25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Setengah Hantu

UMUR tiga tahun aku sudah bisa bercakap-cakap dan duduk mencangkung
di depan kios rokok tetanggaku. Aku sudah tahu perbedaan uang seribu dan lima
puluh ribu. Aku dibilang pintar oleh Ibu, tetapi orang-orang menyebutku anak
terkutuk. Aku tidak punya teman sampai umurku enam. Semua orang menyuruh anak
mereka kabur kalau bertemu denganku di jalan; memang aku kadang suka memukul
kepala mereka, karena itu cukup menyenangkan.

Biasanya aku duduk di pinggir
lapangan jika tidak pergi ke warung atau menendang-nendang bola ke badan seekor
sapi. Bola itu terpental dan menggelinding. Kutendang lagi, terpental lagi.
Tendang lagi, tergelinding lagi. Begitu seterusnya. Tidak ada yang tahu ulahku,
jadi aku sering melakukan sampai suatu saat si sapi mengamuk dan lari mengitari
pohon tempat dia diikat. Aku tak mau diseruduk sapi, jadi kuhentikan itu. Aku
tahu aku bisa mati kena seruduk sapi. Kalau aku mati aku dikubur dan tidak bisa
membeli jajan dan bermain lagi.

Aku mencangkung dan merokok di
hari-hari biasa, lalu teman-teman kakakku yang sudah dewasa, mendatangiku dan
bilang kalau mereka suka gayaku. Katanya, aku keren dan mereka ingin punya anak
sepertiku suatu hari nanti.

“Aku juga ingin punya anak,” kataku,
“yang bisa disuruh-suruh, karena kadang Ibu menyuruhku pergi daripada bikin
pusing.”

Umurku enam tahun dan aku bisa
membaca dan menulis. Suatu hari aku diberi majalah-majalah misteri oleh
teman-teman Kakak dan aku tahu kisah hantu dari banyak negara. Aku juga tahu
bendera beberapa negara.

Kata Mudakir, teman kakakku,
“Kamu itu setengah hantu, setengah orang!”

Aku tidak suka disebut hantu,
tapi mereka bilang tidak ada yang mengajariku. Aku tidak tahu kenapa bisa
sangat pintar, dan bisa membaca walau belum disuruh ke sekolah. Ibu senang dan
mengatakan kalau aku bisa langsung kerja. Aku tidak mau kerja, tapi Ibu tidak
marah.

Ya, kamu memang masih kecil, kata
Ibu sebelum tidur suatu malam. Nanti kalau sudah besar baru kerja. Sekarang
baca dulu majalah-majalah biar pintar.

Setiap hari aku baca majalah
misteri, tapi tidak sambil mencangkung di kios rokok. Kalau di situ terus,
nanti semua orang curiga. Aku masih enam tahun, tapi paham kalau semua tetangga
melihatku dan punya rencana jahat untukku. Aku baca semua majalah itu di
lapangan dan melihat sapi yang biasa kuganggu. Sekarang si sapi tak ingat siapa
aku dan mungkin saja kapan-kapan aku bisa menendang bola ke perutnya seperti
dulu. Dan kalau si sapi sudah mengamuk, aku akan pergi kira-kira selama dua
bulan sampai dia lupa lagi pada wajahku dan aku bisa balik lagi ke lapangan
untuk menendang bola lagi ke perut sapi sialan itu. Aku senang main bola, tapi
aku tidak mau mati diseruduk sapi.

Baca Juga :  Penyesalan Doa

Di majalah itu kutemukan iklan
penumbuh jenggot. Ada gambar orang mirip bapak dengan jenggot tebal dan hitam.
Bapak mati empat tahun lalu, kata Ibu. Mati di rel dan badannya terbelah jadi
empat dan ususnya keluar semua. Ada yang bilang ususnya tertinggal dan dicolong
anjing liar. Petugas puskesmas tidak peduli tentang itu. Aku tahu bapakku
penjahat busuk, jadi aku tak sedih meski ususnya dimakan anjing.

Kataku, “Bu, aku tidak mau jadi
penjahat busuk seperti bapak. Kalau sudah besar, mending jadi pejabat negara.”

Umurku enam tahun, dan aku tak
suka kalau ada yang memberiku lima ribu. Lima ribu cukup buat beli es sirup dan
tahu petis. Lima puluh ribu, aku bisa beli majalah bekas dua buah dan es sirup
segelas. Aku bisa berhitung. Aku terbiasa membantu Ibu menghitung di warung,
tetapi kadang aku ingin mengambil sedikit uang. Tapi aku takut dosa. Jadi, itu
cuma di pikiran. Lagian aku diberi uang oleh ibuku dan teman-teman kakakku
memberi majalah padaku.

Sebenarnya aku tidak peduli kalau
ada yang bilang aku terkutuk atau aku setengah orang setengah hantu. Aku tidak
peduli, karena membaca itu enak. Aku disukai teman kakakku, yang kadang suka
memberi tahu kalau ada cewek cantik di dekat pasar, dan mungkin aku bisa
pacaran. Aku belum besar dan belum pacaran, apalagi memberikan pacarku anak
seperti orang-orang dewasa. Mereka tertawa. Waktu Ibu tahu hal ini, Ibu
melempari mereka dengan balok kayu, dan sejak itu aku tidak punya teman.

Aku sendirian membaca majalah
yang itu-itu juga. Ada empat belas majalah yang semua sudah kubaca. Aku bosan
dan ingin membaca majalah-majalah lain. Di tukang sampah aku dapatkan
majalah-majalah berisi gambar anak-anak. Mereka mungkin sama denganku, tapi
semua punya teman. Mereka disukai dan aku dibenci. Aku ingin seperti mereka dan
aku kesal. Kulempar majalah itu ke si sapi yang makan rumput. Tetapi sapi itu
tidak mengamuk. Dia sering lupa dan si sapi itu mungkin tidak tahu kalau dulu
dia pernah mau menyerudukku sampai mati dan dikubur agar tidak bisa jajan dan
bermain lagi.

Baca Juga :  Tangan yang Merawat

Aku bosan karena cuma Ibu yang
mengajakku ngobrol di rumah. Tidak ada orang lain yang mengajakku ngobrol.
Lama-lama teman-teman kakakku balik lagi dan bilang kalau mereka kehilangan
aku.

Kubilang, “Aku tidak punya teman
dan aku mau jadi orang dewasa!”

Lalu mereka menyuruhku jadi
dewasa.

Aku dibelikan obat penumbuh
jenggot yang dipajang di iklan majalah kapan hari. Aku dibelikan kacamata
berwarna hitam dan disuruh merokok sebungkus tiap hari. Aku suka rokok, tapi
biasanya cuma dua rokok sehari, dan itu kalau Ibu tidak tahu. Ibu tidak suka aku
merokok, tapi aku senang daripada disuruh makan permen.

Aku gatal setelah pakai obat itu.
Aku harus mandi. Aku pergi ke kamar mandi dan berpikir semua ini menjengkelkan.
Aku ingin jadi orang dewasa dan bukan gatal-gatal. Mungkin besok tumbuh
jenggot, dan kalau itu terjadi, aku pergi dari rumah dan mencari istri dan
hidup bahagia selamanya.

Aku akan pamit kepada Ibu dan
minta uang jajan lima puluh ribu sebagai modal untuk jadi orang dewasa. Lima
puluh ribu terakhir sebelum aku menjadi dewasa yang semoga tidak bikin Ibu
keberatan. Semoga Ibu tidak marah. Semoga ibuku juga tidak melempar siapa pun
dengan balok kayu. Semoga istriku juga cantik sehingga hati Ibu luluh dan
membiarkan anaknya ini menjadi seperti apa yang dia mau. (*)

Gempol, 2017-2021

(KEN HANGGARA. Lahir di Sidoarjo,
21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario. Karyanya terbit di
berbagai media. Novelnya Negeri yang Dilanda Huru-hara (Basabasi, 2018). Segera
terbit kumpulan cerita pendeknya, Pengetahuan Baru Umat Manusia)

UMUR tiga tahun aku sudah bisa bercakap-cakap dan duduk mencangkung
di depan kios rokok tetanggaku. Aku sudah tahu perbedaan uang seribu dan lima
puluh ribu. Aku dibilang pintar oleh Ibu, tetapi orang-orang menyebutku anak
terkutuk. Aku tidak punya teman sampai umurku enam. Semua orang menyuruh anak
mereka kabur kalau bertemu denganku di jalan; memang aku kadang suka memukul
kepala mereka, karena itu cukup menyenangkan.

Biasanya aku duduk di pinggir
lapangan jika tidak pergi ke warung atau menendang-nendang bola ke badan seekor
sapi. Bola itu terpental dan menggelinding. Kutendang lagi, terpental lagi.
Tendang lagi, tergelinding lagi. Begitu seterusnya. Tidak ada yang tahu ulahku,
jadi aku sering melakukan sampai suatu saat si sapi mengamuk dan lari mengitari
pohon tempat dia diikat. Aku tak mau diseruduk sapi, jadi kuhentikan itu. Aku
tahu aku bisa mati kena seruduk sapi. Kalau aku mati aku dikubur dan tidak bisa
membeli jajan dan bermain lagi.

Aku mencangkung dan merokok di
hari-hari biasa, lalu teman-teman kakakku yang sudah dewasa, mendatangiku dan
bilang kalau mereka suka gayaku. Katanya, aku keren dan mereka ingin punya anak
sepertiku suatu hari nanti.

“Aku juga ingin punya anak,” kataku,
“yang bisa disuruh-suruh, karena kadang Ibu menyuruhku pergi daripada bikin
pusing.”

Umurku enam tahun dan aku bisa
membaca dan menulis. Suatu hari aku diberi majalah-majalah misteri oleh
teman-teman Kakak dan aku tahu kisah hantu dari banyak negara. Aku juga tahu
bendera beberapa negara.

Kata Mudakir, teman kakakku,
“Kamu itu setengah hantu, setengah orang!”

Aku tidak suka disebut hantu,
tapi mereka bilang tidak ada yang mengajariku. Aku tidak tahu kenapa bisa
sangat pintar, dan bisa membaca walau belum disuruh ke sekolah. Ibu senang dan
mengatakan kalau aku bisa langsung kerja. Aku tidak mau kerja, tapi Ibu tidak
marah.

Ya, kamu memang masih kecil, kata
Ibu sebelum tidur suatu malam. Nanti kalau sudah besar baru kerja. Sekarang
baca dulu majalah-majalah biar pintar.

Setiap hari aku baca majalah
misteri, tapi tidak sambil mencangkung di kios rokok. Kalau di situ terus,
nanti semua orang curiga. Aku masih enam tahun, tapi paham kalau semua tetangga
melihatku dan punya rencana jahat untukku. Aku baca semua majalah itu di
lapangan dan melihat sapi yang biasa kuganggu. Sekarang si sapi tak ingat siapa
aku dan mungkin saja kapan-kapan aku bisa menendang bola ke perutnya seperti
dulu. Dan kalau si sapi sudah mengamuk, aku akan pergi kira-kira selama dua
bulan sampai dia lupa lagi pada wajahku dan aku bisa balik lagi ke lapangan
untuk menendang bola lagi ke perut sapi sialan itu. Aku senang main bola, tapi
aku tidak mau mati diseruduk sapi.

Baca Juga :  Penyesalan Doa

Di majalah itu kutemukan iklan
penumbuh jenggot. Ada gambar orang mirip bapak dengan jenggot tebal dan hitam.
Bapak mati empat tahun lalu, kata Ibu. Mati di rel dan badannya terbelah jadi
empat dan ususnya keluar semua. Ada yang bilang ususnya tertinggal dan dicolong
anjing liar. Petugas puskesmas tidak peduli tentang itu. Aku tahu bapakku
penjahat busuk, jadi aku tak sedih meski ususnya dimakan anjing.

Kataku, “Bu, aku tidak mau jadi
penjahat busuk seperti bapak. Kalau sudah besar, mending jadi pejabat negara.”

Umurku enam tahun, dan aku tak
suka kalau ada yang memberiku lima ribu. Lima ribu cukup buat beli es sirup dan
tahu petis. Lima puluh ribu, aku bisa beli majalah bekas dua buah dan es sirup
segelas. Aku bisa berhitung. Aku terbiasa membantu Ibu menghitung di warung,
tetapi kadang aku ingin mengambil sedikit uang. Tapi aku takut dosa. Jadi, itu
cuma di pikiran. Lagian aku diberi uang oleh ibuku dan teman-teman kakakku
memberi majalah padaku.

Sebenarnya aku tidak peduli kalau
ada yang bilang aku terkutuk atau aku setengah orang setengah hantu. Aku tidak
peduli, karena membaca itu enak. Aku disukai teman kakakku, yang kadang suka
memberi tahu kalau ada cewek cantik di dekat pasar, dan mungkin aku bisa
pacaran. Aku belum besar dan belum pacaran, apalagi memberikan pacarku anak
seperti orang-orang dewasa. Mereka tertawa. Waktu Ibu tahu hal ini, Ibu
melempari mereka dengan balok kayu, dan sejak itu aku tidak punya teman.

Aku sendirian membaca majalah
yang itu-itu juga. Ada empat belas majalah yang semua sudah kubaca. Aku bosan
dan ingin membaca majalah-majalah lain. Di tukang sampah aku dapatkan
majalah-majalah berisi gambar anak-anak. Mereka mungkin sama denganku, tapi
semua punya teman. Mereka disukai dan aku dibenci. Aku ingin seperti mereka dan
aku kesal. Kulempar majalah itu ke si sapi yang makan rumput. Tetapi sapi itu
tidak mengamuk. Dia sering lupa dan si sapi itu mungkin tidak tahu kalau dulu
dia pernah mau menyerudukku sampai mati dan dikubur agar tidak bisa jajan dan
bermain lagi.

Baca Juga :  Tangan yang Merawat

Aku bosan karena cuma Ibu yang
mengajakku ngobrol di rumah. Tidak ada orang lain yang mengajakku ngobrol.
Lama-lama teman-teman kakakku balik lagi dan bilang kalau mereka kehilangan
aku.

Kubilang, “Aku tidak punya teman
dan aku mau jadi orang dewasa!”

Lalu mereka menyuruhku jadi
dewasa.

Aku dibelikan obat penumbuh
jenggot yang dipajang di iklan majalah kapan hari. Aku dibelikan kacamata
berwarna hitam dan disuruh merokok sebungkus tiap hari. Aku suka rokok, tapi
biasanya cuma dua rokok sehari, dan itu kalau Ibu tidak tahu. Ibu tidak suka aku
merokok, tapi aku senang daripada disuruh makan permen.

Aku gatal setelah pakai obat itu.
Aku harus mandi. Aku pergi ke kamar mandi dan berpikir semua ini menjengkelkan.
Aku ingin jadi orang dewasa dan bukan gatal-gatal. Mungkin besok tumbuh
jenggot, dan kalau itu terjadi, aku pergi dari rumah dan mencari istri dan
hidup bahagia selamanya.

Aku akan pamit kepada Ibu dan
minta uang jajan lima puluh ribu sebagai modal untuk jadi orang dewasa. Lima
puluh ribu terakhir sebelum aku menjadi dewasa yang semoga tidak bikin Ibu
keberatan. Semoga Ibu tidak marah. Semoga ibuku juga tidak melempar siapa pun
dengan balok kayu. Semoga istriku juga cantik sehingga hati Ibu luluh dan
membiarkan anaknya ini menjadi seperti apa yang dia mau. (*)

Gempol, 2017-2021

(KEN HANGGARA. Lahir di Sidoarjo,
21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario. Karyanya terbit di
berbagai media. Novelnya Negeri yang Dilanda Huru-hara (Basabasi, 2018). Segera
terbit kumpulan cerita pendeknya, Pengetahuan Baru Umat Manusia)

Terpopuler

Artikel Terbaru