26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Tangisan Sedu Sedan di Antara Siaran Iklan Radio

Radio sedang menyiarkan iklan membesarkan dan memanjangkan alat kelamin
pria ketika Misdi mendengar kabar bahwa istrinya yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga di Surabaya telah dinikahi lelaki lain.

—————

TIBA-TIBA saja kepala Misdi pening, pandangannya berkunang-kunang,
dan kupingnya sumbat seperti berada di puncak Bukit Semaur yang bertekanan
udara rendah.

”Aku juga sangat kaget, kenapa
Poniyem sampai bisa kepincut lelaki lain. Padahal, kalian sudah punya anak dan
akur-akur saja. Aku tidak habis pikir. Kalau dulu aku ketemu dia, pasti sudah aku
nasihati. Tapi, aku tidak pernah ketemu dia karena tempat kerja kami berjauhan.
Lagi pula, sekarang apa gunanya. Dia sudah kawin,” kata perempuan paro baya
yang baru pulang sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.

Kata-kata perempuan tetangga itu
tidak bisa lagi dicerna Misdi yang mendadak wajahnya berubah sangat pucat.

”Mas, kamu kenapa?” tanya
perempuan itu kebingungan karena melihat wajah Misdi sangat tegang. Dengan
hati-hati dia pun berujar, ”Sabar ya, Mas. Maaf, aku balik dulu…”

Dengan langkah gontai, Misdi
masuk kamar, merebahkan diri di ranjang. Tercium bau apek. Dia memejamkan mata,
kemudian membukanya lagi. Pandangannya menerawang ke atap rumah yang tanpa ada
langit-langit. Dinding tanpa plester, lantai semen kasar berdebu, demikian juga
lemari kayu yang dibuat sekadarnya agar pakaian mereka tidak berserakan dan
disangkutkan di mana-mana.

Dari radio yang masih menyala,
terdengar sebuah lagu dangdut yang tidak begitu selaras dengan musik. Seperti
lagu rekaman ulang dari penyanyi amatiran. Namun, lagu-lagu semacam itu tetap
enak di pendengaran orang-orang Desa Semaur yang tidak tahu apa-apa tentang
musik. Seusai lagu itu diputar, langsung terdengar lagi siaran iklan
memperbesar dan memperpanjang alat kelamin pria…

***

Sebelumnya, seminggu sekali atau
dua minggu sekali, Misdi menelepon istrinya dari puncak Bukit Semaur –hanya di
situ sinyal telepon di desanya paling bagus– di antara bayangan pohon pinus dan
tanaman kunyit yang merana, menanyakan kabar istrinya, kapan istrinya pulang.

Poniyem selalu menjawab, ”Aku
belum bisa pulang, Mas. Majikan bilang, kalau aku pulang, aku tidak bisa balik
kemari lagi. Dia akan mencarikan pembantu lain. Mas kan tahu mencari pekerjaan
itu sulit sekali.”

Misdi langsung percaya dan tidak
pernah memikirkan yang bukan-bukan. Sudah setahun lebih istrinya tidak pulang
dan selalu saja mengutarakan alasan yang masuk akal. Memang kebanyakan
perempuan yang bekerja sebagai pembantu ataupun pekerja pabrik jarang-jarang
pulang ke kampung halaman. Setidaknya paling cepat tiga bulan sekali. Itu pun
cuma sebentar. Paling lama seminggu, kemudian mereka harus balik lagi.
Kebanyakan enam bulan sekali baru pulang. Ada yang setahun, dua tahun, bahkan
lima tahun sekali baru pulang kampung, terutama mereka yang bekerja di luar
negeri seperti di Malaysia dan Hongkong.

Kebanyakan penduduk di sini harus
mengadu nasib ke luar desa untuk bisa bertahan hidup, buat biaya makan dan
biaya sekolah anak-anak. Desa ini seperti kena kutuk Tuhan dan penduduknya
tetap memanjatkan doa walaupun jarang sembahyang, meminta kepada arwah leluhur,
menaruh sesajen di kamar, di kali, di alas atau ladang, dan di sawah-sawah,
berharap hasil panen melimpah. Nyatanya, hasil panen tidak pernah bagus. Jahe
yang ditanam di bawah lahan pinus milik pemerintah terserang hama yang
menyebabkan umbinya busuk, kunyit hanya bisa dipanen dua tahun sekali, dan
banyak gabah yang kopong.

Baca Juga :  Puisi Apa yang Kau Tulis Setelah Hari Ini?

Makanya, setiap orang yang sudah
menikah dan dikaruniai seorang anak, salah satu di antaranya harus pergi
mencari kerja ke kota. Kebanyakan yang pergi bekerja dan harus meninggalkan
keluarga adalah istri karena pekerjaan menjadi pembantu atau pekerja pabrik
adalah perempuan. Kaum perempuan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di kota
dibandingkan lelaki yang hanya menamatkan sekolah dasar dan tidak memiliki
keterampilan apa-apa.

Jika tidak ada salah seorang
anggota keluarga yang bekerja di kota, hidup mereka akan miskin, terpaksa
tinggal di rumah orang tua tanpa pernah bisa membangun rumah sendiri, makan
berlauk tahu-tempe, tidak bisa membeli barang apa-apa, pakaian sekadarnya,
tidak bisa beli HP pintar, tidak bisa beli perabotan, tidak bisa beli televisi,
dan tidak ada biaya untuk pendidikan anak-anak mereka. Lantas, mereka harus
terus menumpang hidup di rumah orang tua sambil mendengarkan siaran radio yang
tidak henti-hentinya memutar iklan memperbesar dan memperpanjang alat kelamin
pria…

***

Mungkinkah Poniyem
mengkhianatinya? Misdi membatin dan sulit untuk bisa percaya. Sebab, dia masih
istrinya, belum bercerai, dan selama ini Poniyem tidak pernah mengeluh meminta
cerai. Mereka baik-baik saja, hampir tidak pernah cekcok.

Poniyem adalah gadis desa
tetangga, berparas biasa saja, tetapi suka dandan dan memakai pakaian menurut
gaya masa kini. Penampilannya itulah yang membuat mata Misdi tidak berkutik dan
langsung jatuh hati saat kali pertama mereka bertemu di Pasar Ngrayun. Misdi
memberanikan diri menegurnya yang dibalas dengan keramahan berlebihan, kalau
tidak bisa dibilang genit.

Misdi, sekalipun penampilannya
agak kumal, memiliki paras yang lumayan tampan dan menyenangkan. Hal itu pula
yang membuat pandangan Poniyem gelap. Singkat kata, mereka pun menikah sampai
kemudian dikaruniai seorang anak perempuan dan hidup mereka semakin terimpit
sulitnya keuangan. Demikian pun mereka jarang cekcok, apalagi bertengkar.

Kesulitan keuangan mereka segera
teratasi saat Poniyem menerima ajakan seorang perempuan tetangga yang
menawarinya pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya. Meskipun
jarang pulang, setiap bulan Poniyem mengirimkan uang gajinya kepada Misdi yang
tinggal bersama ibunya yang turut membantu mengasuh putri mereka.

Sejauh ini tidak ada tanda-tanda
bahwa mereka tidak cocok, apalagi bertengkar. Mungkinkah Poniyem sampai hati
mengkhianatinya? Pertanyaan itulah yang selalu mengiang-ngiang di telinga
Misdi.

***

Siang itu, saat Misdi keluar
rumah, berlari-lari ke Bukit Semaur untuk menelepon istrinya, dia sempat
mendengarkan kembali iklan radio memperbesar dan memperpanjang alat kelamin
pria. Iklan itu-itu saja yang sering diputar di pemancar radio swasta kecamatan
yang berhasil tertangkap gelombangnya di desa terpencil bebukitan yang penuh
dengan pohon pinus milik pemerintah.

Baca Juga :  Mereka Mungkin Ada di Sekeliling Kita

Dengan napas memburu, jemari
kasar Misdi yang gemetar langsung menekan tombol yang menghubungi nomor telepon
Poniyem di Kota Surabaya yang berjarak sekitar 350 km. Tidak sedikit pun
terlintas bagaimana bayangan kota itu di benak Misdi. Kota paling besar yang
pernah dilihatnya adalah Ponorogo dengan polisi lalu lintas yang berkeliaran di
jalan-jalan. Itu pun cuma sekali, saat dia mengantarkan istrinya dengan motor
ke terminal.

Sejak remaja sampai menikah,
kehidupan Misdi hanya berputar-putar antara rumah, alas, dan sawah. Sesekali
dia turun ke kota Kecamatan Ngrayun untuk berbelanja dengan motor butut yang
tanpa STNK dan surat hak milik yang dibelinya dengan cara menukarkan seekor
kambing jantan usia dua tahun.

”Halo,” kata Misdi dengan bibir
bergetar tak tertahan. Bukan hanya bibir, sekujur tubuhnya juga bergetar.

”Halo,” sahut suara dingin dari
seberang. ”Ada apa, Mas?”

Sesaat hening karena Misdi sangat
kebingungan. Tiba-tiba saja dia kehilangan kata-kata, tidak tahu apa yang mesti
diucapkannya.

”Aku dengar kamu sudah kawin. Apa
benar?” suara Misdi terdengar serak dan seperti orang mau menangis.

Sejurus hening. Begitu heningnya
sehingga Misdi bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang begitu keras.

”Benar, Mas,” terdengar jawaban
tanpa dosa dari seberang.

”Kenapa bisa? Kamu kan masih
istriku? Kenapa tiba-tiba kamu kawin lagi? Apa salahku?” sembur Misdi menahan
gejolak amarahnya.

”Maafkan aku, Mas. Aku hanya
minta kamu menceraikanku.”

”Cerai?” Misdi kembali kehilangan
kata-kata.

Sejak itu Misdi menjadi lelaki
yang tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Dia menjadi lelaki pendiam yang tidak
bisa lagi diajak berbicara. Misdi tidak bisa bicara apa pun lagi.

Sehari-hari kerjanya hanya ke
ladang dan sawah, bahkan di tengah malam yang gelita. Dia tidak peduli apa pun,
bahkan dia tidak paham terhadap orang-orang yang begitu panik menghadapi
persebaran wabah korona yang sudah sampai ke desa-desa.

Ketika di rumah, dia lebih banyak
mengurung diri di kamar untuk menghindari ibunya dan anak gadisnya yang
sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Yang sering terdengar
dari suaranya yang keluar adalah tangisan sedu sedan. Dan, tangisan sedu sedan
itu kerap kali lebih nyaring terdengar ketika radio yang diletakkan di ruang
utama menyiarkan iklan memperbesar dan memanjangkan alat kelamin pria. (*)

Ponorogo, 10 September 2020

ARAFAT NUR

Dosen Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Ponorogo yang
sering menjuarai sayembara menulis novel dan cerpen. Buku kumpulan cerpen
terbarunya yang berjudul Serdadu dari Neraka (Diva Press, 2020) sudah beredar
luas.

Radio sedang menyiarkan iklan membesarkan dan memanjangkan alat kelamin
pria ketika Misdi mendengar kabar bahwa istrinya yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga di Surabaya telah dinikahi lelaki lain.

—————

TIBA-TIBA saja kepala Misdi pening, pandangannya berkunang-kunang,
dan kupingnya sumbat seperti berada di puncak Bukit Semaur yang bertekanan
udara rendah.

”Aku juga sangat kaget, kenapa
Poniyem sampai bisa kepincut lelaki lain. Padahal, kalian sudah punya anak dan
akur-akur saja. Aku tidak habis pikir. Kalau dulu aku ketemu dia, pasti sudah aku
nasihati. Tapi, aku tidak pernah ketemu dia karena tempat kerja kami berjauhan.
Lagi pula, sekarang apa gunanya. Dia sudah kawin,” kata perempuan paro baya
yang baru pulang sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.

Kata-kata perempuan tetangga itu
tidak bisa lagi dicerna Misdi yang mendadak wajahnya berubah sangat pucat.

”Mas, kamu kenapa?” tanya
perempuan itu kebingungan karena melihat wajah Misdi sangat tegang. Dengan
hati-hati dia pun berujar, ”Sabar ya, Mas. Maaf, aku balik dulu…”

Dengan langkah gontai, Misdi
masuk kamar, merebahkan diri di ranjang. Tercium bau apek. Dia memejamkan mata,
kemudian membukanya lagi. Pandangannya menerawang ke atap rumah yang tanpa ada
langit-langit. Dinding tanpa plester, lantai semen kasar berdebu, demikian juga
lemari kayu yang dibuat sekadarnya agar pakaian mereka tidak berserakan dan
disangkutkan di mana-mana.

Dari radio yang masih menyala,
terdengar sebuah lagu dangdut yang tidak begitu selaras dengan musik. Seperti
lagu rekaman ulang dari penyanyi amatiran. Namun, lagu-lagu semacam itu tetap
enak di pendengaran orang-orang Desa Semaur yang tidak tahu apa-apa tentang
musik. Seusai lagu itu diputar, langsung terdengar lagi siaran iklan
memperbesar dan memperpanjang alat kelamin pria…

***

Sebelumnya, seminggu sekali atau
dua minggu sekali, Misdi menelepon istrinya dari puncak Bukit Semaur –hanya di
situ sinyal telepon di desanya paling bagus– di antara bayangan pohon pinus dan
tanaman kunyit yang merana, menanyakan kabar istrinya, kapan istrinya pulang.

Poniyem selalu menjawab, ”Aku
belum bisa pulang, Mas. Majikan bilang, kalau aku pulang, aku tidak bisa balik
kemari lagi. Dia akan mencarikan pembantu lain. Mas kan tahu mencari pekerjaan
itu sulit sekali.”

Misdi langsung percaya dan tidak
pernah memikirkan yang bukan-bukan. Sudah setahun lebih istrinya tidak pulang
dan selalu saja mengutarakan alasan yang masuk akal. Memang kebanyakan
perempuan yang bekerja sebagai pembantu ataupun pekerja pabrik jarang-jarang
pulang ke kampung halaman. Setidaknya paling cepat tiga bulan sekali. Itu pun
cuma sebentar. Paling lama seminggu, kemudian mereka harus balik lagi.
Kebanyakan enam bulan sekali baru pulang. Ada yang setahun, dua tahun, bahkan
lima tahun sekali baru pulang kampung, terutama mereka yang bekerja di luar
negeri seperti di Malaysia dan Hongkong.

Kebanyakan penduduk di sini harus
mengadu nasib ke luar desa untuk bisa bertahan hidup, buat biaya makan dan
biaya sekolah anak-anak. Desa ini seperti kena kutuk Tuhan dan penduduknya
tetap memanjatkan doa walaupun jarang sembahyang, meminta kepada arwah leluhur,
menaruh sesajen di kamar, di kali, di alas atau ladang, dan di sawah-sawah,
berharap hasil panen melimpah. Nyatanya, hasil panen tidak pernah bagus. Jahe
yang ditanam di bawah lahan pinus milik pemerintah terserang hama yang
menyebabkan umbinya busuk, kunyit hanya bisa dipanen dua tahun sekali, dan
banyak gabah yang kopong.

Baca Juga :  Puisi Apa yang Kau Tulis Setelah Hari Ini?

Makanya, setiap orang yang sudah
menikah dan dikaruniai seorang anak, salah satu di antaranya harus pergi
mencari kerja ke kota. Kebanyakan yang pergi bekerja dan harus meninggalkan
keluarga adalah istri karena pekerjaan menjadi pembantu atau pekerja pabrik
adalah perempuan. Kaum perempuan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di kota
dibandingkan lelaki yang hanya menamatkan sekolah dasar dan tidak memiliki
keterampilan apa-apa.

Jika tidak ada salah seorang
anggota keluarga yang bekerja di kota, hidup mereka akan miskin, terpaksa
tinggal di rumah orang tua tanpa pernah bisa membangun rumah sendiri, makan
berlauk tahu-tempe, tidak bisa membeli barang apa-apa, pakaian sekadarnya,
tidak bisa beli HP pintar, tidak bisa beli perabotan, tidak bisa beli televisi,
dan tidak ada biaya untuk pendidikan anak-anak mereka. Lantas, mereka harus
terus menumpang hidup di rumah orang tua sambil mendengarkan siaran radio yang
tidak henti-hentinya memutar iklan memperbesar dan memperpanjang alat kelamin
pria…

***

Mungkinkah Poniyem
mengkhianatinya? Misdi membatin dan sulit untuk bisa percaya. Sebab, dia masih
istrinya, belum bercerai, dan selama ini Poniyem tidak pernah mengeluh meminta
cerai. Mereka baik-baik saja, hampir tidak pernah cekcok.

Poniyem adalah gadis desa
tetangga, berparas biasa saja, tetapi suka dandan dan memakai pakaian menurut
gaya masa kini. Penampilannya itulah yang membuat mata Misdi tidak berkutik dan
langsung jatuh hati saat kali pertama mereka bertemu di Pasar Ngrayun. Misdi
memberanikan diri menegurnya yang dibalas dengan keramahan berlebihan, kalau
tidak bisa dibilang genit.

Misdi, sekalipun penampilannya
agak kumal, memiliki paras yang lumayan tampan dan menyenangkan. Hal itu pula
yang membuat pandangan Poniyem gelap. Singkat kata, mereka pun menikah sampai
kemudian dikaruniai seorang anak perempuan dan hidup mereka semakin terimpit
sulitnya keuangan. Demikian pun mereka jarang cekcok, apalagi bertengkar.

Kesulitan keuangan mereka segera
teratasi saat Poniyem menerima ajakan seorang perempuan tetangga yang
menawarinya pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya. Meskipun
jarang pulang, setiap bulan Poniyem mengirimkan uang gajinya kepada Misdi yang
tinggal bersama ibunya yang turut membantu mengasuh putri mereka.

Sejauh ini tidak ada tanda-tanda
bahwa mereka tidak cocok, apalagi bertengkar. Mungkinkah Poniyem sampai hati
mengkhianatinya? Pertanyaan itulah yang selalu mengiang-ngiang di telinga
Misdi.

***

Siang itu, saat Misdi keluar
rumah, berlari-lari ke Bukit Semaur untuk menelepon istrinya, dia sempat
mendengarkan kembali iklan radio memperbesar dan memperpanjang alat kelamin
pria. Iklan itu-itu saja yang sering diputar di pemancar radio swasta kecamatan
yang berhasil tertangkap gelombangnya di desa terpencil bebukitan yang penuh
dengan pohon pinus milik pemerintah.

Baca Juga :  Mereka Mungkin Ada di Sekeliling Kita

Dengan napas memburu, jemari
kasar Misdi yang gemetar langsung menekan tombol yang menghubungi nomor telepon
Poniyem di Kota Surabaya yang berjarak sekitar 350 km. Tidak sedikit pun
terlintas bagaimana bayangan kota itu di benak Misdi. Kota paling besar yang
pernah dilihatnya adalah Ponorogo dengan polisi lalu lintas yang berkeliaran di
jalan-jalan. Itu pun cuma sekali, saat dia mengantarkan istrinya dengan motor
ke terminal.

Sejak remaja sampai menikah,
kehidupan Misdi hanya berputar-putar antara rumah, alas, dan sawah. Sesekali
dia turun ke kota Kecamatan Ngrayun untuk berbelanja dengan motor butut yang
tanpa STNK dan surat hak milik yang dibelinya dengan cara menukarkan seekor
kambing jantan usia dua tahun.

”Halo,” kata Misdi dengan bibir
bergetar tak tertahan. Bukan hanya bibir, sekujur tubuhnya juga bergetar.

”Halo,” sahut suara dingin dari
seberang. ”Ada apa, Mas?”

Sesaat hening karena Misdi sangat
kebingungan. Tiba-tiba saja dia kehilangan kata-kata, tidak tahu apa yang mesti
diucapkannya.

”Aku dengar kamu sudah kawin. Apa
benar?” suara Misdi terdengar serak dan seperti orang mau menangis.

Sejurus hening. Begitu heningnya
sehingga Misdi bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang begitu keras.

”Benar, Mas,” terdengar jawaban
tanpa dosa dari seberang.

”Kenapa bisa? Kamu kan masih
istriku? Kenapa tiba-tiba kamu kawin lagi? Apa salahku?” sembur Misdi menahan
gejolak amarahnya.

”Maafkan aku, Mas. Aku hanya
minta kamu menceraikanku.”

”Cerai?” Misdi kembali kehilangan
kata-kata.

Sejak itu Misdi menjadi lelaki
yang tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Dia menjadi lelaki pendiam yang tidak
bisa lagi diajak berbicara. Misdi tidak bisa bicara apa pun lagi.

Sehari-hari kerjanya hanya ke
ladang dan sawah, bahkan di tengah malam yang gelita. Dia tidak peduli apa pun,
bahkan dia tidak paham terhadap orang-orang yang begitu panik menghadapi
persebaran wabah korona yang sudah sampai ke desa-desa.

Ketika di rumah, dia lebih banyak
mengurung diri di kamar untuk menghindari ibunya dan anak gadisnya yang
sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Yang sering terdengar
dari suaranya yang keluar adalah tangisan sedu sedan. Dan, tangisan sedu sedan
itu kerap kali lebih nyaring terdengar ketika radio yang diletakkan di ruang
utama menyiarkan iklan memperbesar dan memanjangkan alat kelamin pria. (*)

Ponorogo, 10 September 2020

ARAFAT NUR

Dosen Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Ponorogo yang
sering menjuarai sayembara menulis novel dan cerpen. Buku kumpulan cerpen
terbarunya yang berjudul Serdadu dari Neraka (Diva Press, 2020) sudah beredar
luas.

Terpopuler

Artikel Terbaru