Hidup ini singkat belaka. Setelah lewat masa muda yang penuh warna, masa tua lekas merenggut, menyeret kita ke gerbang maut. Berapa lamakah sesungguhnya kita benar-benar hidup? Seribu bulan atau hanya sehari?
AKU duduk menatap langit kelam, mendengarkan bunyi debur ombak di muka jendela rumahku di tepi laut Isla Negra, Valparaíso. Angin malam berputar di langit seperti menangis. Malam ini aku bisa saja menulis larik-larik yang paling sedih. Sebab, aku merasa kehilangan.
Tiga hari lalu tiba kabar dari Santiago. Sahabatku Salvador dibunuh di ruang kerjanya di Istana La Moneda oleh pasukan Pinochet dalam sebuah kudeta. Kematiannya lalu ditutup-tutupi. Mengapa para pengkhianat itu tega menjual tanah air kami kepada kapitalis asing dengan harga begitu murah?
Setelah Salvador, mungkin giliranku akan tiba tak lama lagi. Jika bukan karena kanker yang menggerogoti tubuhku, tangan kotor bedebah-bedebah itulah yang bakal mencabikku. Barangkali mereka akan meracuniku diam-diam.
Pikiran tentang maut yang terasa kian dekat membuatku terkenang pada hari-hari sunyi di sebuah negeri yang jauh. Sebelum pecah perang dunia, puluhan tahun lalu aku pernah tinggal di kota itu yang dulu bernama Batavia, tanah jajahan Belanda, dua bulan perjalanan naik kapal laut dari Santiago.
***
Dalam gelimang cahaya senja lelaki itu duduk sendiri di sebuah kafe terbuka di tepi kanal. Dia menatap hampa batas langit di kejauhan. Di hadapannya gin pahit dalam gelas beling di atas meja barangkali hanya tersisa dua teguk.
Baru tiga bulan dia tinggal di Batavia –lima belas ribu kilometer dari kota asalnya, Temuco. Sebelumnya dia bertugas sebagai konsul di Colombo. Untuk menemaninya, dia membawa dua kawan dari Sri Lanka: seorang jongos setia bernama Bhrampy dan seekor garangan betina bernama Kiria yang amat jinak –bahkan setiap malam tidur di ranjangnya. Mereka bertolak dengan kapal ke Batavia via Singapura.
Lelaki pertengahan likuran itu terkenang seorang wanita Yahudi berhidung bangir dari Leeuwarden yang ditemuinya di atas kapal. Namanya Kruzi. Pada akhir perjalanan, untuk mengusir sepi mereka menghabiskan malam di kabin wanita berambut pirang itu. Usai bercinta, Kruzi bercerita kepadanya bahwa sebuah pekerjaan menarik telah menantinya di Batavia.
Ada sebuah organisasi dagang di Amsterdam yang menyediakan perempuan-perempuan Eropa untuk dijadikan simpanan para lelaki kaya dan terhormat di Asia. Kruzi salah satu wanita itu. Saat mereka berpisah keesokan harinya di pelabuhan, dia melihat Kruzi dijemput sebuah Rolls-Royce.
Lelaki itu menenggak habis isi gelasnya. Minuman itu pahit, tapi menenangkan di tengah udara yang panas dan lembap. Dia baru pindah dari Hotel der Nederlanden di tengah kota ke sebuah rumah dinas di Probolinggoweg, tak jauh dari kantornya –konsulat Cile untuk Hindia Belanda.
Hotel der Nederlanden yang berdekatan dengan Istana Gubernur Jenderal adalah gedung megah bergaya art deco. Terpisah dari bangunan induk yang digunakan untuk ruang makan dan kantor, terdapat bungalo-bungalo di antara taman dan pepohonan yang hijau kemilau. Di salah satu bungalo itulah dia tinggal bersama Bhrampy dan Kiria. Pada malam yang sunyi, kerap terdengar bunyi serangga bernyanyi seperti di hutan.
Hidangan makan malam di hotel itu sungguh mewah dan melimpah, bagaikan sajian istimewa untuk seorang maharaja. Mereka menyebutnya rijsttafel. Lelaki itu amat terkesan.
Secara berurutan, belasan pelayan lelaki berseragam putih-putih meladeninya dengan penuh pengabdian, masing-masing menyajikan piring lebar berisi masakan yang tampak lezat dengan aneka lauk-pauk –nasi goreng, opor ayam, ikan gurami, rendang daging sapi, sate babi, sayuran, dilengkapi dengan kerupuk dan sambal. Dia menyukai hidangan dengan bumbu pedas. Itu mengingatkan dia pada kampung halamannya.
Orang Cina mengatakan bahwa makanan harus memiliki keistimewaan pada tiga hal: rasa, aroma, dan warna. Di Batavia, ini ditambah yang keempat sebagai penyempurna: berlimpah.
Namun, pada suatu siang Kiria lenyap di tengah kerimbunan pepohonan di taman hotel. Berhari-hari dia tak kembali. Hilang untuk selamanya. Lelaki itu amat sedih. Sesekali pada malam buta dia seakan-akan mendengar suara Kiria, tapi rupanya itu hanya angan semata.
Bhrampy yang ditugasi menjaga Kiria merasa amat bersalah dan malu dengan keteledorannya yang menyebabkan makhluk kesayangan itu hilang. Seminggu lalu, pada sore hari dia datang menghadap.
”Tuan Reyes, saya mau minta diri,” kata jongos keling itu dengan takut-takut.
Dia mengenakan setelan jas putih-putih dan dasi kupu-kupu hitam. Namun, yang membuat tuannya tak dapat menahan tawa, di atas kepalanya bertengger topi chef putih yang membuatnya tampak aneh.
”Pergilah, Bhrampy. Baik-baiklah kau dalam perjalanan,” ujar lelaki itu setelah tawanya reda. Sebagai pengembara di negeri jauh, dia memahami keinginan pemuda itu untuk pulang ke kampung halamannya.
Kini lelaki itu sendirian. Dia kesepian di satu kota asing di sebuah rumah yang tak seberapa luas. Rumah dengan langit-langit tinggi itu hanya memiliki sebuah ruang tengah, satu kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Dia tidak punya mobil, tetapi di samping rumah terdapat sebuah garasi yang akhirnya dibiarkan kosong. Di rumah itulah dia menyelesaikan jilid pertama Residencia en la tierra, kumpulan puisi yang telah mulai ditulis sejak dia tinggal di India, sebelum pindah ke Sri Lanka.
Setiap hari seorang juru masak datang menyiapkan makanan lokal yang enak-enak untuknya. Dia perempuan Jawa tua yang sederhana dan periang. Ada pula seorang jongos yang bertugas membersihkan rumah dan pekarangan serta mencuci dan menyetrika pakaian.
Tetapi, tanpa Kiria dan Bhrampy, kesendiriannya pada hari-hari hampa dan malam-malam buta amat menyiksa. Kesepian yang kian menekan membuatnya memutuskan untuk mencari kawan hidup.
Di sebuah klub tenis, dia berjumpa dengan seorang dara yang menawan hatinya. María Antonieta Hagenaar atau Marijke berusia empat tahun lebih tua darinya. Dia bekerja sebagai juru tulis di Bataviasche Afdelingsbank di Weltevreden. Mendiang ayahnya, Pieter Hagenaar, seorang pedagang dari Belanda. Ibunya, Antonia Vogelzang, wanita Indo-Belanda yang berasal dari Jogjakarta.
Marijke wanita sederhana yang lembut dan bertubuh tinggi –lebih tinggi dari lelaki itu. Dia tak tahu apa-apa tentang sastra dan seni. Saat itu, dia juga tak mengerti sedikit pun bahasa Spanyol. Tetapi, dia mau belajar. Sementara, lelaki itu tak paham bahasa Belanda atau Melayu. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang sesungguhnya sama-sama asing bagi keduanya.
Lelaki itu menikahi Marijke pada awal Desember yang dingin dan hujan –enam bulan sejak kedatangannya di Batavia. Dia memanggil istrinya dengan nama kesayangan Maruca. Ah, bagaimana mungkin dia tak menyayangi sepasang mata yang indah dan tenang itu?
Baginya, Maruca teman yang hangat dan menyenangkan. Maruca membuat dunianya tak lagi sepi. Di rumah, pada waktu luang, lelaki itu akan duduk membaca buku, sedangkan Maruca asyik menjahit.
Lelaki itu tak punya banyak teman. Sesekali dia dan Maruca berkunjung ke rumah sesama konsul asing di Batavia. Konsul Kuba dan istrinya menjadi teman terdekat mereka –barangkali karena kesamaan bahasa dengan lelaki itu.
Hertz, konsul Jerman berdarah Yahudi, juga menjadi kawan dekatnya. Suatu kali, dia bertanya kepada Hertz tentang perkembangan politik di negerinya.
”Hitler yang namanya terus muncul di koran-koran tampaknya makin besar pengaruhnya. Dia pemimpin partai yang anti-Yahudi dan antikomunis. Apakah menurutmu dia akan berhasil naik ke puncak kekuasaan?” tanya lelaki itu.
”Mustahil,” sahut Hertz dengan yakin.
”Mengapa mustahil? Sejarah penuh dengan peristiwa tak terduga,” dia menukas.
”Tapi kau tak memahami orang Jerman,” sergahnya. ”Kami tidak mungkin diprovokasi dengan angan-angan bombastis dan politik identitas murahan oleh seorang agitator edan.”
Dari sejumlah kabar, lelaki itu mengetahui bahwa di Hindia Belanda pun zaman tengah bergerak. Kaum bumiputra perlahan bangkit untuk melawan penindasan bangsa penjajah dari Eropa yang telah bercokol ratusan tahun mengisap kekayaan tanah air mereka.
Dua bulan setelah kedatangannya, di Bandung –yang konon tengah dipersiapkan menjadi ibu kota baru dengan anggaran jutaan gulden– terjadi pengadilan berat sebelah oleh mahkamah kolonial terhadap seorang pemuda aktivis pergerakan yang kurang lebih seumurnya. Di Landraad, pemuda itu berpidato berkobar-kobar menggugat kolonialisme. Namun, sebagai diplomat asing, dia hanya bisa memperhatikan semua itu dari jauh.
Tiada yang abadi di dunia. Pada 1932, resesi global membuat pemerintah Cile menutup kantornya di Batavia. Setelah bertahun-tahun mengembara, lelaki itu berlayar pulang ke tanah air membawa istrinya.
***
Aku berpisah dengan Maruca empat tahun setelah kami meninggalkan Batavia. Dia pernah mencintaiku dan kadang aku pun mencintainya. Tapi kini yang tersisa hanyalah sejumput kenangan, kesedihan, dan barangkali sisa cinta yang telah lama pudar. Seperti selarik puisi yang pernah kutulis: cinta itu singkat, tetapi lupa itu begitu lama.
Sesekali aku teringat kepadanya dan putri mungil kami, Malva Marina, yang telah lama tiada. Kudengar Maruca meninggal dunia di Den Haag delapan tahun silam. Sedangkan aku, kini aku meniti usia senja ditemani Matilde-ku yang setia.
Sementara, serupa Hertz di Batavia yang tak menyangka seorang despot macam Hitler bisa naik ke puncak kekuasaan di Jerman dan menyulut perang yang menelan puluhan juta jiwa, kami di Cile tak menduga bahwa militer di bawah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet akan nekat merebut kekuasaan dengan moncong senjata, menggulingkan pemerintah sah yang dipilih oleh rakyat.
Ajalku mungkin tak lama lagi sampai. Kusaksikan kebrutalan melanda negeriku, menindas kemanusiaan dan menggelapkan sejarah. Namun, aku yakin kebenaran dan keadilan akan menang pada akhirnya. Mereka bisa saja memotong semua bunga, tetapi bagaimana mungkin mereka bisa mencegah musim semi tiba? (*)
—
Damaran, Juni 2023–Cikini, September 2023
Catatan:
Pablo Neruda (1904–1973) atau Neftalí Ricardo Reyes Basualto adalah penyair ternama Cile pemenang Hadiah Stalin 1953 dan Hadiah Nobel Sastra 1971. Dia pernah bertugas sebagai konsul Cile di Batavia (1930–1932).
Pada 1970, Neruda yang berasal dari Partai Komunis terpilih sebagai calon presiden Cile mewakili koalisi Persatuan Rakyat, tetapi dia mundur untuk memberi kesempatan kepada Salvador Allende dari Partai Sosialis.
Presiden Allende yang terpilih secara demokratis dibunuh dalam kudeta militer yang didukung CIA pada 11 September 1973. Neruda menyusul wafat 12 hari kemudian. Pada Februari 2023 ditemukan bukti-bukti forensik baru bahwa Neruda tewas akibat diracun.
—
ANTON KURNIA, Menulis tiga kumpulan cerpen dan sebuah novel. Kumpulan cerpennya, Insomnia (2004), telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris (2015), Arab (2020), dan Spanyol (2023). Kumpulan cerpen terbarunya berjudul Nostalgia: Kisah-Kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta. Novelnya adalah Majnun (2022). Kini ia juga bertugas sebagai ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.