25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Bibir yang Tercecer

JELANG pemilihan, banyak bibir berceceran. Di
jalan, warung, pasar, kantor lurah, bahkan tempat ibadah. Bibir-bibir itu
mengandung umpan dan kerap menjerat kaum kere. Bibir-bibir penuh pesona yang
membuat mereka tergila-gila untuk melumatnya.

—

”Eyang Marjo mencalonkan diri
jadi lurah,” kata Dirto sambil mengupas singkong dengan peret yang baru diasah.

”Masak iya, Dir? Eyang Marjo
sudah sepuh. Usianya hampir tujuh puluh,” jawab Saryo sambil menaruh singkong
yang telah dikupas ke dalam delebug.

”Eh, jangan salah. Sepuh itu yang
ampuh. Buktinya yang muda tidak bisa berbuat apa-apa.”

”Jangan sembarangan ngomong, Dir!
Itu sama saja kau menghina Lurah Mingun.”

”Nyatanya, kita juga cuma jadi
tukang malen. Tukang ngglondong. Paling hebat jadi tukang lagan di saat
hajatan.”

”Wong cilik memang begini
nasibnya, Dir. Syukur masih bisa hidup. Masih bisa makan meski hanya lalap
jengkol dengan sambal tlenjeng.”

”Kau lupa lima tahun lalu Lurah
Mingun janji apa pada kita?”

”Lupa, Dir. Terlalu banyak janji.
Aku lupa menghafalnya.”

”Bukan dihafal. Tapi ditagih.”

”Ha…ha…ha…Memangnya dia utang apa
sama kere seperti kita?”

”Loh, dia utang suara pada kita.
Kita disuruh nyoblos gambarnya dengan janji akan diberi pekerjaan. Dia bilang
akan menggunakan dana desa untuk memberdayakan para pemuda agar tetap tinggal
di desa. Dana itu akan dialihkan untuk membuat peternakan sapi. Kita juga
dijanjikan pelatihan untuk membuka industri rumah tangga. Membuat sale. Membuat
keripik singkong. Membuat kerupuk jengkol. Membuat gula semut. Membuat…Ah!
pokoknya banyak membuat.”

”Membual, barangkali,” kata Saryo
sambil tertawa.

”Ah! Kau hanya bisa tertawa.”

”Hidup memang terkadang perlu
ditertawakan, Dir. Supaya kita tidak gila.”

Desa Cikapung memang patut bangga
punya dua pemuda seperti Dirto dan Saryo. Mereka berdua lulusan sekolah dasar.
Usia Dirto dan Saryo menjelang dua puluh lima tahun. Namun, mereka belum
berpikir untuk berumah tangga seperti pemuda sebayanya. Bahkan barangkali tidak
sebelum lepas dari jeratan kere. Nasib juga membawa mereka pada pilihan yang
sama: tetap tinggal di desa meski kerja seadanya. Dirto dan Saryo enggan mengikuti
jejak teman-temannya yang bekerja di kota seperti Bandung dan Jakarta. Ada yang
menjadi kuli bangunan. Ada yang menjadi penjaga toko. Ada juga orang yang
sukses berjualan bubur ayam dan bakso. Dirto dan Saryo tetap memilih berada di
Cikapung. Mereka ingin meraup pengalaman dan menjadi saksi setiap perubahan.

Termasuk dalam satu dekade
kepemimpinan Lurah Mingun. Kala masih berumur lima belas tahun, Dirto dan Naryo
harus ikut pemilihan lurah. Padahal, usia belum membolehkan. Namun, Lurah
Mingun pintar otak-atik gathuk. Umur Dirto dan Naryo dituakan dalam kartu tanda
penduduk. Tujuannya agar mereka bisa ikut nyoblos di pemilihan lurah.

Baca Juga :  Sajak Royyan Julian

Demi suara dan janji yang
menggiurkan. Dirto dan Naryo tentu saja mengiyakan. Lurah Mingun mengincar
keduanya karena dianggap punya kelebihan. Dirto dan Naryo bisa pekerja apa
saja. Membuat oyek, merumput, menanam padi, gepyok, gepuk, dan lainnya. Yang
jelas, aneka kerja kasar mampu dilakukan dengan tuntas. Tentu saja Lurah Mingun
punya harapan besar pada mereka. Sebab, meski bagian dari kaum kere, penduduk
Desa Cikapung tetap mengelukan keduanya. Bahkan tidak sedikit gadis desa yang
menaruh hati. Namun, Dirto dan Naryo tetap membujang. Mereka selalu berdalih,
apa yang bisa diberikan kere? Adakah perempuan yang bersedia jika sewaktu-waktu
hanya makan nasi campur garam? Tapi, Lurah Mingun memang cerdik. Dirto dan
Naryo selalu menjadi ikon setiap kampanyenya. Ia berjanji bahwa di bawah
kepemimpinannya, yang jelata bakal naik martabatnya. Dirto dan Naryo tentu saja
merasa berbunga-bunga. Meski waktu membeberkan berdusta. Mereka tetap saja
kere.

*

Pada pemilihan lurah kali ini,
Eyang Marjo akan berkompetisi dengan Pamuji Laksana, sarjana kampus biru
sekaligus anak kepala sekolah dasar di Desa Cikapung.

”Mentalitas Cikapung harus
berubah!” Demikian kata Pamuji Laksana saat memberi sambutan acara karang
taruna.

Tepuk tangan membahana. Eyang
Marjo hanya senyam-senyum sambil mengisap Sriwedari. Sementara Lurah Mingun
menatap tajam Pamuji Laksana. Ia sepertinya tertarik dengan kata: perubahan,
mentalitas, etos kerja, spiritualitas, kemiskinan sistemik, dan budaya malu
yang diucapkan pemuda itu.

Hingga suatu sore, Lurah Mingun
tiba-tiba ingin memasuki Masjid Nurul Iman. Lama termangu, ia bergegas masuk
masjid bercat kuning itu. Ia mencoba merenung, tapi telinganya sedikit terusik
kala terdengar tawa dua lelaki. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
Lurah Mingun kemudian mendekat ke pintu. Betapa terkejutnya dia melihat dua
pemuda yang pernah menjadi bagian penting kampanyenya.

”Pak Lurah?” tanya salah seorang
dengan wajah heran.

”Iya, bagaimana kabar kalian?”
tanya Lurah Mingun gugup.

”Baik, Pak,” jawab Dirto.

”Tapi masih kere,” sela Naryo
sambil tertawa.

”Tumben Pak Lurah ke masjid?
Biasanya berjamaah di kantor lurah,” lanjut Dirto sambil melirik Naryo.

”Kantor lurah sedang ramai. Nanti
malam Eyang Marjo akan berpidato. Ini kampanye terakhir jelang pemilihan lurah.
Kalian harus datang. Kalaupun beda pilihan, yang penting saling meramaikan.
Eyang Marjo sesepuh kita. Mudah-mudahan akan membawa Cikapung lebih beruntung.”

Dirto dan Naryo saling pandang.
Mata mereka kemudian beralih pada Lurah Mingun.

”Beruntung atau makin buntung,
Pak?” tanya Dirto tiba-tiba.

Lurah Mingun terenyak. Matanya
seketika memerah. Namun, ia segera mengalihkan pembicaraan.

”Kalian pemuda yang hebat, tidak
tergoda untuk pergi ke kota. Itu artinya, kalian memang pejuang tanah
kelahiran. Saat ini kalian boleh bilang kere. Tapi, aku yakin perjuangan
membangun desa tidak akan sia-sia. Aku yang lebih tahu. Bagaimanapun, keringat
kalian juga menetes di masjid ini. Kelak kalian akan menjadi manusia yang
dihormati dan dibanggakan.”

Baca Juga :  Hikayat Hipokrit

”Pak!” sela Dirto.

”Ya” jawab Lurah Mingun.

”Saya sungguh mengagumi ucapan
Pak Lurah. Jika suatu saat aku berkampanye, aku ingin meminjamnya.
Mudah-mudahan ucapan itu sampai di alamat yang tepat. Mudah-mudahan tidak
berceceran. Sayang, Pak, jika kalimat indah justru menjadi sampah,” kata Dirto
dengan wajah masam.

“Dir!” bentak Naryo.

“Tidak apa-apa. Anak muda memang
harus berani. Pantang menjadi pecundang,” kata Lurah Mingun dengan tenang meski
hatinya bagai dihantam bara.

*

Malam Minggu kali ini terasa
gegap gempita. Lampu-lampu jalan menyala terang. Sudut-sudut gang Desa Cikapung
tak lagi temaram. Khusus malam Minggu kali ini, harus ada cahaya di mana-mana.
Terutama sekitar kantor lurah. Malam itu kantor lurah disulap bagai suasana
hajatan. Deretan kursi berbalut kain hijau muda mengelilingi podium. Di atas
meja terhidang makanan, minuman, dan rokok. Para pemuda berlalu-lalang
menyiapkan segala keperluan. Lima lelaki berseragam hansip juga berjaga-jaga
sambil sesekali meneriaki anak-anak kecil yang mencoba menaiki kursi.

Para pedagang tampak sibuk
melayani pembeli. Sejak pagi, mereka telah mendirikan tenda sebagai tempat
menjual makanan. Ada yang berjualan pecel, karedok, bakso, soto, mi ayam,
cilok, dan aneka jajanan. Pedagang mainan anak-anak juga turut meramaikan.
Mereka berkeliling sambil membawa balon, mobil-mobilan, dan hiasan rambut anak
perempuan.

Hampir semua penduduk datang ke
kantor lurah. Mereka ingin menyaksikan Eyang Marjo berpidato. Selama sepuluh
tahun, Eyang Marjo hanya dikenal sebagai penasihat Lurah Mingun. Laki-laki
sepuh itu yang memberi saran, anjuran, dan bahkan larangan. Penduduk
menganggap, Eyang Marjo itulah sebenarnya lurah Desa Cikapung. Lurah Mingun
hanya numpang pulung.

”Mirip lima tahun lalu. Saat
Lurah Mingun kembali mencalonkan diri,’’ kata Dirto sambil mengalungkan
sarungnya.

”Kau berharap Eyang Marjo yang
terpilih tahun ini?” tanya Naryo sambil menyulut Gudang Garam.

”Ini pilihan yang sulit. Aku tahu
luar dalam Eyang Marjo. Tapi sayang, aku tidak kenal Pamuji Laksana.”

”Itu artinya kau bakal golput?”

”Tidak juga. Memilih itu
penting.”

”Jadi, kau mau pilih yang sepuh
atau yang muda?”

”Apa pun pilihannya, kita tetap
saja kere.”

Naryo terkekeh sambil mengisap
rokok. Matanya beralih pada Dirto sambil mengatakan, ”Kere juga bisa bahagia.” (***)

============================

Aceh, Oktober 2020

RENI NURYANTI, Dosen Sejarah
Unsam, penulis sejarah dan sastra

JELANG pemilihan, banyak bibir berceceran. Di
jalan, warung, pasar, kantor lurah, bahkan tempat ibadah. Bibir-bibir itu
mengandung umpan dan kerap menjerat kaum kere. Bibir-bibir penuh pesona yang
membuat mereka tergila-gila untuk melumatnya.

—

”Eyang Marjo mencalonkan diri
jadi lurah,” kata Dirto sambil mengupas singkong dengan peret yang baru diasah.

”Masak iya, Dir? Eyang Marjo
sudah sepuh. Usianya hampir tujuh puluh,” jawab Saryo sambil menaruh singkong
yang telah dikupas ke dalam delebug.

”Eh, jangan salah. Sepuh itu yang
ampuh. Buktinya yang muda tidak bisa berbuat apa-apa.”

”Jangan sembarangan ngomong, Dir!
Itu sama saja kau menghina Lurah Mingun.”

”Nyatanya, kita juga cuma jadi
tukang malen. Tukang ngglondong. Paling hebat jadi tukang lagan di saat
hajatan.”

”Wong cilik memang begini
nasibnya, Dir. Syukur masih bisa hidup. Masih bisa makan meski hanya lalap
jengkol dengan sambal tlenjeng.”

”Kau lupa lima tahun lalu Lurah
Mingun janji apa pada kita?”

”Lupa, Dir. Terlalu banyak janji.
Aku lupa menghafalnya.”

”Bukan dihafal. Tapi ditagih.”

”Ha…ha…ha…Memangnya dia utang apa
sama kere seperti kita?”

”Loh, dia utang suara pada kita.
Kita disuruh nyoblos gambarnya dengan janji akan diberi pekerjaan. Dia bilang
akan menggunakan dana desa untuk memberdayakan para pemuda agar tetap tinggal
di desa. Dana itu akan dialihkan untuk membuat peternakan sapi. Kita juga
dijanjikan pelatihan untuk membuka industri rumah tangga. Membuat sale. Membuat
keripik singkong. Membuat kerupuk jengkol. Membuat gula semut. Membuat…Ah!
pokoknya banyak membuat.”

”Membual, barangkali,” kata Saryo
sambil tertawa.

”Ah! Kau hanya bisa tertawa.”

”Hidup memang terkadang perlu
ditertawakan, Dir. Supaya kita tidak gila.”

Desa Cikapung memang patut bangga
punya dua pemuda seperti Dirto dan Saryo. Mereka berdua lulusan sekolah dasar.
Usia Dirto dan Saryo menjelang dua puluh lima tahun. Namun, mereka belum
berpikir untuk berumah tangga seperti pemuda sebayanya. Bahkan barangkali tidak
sebelum lepas dari jeratan kere. Nasib juga membawa mereka pada pilihan yang
sama: tetap tinggal di desa meski kerja seadanya. Dirto dan Saryo enggan mengikuti
jejak teman-temannya yang bekerja di kota seperti Bandung dan Jakarta. Ada yang
menjadi kuli bangunan. Ada yang menjadi penjaga toko. Ada juga orang yang
sukses berjualan bubur ayam dan bakso. Dirto dan Saryo tetap memilih berada di
Cikapung. Mereka ingin meraup pengalaman dan menjadi saksi setiap perubahan.

Termasuk dalam satu dekade
kepemimpinan Lurah Mingun. Kala masih berumur lima belas tahun, Dirto dan Naryo
harus ikut pemilihan lurah. Padahal, usia belum membolehkan. Namun, Lurah
Mingun pintar otak-atik gathuk. Umur Dirto dan Naryo dituakan dalam kartu tanda
penduduk. Tujuannya agar mereka bisa ikut nyoblos di pemilihan lurah.

Baca Juga :  Sajak Royyan Julian

Demi suara dan janji yang
menggiurkan. Dirto dan Naryo tentu saja mengiyakan. Lurah Mingun mengincar
keduanya karena dianggap punya kelebihan. Dirto dan Naryo bisa pekerja apa
saja. Membuat oyek, merumput, menanam padi, gepyok, gepuk, dan lainnya. Yang
jelas, aneka kerja kasar mampu dilakukan dengan tuntas. Tentu saja Lurah Mingun
punya harapan besar pada mereka. Sebab, meski bagian dari kaum kere, penduduk
Desa Cikapung tetap mengelukan keduanya. Bahkan tidak sedikit gadis desa yang
menaruh hati. Namun, Dirto dan Naryo tetap membujang. Mereka selalu berdalih,
apa yang bisa diberikan kere? Adakah perempuan yang bersedia jika sewaktu-waktu
hanya makan nasi campur garam? Tapi, Lurah Mingun memang cerdik. Dirto dan
Naryo selalu menjadi ikon setiap kampanyenya. Ia berjanji bahwa di bawah
kepemimpinannya, yang jelata bakal naik martabatnya. Dirto dan Naryo tentu saja
merasa berbunga-bunga. Meski waktu membeberkan berdusta. Mereka tetap saja
kere.

*

Pada pemilihan lurah kali ini,
Eyang Marjo akan berkompetisi dengan Pamuji Laksana, sarjana kampus biru
sekaligus anak kepala sekolah dasar di Desa Cikapung.

”Mentalitas Cikapung harus
berubah!” Demikian kata Pamuji Laksana saat memberi sambutan acara karang
taruna.

Tepuk tangan membahana. Eyang
Marjo hanya senyam-senyum sambil mengisap Sriwedari. Sementara Lurah Mingun
menatap tajam Pamuji Laksana. Ia sepertinya tertarik dengan kata: perubahan,
mentalitas, etos kerja, spiritualitas, kemiskinan sistemik, dan budaya malu
yang diucapkan pemuda itu.

Hingga suatu sore, Lurah Mingun
tiba-tiba ingin memasuki Masjid Nurul Iman. Lama termangu, ia bergegas masuk
masjid bercat kuning itu. Ia mencoba merenung, tapi telinganya sedikit terusik
kala terdengar tawa dua lelaki. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
Lurah Mingun kemudian mendekat ke pintu. Betapa terkejutnya dia melihat dua
pemuda yang pernah menjadi bagian penting kampanyenya.

”Pak Lurah?” tanya salah seorang
dengan wajah heran.

”Iya, bagaimana kabar kalian?”
tanya Lurah Mingun gugup.

”Baik, Pak,” jawab Dirto.

”Tapi masih kere,” sela Naryo
sambil tertawa.

”Tumben Pak Lurah ke masjid?
Biasanya berjamaah di kantor lurah,” lanjut Dirto sambil melirik Naryo.

”Kantor lurah sedang ramai. Nanti
malam Eyang Marjo akan berpidato. Ini kampanye terakhir jelang pemilihan lurah.
Kalian harus datang. Kalaupun beda pilihan, yang penting saling meramaikan.
Eyang Marjo sesepuh kita. Mudah-mudahan akan membawa Cikapung lebih beruntung.”

Dirto dan Naryo saling pandang.
Mata mereka kemudian beralih pada Lurah Mingun.

”Beruntung atau makin buntung,
Pak?” tanya Dirto tiba-tiba.

Lurah Mingun terenyak. Matanya
seketika memerah. Namun, ia segera mengalihkan pembicaraan.

”Kalian pemuda yang hebat, tidak
tergoda untuk pergi ke kota. Itu artinya, kalian memang pejuang tanah
kelahiran. Saat ini kalian boleh bilang kere. Tapi, aku yakin perjuangan
membangun desa tidak akan sia-sia. Aku yang lebih tahu. Bagaimanapun, keringat
kalian juga menetes di masjid ini. Kelak kalian akan menjadi manusia yang
dihormati dan dibanggakan.”

Baca Juga :  Hikayat Hipokrit

”Pak!” sela Dirto.

”Ya” jawab Lurah Mingun.

”Saya sungguh mengagumi ucapan
Pak Lurah. Jika suatu saat aku berkampanye, aku ingin meminjamnya.
Mudah-mudahan ucapan itu sampai di alamat yang tepat. Mudah-mudahan tidak
berceceran. Sayang, Pak, jika kalimat indah justru menjadi sampah,” kata Dirto
dengan wajah masam.

“Dir!” bentak Naryo.

“Tidak apa-apa. Anak muda memang
harus berani. Pantang menjadi pecundang,” kata Lurah Mingun dengan tenang meski
hatinya bagai dihantam bara.

*

Malam Minggu kali ini terasa
gegap gempita. Lampu-lampu jalan menyala terang. Sudut-sudut gang Desa Cikapung
tak lagi temaram. Khusus malam Minggu kali ini, harus ada cahaya di mana-mana.
Terutama sekitar kantor lurah. Malam itu kantor lurah disulap bagai suasana
hajatan. Deretan kursi berbalut kain hijau muda mengelilingi podium. Di atas
meja terhidang makanan, minuman, dan rokok. Para pemuda berlalu-lalang
menyiapkan segala keperluan. Lima lelaki berseragam hansip juga berjaga-jaga
sambil sesekali meneriaki anak-anak kecil yang mencoba menaiki kursi.

Para pedagang tampak sibuk
melayani pembeli. Sejak pagi, mereka telah mendirikan tenda sebagai tempat
menjual makanan. Ada yang berjualan pecel, karedok, bakso, soto, mi ayam,
cilok, dan aneka jajanan. Pedagang mainan anak-anak juga turut meramaikan.
Mereka berkeliling sambil membawa balon, mobil-mobilan, dan hiasan rambut anak
perempuan.

Hampir semua penduduk datang ke
kantor lurah. Mereka ingin menyaksikan Eyang Marjo berpidato. Selama sepuluh
tahun, Eyang Marjo hanya dikenal sebagai penasihat Lurah Mingun. Laki-laki
sepuh itu yang memberi saran, anjuran, dan bahkan larangan. Penduduk
menganggap, Eyang Marjo itulah sebenarnya lurah Desa Cikapung. Lurah Mingun
hanya numpang pulung.

”Mirip lima tahun lalu. Saat
Lurah Mingun kembali mencalonkan diri,’’ kata Dirto sambil mengalungkan
sarungnya.

”Kau berharap Eyang Marjo yang
terpilih tahun ini?” tanya Naryo sambil menyulut Gudang Garam.

”Ini pilihan yang sulit. Aku tahu
luar dalam Eyang Marjo. Tapi sayang, aku tidak kenal Pamuji Laksana.”

”Itu artinya kau bakal golput?”

”Tidak juga. Memilih itu
penting.”

”Jadi, kau mau pilih yang sepuh
atau yang muda?”

”Apa pun pilihannya, kita tetap
saja kere.”

Naryo terkekeh sambil mengisap
rokok. Matanya beralih pada Dirto sambil mengatakan, ”Kere juga bisa bahagia.” (***)

============================

Aceh, Oktober 2020

RENI NURYANTI, Dosen Sejarah
Unsam, penulis sejarah dan sastra

Terpopuler

Artikel Terbaru