawa dengan angka 1 –ketika pertama dulu ditemukan penderita Covid-19 di Indonesia.

Hebohnya, waktu itu, bukan main.
Apalagi yang pertama terkena itu wanita. Dikaitkan pula dengan pesta Valentine.
Yang dihadiri warga Jepang –yang baru datang dari Malaysia.

Di situlah terjadi penularan
pertama untuk orang Indonesia. Secara resmi.

Sehari sebelum itu Covid masih
dikategorikan hoax di negeri ini. 

Seandainya angka 10.000 itu
menjadi 15.000 sekali pun kelihatannya akan biasa-biasa saja. Kita sudah mulai
akrab dengan musuh kita.

Angka itu bahkan masih cukup
membanggakan. Bangga pada negeri sendiri: kita ini tetap lebih hebat. Dibanding
banyak negara maju sekali pun. Yang mereka ternyata lebih kedodoran menghadapi
Covid.

Penduduk kita hampir 300 juta.
Angka 10.000 apalah artinya. Lihatlah Amerika Serikat. Penderitanya sudah lebih
1,2 juta. Padahal jumlah penduduknya tidak banyak beda.

Lihatlah negara sekecil Belanda,
atau Belgia, atau Swiss, atau bahkan Israel. Angka penderitanya jauh di atas
Indonesia.

Pun negara mini Singapura. Sudah
hampir dua kali lipat Indonesia. Padahal Singapura kita kagumi sebagai negara
dengan manajemen yang hebat.

Kalau penderita di Singapura
17.000 seperti sekarang ini, harusnya Indonesia mencapai 700.000.

Maka angka 10.000 yang menimpa
Indonesia luar biasa hebatnya.

Indonesia, 加油!

Tidak usahlah membandingkan dengan
Vietnam, atau Kamboja, atau Thailand. Bikin pesimistis saja.

Right or
wrong is our country
!

Ternyata kita sama sekali tidak
menyesal tidak memberlakukan lockdown. Kita bangga bahwa
kita punya ide sendiri: PSBB. Yang di Surabaya bikin heboh. Macet panjang di
Bundaran Waru. Yang dari Sidoarjo tidak boleh ke Surabaya. Atau sebaliknya.

Baca Juga :  Pemko Terus Meningkatkan Kinerja

Padahal mereka yang lewat jalan
alternatif –lewat Sepanjang dan Karah– bisa juga sampai Surabaya –tanpa ada
pemeriksaan apa-apa. 

Pokoknya kita hebat.

Lihatlah New York. Yang polisinya
sampai menerima pengaduan: persoalan bau busuk. Yang bau itu sampai ke
perumahan di sebelah rumah kematian.

Ternyata rumah kematian itu tidak
mampu lagi menampung mayat Covid-19 di New York. Yang sudah mencapai 30.000
orang.

Rumah kematian itu ternyata
menyewa truk yang ada pendinginnya. Dijejer-jejer di pinggir jalan. Mayat-mayat
itu sebagian dimasukkan truk tersebut. Total sampai 50 mayat. Di antara truk
itu ada yang bocor: banyak air menetes dari dalam. Yang membawa serta bau busuk
itu. Rupanya pendinginnya bermasalah.

Polisi hanya meminta rumah
kematian itu menghilangkan baunya. Tanpa melakukan tindakan hukum apa pun. Di
sana pun hukum bisa maklum: lagi ada Covid.

Yang lebih menarik adalah
perkembangan di Iran. Yang semula menduduki ”juara tiga” terbesar korban
Covid-nya –setelah Tiongkok dan Italia. Belakangan Iran digeser ke urutan
ke-10 oleh negara-negara maju Eropa.

Presiden Iran Hassan Rouhani
tiba-tiba bikin kejutan: kehidupan di Iran akan segera dinormalkan. Meski
penderita baru masih ratusan/hari. Dan yang meninggal masih sekitar 100/hari.

Mengapa kehidupan akan segera
dinormalkan?

”Wabah ini tidak jelas kapan
berakhirnya. Kalau kehidupan dibatasi terus negara akan runtuh,” katanya. 

Baca Juga :  Pusat Dinilai Belum Beri Tempat Bagi Orang Kalimantan

Ekonomi di Tiongkok juga terus
menggeliat. Mulai Rabu kemarin jalan-jalan tol sudah tidak gratis lagi.

Lebih tiga bulan jalan tol gratis
di sana. Pertambahan penderita baru memang nyaris 0 di Tiongkok. Konsentrasi
sudah lebih ke ekonomi.

Ibarat kebakaran, api ya sudah
padam. Sudah waktunya membangun rumah itu kembali. 

Ini agak berbeda dengan kebijakan
beberapa negara lain: rumah terus diperbaiki di tengah kebakaran masih terus
berkobar.

Di Iran persoalannya lebih
serius. Negara itu sendiri lagi diisolasi oleh Amerika. Iran harus hidup
sendiri. Keruntuhan ekonominya tidak bisa dibantu siapa-siapa.

Maka Iran memilih segera
memperbaiki rumahnya –sementara api masih belum padam.

Namun bukan berarti Iran akan
kembali bebas seperti dulu. ”Protokol kesehatan tetap harus ditaati. Cuci
tangan, jaga jarak, dan pakai masker tetap harus dipatuhi. Tapi toko-toko,
restoran, pabrik, dan apa pun boleh beroperasi penuh,” ujar Presiden
Iran. 

Yang seperti itu tidak bisa
dikategorikan sebagai kebijakan herd immunity. Mungkin hanya
setengahnya. 

Ini lebih mirip doktrin: yang
tidak disiplin tanggung sendiri akibatnya. 

Tapi tetap berisiko: kalau
terlalu banyak yang sakit mau dirawat di mana.

Tapi Iran tidak menyesali lockdown selama
ini. Itu dinilai tetap ada manfaatnya. Yakni untuk membuat kejutan. Sebagai
sarana menyadarkan masyarakat akan bahaya Covid-19.

Dengan lockdown masyarakat
menjadi lebih peduli. Lebih siap. Dan lebih sadar. Setelah tahu semua risiko
itu masyarakat tinggal pilih: sadar atau mokong.

Pilihan berikutnya diserahkan
kepada mereka sendiri: mau ke restoran atau mau ke kuburan.(Dahlan Iskan)

 

Tidak ada yang kaget. Ya kan?
Padahal Indonesia sudah melewati angka 10.000. Anda pun kelihatannya tidak.
Perasaan umum seperti biasa-biasa saja. 

Angka 10.000 itu seperti kalah
wibawa dengan angka 1 –ketika pertama dulu ditemukan penderita Covid-19 di Indonesia.

Hebohnya, waktu itu, bukan main.
Apalagi yang pertama terkena itu wanita. Dikaitkan pula dengan pesta Valentine.
Yang dihadiri warga Jepang –yang baru datang dari Malaysia.

Di situlah terjadi penularan
pertama untuk orang Indonesia. Secara resmi.

Sehari sebelum itu Covid masih
dikategorikan hoax di negeri ini. 

Seandainya angka 10.000 itu
menjadi 15.000 sekali pun kelihatannya akan biasa-biasa saja. Kita sudah mulai
akrab dengan musuh kita.

Angka itu bahkan masih cukup
membanggakan. Bangga pada negeri sendiri: kita ini tetap lebih hebat. Dibanding
banyak negara maju sekali pun. Yang mereka ternyata lebih kedodoran menghadapi
Covid.

Penduduk kita hampir 300 juta.
Angka 10.000 apalah artinya. Lihatlah Amerika Serikat. Penderitanya sudah lebih
1,2 juta. Padahal jumlah penduduknya tidak banyak beda.

Lihatlah negara sekecil Belanda,
atau Belgia, atau Swiss, atau bahkan Israel. Angka penderitanya jauh di atas
Indonesia.

Pun negara mini Singapura. Sudah
hampir dua kali lipat Indonesia. Padahal Singapura kita kagumi sebagai negara
dengan manajemen yang hebat.

Kalau penderita di Singapura
17.000 seperti sekarang ini, harusnya Indonesia mencapai 700.000.

Maka angka 10.000 yang menimpa
Indonesia luar biasa hebatnya.

Indonesia, 加油!

Tidak usahlah membandingkan dengan
Vietnam, atau Kamboja, atau Thailand. Bikin pesimistis saja.

Right or
wrong is our country
!

Ternyata kita sama sekali tidak
menyesal tidak memberlakukan lockdown. Kita bangga bahwa
kita punya ide sendiri: PSBB. Yang di Surabaya bikin heboh. Macet panjang di
Bundaran Waru. Yang dari Sidoarjo tidak boleh ke Surabaya. Atau sebaliknya.

Baca Juga :  Pemko Terus Meningkatkan Kinerja

Padahal mereka yang lewat jalan
alternatif –lewat Sepanjang dan Karah– bisa juga sampai Surabaya –tanpa ada
pemeriksaan apa-apa. 

Pokoknya kita hebat.

Lihatlah New York. Yang polisinya
sampai menerima pengaduan: persoalan bau busuk. Yang bau itu sampai ke
perumahan di sebelah rumah kematian.

Ternyata rumah kematian itu tidak
mampu lagi menampung mayat Covid-19 di New York. Yang sudah mencapai 30.000
orang.

Rumah kematian itu ternyata
menyewa truk yang ada pendinginnya. Dijejer-jejer di pinggir jalan. Mayat-mayat
itu sebagian dimasukkan truk tersebut. Total sampai 50 mayat. Di antara truk
itu ada yang bocor: banyak air menetes dari dalam. Yang membawa serta bau busuk
itu. Rupanya pendinginnya bermasalah.

Polisi hanya meminta rumah
kematian itu menghilangkan baunya. Tanpa melakukan tindakan hukum apa pun. Di
sana pun hukum bisa maklum: lagi ada Covid.

Yang lebih menarik adalah
perkembangan di Iran. Yang semula menduduki ”juara tiga” terbesar korban
Covid-nya –setelah Tiongkok dan Italia. Belakangan Iran digeser ke urutan
ke-10 oleh negara-negara maju Eropa.

Presiden Iran Hassan Rouhani
tiba-tiba bikin kejutan: kehidupan di Iran akan segera dinormalkan. Meski
penderita baru masih ratusan/hari. Dan yang meninggal masih sekitar 100/hari.

Mengapa kehidupan akan segera
dinormalkan?

”Wabah ini tidak jelas kapan
berakhirnya. Kalau kehidupan dibatasi terus negara akan runtuh,” katanya. 

Baca Juga :  Pusat Dinilai Belum Beri Tempat Bagi Orang Kalimantan

Ekonomi di Tiongkok juga terus
menggeliat. Mulai Rabu kemarin jalan-jalan tol sudah tidak gratis lagi.

Lebih tiga bulan jalan tol gratis
di sana. Pertambahan penderita baru memang nyaris 0 di Tiongkok. Konsentrasi
sudah lebih ke ekonomi.

Ibarat kebakaran, api ya sudah
padam. Sudah waktunya membangun rumah itu kembali. 

Ini agak berbeda dengan kebijakan
beberapa negara lain: rumah terus diperbaiki di tengah kebakaran masih terus
berkobar.

Di Iran persoalannya lebih
serius. Negara itu sendiri lagi diisolasi oleh Amerika. Iran harus hidup
sendiri. Keruntuhan ekonominya tidak bisa dibantu siapa-siapa.

Maka Iran memilih segera
memperbaiki rumahnya –sementara api masih belum padam.

Namun bukan berarti Iran akan
kembali bebas seperti dulu. ”Protokol kesehatan tetap harus ditaati. Cuci
tangan, jaga jarak, dan pakai masker tetap harus dipatuhi. Tapi toko-toko,
restoran, pabrik, dan apa pun boleh beroperasi penuh,” ujar Presiden
Iran. 

Yang seperti itu tidak bisa
dikategorikan sebagai kebijakan herd immunity. Mungkin hanya
setengahnya. 

Ini lebih mirip doktrin: yang
tidak disiplin tanggung sendiri akibatnya. 

Tapi tetap berisiko: kalau
terlalu banyak yang sakit mau dirawat di mana.

Tapi Iran tidak menyesali lockdown selama
ini. Itu dinilai tetap ada manfaatnya. Yakni untuk membuat kejutan. Sebagai
sarana menyadarkan masyarakat akan bahaya Covid-19.

Dengan lockdown masyarakat
menjadi lebih peduli. Lebih siap. Dan lebih sadar. Setelah tahu semua risiko
itu masyarakat tinggal pilih: sadar atau mokong.

Pilihan berikutnya diserahkan
kepada mereka sendiri: mau ke restoran atau mau ke kuburan.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru