26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Hikayat Hipokrit

PADA suatu masa hiduplah seorang pendakwah bernama Riskan. Ia
selalu memakai baju putih ke manapun, tidak ada warna lain di lemari bajunya.
Bahkan, ketika salah satu tetangga meninggal, Riskan tidak perlu repot mencari
kemeja hitam. Ia cukup mengirim doa dari rumah untuk si mati. Tak perlu orang
satu kampung demi mengarak keranda. Kematian tidak layak dirayakan.

Ketika orang-orang menggelar
kenduri dan mendoakan mendiang, biasanya dari pihak keluarga selepas acara
mengirim berkat ke rumah Riskan. Ia jarang berada di kampung, jadwalnya padat
mengisi selamatan di kota sebelah. Meski begitu warga tetap mengundang lelaki
muda itu saat hajatan guna memberi wejangan. Mereka terlalu sungkan mencari
misionaris lain lantaran cemas kata-kata Riskan seumpama ucapan pahit lidah.

“Jadi, manusia itu harus
tolong-menolong. Dengan tetangga jangan menutup mulut, tegur walaupun hanya
ucapan salam. Bapak ibu tidak berjalan ke kuburan sendiri,” ucap Riksan sambil
memasang wajah serius.

Para hadirin mengangguk takzim
seolah mengerti. Dari lurah, camat, polisi hingga tentara menyaksikan Riskan
memberi nasihat bagi mereka yang perlu tuntunan.

Sebelum pulang ia terbiasa dijamu
oleh pemilik rumah. Laki-laki itu tak malu untuk meminta hidangan lezat,
seorang juru masak lekas memanggang daging sapi. Bau harum meneror setiap perut
lapar.

Datanglah seorang pemulung dengan
kail di tangan kanan, ia membawa karung di belakang punggung. Sisa gelas air
mineral menjadi buruan laki-laki paruh baya itu. Mukanya seperti jelaga pantat
panci, menyisakan kumis putih jarang-jarang. Bajunya sobek di bagian ketiak,
dari sana keluar aroma khas pembuangan akhir. Ibu-ibu yang menjamu para tamu
berbisik-bisik dan bertanya ke mana perginya linmas serta polisi.

Pemulung itu tidak peduli dengan
tamu undangan yang kehilangan selera makan. Ia fokus memilah sampah yang bisa
dijual untuk makan sehari-hari. Riskan masih mengunyah daging panggang dan
melihat orang-orang meninggalkan tempat duduk. Ia mencari ke mana tuan rumah,
waktunya terbatas ada acara lain yang harus dihadiri. Riskan tak sanggup
menunggu dan melimpahkan kekesalan pada lelaki itu.

“Sudah izin belum? Kok, seenaknya
mengambil sampah,” cecarnya.

“Semua yang sudah dibuang berarti
tidak diharapkan oleh pemiliknya. Kenapa saya harus meminta izin?”

“Kalau logikanya begitu, Tuhan
membuang manusia dari surga karena tidak menginginkan mereka,” jawabnya lagi.

Baca Juga :  Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

“Sepertinya bapak senang membawa
Tuhan untuk urusan remeh. Saya hanya seorang pemulung, Pak. Kehidupan sudah
memberi makan saya dengan nasehat sampai kenyang.”

Terdengar suara gaduh dari perut
si pemulung. Ia memutuskan pergi menemui kerabat tuan rumah yang duduk sambil
merokok. Setandan pisang hijau yang tidak habis bisa jadi teman untuk malam
ini, batinnya.

***

Hari minggu pagi adalah waktu
bagi Riskan untuk menyandarkan punggung di kursi. Menonton acara tinju luar
negeri sambil menyesap kopi hitam pahit buatan istrinya. Ia mendengar suara
tetangga sedang membersihkan selokan. Mereka tertawa sesekali melempar candaan,
membicarakan kembang desa yang belum juga menikah serta janda muda yang baru
saja cerai.

Riskan merasa terganggu dengan
kebisingan itu dan mematikan televisi, ke kamar untuk mengecek gawai. Ia
memeriksa jadwal hari ini, lokasi acara, jam serta materi yang akan dia
sampaikan ke pengikutnya. Asih datang dari balik pintu dengan tatapan khawatir,
sejurus kemudian merangkulkan lengan ke perut suaminya.

“Mas, tidak pergi kerja bakti?
Pak RT barusan datang mengajak beserta warga lain,” ucapnya lirih.

“Aku capek, lagipula tidak semua
warga kampung ikut. Mereka yang tidak punya kesibukan bolehlah diajak. Lihat
saja Pak Jono, selepas dari luar pulau untuk menjaga perbatasan, apa pernah
ikut kegiatan. Pak Sobirin yang biasanya patroli menjaga wilayah dari begal,
selalu dimaklumi jika tidak menyetor muka. Masak mereka tidak paham betapa
letihnya tugas pemberi wejangan?” jelasnya tanpa basa-basi.

Kalau sudah begitu Asih tidak
banyak berkata lagi. Ia kembali ke dapur mengerjakan tugas sebagai istri.
Matanya sedikit berkedut, tanda ada air mata mau mengalir. Hatinya bergetar
seolah ada suara geledek baru menyambar. Ia lalu ingat pesan ibunya bahwa
seorang perempuan harus manut apa kata pemimpin rumah tangga. Jika mengingat
hal itu Asih ingin pergi saja dari rumah.

Harusnya ia menolak perjodohan
mereka, batinnya. Orangtuanya terlanjur menyukai kemampuan Riskan dalam menjual
omongan. Ia selalu membuang muka pada Riskan, sejak kedatangannya untuk
melamar.

***

Kabar Riskan yang jatuh di kamar
mandi tersiar cepat layaknya kedipan mata. Orang-orang desa tidak terlalu
peduli, mereka tidak tahu bahan apalagi untuk dibicarakan.

Ada yang turut gembira mendengar
warta tersebut dan menganggap ia pantas mendapat hukuman dari Tuhan. Ada yang
tidak tahu yang mana Riskan sangking tidak pernah keluar dari rumah. Kalaupun
melintasi jalan kampung ia selalu memasang pandangan ke depan. Tak sekalipun ia
menyapa para tetangga,

Baca Juga :  Si T, Si D, dan Si B

Asih mendorong kursi roda
suaminya sepulang dari rumah sakit. Ia merasa lega juga cemas dengan nasib mereka
ke depan. Laki-laki itu seperti mayat hidup, suara erangan terdengar dari
mulutnya yang seperti gua kosong melompong. Air liur kerap kali menetes
beberapa kali. Istrinya terpaksa mengelap bibir kehitaman tersebut.

Ia merasa tidak berguna, tubuhnya
lumpuh setengah. Tak bisa berbuat apa-apa, layaknya bayi yang musti disuapi
ibunya. Riskan ingin mati ketimbang menjadi beban untuk orang lain. Masyarakat
tidak lagi memujanya dan memandang Riskan sebagai buangan.

Perasaan yang sama pernah ia
rasakan saat ayahnya mengguyur seluruh tubuh riskan dengan air. Malam keparat
itu ia mabuk dengan teman-teman dusun, tahun baru merupakan awal dari perayaan.
Mereka memanggang ayam milik peternak dekat sawah. Cukrik yang dibawa Joko
membuat kepalanya berputar. Ia tidak sadarkan diri, tahu-tahu muka murka milik
bapaknya sudah di hadapan.

“Masih hidup kau anak celaka?”
ancamnya.

“Sudah, Pak. Jangan teriak-teriak
malu didengar tetangga.” bujuk istrinya dengan raut takut.

“Biar, masih untung anak ini
hidup. Tidak menyusul teman-temannya modar.”

Belakangan Riskan baru mendapat
berita jika teman minumnya dikubur setelah pesta itu. Mereka meregang nyawa
usai menenggak miras oplosan lotion nyamuk, juga minuman penambah energi. Ia
tidak sempat mengantarkan jasad Joko ke peristirahatan. Ia hanya menaburkan
kembang tujuh rupa di atas gundukan tanah basah itu. Ia lupa cara mengirim doa.

Ia kemudian dikirim ke kota
sebelah untuk mendalami ilmu agama.

****

Tidak terlihat wajah Asih di
rumah duka. Bendera kuning terpasang di tiang listrik berbagi tempat dengan
poster sedot WC. Satu-dua warga datang usai dibujuk Pak RT, ia tak mau jenazah
mendiang terlantar dan mengeluarkan bau.

Di halaman rumah Riskan berserakan
sampah minuman dari pelayat. Pemulung tua datang membawa kait pencapit dan
memasukan gelas plastik ke karung. Baru kali ini ia rasakan kematian demikian
sunyi. (*)

(MUFA RIZAL. Grati, 16/12/2020;
Penulis asal Mojokerto)

PADA suatu masa hiduplah seorang pendakwah bernama Riskan. Ia
selalu memakai baju putih ke manapun, tidak ada warna lain di lemari bajunya.
Bahkan, ketika salah satu tetangga meninggal, Riskan tidak perlu repot mencari
kemeja hitam. Ia cukup mengirim doa dari rumah untuk si mati. Tak perlu orang
satu kampung demi mengarak keranda. Kematian tidak layak dirayakan.

Ketika orang-orang menggelar
kenduri dan mendoakan mendiang, biasanya dari pihak keluarga selepas acara
mengirim berkat ke rumah Riskan. Ia jarang berada di kampung, jadwalnya padat
mengisi selamatan di kota sebelah. Meski begitu warga tetap mengundang lelaki
muda itu saat hajatan guna memberi wejangan. Mereka terlalu sungkan mencari
misionaris lain lantaran cemas kata-kata Riskan seumpama ucapan pahit lidah.

“Jadi, manusia itu harus
tolong-menolong. Dengan tetangga jangan menutup mulut, tegur walaupun hanya
ucapan salam. Bapak ibu tidak berjalan ke kuburan sendiri,” ucap Riksan sambil
memasang wajah serius.

Para hadirin mengangguk takzim
seolah mengerti. Dari lurah, camat, polisi hingga tentara menyaksikan Riskan
memberi nasihat bagi mereka yang perlu tuntunan.

Sebelum pulang ia terbiasa dijamu
oleh pemilik rumah. Laki-laki itu tak malu untuk meminta hidangan lezat,
seorang juru masak lekas memanggang daging sapi. Bau harum meneror setiap perut
lapar.

Datanglah seorang pemulung dengan
kail di tangan kanan, ia membawa karung di belakang punggung. Sisa gelas air
mineral menjadi buruan laki-laki paruh baya itu. Mukanya seperti jelaga pantat
panci, menyisakan kumis putih jarang-jarang. Bajunya sobek di bagian ketiak,
dari sana keluar aroma khas pembuangan akhir. Ibu-ibu yang menjamu para tamu
berbisik-bisik dan bertanya ke mana perginya linmas serta polisi.

Pemulung itu tidak peduli dengan
tamu undangan yang kehilangan selera makan. Ia fokus memilah sampah yang bisa
dijual untuk makan sehari-hari. Riskan masih mengunyah daging panggang dan
melihat orang-orang meninggalkan tempat duduk. Ia mencari ke mana tuan rumah,
waktunya terbatas ada acara lain yang harus dihadiri. Riskan tak sanggup
menunggu dan melimpahkan kekesalan pada lelaki itu.

“Sudah izin belum? Kok, seenaknya
mengambil sampah,” cecarnya.

“Semua yang sudah dibuang berarti
tidak diharapkan oleh pemiliknya. Kenapa saya harus meminta izin?”

“Kalau logikanya begitu, Tuhan
membuang manusia dari surga karena tidak menginginkan mereka,” jawabnya lagi.

Baca Juga :  Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

“Sepertinya bapak senang membawa
Tuhan untuk urusan remeh. Saya hanya seorang pemulung, Pak. Kehidupan sudah
memberi makan saya dengan nasehat sampai kenyang.”

Terdengar suara gaduh dari perut
si pemulung. Ia memutuskan pergi menemui kerabat tuan rumah yang duduk sambil
merokok. Setandan pisang hijau yang tidak habis bisa jadi teman untuk malam
ini, batinnya.

***

Hari minggu pagi adalah waktu
bagi Riskan untuk menyandarkan punggung di kursi. Menonton acara tinju luar
negeri sambil menyesap kopi hitam pahit buatan istrinya. Ia mendengar suara
tetangga sedang membersihkan selokan. Mereka tertawa sesekali melempar candaan,
membicarakan kembang desa yang belum juga menikah serta janda muda yang baru
saja cerai.

Riskan merasa terganggu dengan
kebisingan itu dan mematikan televisi, ke kamar untuk mengecek gawai. Ia
memeriksa jadwal hari ini, lokasi acara, jam serta materi yang akan dia
sampaikan ke pengikutnya. Asih datang dari balik pintu dengan tatapan khawatir,
sejurus kemudian merangkulkan lengan ke perut suaminya.

“Mas, tidak pergi kerja bakti?
Pak RT barusan datang mengajak beserta warga lain,” ucapnya lirih.

“Aku capek, lagipula tidak semua
warga kampung ikut. Mereka yang tidak punya kesibukan bolehlah diajak. Lihat
saja Pak Jono, selepas dari luar pulau untuk menjaga perbatasan, apa pernah
ikut kegiatan. Pak Sobirin yang biasanya patroli menjaga wilayah dari begal,
selalu dimaklumi jika tidak menyetor muka. Masak mereka tidak paham betapa
letihnya tugas pemberi wejangan?” jelasnya tanpa basa-basi.

Kalau sudah begitu Asih tidak
banyak berkata lagi. Ia kembali ke dapur mengerjakan tugas sebagai istri.
Matanya sedikit berkedut, tanda ada air mata mau mengalir. Hatinya bergetar
seolah ada suara geledek baru menyambar. Ia lalu ingat pesan ibunya bahwa
seorang perempuan harus manut apa kata pemimpin rumah tangga. Jika mengingat
hal itu Asih ingin pergi saja dari rumah.

Harusnya ia menolak perjodohan
mereka, batinnya. Orangtuanya terlanjur menyukai kemampuan Riskan dalam menjual
omongan. Ia selalu membuang muka pada Riskan, sejak kedatangannya untuk
melamar.

***

Kabar Riskan yang jatuh di kamar
mandi tersiar cepat layaknya kedipan mata. Orang-orang desa tidak terlalu
peduli, mereka tidak tahu bahan apalagi untuk dibicarakan.

Ada yang turut gembira mendengar
warta tersebut dan menganggap ia pantas mendapat hukuman dari Tuhan. Ada yang
tidak tahu yang mana Riskan sangking tidak pernah keluar dari rumah. Kalaupun
melintasi jalan kampung ia selalu memasang pandangan ke depan. Tak sekalipun ia
menyapa para tetangga,

Baca Juga :  Si T, Si D, dan Si B

Asih mendorong kursi roda
suaminya sepulang dari rumah sakit. Ia merasa lega juga cemas dengan nasib mereka
ke depan. Laki-laki itu seperti mayat hidup, suara erangan terdengar dari
mulutnya yang seperti gua kosong melompong. Air liur kerap kali menetes
beberapa kali. Istrinya terpaksa mengelap bibir kehitaman tersebut.

Ia merasa tidak berguna, tubuhnya
lumpuh setengah. Tak bisa berbuat apa-apa, layaknya bayi yang musti disuapi
ibunya. Riskan ingin mati ketimbang menjadi beban untuk orang lain. Masyarakat
tidak lagi memujanya dan memandang Riskan sebagai buangan.

Perasaan yang sama pernah ia
rasakan saat ayahnya mengguyur seluruh tubuh riskan dengan air. Malam keparat
itu ia mabuk dengan teman-teman dusun, tahun baru merupakan awal dari perayaan.
Mereka memanggang ayam milik peternak dekat sawah. Cukrik yang dibawa Joko
membuat kepalanya berputar. Ia tidak sadarkan diri, tahu-tahu muka murka milik
bapaknya sudah di hadapan.

“Masih hidup kau anak celaka?”
ancamnya.

“Sudah, Pak. Jangan teriak-teriak
malu didengar tetangga.” bujuk istrinya dengan raut takut.

“Biar, masih untung anak ini
hidup. Tidak menyusul teman-temannya modar.”

Belakangan Riskan baru mendapat
berita jika teman minumnya dikubur setelah pesta itu. Mereka meregang nyawa
usai menenggak miras oplosan lotion nyamuk, juga minuman penambah energi. Ia
tidak sempat mengantarkan jasad Joko ke peristirahatan. Ia hanya menaburkan
kembang tujuh rupa di atas gundukan tanah basah itu. Ia lupa cara mengirim doa.

Ia kemudian dikirim ke kota
sebelah untuk mendalami ilmu agama.

****

Tidak terlihat wajah Asih di
rumah duka. Bendera kuning terpasang di tiang listrik berbagi tempat dengan
poster sedot WC. Satu-dua warga datang usai dibujuk Pak RT, ia tak mau jenazah
mendiang terlantar dan mengeluarkan bau.

Di halaman rumah Riskan berserakan
sampah minuman dari pelayat. Pemulung tua datang membawa kait pencapit dan
memasukan gelas plastik ke karung. Baru kali ini ia rasakan kematian demikian
sunyi. (*)

(MUFA RIZAL. Grati, 16/12/2020;
Penulis asal Mojokerto)

Terpopuler

Artikel Terbaru