33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Lelaki Sepi dan Secangkir Kopi

LELAKI 52 tahun itu kini hidup sebatang kara di kampung
kelahirannya. Tepatnya daerah pesisir, ujung selatan kota ini. Saat masih
anak-anak, kampung yang ditinggalinya terbilang sepi. Kampung-kampung tetangga
juga senada; sama sepinya. Ketika itu penduduknya memang masih bisa dihitung
dengan jari. Maklum, kampung-kampung yang berdekatan dengan pantai memang
penduduknya tak seramai kampung yang jauh dari lokasi pantai.

Namun kini, kampungnya dan juga
kampung-kampung yang bersisian dengannya, terlihat cukup ramai. Semua bermula
ketika wisata pantai kini menjadi tempat favorit anak-anak muda menunggu dan
menghabiskan senja. Sekaligus tempat memuaskan ekspresi bagi mereka yang
menggemari fotografi. Saat hari kian mendekati senja, biasanya pantai lebih ramai
oleh muda-mudi yang ingin menyaksikan keindahan matahari menenggelamkan diri.

Selain itu, jalan utama kampung
tersebut telah diperlebar hingga tiga kali lipat. Jalan yang telah diaspal
dengan sangat mulus tersebut kini menjadi jalan alternatif menuju bandara
internasional. Sekarang, warga yang ingin menyeberang jalan tersebut merasa
ketar-ketir dan harus berkali-kali tengok kanan kiri. Lengah sedikit saja saat
menyeberang, nyawa menjadi taruhannya.

***

Sejak sang istri meninggal dunia
beberapa tahun silam, lelaki yang hanya mampu mengenyam pendidikan sekolah
dasar dan rumahnya cukup dekat dengan jalan raya itu memiliki aktivitas rutin
tiap pagi dan sore hari; duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi.
Usai salat Subuh biasanya ia segera bergegas menuju dapurnya yang sederhana.
Menjerang air. Lalu meracik kopi hasil memanen dari pekarangan yang berada di
kanan, kiri, dan belakang rumahnya yang luas. Keseharian lelaki itu selama ini
memang berkebun kopi. Sejak kecil ia telah terbiasa membantu sang ayah menanam
kopi di pekarangan rumahnya yang luas. Di kampung tersebut, ayahnya dikenal
sebagai petani kopi yang cukup telaten dan ketelatenannya kini menurun pada
anak lanang semata wayangnya.

Robusta, begitulah orang-orang
zaman sekarang menamai jenis tanaman kopi yang tumbuh subur di pekarangan rumah
lelaki itu. Dulu, ia tak mengenali jenis kopi yang ia dan ayahnya tanam. Setahu
lelaki itu, pohon-pohon berdaun rimbun dengan biji-biji kopinya yang semula
kehijauan lalu berubah kemerahan itu namanya hanya sebatas “pohon kopi” yang
kelak bila panen tiba akan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tak ada nama lain.

Ia baru tahu beberapa tahun
terakhir bahwa pohon kopi yang ia tanam selama ini jenis robusta. Semua bermula
ketika serombongan mahasiswa datang ke rumahnya untuk mengadakan penelitian
perihal tata cara berkebun kopi yang baik dan benar.

Baca Juga :  Kemiskinan yang Tergadaikan

“Kalau ini sih jenis kopi
robusta, Pak,” terang salah satu mahasiswa dari Yogyakarta. Lelaki itu hanya
manggut-manggut. Nama yang asing. Tapi terdengar keren. Gumam lelaki itu sambil
tersenyum. Entah, siapa yang telah menamai pohon kopi dengan nama sekeren itu.
Batin lelaki itu kembali bergumam. Ingin sekali ia bertanya, siapa gerangan
orang yang telah memberi nama robusta pada pohon kopi miliknya.

***

Sore itu, seperti sore-sore
sebelumnya, selepas menunaikan shalat Asar, lelaki itu menuju ke dapur untuk
menyeduh kopi. Butuh waktu kurang lebih 20 menit untuk menyiapkan air hingga
mendidih dan meracik bubuk kopi hitam ke dalam cangkir putih. Lumayan lama
memang. Karena saat menjerang air ia tak mau menggunakan kompor gas ataupun
kompor listrik. Sejak dulu hingga kini lelaki itu memang hanya mau menggunakan
kayu-kayu kering yang dapat ditemukan dengan mudah di pekarangan rumah. Ketika
orang-orang di kampungnya satu per satu meninggalkan kebiasaan lama (memasak
dengan menggunakan kayu bakar) dan mulai menggunakan kompor sebagaimana anjuran
pemerintah, lelaki itu tetap bersikukuh menggunakan kayu bakar untuk memasak dan
menjerang air.

Menurut lelaki itu, nasi yang
dimasak dengan kayu bakar rasanya lebih nikmat daripada nasi yang dimasak
dengan kompor gas atau kompor listrik. Begitu pula, air yang dijerang (untuk
menyeduh kopi) dengan kayu bakar lebih nikmat dan mantap ketimbang air yang
dijerang dengan kompor. Selain itu, memasak dengan kayu bakar juga menjadi cara
untuk berhemat. Menurut lelaki itu, sayang sekali bila ranting-ranting
pepohonan yang telah kering dan berjatuhan di pekarangan rumahnya tak
dimanfaatkan sebagai kayu bakar.

***

Seusai menyeduh kopi dengan
campuran sedikit gula merah, lelaki itu lantas mengangkat cangkir kopi tersebut
dan membawanya ke teras rumah. Di sanalah ia menikmati kopi tersebut sambil
merenungkan banyak hal. Sesekali kedua bola matanya yang masih bisa melihat
dengan tajam itu menyapu ke jalan raya, menyaksikan kendaraan lalu-lalang,
silih berganti, seolah tiada pernah ada habisnya.

“Seandainya aku dikaruniai anak,
tentu aku tidak akan merasa kesepian seperti ini,” gumam batin lelaki itu usai
menyesap tepian cangkir kopinya yang masih penuh dan mengepulkan asap. Bukan
kali ini saja ia melamunkan hadirnya seorang anak dalam kehidupannya. Bahkan,
sejak istrinya masih hidup, mereka berdua tiada pernah lelah berikhtiar agar
bisa segera mendapat momongan.

Baca Juga :  Setengah Hantu

Namun, takdir Tuhan memang tak
ada yang bisa menebak. Lelaki itu, berdasarkan keterangan dokter, divonis gabuk
alias mandul. Beruntung istri lelaki itu mau menerima kondisi suaminya. Pernah
suatu hari lelaki itu menyilakan sang istri untuk meninggalkan dirinya dan
mencari suami baru yang bisa memberikan keturunan kepadanya. Namun sang istri
menggeleng keras. Ia menyayangi lelaki itu apapun kondisinya.

Tentu saja lelaki itu merasa
sangat terharu dan bersyukur memiliki pasangan hidup yang setia dan mau
menerima segala kekurangannya. Namun, lagi-lagi, takdir Tuhan tak ada yang bisa
menebak. Jatah umur istrinya di dunia ini ternyata lebih singkat ketimbang
dirinya. Ia meninggal dunia tujuh tahun silam usai memanen kopi bersama lelaki
itu.

Lelaki itu kembali menyesap
tepian cangkirnya. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada kejadian dua hari lalu.
Tepatnya saat ada dua lelaki muda berpakaian necis mengenakan sepatu hitam
mengkilat bertandang ke rumahnya. Kedatangan mereka untuk membeli seluruh tanah
pekarangan lelaki itu, termasuk rumahnya. Jadi rencananya, rumah serta
pekarangan lelaki itu akan dijadikan pom bensin. Mereka menawarkan harga yang
sangat tinggi kepada lelaki itu. Bukan ratusan juta, tapi mencapai Rp 1,5
miliar.

Tentu saja lelaki itu menolak
keras. Buat apa memiliki uang banyak tapi harus terusir dari tanah kelahirannya
sendiri, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtuanya? Tempat yang
memiliki banyak kenangan dan sejarah tak terlupakan baginya. Untuk apa memiliki
uang miliaran tapi hanya hidup seorang diri berteman sepi?

Memang, ia bisa saja mencari
perempuan lain untuk dijadikan sebagai istri. Tapi buat apa? Toh saat ini
usianya sudah kian menua. Pula ia sudah tak begitu bernafsu untuk bercinta
dengan perempuan. Ditambah ia dulu pernah divonis mandul oleh dokter, jadi
percuma bila ia menikah lagi tapi tak ada harapan dikaruniai buah hati.
Akhirnya, kedua lelaki muda itu pun pergi dengan raut kecewa.

“Sampai kapan pun, aku tidak akan
pernah sudi menjual tanah kelahiranku,” gumam lelaki itu sambil meraih cangkir
kopi dan kembali menyesapnya pelan.

***

Puring Kebumen, 5 Maret 2020.

(SAM EDY YUSWANTO. Lahir dan
berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya tersiar di berbagai media massa
seperti: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar
Surabaya, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Tiga buku kumpulan cerpennya yang
telah terbit antara lain: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, dan Impian
Maya)

LELAKI 52 tahun itu kini hidup sebatang kara di kampung
kelahirannya. Tepatnya daerah pesisir, ujung selatan kota ini. Saat masih
anak-anak, kampung yang ditinggalinya terbilang sepi. Kampung-kampung tetangga
juga senada; sama sepinya. Ketika itu penduduknya memang masih bisa dihitung
dengan jari. Maklum, kampung-kampung yang berdekatan dengan pantai memang
penduduknya tak seramai kampung yang jauh dari lokasi pantai.

Namun kini, kampungnya dan juga
kampung-kampung yang bersisian dengannya, terlihat cukup ramai. Semua bermula
ketika wisata pantai kini menjadi tempat favorit anak-anak muda menunggu dan
menghabiskan senja. Sekaligus tempat memuaskan ekspresi bagi mereka yang
menggemari fotografi. Saat hari kian mendekati senja, biasanya pantai lebih ramai
oleh muda-mudi yang ingin menyaksikan keindahan matahari menenggelamkan diri.

Selain itu, jalan utama kampung
tersebut telah diperlebar hingga tiga kali lipat. Jalan yang telah diaspal
dengan sangat mulus tersebut kini menjadi jalan alternatif menuju bandara
internasional. Sekarang, warga yang ingin menyeberang jalan tersebut merasa
ketar-ketir dan harus berkali-kali tengok kanan kiri. Lengah sedikit saja saat
menyeberang, nyawa menjadi taruhannya.

***

Sejak sang istri meninggal dunia
beberapa tahun silam, lelaki yang hanya mampu mengenyam pendidikan sekolah
dasar dan rumahnya cukup dekat dengan jalan raya itu memiliki aktivitas rutin
tiap pagi dan sore hari; duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi.
Usai salat Subuh biasanya ia segera bergegas menuju dapurnya yang sederhana.
Menjerang air. Lalu meracik kopi hasil memanen dari pekarangan yang berada di
kanan, kiri, dan belakang rumahnya yang luas. Keseharian lelaki itu selama ini
memang berkebun kopi. Sejak kecil ia telah terbiasa membantu sang ayah menanam
kopi di pekarangan rumahnya yang luas. Di kampung tersebut, ayahnya dikenal
sebagai petani kopi yang cukup telaten dan ketelatenannya kini menurun pada
anak lanang semata wayangnya.

Robusta, begitulah orang-orang
zaman sekarang menamai jenis tanaman kopi yang tumbuh subur di pekarangan rumah
lelaki itu. Dulu, ia tak mengenali jenis kopi yang ia dan ayahnya tanam. Setahu
lelaki itu, pohon-pohon berdaun rimbun dengan biji-biji kopinya yang semula
kehijauan lalu berubah kemerahan itu namanya hanya sebatas “pohon kopi” yang
kelak bila panen tiba akan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tak ada nama lain.

Ia baru tahu beberapa tahun
terakhir bahwa pohon kopi yang ia tanam selama ini jenis robusta. Semua bermula
ketika serombongan mahasiswa datang ke rumahnya untuk mengadakan penelitian
perihal tata cara berkebun kopi yang baik dan benar.

Baca Juga :  Kemiskinan yang Tergadaikan

“Kalau ini sih jenis kopi
robusta, Pak,” terang salah satu mahasiswa dari Yogyakarta. Lelaki itu hanya
manggut-manggut. Nama yang asing. Tapi terdengar keren. Gumam lelaki itu sambil
tersenyum. Entah, siapa yang telah menamai pohon kopi dengan nama sekeren itu.
Batin lelaki itu kembali bergumam. Ingin sekali ia bertanya, siapa gerangan
orang yang telah memberi nama robusta pada pohon kopi miliknya.

***

Sore itu, seperti sore-sore
sebelumnya, selepas menunaikan shalat Asar, lelaki itu menuju ke dapur untuk
menyeduh kopi. Butuh waktu kurang lebih 20 menit untuk menyiapkan air hingga
mendidih dan meracik bubuk kopi hitam ke dalam cangkir putih. Lumayan lama
memang. Karena saat menjerang air ia tak mau menggunakan kompor gas ataupun
kompor listrik. Sejak dulu hingga kini lelaki itu memang hanya mau menggunakan
kayu-kayu kering yang dapat ditemukan dengan mudah di pekarangan rumah. Ketika
orang-orang di kampungnya satu per satu meninggalkan kebiasaan lama (memasak
dengan menggunakan kayu bakar) dan mulai menggunakan kompor sebagaimana anjuran
pemerintah, lelaki itu tetap bersikukuh menggunakan kayu bakar untuk memasak dan
menjerang air.

Menurut lelaki itu, nasi yang
dimasak dengan kayu bakar rasanya lebih nikmat daripada nasi yang dimasak
dengan kompor gas atau kompor listrik. Begitu pula, air yang dijerang (untuk
menyeduh kopi) dengan kayu bakar lebih nikmat dan mantap ketimbang air yang
dijerang dengan kompor. Selain itu, memasak dengan kayu bakar juga menjadi cara
untuk berhemat. Menurut lelaki itu, sayang sekali bila ranting-ranting
pepohonan yang telah kering dan berjatuhan di pekarangan rumahnya tak
dimanfaatkan sebagai kayu bakar.

***

Seusai menyeduh kopi dengan
campuran sedikit gula merah, lelaki itu lantas mengangkat cangkir kopi tersebut
dan membawanya ke teras rumah. Di sanalah ia menikmati kopi tersebut sambil
merenungkan banyak hal. Sesekali kedua bola matanya yang masih bisa melihat
dengan tajam itu menyapu ke jalan raya, menyaksikan kendaraan lalu-lalang,
silih berganti, seolah tiada pernah ada habisnya.

“Seandainya aku dikaruniai anak,
tentu aku tidak akan merasa kesepian seperti ini,” gumam batin lelaki itu usai
menyesap tepian cangkir kopinya yang masih penuh dan mengepulkan asap. Bukan
kali ini saja ia melamunkan hadirnya seorang anak dalam kehidupannya. Bahkan,
sejak istrinya masih hidup, mereka berdua tiada pernah lelah berikhtiar agar
bisa segera mendapat momongan.

Baca Juga :  Setengah Hantu

Namun, takdir Tuhan memang tak
ada yang bisa menebak. Lelaki itu, berdasarkan keterangan dokter, divonis gabuk
alias mandul. Beruntung istri lelaki itu mau menerima kondisi suaminya. Pernah
suatu hari lelaki itu menyilakan sang istri untuk meninggalkan dirinya dan
mencari suami baru yang bisa memberikan keturunan kepadanya. Namun sang istri
menggeleng keras. Ia menyayangi lelaki itu apapun kondisinya.

Tentu saja lelaki itu merasa
sangat terharu dan bersyukur memiliki pasangan hidup yang setia dan mau
menerima segala kekurangannya. Namun, lagi-lagi, takdir Tuhan tak ada yang bisa
menebak. Jatah umur istrinya di dunia ini ternyata lebih singkat ketimbang
dirinya. Ia meninggal dunia tujuh tahun silam usai memanen kopi bersama lelaki
itu.

Lelaki itu kembali menyesap
tepian cangkirnya. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada kejadian dua hari lalu.
Tepatnya saat ada dua lelaki muda berpakaian necis mengenakan sepatu hitam
mengkilat bertandang ke rumahnya. Kedatangan mereka untuk membeli seluruh tanah
pekarangan lelaki itu, termasuk rumahnya. Jadi rencananya, rumah serta
pekarangan lelaki itu akan dijadikan pom bensin. Mereka menawarkan harga yang
sangat tinggi kepada lelaki itu. Bukan ratusan juta, tapi mencapai Rp 1,5
miliar.

Tentu saja lelaki itu menolak
keras. Buat apa memiliki uang banyak tapi harus terusir dari tanah kelahirannya
sendiri, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtuanya? Tempat yang
memiliki banyak kenangan dan sejarah tak terlupakan baginya. Untuk apa memiliki
uang miliaran tapi hanya hidup seorang diri berteman sepi?

Memang, ia bisa saja mencari
perempuan lain untuk dijadikan sebagai istri. Tapi buat apa? Toh saat ini
usianya sudah kian menua. Pula ia sudah tak begitu bernafsu untuk bercinta
dengan perempuan. Ditambah ia dulu pernah divonis mandul oleh dokter, jadi
percuma bila ia menikah lagi tapi tak ada harapan dikaruniai buah hati.
Akhirnya, kedua lelaki muda itu pun pergi dengan raut kecewa.

“Sampai kapan pun, aku tidak akan
pernah sudi menjual tanah kelahiranku,” gumam lelaki itu sambil meraih cangkir
kopi dan kembali menyesapnya pelan.

***

Puring Kebumen, 5 Maret 2020.

(SAM EDY YUSWANTO. Lahir dan
berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya tersiar di berbagai media massa
seperti: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar
Surabaya, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Tiga buku kumpulan cerpennya yang
telah terbit antara lain: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, dan Impian
Maya)

Terpopuler

Artikel Terbaru