28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Tali Darah Nenek dan Komodo

Konon katanya, Ata Modo adalah para keturunan Gerong, saudara kembar
kadal raksasa yang lebih dikenal dengan sebutan Ora. Walau berbeda rupa,
keduanya dilahirkan dari rahim yang sama, dari perut Putri Naga.

—

SEORANG putri dari bangsa jin yang menikah dengan manusia. Meski
begitu, Ora tetap dirawat layaknya manusia, sampai suatu ketika selera makannya
lama-lama berubah. Daging mentah beraroma darah terasa lebih menggugah lidah
bercabangnya daripada mbutak yang melimpah ruah. Ia pun diasingkan dan hidup di
dalam hutan.

Orang-orang tua yang tersebar di
kawasan Pulau Rinca, Pulau Padar, dan Pulau Komodo sangat percaya bahwa
hewan-hewan buas tersebut adalah saudara sedarah mereka. Itu sebabnya Ata Modo
dan komodo bisa hidup berdampingan tanpa pernah jatuh korban jiwa. Namun,
kepercayaan orang-orang kampung terhadap kebenaran legenda tersebut perlahan
runtuh sejak ibuku diberitakan telah menjadi santapan makan siang hewan
berdarah dingin itu.

*

Ibuku memang orang luar pulau,
tak ada hubungan darah dengan kadal-kadal raksasa itu. Mungkin itu sebabnya Ora
mengenalinya sebagai ”mangsa”, bukannya saudara. Salah satu komodo buruk rupa
itu telah mencabik-cabik daging ibu dan mencakar kedua bola mata nenek yang
sedang berladang menanam bibit pohon gebang. Ia ditemukan telentang dengan mata
terpejam di atas kasur darah, di antara pohon-pohon ubi. Sementara hanya
potongan kain merah muda motif bunga-bunga yang tersisa untuk dibawa sebagai
kenang-kenangan terakhir dari ibu. Ompu Dato yang mengatakan itu padaku. Lima
tahun yang lalu. Jika ia tak patroli memantau penebangan pohon gebang dan
melewati daerah kebun di kaki Gunung Ara, mungkin Nek Toma pun sudah ikut
dicerna perut komodo.

Sejak saat itu Nek Toma tak
pernah mau keluar rumah. Trauma menggerogoti tubuh rentanya dari hari ke hari.
Tapi, meski sekarang kedua bola mata Nek Toma sudah tak mampu melihat lagi,
indra pendengarannya sangatlah jernih seperti air sungai. Setiap kali
telinganya menangkap suara pintu kayu yang terbuka, tapak kaki yang berjalan di
atas pasir, ataupun benda-benda kecil yang jatuh diembus angin, perempuan
berusia lebih dari setengah abad itu akan langsung meringkukkan badan. Jari-jari
keriputnya bergetar dan dari ekor matanya menetes air hujan. Bibirnya pun akan
merapalkan mantra yang selalu kuingat sejak lima tahun lalu. Ia pikir
suara-suara itu adalah pertanda kedatangan komodo.

”Ayo makan, Nek,” bujukku. ”Nenek
ingat aroma ini?” tanyaku sembari mendekatkan ubi rebus yang baru matang ke
depan wajahnya.

”Raut?” Bibir tandus Nenek Toma
melengkung. Hidungnya kembang kempis mengendus-endus bau yang menggiurkan itu.

”Iya, Nek, dulu kita sering bawa
pulang ubi dari ladang…”

”Ladang… ubi…” Kening Nenek Toma
semakin berkerut. Ia tampak tak terima disuguhi kenangan tentang ladang dan ubi
sebagai camilan makan siang.

”Ya, saya sampai sering tertidur
saking lamanya menanti ubi masak dari tungku,” celotehku lagi. ”Tapi, sekarang
Nenek tak usah khawatir lagi. Saya sudah pandai masak ubi. Ubi ini baru saja
dipanen oleh Ompo Dato.”

”Moke mai! Moke waki ahu!”

Nenek Toma menjauh. Ia berdiri
dan mendorongku hingga keningku mengecup lantai kayu. Tak sampai di situ, Nenek
Toma mengambil apa pun yang ada di dekatnya dan melemparkannya padaku sambil
berteriak-teriak dengan kata-kata yang sama.

”Moke mai! Moke waki ahu!” teriak
Nenek Toma sembari tak berhenti memukuliku. Aku benar-benar tak tahan melihat
nenek yang lama-lama seperti orang gila.

Baca Juga :  Periodisasi Jabatan dan Ki Ageng Suryomentaram

*

Nyanyian ayam jantan sudah lama
terasa seperti suara ibu yang membangunkanku untuk pergi ke sekolah dulu. Aku
menjadi sangat bergantung pada kokok ayam sebagai penanda bahwa sudah waktunya
pergi melaut. Karena hanya tamat sekolah dasar, keterampilanku hanyalah
menjaring ikan. Sebab, sejak peristiwa tragis yang menimpa ibu dan Nenek Toma
lima tahun yang lalu, aku tak berani berladang. Bukan karena takut pada komodo,
tapi takut akan menjadi gila karena kenangan buruk itu masih tumbuh subur di
antara rerumputan liar di kebun yang tak terurus. Menjadi nelayan terasa lebih
aman daripada bercocok tanam ditemani para binatang buas.

Saat memanggul jaring menuju
perahu motor di Dermaga Loh Liang, Ompu Dato dan para tetua adat tampak sedang
menyambut rombongan bapak-bapak berlencana yang terlihat berwibawa dengan
kopiah di atas kepalanya. Biasanya di sini para turis berpakaian terbukalah
yang datang untuk melihat reptil-reptil menjijikkan itu berkeliaran. Tapi,
sekarang sepertinya tamu komodo datang dari kalangan kelas ”atas”. Ompu Dato
yang berpakaian adat songke menyalamkan ayam jantan dan moke putih yang diisi
dalam tawu sebagai tanda sedang berlangsungnya tradisi kepok. Salah seorang
bapak bertubuh subur kembali menyalamkan sebuah amplop cokelat yang sangat
tebal ke tangan Ompo Dato. Mereka kemudian berjalan beriringan menuju Desa
Komodo, entah untuk apa.

Ah, bukan urusanku, pikirku.
Orang-orang berseragam dinas seperti bapak-bapak berkumis dan berperut buncit
tersebut pastilah hanya punya urusan dengan Ompu Dato, bukan dengan warga desa
biasa sepertiku. Aku jadi ingat saat itu. Saat ibu dan Nenek Toma mengajakku
untuk menanam bibit pohon gebang di ladang. Namun, aku memilih mengikuti Bora
yang ingin melihat gadis-gadis bermata biru di Pantai Merah. Penduduk Desa
Komodo sudah lama tak bisa membuat mbutak yang terbuat dari sari kayu pohon
gebang. Sebab, pohon yang sudah mulai langka tersebut hanya tumbuh di lahan
yang dilindungi pemerintah. Sejak dijadikan Taman Nasional Komodo, penebangan
pohon-pohon gebang ataupun perburuan rusa liar dilarang demi menjaga habitat
komodo. Ironis memang, manusia lebih prihatin pada nasib binatang yang tidak
punya akal daripada sesama manusia sendiri.

Membuka lembaran lama membuatku
mengutuk diri sendiri. Seandainya aku tak pernah bilang pada ibu bahwa aku
sangat ingin makan mbuta, ibu dan Nenek Toma pasti tidak akan pernah berpikir
untuk menanam bibit pohon gebang supaya bisa dinikmati sendiri tanpa larangan
pemerintah. Aku membuang kenangan itu di tepi pantai, kuharap akan hanyut
diseret ombak masa depan. Kedua kaki kupaksa untuk terus melangkah ke perahu
motor warisan bapak, lalu menyalakan mesinnya untuk menjaring ikan ke tengah
laut.

*

Hasil tangkapanku tidak begitu
banyak, namun cukup untuk persediaan makan tiga hari ke depan. Malam ini
terdengar nyaring denting batang kayu yang dipukul-pukul sebagai tanda
dimulainya kolo kamba. Para wanita di perkampungan komodo pun serempak
menumbuk-numbuk lesung berisi bubuk kayu yang dicampur dengan daging ayam (dulu
daging rusa). Biasanya, warga Kampung Komodo akan melakukan aru gele sebagai
bentuk penghormatan terhadap kadal raksasa yang mampu mengendus bau dengan
lidahnya hingga jarak 11 kilometer tersebut. Kampung yang sunyi itu kini terasa
seperti pasar malam.

Sesampainya di desa, tampak
orang-orang berkerumun seperti semut memadati balai desa. ”Ada apa ini, Mak?”
tanyaku pada salah satu penduduk yang sedang ikut menumbuk lesung.

”Kita orang disuruh buat salam
perpisahan sama komodo. Ompo Dato cakap beberapa hari lagi kita semua harus
pindah, Taman Nasional Komodo mau ditutup. Tidak boleh ada manusia lagi,”
jawabnya dengan mata yang mulai menitikkan air hujan.

Baca Juga :  Sajak Dadang Ari Murtono

Buru-buru kupercepat langkah
menuju rumah panggung kayu bercat biru. Tempat biasa Nenek Toma sering duduk
menghadap jendela kayu yang terbuka. Membiarkan angin laut membelai pipi
keriputnya.

”Nenek, kita harus siap-siap,
besok Pulau Komodo mau dikosongkan dari manusia. Jadi, Nenek Toma tak perlu
takut lagi pada komodo toh,” kataku senang.

”Kau pergilah, Nenek di sini
saja.”

”Tapi, Nenek, di sini banyak
komodo. Mereka makan manusia. Ayo, Rohim, bantu bereskan barang-barang nenek.”

Nenek Toma menepis tanganku. Ia
tak mau beranjak dari kursi plastik langganannya. ”Komodo itu saudara, tak
pernah makan manusia.”

”Tidak, Nek, komodo sudah makan
saya punya ibu. Binatang itu sudah makan menantu Nenek sendiri!” bentakku tanpa
sadar. ”Jika tidak ada Ompo Dato saat itu…”

”Moke mai! Moke waki ahu!”
spontan Nenek langsung menjauhiku seperti sebelumnya.

Entah mengapa baru kusadari
setiap kali menyebut nama Ompo Dato, nenek pasti histeris. Padahal, Ompo Dato
adalah pria tua baik hati yang sudah kuanggap seperti bapak sendiri. Ompo Dato
juga sering berkunjung dan memberi bantuan sejak peristiwa nahas yang menimpa
keluargaku lima tahun lalu.

*

Pagi ini bukan kokok ayam jantan
lagi yang membangunkanku, tapi suara derum mesin penghancur yang berkeliaran di
sekitar kampunglah yang mengusik mimpiku.

”Ayo, Nek, sudah saatnya kita
pindah ke rumah yang telah disiapkan oleh pemerintah di pulau seberang. Semua
orang sudah berkemas, tinggal kita yang belum siap,” ajakku lagi.

”Ompo Dato, bawa Nenek menemui
Ompo Dato,” pinta Nenek Toma tiba-tiba. Aku menurut, kukira nenek pasti akan
berterima kasih atas bantuan Ompo Dato selama ini. Kebetulan pria berambut
putih itu sedang mengurus warga di balai desa.

”Plak!” sesampainya di sana Nenek
Toma mendaratkan tongkat kayunya ke pipi Ompu Dato. ”Cukup sudah kau mengganggu
hidupku, cucuku, dan para warga komodo.”

”Nenek sudah gila toh?” tanyaku
tak percaya.

”Komodo tak pernah makan saudara
sendiri, komodo tak pernah makan ibumu! Dia diperkosa dan dibunuh oleh Ompo
Dato dan kawan-kawannya di ladang ubi!”

Suasana hening. Tak ada warga
yang mau percaya pada seorang nenek gila. Mereka lebih sibuk mengurusi
barang-barang yang akan dibawa untuk pindah ke pulau sebelah.

”Rohim, kau juga tak percaya pada
Nenek?”

”Ah, Nenek, ayolah, sebaiknya
kita cepat bergegas pergi ke pulau sebelah sebelum ketinggalan rombongan.”

”Jika tak ada yang percaya
padaku, biar saudaraku yang akan membuktikannya!”

”Srettt!” tanpa aba-aba nenek
langsung menyayat urat nadinya hingga ia tertidur di atas pasir merah.

”Nenek!” pekikku. Apa yang
Nenek…”

Aku masih sempat melihat ratusan
komodo berdatangan dari segala penjuru. Mereka mengelilingi mayat nenek tanpa
sedikit pun menyentuhnya. Pandangan penduduk desa pun beramai-ramai mengepung sosok
Ompo Dato. Namun, belum sempat diserbu warga, seekor komodo jantan dewasa sudah
langsung menggigit dan menyeret kakinya ke tengah padang sabana. Pasir pantai
yang berwarna putih kini tampak seperti permadani merah, namun lama-lama
menjadi hitam seiring dengan mataku yang mulai malam. (*)

(ANGGI GAYATRI PURBA. Perempuan
kelahiran 12 November 1993 ini sangat hobi menulis cerpen. Saat ini berdomisili
di kota Binjai, Sumatera Utara)

Konon katanya, Ata Modo adalah para keturunan Gerong, saudara kembar
kadal raksasa yang lebih dikenal dengan sebutan Ora. Walau berbeda rupa,
keduanya dilahirkan dari rahim yang sama, dari perut Putri Naga.

—

SEORANG putri dari bangsa jin yang menikah dengan manusia. Meski
begitu, Ora tetap dirawat layaknya manusia, sampai suatu ketika selera makannya
lama-lama berubah. Daging mentah beraroma darah terasa lebih menggugah lidah
bercabangnya daripada mbutak yang melimpah ruah. Ia pun diasingkan dan hidup di
dalam hutan.

Orang-orang tua yang tersebar di
kawasan Pulau Rinca, Pulau Padar, dan Pulau Komodo sangat percaya bahwa
hewan-hewan buas tersebut adalah saudara sedarah mereka. Itu sebabnya Ata Modo
dan komodo bisa hidup berdampingan tanpa pernah jatuh korban jiwa. Namun,
kepercayaan orang-orang kampung terhadap kebenaran legenda tersebut perlahan
runtuh sejak ibuku diberitakan telah menjadi santapan makan siang hewan
berdarah dingin itu.

*

Ibuku memang orang luar pulau,
tak ada hubungan darah dengan kadal-kadal raksasa itu. Mungkin itu sebabnya Ora
mengenalinya sebagai ”mangsa”, bukannya saudara. Salah satu komodo buruk rupa
itu telah mencabik-cabik daging ibu dan mencakar kedua bola mata nenek yang
sedang berladang menanam bibit pohon gebang. Ia ditemukan telentang dengan mata
terpejam di atas kasur darah, di antara pohon-pohon ubi. Sementara hanya
potongan kain merah muda motif bunga-bunga yang tersisa untuk dibawa sebagai
kenang-kenangan terakhir dari ibu. Ompu Dato yang mengatakan itu padaku. Lima
tahun yang lalu. Jika ia tak patroli memantau penebangan pohon gebang dan
melewati daerah kebun di kaki Gunung Ara, mungkin Nek Toma pun sudah ikut
dicerna perut komodo.

Sejak saat itu Nek Toma tak
pernah mau keluar rumah. Trauma menggerogoti tubuh rentanya dari hari ke hari.
Tapi, meski sekarang kedua bola mata Nek Toma sudah tak mampu melihat lagi,
indra pendengarannya sangatlah jernih seperti air sungai. Setiap kali
telinganya menangkap suara pintu kayu yang terbuka, tapak kaki yang berjalan di
atas pasir, ataupun benda-benda kecil yang jatuh diembus angin, perempuan
berusia lebih dari setengah abad itu akan langsung meringkukkan badan. Jari-jari
keriputnya bergetar dan dari ekor matanya menetes air hujan. Bibirnya pun akan
merapalkan mantra yang selalu kuingat sejak lima tahun lalu. Ia pikir
suara-suara itu adalah pertanda kedatangan komodo.

”Ayo makan, Nek,” bujukku. ”Nenek
ingat aroma ini?” tanyaku sembari mendekatkan ubi rebus yang baru matang ke
depan wajahnya.

”Raut?” Bibir tandus Nenek Toma
melengkung. Hidungnya kembang kempis mengendus-endus bau yang menggiurkan itu.

”Iya, Nek, dulu kita sering bawa
pulang ubi dari ladang…”

”Ladang… ubi…” Kening Nenek Toma
semakin berkerut. Ia tampak tak terima disuguhi kenangan tentang ladang dan ubi
sebagai camilan makan siang.

”Ya, saya sampai sering tertidur
saking lamanya menanti ubi masak dari tungku,” celotehku lagi. ”Tapi, sekarang
Nenek tak usah khawatir lagi. Saya sudah pandai masak ubi. Ubi ini baru saja
dipanen oleh Ompo Dato.”

”Moke mai! Moke waki ahu!”

Nenek Toma menjauh. Ia berdiri
dan mendorongku hingga keningku mengecup lantai kayu. Tak sampai di situ, Nenek
Toma mengambil apa pun yang ada di dekatnya dan melemparkannya padaku sambil
berteriak-teriak dengan kata-kata yang sama.

”Moke mai! Moke waki ahu!” teriak
Nenek Toma sembari tak berhenti memukuliku. Aku benar-benar tak tahan melihat
nenek yang lama-lama seperti orang gila.

Baca Juga :  Periodisasi Jabatan dan Ki Ageng Suryomentaram

*

Nyanyian ayam jantan sudah lama
terasa seperti suara ibu yang membangunkanku untuk pergi ke sekolah dulu. Aku
menjadi sangat bergantung pada kokok ayam sebagai penanda bahwa sudah waktunya
pergi melaut. Karena hanya tamat sekolah dasar, keterampilanku hanyalah
menjaring ikan. Sebab, sejak peristiwa tragis yang menimpa ibu dan Nenek Toma
lima tahun yang lalu, aku tak berani berladang. Bukan karena takut pada komodo,
tapi takut akan menjadi gila karena kenangan buruk itu masih tumbuh subur di
antara rerumputan liar di kebun yang tak terurus. Menjadi nelayan terasa lebih
aman daripada bercocok tanam ditemani para binatang buas.

Saat memanggul jaring menuju
perahu motor di Dermaga Loh Liang, Ompu Dato dan para tetua adat tampak sedang
menyambut rombongan bapak-bapak berlencana yang terlihat berwibawa dengan
kopiah di atas kepalanya. Biasanya di sini para turis berpakaian terbukalah
yang datang untuk melihat reptil-reptil menjijikkan itu berkeliaran. Tapi,
sekarang sepertinya tamu komodo datang dari kalangan kelas ”atas”. Ompu Dato
yang berpakaian adat songke menyalamkan ayam jantan dan moke putih yang diisi
dalam tawu sebagai tanda sedang berlangsungnya tradisi kepok. Salah seorang
bapak bertubuh subur kembali menyalamkan sebuah amplop cokelat yang sangat
tebal ke tangan Ompo Dato. Mereka kemudian berjalan beriringan menuju Desa
Komodo, entah untuk apa.

Ah, bukan urusanku, pikirku.
Orang-orang berseragam dinas seperti bapak-bapak berkumis dan berperut buncit
tersebut pastilah hanya punya urusan dengan Ompu Dato, bukan dengan warga desa
biasa sepertiku. Aku jadi ingat saat itu. Saat ibu dan Nenek Toma mengajakku
untuk menanam bibit pohon gebang di ladang. Namun, aku memilih mengikuti Bora
yang ingin melihat gadis-gadis bermata biru di Pantai Merah. Penduduk Desa
Komodo sudah lama tak bisa membuat mbutak yang terbuat dari sari kayu pohon
gebang. Sebab, pohon yang sudah mulai langka tersebut hanya tumbuh di lahan
yang dilindungi pemerintah. Sejak dijadikan Taman Nasional Komodo, penebangan
pohon-pohon gebang ataupun perburuan rusa liar dilarang demi menjaga habitat
komodo. Ironis memang, manusia lebih prihatin pada nasib binatang yang tidak
punya akal daripada sesama manusia sendiri.

Membuka lembaran lama membuatku
mengutuk diri sendiri. Seandainya aku tak pernah bilang pada ibu bahwa aku
sangat ingin makan mbuta, ibu dan Nenek Toma pasti tidak akan pernah berpikir
untuk menanam bibit pohon gebang supaya bisa dinikmati sendiri tanpa larangan
pemerintah. Aku membuang kenangan itu di tepi pantai, kuharap akan hanyut
diseret ombak masa depan. Kedua kaki kupaksa untuk terus melangkah ke perahu
motor warisan bapak, lalu menyalakan mesinnya untuk menjaring ikan ke tengah
laut.

*

Hasil tangkapanku tidak begitu
banyak, namun cukup untuk persediaan makan tiga hari ke depan. Malam ini
terdengar nyaring denting batang kayu yang dipukul-pukul sebagai tanda
dimulainya kolo kamba. Para wanita di perkampungan komodo pun serempak
menumbuk-numbuk lesung berisi bubuk kayu yang dicampur dengan daging ayam (dulu
daging rusa). Biasanya, warga Kampung Komodo akan melakukan aru gele sebagai
bentuk penghormatan terhadap kadal raksasa yang mampu mengendus bau dengan
lidahnya hingga jarak 11 kilometer tersebut. Kampung yang sunyi itu kini terasa
seperti pasar malam.

Sesampainya di desa, tampak
orang-orang berkerumun seperti semut memadati balai desa. ”Ada apa ini, Mak?”
tanyaku pada salah satu penduduk yang sedang ikut menumbuk lesung.

”Kita orang disuruh buat salam
perpisahan sama komodo. Ompo Dato cakap beberapa hari lagi kita semua harus
pindah, Taman Nasional Komodo mau ditutup. Tidak boleh ada manusia lagi,”
jawabnya dengan mata yang mulai menitikkan air hujan.

Baca Juga :  Sajak Dadang Ari Murtono

Buru-buru kupercepat langkah
menuju rumah panggung kayu bercat biru. Tempat biasa Nenek Toma sering duduk
menghadap jendela kayu yang terbuka. Membiarkan angin laut membelai pipi
keriputnya.

”Nenek, kita harus siap-siap,
besok Pulau Komodo mau dikosongkan dari manusia. Jadi, Nenek Toma tak perlu
takut lagi pada komodo toh,” kataku senang.

”Kau pergilah, Nenek di sini
saja.”

”Tapi, Nenek, di sini banyak
komodo. Mereka makan manusia. Ayo, Rohim, bantu bereskan barang-barang nenek.”

Nenek Toma menepis tanganku. Ia
tak mau beranjak dari kursi plastik langganannya. ”Komodo itu saudara, tak
pernah makan manusia.”

”Tidak, Nek, komodo sudah makan
saya punya ibu. Binatang itu sudah makan menantu Nenek sendiri!” bentakku tanpa
sadar. ”Jika tidak ada Ompo Dato saat itu…”

”Moke mai! Moke waki ahu!”
spontan Nenek langsung menjauhiku seperti sebelumnya.

Entah mengapa baru kusadari
setiap kali menyebut nama Ompo Dato, nenek pasti histeris. Padahal, Ompo Dato
adalah pria tua baik hati yang sudah kuanggap seperti bapak sendiri. Ompo Dato
juga sering berkunjung dan memberi bantuan sejak peristiwa nahas yang menimpa
keluargaku lima tahun lalu.

*

Pagi ini bukan kokok ayam jantan
lagi yang membangunkanku, tapi suara derum mesin penghancur yang berkeliaran di
sekitar kampunglah yang mengusik mimpiku.

”Ayo, Nek, sudah saatnya kita
pindah ke rumah yang telah disiapkan oleh pemerintah di pulau seberang. Semua
orang sudah berkemas, tinggal kita yang belum siap,” ajakku lagi.

”Ompo Dato, bawa Nenek menemui
Ompo Dato,” pinta Nenek Toma tiba-tiba. Aku menurut, kukira nenek pasti akan
berterima kasih atas bantuan Ompo Dato selama ini. Kebetulan pria berambut
putih itu sedang mengurus warga di balai desa.

”Plak!” sesampainya di sana Nenek
Toma mendaratkan tongkat kayunya ke pipi Ompu Dato. ”Cukup sudah kau mengganggu
hidupku, cucuku, dan para warga komodo.”

”Nenek sudah gila toh?” tanyaku
tak percaya.

”Komodo tak pernah makan saudara
sendiri, komodo tak pernah makan ibumu! Dia diperkosa dan dibunuh oleh Ompo
Dato dan kawan-kawannya di ladang ubi!”

Suasana hening. Tak ada warga
yang mau percaya pada seorang nenek gila. Mereka lebih sibuk mengurusi
barang-barang yang akan dibawa untuk pindah ke pulau sebelah.

”Rohim, kau juga tak percaya pada
Nenek?”

”Ah, Nenek, ayolah, sebaiknya
kita cepat bergegas pergi ke pulau sebelah sebelum ketinggalan rombongan.”

”Jika tak ada yang percaya
padaku, biar saudaraku yang akan membuktikannya!”

”Srettt!” tanpa aba-aba nenek
langsung menyayat urat nadinya hingga ia tertidur di atas pasir merah.

”Nenek!” pekikku. Apa yang
Nenek…”

Aku masih sempat melihat ratusan
komodo berdatangan dari segala penjuru. Mereka mengelilingi mayat nenek tanpa
sedikit pun menyentuhnya. Pandangan penduduk desa pun beramai-ramai mengepung sosok
Ompo Dato. Namun, belum sempat diserbu warga, seekor komodo jantan dewasa sudah
langsung menggigit dan menyeret kakinya ke tengah padang sabana. Pasir pantai
yang berwarna putih kini tampak seperti permadani merah, namun lama-lama
menjadi hitam seiring dengan mataku yang mulai malam. (*)

(ANGGI GAYATRI PURBA. Perempuan
kelahiran 12 November 1993 ini sangat hobi menulis cerpen. Saat ini berdomisili
di kota Binjai, Sumatera Utara)

Terpopuler

Artikel Terbaru