Site icon Prokalteng

Octavio Paz dan Sumber-Sumber Primordial Masa Lampau

(COVER BUKU)

Memadukan unsur kekayaan diksi tradisional untuk menemukan padanan kata, buku antologi puisi terjemahan Batu Matahari ini terasa klasik. Nyaris tanpa cacat dari segi teknis, kecuali beberapa pungtuasi dan satu–dua kata yang barangkali akibat frekuensinya lolos suntingan.

Oleh RUDIANA ADE GINANJAR

DIGUBAH sebagai padanan bagi almanak kuno suku Aztek, Mesoamerika, Batu Matahari (Sunstone) merupakan sebuah puisi epik yang berkesinambungan sekaligus wujud penyatuan romantis –sebuah genre yang dianggap telah menemukan akhir senjanya. Struktur puisi dan penentuan tajuk sendiri erat hubungannya dengan sistem penanggalan kuno itu dan juga Dewi Venus, sosok sakral para pemuja cinta dan keindahan. Lukisan sepasang ular, simbol dewi itu, tergraver di sana.

Menggali sumber-sumber primordial di masa lampau menjadi pilihan cerdik Octavio Paz. Sebab, di masa tradisi dan mitos tersebut, sinar romantisisme masih menyeruakkan kebenderangannya. Dan, upaya itu terlihat paradoks manakala kita mengetahui bahwa Paz adalah pria yang gigih mencari ”waktu kini”.

Waktu kini, modernitas di masanya, adalah bentuk ganda (ambiguous) dan misterius. Dalam sajak ”Januari Utama” Paz menegaskan: aku rasakan apa yang suku Aztek rasakan,/ di puncak semenanjung,/ berbaring menunggu/ waktu yang tak pasti kembalinya/ melalui celah-celah cakrawala.

Jika bukan sebuah ketakberdayaan, langkah surut Paz dalam penantian waktu aktual menjadi paradoksal. Hingga langkah kaki sang penyair kini bak suatu siklus, sebentuk putaran berkesinambungan.

Visi Octavio Paz akan kelahiran abad baru romantisisme di masa depan membawanya kembali ke masa silam. Tradisi romantis yang mulanya menyandarkan diri pada individu dan alam, di tangannya beralih pada citra di luar nalar, arus bawah sadar.

Paz mencari bentuk-bentuk similaritas untuk memuaskan rasa penasarannya. Sebagian kakinya masih menapak pada bumi, masih dikenangnya gemercik air terjun, kerindangan pohon kehijauan. Sedang sebagian kaki lainnya berada di wilayah metaforis, imajiner, sebuah alegori yang menyusun dirinya dalam vertigo.

Perasaan, anasir yang tersusun dari emosi-emosi, menyatukan sepasang kaki tersebut untuk menapak pencarian waktu kini. Lantas gema yang berbunyi dari bibir sang penyair menjadi sebentuk kebulatan bahwa peristiwa datang dalam lingkaran penuh dan tiba selamanya (hal 15).

Dan, dalam keadaannya yang penuh seluruh (total being) menyiratkan suatu keadaan suwung. Padahal tidak. Sebab, dari kedatangan itu, yang ephemeral: gadis-gadis bercungulan dari buah,/ bertebaran di beranda-beranda sekolah,/ seorang di antaranya tinggi bak musim gugur…. (hal 26).

Membaca Paz berarti juga mencoba menemukan nalar kedewasaan kita. Menguak larik demi larik, merabai arah dan tujuan yang muncul secara koheren dan tak terduga. Paz menginsafi kelemahan manusia atas belenggu sang waktu. Hukum kosmos menetapkan matahari akan kolaps kelak. Dan berjalan di bawah matahari, Paz tak kuasa menduduki kuasa sang surya.

Dunia Fana dan Cinta untuk Kelahiran Kembali

Dunia arkeologi mengenal Batu Matahari (Piedra del Sol) sebagai lambang almanak, suatu monolit keteraturan laku hidup suku bangsa di Meksiko, Aztek. Di susunannya, religius dan profan bersanding untuk mencapai puncak kebersamaannya di tiap 52 tahun.

Itulah kenapa Paz juga menyinggung perihal Tuhan di antara citra dan fenomena waktu. Sebentuk gambaran keagungan atas sang mataharinya matahari (hal 49) yang membuatnya kecut dan gelisah. Perasaan itu beriring dengan kegembiraan akan keberadaan Yang Abadi. Membuatnya terus bisa bergerak penuh keakraban.

Hukum kesinambungan berlaku dalam kalender alih-alih kekekalan. Karena yang fana juga menyerang jati diri terdalam kita. Identitas kesejatian kita berbaur dalam beragam maujud dan memandang satu dan lainnya penaka cermin diri.

Dan, menemukan wajah diri sungguh musykil –meski tetaplah niscaya, sehingga setiap insan berlomba dalam panggung eksistensial yang marak. Lalu mengapa Paz terus berada pada napas alienasi dan selindung insomnia? Sebab, pengembaraan jiwa manusia berada dalam kungkungan kesemrawutan di tengah upaya menemukan bentuk.

Paz pun memohon: tenangkan/ keberadaanku, kubur aku jauh di dalam bumimu,/ dan biarkan keheninganmu membawa damai pada pikiran/ yang saling bersengketa dengan dirinya sendiri: buka/ tanganmu….” (hal 61). Pada tahap ini, Cep Subhan KM dalam pengantarnya untuk buku ini menilai bahwa Paz menganggap hidup sebagai ”milik kita” (hal 10).

Bagi Paz, cinta merupakan sebentuk kekekalan. Dan berada di hadapannya setiap insan mesti tahirkan diri. Entitas itu membangun kekuatan kelahiran kembali. Dalam kerjanya yang rumit dan berliku, sentuhan feminin dan jenaka menyunggingkan senyum kita.

Memadukan unsur kekayaan diksi tradisional untuk menemukan padanan kata, buku antologi puisi terjemahan Batu Matahari ini terasa klasik. Nyaris tanpa cacat dari segi teknis, kecuali beberapa pungtuasi dan satu–dua kata yang barangkali akibat frekuensinya lolos suntingan.

Versi lain mencantumkan satu stanza Gerard de Nerval dalam Arthemis sebagai pembuka, tapi di buku ini tak menyertakannya. Kalangan romantikus, khususnya para penyair romantis zaman kini, bisa menjadikan buku tersebut sebagai asa menghadapi tuntutan kebangkitan genre yang pada akhir abad ke-18 hingga setidaknya pertengahan abad ke-19 pernah mengalami kejayaan itu. Octavio Paz telah menunjukkan kepada kita jalan ke masa itu kembali, melalui pintu berbeda: pintu kedua. (*)

Judul: Batu Matahari

Penulis: Octavio Paz

Penerjemah: Tia Setiadi

Penerbit: Diva Press, Jogjakarta

Cetakan: I, Februari 2019

Tebal: 76 hal, 14 x 20 cm

ISBN: 978-602-391-684-9

*) RUDIANA ADE GINANJAR, Penyair. Buku puisi terbarunya Salam Bumi (2023). Tinggal di Cilacap.

Exit mobile version