28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Perlunya Katup Pengaman jika Presiden Berhalangan

Oleh SAHLUL FUAD, Dosen Universitas PTIQ Jakarta

Abdul Ghoffar merekomendasikan untuk merekonstruksi pengisian kekosongan jabatan presiden dengan memperhatikan tiga prinsip: prinsip demokrasi, prinsip sistem presidensial, dan prinsip negara hukum.

KITA tentu berharap pemilihan umum presiden (pilpres) berlangsung lancar. Juga selain terus berharap presiden dan wakil presiden serta ketiga triumvirat yang sedang menjabat sekarang dalam keadaan baik-baik saja sampai terpilih dan terlantik presiden dan wakil presiden hasil pesta demokrasi tahun depan.

Jika tidak, persoalannya akan sangat rumit karena konstitusi Indonesia belum memiliki katup pengaman untuk mengantisipasi. Begitulah pesan penting yang dapat ditangkap dari buku Pengisian Kekosongan Jabatan Presiden: Perbandingan dengan 15 Negara di Dunia karya Abdul Ghoffar ini.

Para pendiri bangsa dan pembahas amandemen UUD 1945 memang sudah menyiapkan pasal 8 untuk mengisi kekosongan jabatan presiden. Namun, Ghoffar menemukan setidaknya tiga titik kelemahan.

Pertama, bagaimana jika presiden berhalangan sementara? Kedua, bagaimana jika ketiga menteri triumvirat juga berhalangan secara bersama-sama pada saat presiden dan wakil presiden juga berhalangan?

Ketiga, bagaimana jika presiden tiba-tiba berhalangan pada masa pergantian, seperti: (1) presiden berhalangan sesaat sebelum pemilihan yang mengakibatkan tidak adanya calon presiden untuk dilakukan pemilihan presiden; (2) pemilihan presiden tidak dapat dilakukan; (3) presiden terpilih berhalangan sementara; (4) perselisihan pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) belum putus sampai masa jabatan presiden yang menjabat telah berakhir; (5) presiden terpilih tidak dapat disumpah karena keadaan tertentu; dan (6) presiden terpilih berhalangan tetap. Hal-hal ini tidak terakomodasi dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi kegelisahan penulis buku ini. Apalagi, buku hasil disertasi ini ditulis pada masa-masa pandemi Covid-19 sedang melanda dan adanya potensi ancaman menggagalkan Pilpres 2024. Karena itu, kursi presiden harus diruwat secara konstitusional agar tidak melahirkan kekacauan di kemudian hari.

Belajar dari Sejarah

Indonesia pernah mengalami pergantian atau pengisian jabatan presiden secara tidak normal. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa pejabat tinggi Republik Indonesia pernah ditawan tentara Belanda di Jogjakarta pada saat Agresi Militer II.

Baca Juga :  Menafsir Ulang Dunia dan Cinta serta Fantasi yang Transenden

Beruntung Presiden Soekarno sempat memberikan surat mandat melalui radiogram kepada Syafruddin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, untuk membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setelah setengah tahun ditahan, 19 Desember 1948–6 Juli 1949, Soekarno menerima penyerahan jabatan presiden kembali dari Syafruddin.

Begitu juga ketika Assaat harus menjalankan fungsi-fungsi presiden saat Soekarno diangkat sebagai presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah RIS dibubarkan, Assaat juga menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia.

Dua peristiwa tersebut dinilai para ahli hukum tata negara bahwa Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden sedang berhalangan sementara. Sebab, pada waktu itu mereka masih berada dalam masa jabatan.

Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid tercatat dalam sejarah kepresidenan Indonesia berakhir dalam keadaan berhalangan tetap. Bedanya, Soekarno dan Abdurrahman Wahid berhalangan tetap karena diberhentikan MPR(S), sedangkan Soeharto berhalangan tetap karena mengundurkan diri dan digantikan Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai presiden. Ketiganya disebut berhalangan tetap karena mereka berhenti dan tidak melanjutkan lagi ketika masih berada dalam masa jabatannya.

Berdasar kelima peristiwa di atas, Indonesia belum pernah mengalami presiden, wakil presiden, dan triumvirat (menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan) berhalangan tetap secara bersamaan.

Akan tetapi, secara teoretis kondisi berhalangan tetap secara bersamaan di antara mereka bukan hal yang tidak mungkin. Peperangan, bencana alam, dan wabah penyakit merupakan suatu kondisi yang sangat mungkin terjadi di negara mana pun, termasuk Indonesia.

Belajar dari Negara Lain

Dibandingkan dengan negara-negara lain, persoalan pengisian kekosongan jabatan presiden telah diantisipasi dengan ketentuan yang berlapis, baik kekosongan sementara maupun kekosongan permanen.

Amerika Serikat, Korea Selatan, Republik Dominika, Honduras, Cile, Seychelles, Zambia, Filipina, Turki, Benin, Liberia, Mesir, Kenya, dan Uruguay, misalnya, memiliki mekanisme tersendiri untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kekosongan sementara dan permanen jabatan presiden pada masa jabatan secara beragam. Amerika Serikat telah menyiapkan 17 orang sesuai urutan prioritas selain wakil presiden sebagai pengisi jabatan jika presiden berhalangan tetap.

Baca Juga :  Lelaki Sepi dan Secangkir Kopi

Di Korea Selatan bahkan mencapai 18 orang selain wakil presiden jika presiden berhalangan tetap. Hanya di Turki yang sekadar menyiapkan wakil presiden jika berhalangan, selain itu tidak ada.

Ghoffar juga memberikan perhatian terhadap kekosongan pada masa pergantian. Negara Indonesia menjadikan 20 Oktober sebagai penanda waktu berakhirnya masa jabatan presiden selama lima tahun karena pada tanggal itu presiden dan wakil presiden dilantik.

Hal ini berarti pada saat itu secara otomatis segala otoritas yang melekat pada presiden dan wakil presiden serta menteri-menterinya tidak berlaku. Di sinilah titik krusial yang belum disiapkan antisipasinya dalam konstitusi atau peraturan perundangundangan yang ada. Beberapa negara lain yang dibandingkan penulis ternyata memang beragam.

Karena itu, asisten ahli hakim konstitusi ini merekomendasikan untuk merekonstruksi pengisian kekosongan jabatan presiden dengan memperhatikan tiga prinsip: prinsip demokrasi, prinsip sistem presidensial, dan prinsip negara hukum. Jangka pendek, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden harus segera membuat undang-undang yang mampu menutup titik kritis terjadinya kekosongan jabatan.

Jangka panjang, apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengagendakan perubahan UUD 1945 harus memasukkan hal-hal ini, termasuk memikirkan ulang pasal 8, khususnya ayat (2) dan (3) terkait kedudukan MPR dalam memilih presiden dan wakil presiden.

Buku ini bukan sekadar layak dibaca dan dipahami bagi segenap pejabat tinggi Negara Indonesia dan negaranegara lain. Tapi juga harus dijadikan sebagai pedoman untuk meruwat kursi presiden agar tidak terjadi kekosongan jabatan presiden, apalagi menganut sistem presidensial. (*)

Judul Buku: Pengisian Kekosongan Jabatan Presiden: Perbandingan dengan 15 Negara di Dunia

Penulis: Abdul Ghoffar

Penerbit: Rajagrafindo Persada

Cetakan: I, Desember 2022

Tebal: xxvi + 508 halaman

Oleh SAHLUL FUAD, Dosen Universitas PTIQ Jakarta

Abdul Ghoffar merekomendasikan untuk merekonstruksi pengisian kekosongan jabatan presiden dengan memperhatikan tiga prinsip: prinsip demokrasi, prinsip sistem presidensial, dan prinsip negara hukum.

KITA tentu berharap pemilihan umum presiden (pilpres) berlangsung lancar. Juga selain terus berharap presiden dan wakil presiden serta ketiga triumvirat yang sedang menjabat sekarang dalam keadaan baik-baik saja sampai terpilih dan terlantik presiden dan wakil presiden hasil pesta demokrasi tahun depan.

Jika tidak, persoalannya akan sangat rumit karena konstitusi Indonesia belum memiliki katup pengaman untuk mengantisipasi. Begitulah pesan penting yang dapat ditangkap dari buku Pengisian Kekosongan Jabatan Presiden: Perbandingan dengan 15 Negara di Dunia karya Abdul Ghoffar ini.

Para pendiri bangsa dan pembahas amandemen UUD 1945 memang sudah menyiapkan pasal 8 untuk mengisi kekosongan jabatan presiden. Namun, Ghoffar menemukan setidaknya tiga titik kelemahan.

Pertama, bagaimana jika presiden berhalangan sementara? Kedua, bagaimana jika ketiga menteri triumvirat juga berhalangan secara bersama-sama pada saat presiden dan wakil presiden juga berhalangan?

Ketiga, bagaimana jika presiden tiba-tiba berhalangan pada masa pergantian, seperti: (1) presiden berhalangan sesaat sebelum pemilihan yang mengakibatkan tidak adanya calon presiden untuk dilakukan pemilihan presiden; (2) pemilihan presiden tidak dapat dilakukan; (3) presiden terpilih berhalangan sementara; (4) perselisihan pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) belum putus sampai masa jabatan presiden yang menjabat telah berakhir; (5) presiden terpilih tidak dapat disumpah karena keadaan tertentu; dan (6) presiden terpilih berhalangan tetap. Hal-hal ini tidak terakomodasi dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi kegelisahan penulis buku ini. Apalagi, buku hasil disertasi ini ditulis pada masa-masa pandemi Covid-19 sedang melanda dan adanya potensi ancaman menggagalkan Pilpres 2024. Karena itu, kursi presiden harus diruwat secara konstitusional agar tidak melahirkan kekacauan di kemudian hari.

Belajar dari Sejarah

Indonesia pernah mengalami pergantian atau pengisian jabatan presiden secara tidak normal. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa pejabat tinggi Republik Indonesia pernah ditawan tentara Belanda di Jogjakarta pada saat Agresi Militer II.

Baca Juga :  Menafsir Ulang Dunia dan Cinta serta Fantasi yang Transenden

Beruntung Presiden Soekarno sempat memberikan surat mandat melalui radiogram kepada Syafruddin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, untuk membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setelah setengah tahun ditahan, 19 Desember 1948–6 Juli 1949, Soekarno menerima penyerahan jabatan presiden kembali dari Syafruddin.

Begitu juga ketika Assaat harus menjalankan fungsi-fungsi presiden saat Soekarno diangkat sebagai presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah RIS dibubarkan, Assaat juga menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia.

Dua peristiwa tersebut dinilai para ahli hukum tata negara bahwa Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden sedang berhalangan sementara. Sebab, pada waktu itu mereka masih berada dalam masa jabatan.

Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid tercatat dalam sejarah kepresidenan Indonesia berakhir dalam keadaan berhalangan tetap. Bedanya, Soekarno dan Abdurrahman Wahid berhalangan tetap karena diberhentikan MPR(S), sedangkan Soeharto berhalangan tetap karena mengundurkan diri dan digantikan Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai presiden. Ketiganya disebut berhalangan tetap karena mereka berhenti dan tidak melanjutkan lagi ketika masih berada dalam masa jabatannya.

Berdasar kelima peristiwa di atas, Indonesia belum pernah mengalami presiden, wakil presiden, dan triumvirat (menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan) berhalangan tetap secara bersamaan.

Akan tetapi, secara teoretis kondisi berhalangan tetap secara bersamaan di antara mereka bukan hal yang tidak mungkin. Peperangan, bencana alam, dan wabah penyakit merupakan suatu kondisi yang sangat mungkin terjadi di negara mana pun, termasuk Indonesia.

Belajar dari Negara Lain

Dibandingkan dengan negara-negara lain, persoalan pengisian kekosongan jabatan presiden telah diantisipasi dengan ketentuan yang berlapis, baik kekosongan sementara maupun kekosongan permanen.

Amerika Serikat, Korea Selatan, Republik Dominika, Honduras, Cile, Seychelles, Zambia, Filipina, Turki, Benin, Liberia, Mesir, Kenya, dan Uruguay, misalnya, memiliki mekanisme tersendiri untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kekosongan sementara dan permanen jabatan presiden pada masa jabatan secara beragam. Amerika Serikat telah menyiapkan 17 orang sesuai urutan prioritas selain wakil presiden sebagai pengisi jabatan jika presiden berhalangan tetap.

Baca Juga :  Lelaki Sepi dan Secangkir Kopi

Di Korea Selatan bahkan mencapai 18 orang selain wakil presiden jika presiden berhalangan tetap. Hanya di Turki yang sekadar menyiapkan wakil presiden jika berhalangan, selain itu tidak ada.

Ghoffar juga memberikan perhatian terhadap kekosongan pada masa pergantian. Negara Indonesia menjadikan 20 Oktober sebagai penanda waktu berakhirnya masa jabatan presiden selama lima tahun karena pada tanggal itu presiden dan wakil presiden dilantik.

Hal ini berarti pada saat itu secara otomatis segala otoritas yang melekat pada presiden dan wakil presiden serta menteri-menterinya tidak berlaku. Di sinilah titik krusial yang belum disiapkan antisipasinya dalam konstitusi atau peraturan perundangundangan yang ada. Beberapa negara lain yang dibandingkan penulis ternyata memang beragam.

Karena itu, asisten ahli hakim konstitusi ini merekomendasikan untuk merekonstruksi pengisian kekosongan jabatan presiden dengan memperhatikan tiga prinsip: prinsip demokrasi, prinsip sistem presidensial, dan prinsip negara hukum. Jangka pendek, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden harus segera membuat undang-undang yang mampu menutup titik kritis terjadinya kekosongan jabatan.

Jangka panjang, apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengagendakan perubahan UUD 1945 harus memasukkan hal-hal ini, termasuk memikirkan ulang pasal 8, khususnya ayat (2) dan (3) terkait kedudukan MPR dalam memilih presiden dan wakil presiden.

Buku ini bukan sekadar layak dibaca dan dipahami bagi segenap pejabat tinggi Negara Indonesia dan negaranegara lain. Tapi juga harus dijadikan sebagai pedoman untuk meruwat kursi presiden agar tidak terjadi kekosongan jabatan presiden, apalagi menganut sistem presidensial. (*)

Judul Buku: Pengisian Kekosongan Jabatan Presiden: Perbandingan dengan 15 Negara di Dunia

Penulis: Abdul Ghoffar

Penerbit: Rajagrafindo Persada

Cetakan: I, Desember 2022

Tebal: xxvi + 508 halaman

Terpopuler

Artikel Terbaru