26.3 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Si T, Si D, dan Si B

Aku lega, kesempatan itu datang tanpa kuduga. Sebelum kesempatan itu tiba di hadap mata, aku sempat was-was dan selalu punya pikiran jika esok hari merupakan marabahaya. Adikku, Si T, telah mencium ketidakberesan istrinya—Si B namanya.

BERUNTUNGNYA aku, Si B ternyata juga menyeleweng, dan aku mengetahui akan hal itu—pada titik ini aku sungguh merasa beruntung sekali dengan apa yang dilakukan istri Si T. Benar-benar keberuntungan yang tiada tara. Ketika aku menemui Si T, sebelumnya aku kedatangan abdinya. Sembari merunduk penuh hormat ia mengatakan, jika aku disuruh untuk menghadap Si T. Kutanyakan ada perlu apa, sehingga aku sampai disuruh menghadap Si T, abdi itu tidak tahu.

Maka berangkatlah aku. Di langkahku menuju kediamannya, aku sempat berpikir jika Si T akan menaker wareg diriku, atas apa yang telah kuperbuat. Aku sampai pada bayangan kemungkinan terburuk, kami akan berduel di alun-alun atau di manapun sekiranya tempat yang bisa digunakan untuk adu keberanian. Dalam hati, aku berdoa, semoga itu tidak terjadi. Kalaupun itu benar terjadi, aku juga akan mengatakan bahwa istrinya lebih buruk dari yang ia perkirakan.

Si T ternyata tidak menanyakan hal yang kupikirkan kepadaku; apa yang telah kuperbuat dengan istrinya. Yang tidak kunyana, ia justru bertanya padaku, memastikan kabar yang telah beredar di masyarakat, jika istrinya bermain serong dengan seorang lelaki bernama Si D. Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku langsung saja memberi bumbu penyedap pada pertemuan siang itu. Kukatakan padanya, bahwa aku sempat memergoki istrinya berjalan bersama dengan Si D—aku tidak berbohong. Meski begitu aku mencoba bersikap bijak, dengan berucap, sebaiknya fakta yang ada perlu diteliti lebih lanjut.

Dengan adanya pertemuan itu, aku menjadi sedikit lega, meskipun beban khawatir masih saja menggelayuti. Beberapa orang dekatku telah mengetahui akan hal itu. Dan bagaimanapun kebusukan yang disimpan rapat, pada akhirnya tetap akan ketahuan baunya. Doaku agar keadaan baik-baik saja, memang terus kupanjatkan, akan tetapi bila di tengah jalan, kemudian doa itu tidak terkabul, maka aku siap menempuh jalan yang harus ditempuh—meski harus bermusuhan dengan Si T seumur hidup pun akan kujalani.

“Apa yang membuatmu berpikir akan menyudahi hubungan ini?” tanyaku di suatu pagi.

“Hubungan ini sungguh gila. Aku memang suka padamu, tetapi apa kau cukup tega merebutku dari adikmu sendiri?” kata Si B. Akal sehatku seperti sudah hilang. Aku tidak menghiraukan keadaan, seperti apa posisiku. Aku sudah terlanjur menggilai Si B dan rasanya tidak mungkin berpaling darinya. Aku ingin menuntaskan perasaanku padanya, memiliki seutuhnya. “Ingat, aku ini sudah bersuami. Dan ini terjadi di kalangan kita. Kau paham kan? Kalau kebusukan terbongkar, mau ditaruh mana wajah kita?”

Baca Juga :  Terpesona, Musik, dan Militer

“Aku siap menjalani segala akibatnya. Kau adalah segala-galanya.”

Aku cukup mengerti kegelisahan yang dirasakan Si B, tetapi hal itu tidak lantas membuatku mengundurkan diri dari tepi jurang bahaya. Aku masih terus berdiri di sana, dan terus menumbuhkan harap ada jalan untuk menuju dasar jurang dengan tetap selamat. Ya, demikianlah. Hubunganku dengan Si Bbisa diibaratkan aku sedang menuju dasar jurang. Si B adalah jurang. Dua kemungkinan akan terjadi. Antara aku selamat, dan tidak. Aku harus berhati-hati memilih jalan—karena meski sudah berhati-hati pun masih ada kemungkinan aku celaka.

Kesempatan yang menghinggapiku saat pertemuanku dengan Si T sesungguhnya telah mencerahkanku, jalan mana yang harus kulalui agar aku selamat sampai dasar jurang. Namun di sisi lain, sebenarnya, muncul masalah baru. Aku memandang dasar jurang, tampak semakin menjauh dari pandangan. Jalan yang harus kulewati juga menjauh. Si B telah membuat masalah. Ia mengaku padaku, kalau hubungannya dengan Si D hanyalah sebatas teman. Aku tidak begitu percaya padanya. Jelas-jelas aku pernah melihatnya, saling bersitatap dengan Si D, dengan tatapan yang spesial, bukan tatapan sebagai seorang teman. Si B berjanji, apa yang ia lakukan hanyalah memberikan rasa senang sejenak, karena Si B ada utang budi dengan Si D.

Dan aku juga bodoh, masih saja mempertahankan hubungan ini. Ya, itu tadi, aku bodoh. Aku sudah amat tergila-gila dengan istri adikku. Hatiku berhasil dibutakan oleh asmara. Si B sering berhasil membuatku berdiam diri, membayangkan wajahnya yang ayu. Terkadang bila kelelakianku sedang bergejolak, aku berimajinasi lebih liar. Kami berada di sebuah tempat yang sepi—fantasiku berada di pinggir pantai—lalu masing-masing dari kami saling pagut. Sayangnya, terkadang ada kabut hitam datang merusak imajinasi yang sedang kubangun. Di tengah keasyikan kami, Si T datang, menghajarku sampai babak belur. Bagaimanapun memang, selingkuh itu sesuatu yang tidak enak. Seperti bermain api, bisa kapan saja membakar diri.

Aku telah mengantongi perihal tindakan serong yang dilakukan istriku terhadap Si D. Lelaki itu terlalu berani berbuat! Lelaki itu sudah gendeng! Kamu tidak tahu, sedang berhadapan dengan siapa? Rutukku dalam hati. Aku merasa sangat terhina sekali dengan itu, seakan darah keningratanku tidak mengalir dalam tubuh ini.Aku betul-betul patah hati.

Maka kususun rencana untuk memberikan celaka; untuk Si D, lelaki bangsat yang telah menyukai istriku. Ia harus mendapatkan balasan yang setimpal. Rasa sakit yang menghinggapi dada begitu bertubi-tubi, dadaku seperti dihujani air panas serta ribuan belati. Tidak pernah kusangka. Sama sekali tidak pernah kusangka.

Terhadap istriku tentu aku memendam amarah, walau aku tidak akan sampai melakukan sepertiapa yang akan kulakukan terhadap Si D. Aku yakin istriku sampai melenceng karena pengaruh dari Si D. Aku yakin. Rasa-rasanya tidak mungkin, bila istriku yang mengambil inisiatif untuk melenceng. Jika urusanku dengan Si D sudah selesai, aku akan menginterogasi istriku.

Baca Juga :  Penghibur Acara Orang Mati

“Apa Raden yakin?” Di hadapanku berdiri seorang lelaki. Ia merupakan salah satu orang kepercayaanku. Ia tampak menaruh hormat padaku.

“Apa yang mesti membuatku ragu? Tindakan itu sudah kelewat batas,” ucapku. “Ingat, buat serapih mungkin!”

Aku dan beberapa orang berangkat menuju sebuah pegunungan lebih dulu. Sementara beberapa orangbawahanku berhasil menjemput Si D, untuk dibawa ke tempatku berada. Segala persiapan telah kulakukan. Tidak ada lagi yang bisa ditawar, tekadku sudah bulat. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam benak. Aku sudah tidak sabar lagi.

Bawahanku berhasil membawa Si D ke hadapanku. Dengan cara apanya, itu bukan soal. Dari raut muka Si D, aku menangkap ada segelintir ketakutan. Aku bisa merasakan jika Si D berusaha bersikap wajar kepadaku, seakan seperti tidak ada apa-apa—aku sangat jijik sekali dengan wajahnya. Sekejap setelah kuberikan kode, beberapa orang bawahanku langsung membuat tubuhnya tidak bergerak. Si D tidak dapat bergerak lagi.

“Lho, saya mau diapakan, Raden?”

“Jangan berusaha mewajarkan suasana, keparat!” Teriakku.

Sebatang besi runcing melesat dengan begitu cepat. Ujung itu tenggelam dalam perut Si D Darah keluar. Aku tenggelamkan lebih dalam. Si D berteriak. Si D tak berdaya, wajahnya mengeluarkan ekspresi menahan sakit. Aku semakin menekan pedang yang kucekal. Orang yang sempat meringkus telah melepaskan penguasaannya terhadap Si D. Hanya aku sendiri yang menopang tubuhnya. Setelah tidak bernyawa, kutarik pedang dari perut Si D. Beberapa orang menyeret jasadnya ke tepi sumur, tidak jauh dari tempatku berdiri menikmati kepuasaan—jarak antara aku berdiri dengan sumur kira-kira sepuluh meter di depanku. Ada yang melongok ke dalam sumur. Kuteriaki, agar segera cepat-cepat memasukkan jasad Si D ke dalam sumur lalu menimbunnya.

Sepasang manusia sedang duduk bersisihan. Mereka tampak khusyuk berbincang-bincang. Mereka tidak sadar, bahwa kebersamaan mereka telah begitu lama. Sore datang. Di bawah senja, wajahnya keduanya saling mendekat. Lalu bersatu, seakan melepas kerinduan yang lama telah terpendam.

Jejak Imaji, 2020

==============

(RISEN DHAWUH ABDULLAH, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho)

Aku lega, kesempatan itu datang tanpa kuduga. Sebelum kesempatan itu tiba di hadap mata, aku sempat was-was dan selalu punya pikiran jika esok hari merupakan marabahaya. Adikku, Si T, telah mencium ketidakberesan istrinya—Si B namanya.

BERUNTUNGNYA aku, Si B ternyata juga menyeleweng, dan aku mengetahui akan hal itu—pada titik ini aku sungguh merasa beruntung sekali dengan apa yang dilakukan istri Si T. Benar-benar keberuntungan yang tiada tara. Ketika aku menemui Si T, sebelumnya aku kedatangan abdinya. Sembari merunduk penuh hormat ia mengatakan, jika aku disuruh untuk menghadap Si T. Kutanyakan ada perlu apa, sehingga aku sampai disuruh menghadap Si T, abdi itu tidak tahu.

Maka berangkatlah aku. Di langkahku menuju kediamannya, aku sempat berpikir jika Si T akan menaker wareg diriku, atas apa yang telah kuperbuat. Aku sampai pada bayangan kemungkinan terburuk, kami akan berduel di alun-alun atau di manapun sekiranya tempat yang bisa digunakan untuk adu keberanian. Dalam hati, aku berdoa, semoga itu tidak terjadi. Kalaupun itu benar terjadi, aku juga akan mengatakan bahwa istrinya lebih buruk dari yang ia perkirakan.

Si T ternyata tidak menanyakan hal yang kupikirkan kepadaku; apa yang telah kuperbuat dengan istrinya. Yang tidak kunyana, ia justru bertanya padaku, memastikan kabar yang telah beredar di masyarakat, jika istrinya bermain serong dengan seorang lelaki bernama Si D. Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku langsung saja memberi bumbu penyedap pada pertemuan siang itu. Kukatakan padanya, bahwa aku sempat memergoki istrinya berjalan bersama dengan Si D—aku tidak berbohong. Meski begitu aku mencoba bersikap bijak, dengan berucap, sebaiknya fakta yang ada perlu diteliti lebih lanjut.

Dengan adanya pertemuan itu, aku menjadi sedikit lega, meskipun beban khawatir masih saja menggelayuti. Beberapa orang dekatku telah mengetahui akan hal itu. Dan bagaimanapun kebusukan yang disimpan rapat, pada akhirnya tetap akan ketahuan baunya. Doaku agar keadaan baik-baik saja, memang terus kupanjatkan, akan tetapi bila di tengah jalan, kemudian doa itu tidak terkabul, maka aku siap menempuh jalan yang harus ditempuh—meski harus bermusuhan dengan Si T seumur hidup pun akan kujalani.

“Apa yang membuatmu berpikir akan menyudahi hubungan ini?” tanyaku di suatu pagi.

“Hubungan ini sungguh gila. Aku memang suka padamu, tetapi apa kau cukup tega merebutku dari adikmu sendiri?” kata Si B. Akal sehatku seperti sudah hilang. Aku tidak menghiraukan keadaan, seperti apa posisiku. Aku sudah terlanjur menggilai Si B dan rasanya tidak mungkin berpaling darinya. Aku ingin menuntaskan perasaanku padanya, memiliki seutuhnya. “Ingat, aku ini sudah bersuami. Dan ini terjadi di kalangan kita. Kau paham kan? Kalau kebusukan terbongkar, mau ditaruh mana wajah kita?”

Baca Juga :  Terpesona, Musik, dan Militer

“Aku siap menjalani segala akibatnya. Kau adalah segala-galanya.”

Aku cukup mengerti kegelisahan yang dirasakan Si B, tetapi hal itu tidak lantas membuatku mengundurkan diri dari tepi jurang bahaya. Aku masih terus berdiri di sana, dan terus menumbuhkan harap ada jalan untuk menuju dasar jurang dengan tetap selamat. Ya, demikianlah. Hubunganku dengan Si Bbisa diibaratkan aku sedang menuju dasar jurang. Si B adalah jurang. Dua kemungkinan akan terjadi. Antara aku selamat, dan tidak. Aku harus berhati-hati memilih jalan—karena meski sudah berhati-hati pun masih ada kemungkinan aku celaka.

Kesempatan yang menghinggapiku saat pertemuanku dengan Si T sesungguhnya telah mencerahkanku, jalan mana yang harus kulalui agar aku selamat sampai dasar jurang. Namun di sisi lain, sebenarnya, muncul masalah baru. Aku memandang dasar jurang, tampak semakin menjauh dari pandangan. Jalan yang harus kulewati juga menjauh. Si B telah membuat masalah. Ia mengaku padaku, kalau hubungannya dengan Si D hanyalah sebatas teman. Aku tidak begitu percaya padanya. Jelas-jelas aku pernah melihatnya, saling bersitatap dengan Si D, dengan tatapan yang spesial, bukan tatapan sebagai seorang teman. Si B berjanji, apa yang ia lakukan hanyalah memberikan rasa senang sejenak, karena Si B ada utang budi dengan Si D.

Dan aku juga bodoh, masih saja mempertahankan hubungan ini. Ya, itu tadi, aku bodoh. Aku sudah amat tergila-gila dengan istri adikku. Hatiku berhasil dibutakan oleh asmara. Si B sering berhasil membuatku berdiam diri, membayangkan wajahnya yang ayu. Terkadang bila kelelakianku sedang bergejolak, aku berimajinasi lebih liar. Kami berada di sebuah tempat yang sepi—fantasiku berada di pinggir pantai—lalu masing-masing dari kami saling pagut. Sayangnya, terkadang ada kabut hitam datang merusak imajinasi yang sedang kubangun. Di tengah keasyikan kami, Si T datang, menghajarku sampai babak belur. Bagaimanapun memang, selingkuh itu sesuatu yang tidak enak. Seperti bermain api, bisa kapan saja membakar diri.

Aku telah mengantongi perihal tindakan serong yang dilakukan istriku terhadap Si D. Lelaki itu terlalu berani berbuat! Lelaki itu sudah gendeng! Kamu tidak tahu, sedang berhadapan dengan siapa? Rutukku dalam hati. Aku merasa sangat terhina sekali dengan itu, seakan darah keningratanku tidak mengalir dalam tubuh ini.Aku betul-betul patah hati.

Maka kususun rencana untuk memberikan celaka; untuk Si D, lelaki bangsat yang telah menyukai istriku. Ia harus mendapatkan balasan yang setimpal. Rasa sakit yang menghinggapi dada begitu bertubi-tubi, dadaku seperti dihujani air panas serta ribuan belati. Tidak pernah kusangka. Sama sekali tidak pernah kusangka.

Terhadap istriku tentu aku memendam amarah, walau aku tidak akan sampai melakukan sepertiapa yang akan kulakukan terhadap Si D. Aku yakin istriku sampai melenceng karena pengaruh dari Si D. Aku yakin. Rasa-rasanya tidak mungkin, bila istriku yang mengambil inisiatif untuk melenceng. Jika urusanku dengan Si D sudah selesai, aku akan menginterogasi istriku.

Baca Juga :  Penghibur Acara Orang Mati

“Apa Raden yakin?” Di hadapanku berdiri seorang lelaki. Ia merupakan salah satu orang kepercayaanku. Ia tampak menaruh hormat padaku.

“Apa yang mesti membuatku ragu? Tindakan itu sudah kelewat batas,” ucapku. “Ingat, buat serapih mungkin!”

Aku dan beberapa orang berangkat menuju sebuah pegunungan lebih dulu. Sementara beberapa orangbawahanku berhasil menjemput Si D, untuk dibawa ke tempatku berada. Segala persiapan telah kulakukan. Tidak ada lagi yang bisa ditawar, tekadku sudah bulat. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam benak. Aku sudah tidak sabar lagi.

Bawahanku berhasil membawa Si D ke hadapanku. Dengan cara apanya, itu bukan soal. Dari raut muka Si D, aku menangkap ada segelintir ketakutan. Aku bisa merasakan jika Si D berusaha bersikap wajar kepadaku, seakan seperti tidak ada apa-apa—aku sangat jijik sekali dengan wajahnya. Sekejap setelah kuberikan kode, beberapa orang bawahanku langsung membuat tubuhnya tidak bergerak. Si D tidak dapat bergerak lagi.

“Lho, saya mau diapakan, Raden?”

“Jangan berusaha mewajarkan suasana, keparat!” Teriakku.

Sebatang besi runcing melesat dengan begitu cepat. Ujung itu tenggelam dalam perut Si D Darah keluar. Aku tenggelamkan lebih dalam. Si D berteriak. Si D tak berdaya, wajahnya mengeluarkan ekspresi menahan sakit. Aku semakin menekan pedang yang kucekal. Orang yang sempat meringkus telah melepaskan penguasaannya terhadap Si D. Hanya aku sendiri yang menopang tubuhnya. Setelah tidak bernyawa, kutarik pedang dari perut Si D. Beberapa orang menyeret jasadnya ke tepi sumur, tidak jauh dari tempatku berdiri menikmati kepuasaan—jarak antara aku berdiri dengan sumur kira-kira sepuluh meter di depanku. Ada yang melongok ke dalam sumur. Kuteriaki, agar segera cepat-cepat memasukkan jasad Si D ke dalam sumur lalu menimbunnya.

Sepasang manusia sedang duduk bersisihan. Mereka tampak khusyuk berbincang-bincang. Mereka tidak sadar, bahwa kebersamaan mereka telah begitu lama. Sore datang. Di bawah senja, wajahnya keduanya saling mendekat. Lalu bersatu, seakan melepas kerinduan yang lama telah terpendam.

Jejak Imaji, 2020

==============

(RISEN DHAWUH ABDULLAH, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho)

Terpopuler

Artikel Terbaru