31.3 C
Jakarta
Friday, December 27, 2024

Undangan Bertemu Teman Lama

MUBARAK yang mengenakan jaket gelap, celana jins hitam, dan sepatu
kulit melangkah sendirian meninggalkan barak dengan sisa empat prajuritnya yang
masih hidup. Embun tipis yang tersangkut di dedaunan dan rumput menyaput celana
jins dan bawahan jaket yang menjadikannya sedikit lembap. Begitu tiba di
kampung terdekat nanti dia segera menanggalkan jaket dan sepatunya dan cukup
dengan kemeja biru lengan panjang tanpa alas kaki, layaknya petani.

Sekalipun sangat berbahaya, dia
telah memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dia keluar seorang
diri. Seorang diri lebih baik daripada dia turun beserta empat prajuritnya yang
malah nanti segera mengundang perhatian orang-orang yang melihatnya. Terutama
perhatian pasukan serdadu pengintai yang berkeliaran di mana-mana dan terus
saja nekat memburu kelompok pejuang sampai ke pinggiran hutan.

Tentu saja Mubarak sangat sadar
akibat yang menimpanya bila saja dia tertangkap pasukan musuh. Nasib baik bila
serdadu langsung menembaknya mati sehingga dia terhindar dari derita penyiksaan
yang sangat mengerikan dan menyakitkan, yang biasanya dimulai dengan pemukulan
babak belur, berlanjut penyetruman di pos jagal, pemotongan anggota badan,
hingga kemudian dikubur hidup-hidup.

Mubarak tetap membulatkan tekad,
siap mempertaruhkan nyawanya turun ke kampung sendirian demi memenuhi undangan
untuk bertemu seorang kawan lamanya. Khalid adalah kawan sekolah menengah atas
yang sangat berarti dan sudah seperti bagian dirinya sendiri yang tidak bisa
dipisahkan. Dia selalu terkenang-kenang dan merindukannya, melebihi kecintaan
terhadap kekasihnya yang telah diperkosa dan ditembak mati oleh segerombolan
serdadu musuh.

”Ini sangat berbahaya, Komandan.
Sebaiknya Komandan menunda dulu turun ke kampung,” cegah seorang anak buahnya
yang begitu cemas, beberapa saat sebelum Mubarak meninggalkan barak tempat
persembunyian.

”Hmm,” deham Mubarak membuka lagi
selembar surat tulisan tangan Khalid yang sudah lusuh.

”Lebih baik aku mati daripada
membatalkan janji saudara sendiri. Bukankah kalian sudah mengenal baik siapa
aku?”

”Kami tidak menyangka kalau isi
surat itu bisa membuat Komandan jadi sangat nekat….”

”Hmm,” deham Mubarak terdiam.

Sebelum keluar, Mubarak membaca
dan mengamati sekali lagi tulisan tangan Khalid yang begitu rapi. Berdasar
tanggal yang tertera di situ, 15 April 2000, surat itu tiba ke markasnya
setelah sebulan lebih lamanya tertahan sampai ke tangannya, yang berkali-kali
berpindah tangan, mulai jasa kurir, petani, pembantu pejuang, mata-mata,
prajurit rendah, prajurit menengah, hingga akhirnya diterima Mubarak.

Aku akan menemuimu sendirian di
kedai kopi kampung kita. Kupastikan Selasa sore, 25 Mei 2000. Tidak akan
meleset. Kau harus datang, tulis Khalid.

Ya, tepat hari ini!

Bila Mubarak berangkat sekarang,
dia akan tiba di kedai kopi di kampungnya sore nanti. Mubarak pun melangkah
keluar dengan pasti. Hanya sepucuk pistol buatan Italia yang menemaninya, yang
diselipkannya di pinggang.

Keempat prajurit yang berada di
bawah pimpinannya itu sebetulnya sangat tidak setuju dengan tindakan komandan
mereka yang bagaikan pergi untuk menyongsong bahaya. Mereka menganggap tindakan
sang komandan terlalu berlebihan dengan mempertaruhkan nyawa hanya untuk
bertemu teman lama yang tidak ada kaitan sama sekali dengan kepentingan
perjuangan mereka.

”Situasi kita sudah sangat
terjepit, Komandan. Tapi, Komandan malah turun ke sarang musuh….” seorang
prajurit lainnya coba mengingatkan Mubarak yang seketika menghentikan langkahnya
di pintu.

”Aku tahu kalian sangat
mencemaskanku. Percayalah, aku akan menjaga diriku baik-baik. Bila tidak
memungkinkan turun, aku akan mundur dan kembali kemari lagi,” tegas Mubarak
sambil memasukkan tangannya ke saku jaket.

”Tapi, tindakan Komandan itu
gila. Tidak masuk akal!” tiba-tiba saja seorang prajurit lain yang sedari tadi
diam dengan wajah tegang tidak bisa mengendalikan diri.

Baca Juga :  Keterasingan, Luka, dan Kehancuran

”Benar,” sahut Mubarak. ”Aku
memang gila. Kalian bisa menganggap aku gila karena kalian tidak mengerti
betapa pentingnya pertemuan ini bagiku. Sama juga seperti pasukan serdadu yang
tidak memahami kenapa kita rela hidup bersusah payah, bahkan rela mengorbankan
jiwa dan raga kita demi menjadi pejuang….”

”Tapi, ini masalahnya beda,
Komandan.”

”Memang beda, sebab aku tidak
bisa menjelaskannya dengan contoh lain yang lebih tepat. Aku hanya ingin kalian
bisa memahamiku.”

Mereka semua terdiam dan
membiarkan saja komandan mereka melangkah sendirian di pagi hari yang baru saja
terang. Di mata keempat prajurit itu, mereka melihat pimpinan mereka pergi
menyongsong bahaya besar. Tidak seorang pun di antara mereka yang mampu
mencegahnya lagi.

”Dia hanya pergi untuk bunuh
diri,” gumam seorang prajurit begitu kesal.

*

Waktu itu, setelah hampir tiga
puluh tahun gagal melenyapkan kawanan pemberontak yang berkeliaran di Aceh,
pemerintah mengirimkan ratusan ribu pasukan pemburu khusus yang membuat para
pejuang terpukul mundur. Hampir setengah pejuang yang mati dalam pertempuran
terbuka yang terjadi di kota-kota kecil dan kampung-kampung terpencil.

Memang tidak sedikit tentara
pemerintah yang tumbang, tetapi pasukan demi pasukan baru terus dikirim ke
tengah medan gerilya dengan kendaraan tempur dan senjata canggih yang membuat
pasukan pejuang kemerdekaan terdesak dan terpaksa lari dan bersembunyi di
hutan-hutan besar yang belum terjamah manusia.

Pasukan pejuang di bawah pimpinan
komandan masing-masing terpecah belah. Banyak yang terpaksa menyerahkan diri
karena terdesak dan demi menyelamatkan keluarga. Sebagian ditembak mati di
depan umum. Hanya mereka yang setia, menyelamatkan diri di tengah hutan yang
lantas hidup dalam kelaparan dan penderitaan, sebagaimana pasukan yang dipimpin
Komandan Mubarak.

Namun, anehnya, dalam situasi
yang demikian pelik, Mubarak malah turun ke sarang musuh hanya untuk memenuhi
janji bertemu teman sekolah, yang katanya teman paling setia.

*

Khalid adalah teman sekelas yang
tinggal satu kampung dengan Mubarak. Mereka selalu bersama tanpa mengenal
waktu, dari saat di sekolah, pulang sekolah, pergi mengaji, hingga tidur satu
bilik di dayah –pesantren tradisional di Aceh. Seusai subuh mereka baru pulang,
mandi, sarapan, dan berangkat sekolah bersama.

Pernah sekali waktu saat Mubarak
sakit di sekolah, Khalid-lah yang menggendongnya pulang yang jaraknya lebih
dari satu kilometer. Khalid bersikeras menggendong dan kadang menuntunnya
perlahan-lahan melangkah ketika pinggang dan kakinya pegal.

Khalid yang terbilang keluarga
berada tidak pernah membuat perhitungan dalam uang jajan. Hampir setiap hari
dia memberikan setengah uang jajannya untuk Mubarak. Apa pun bantuan yang
diberikan Khalid kepadanya bersifat tanpa pamrih, seolah-olah kebutuhan untuk
dirinya sendiri. Bahkan, Khalid rela melepaskan seorang gadis yang sama-sama
mereka cintai untuk Mubarak. Perihal inilah yang tidak bisa dipahami Mubarak
hingga sekarang.

Lain waktu, selepas pengajian,
Mubarak dan Khalid pernah mengikrarkan sumpah bahwa apa pun yang terjadi kelak
mereka akan tetap menjadi saudara yang tidak bisa dipisahkan. Mereka
membayangkan kelak ketika telah menikah akan membangun rumah saling
bersebelahan agar setiap hari mereka bisa saling mengunjungi dan terus bersama.

Namun, itu semua dulu, ketika
kedekatan mereka dipenuhi bayang-bayang harapan dan khayalan remaja labil yang
setiap hari banyak membahas tentang bagaimana cantiknya gadis-gadis yang hendak
mereka taklukkan. Dan ketika itu, sekitar lima belas tahun yang lalu, pemberontak
hampir lenyap dibantai pasukan khusus pemerintah dan dikubur di tempat-tempat
rahasia.

Tidak ada yang menyangka kalau
kemudian pejuang kemerdekaan bangkit merajalela kembali yang membuat pasukan
serdadu begitu sibuk dan berang. Pemberontak itu seperti rumput yang segera
tumbuh hijau subur saat hujan. Dan Mubarak adalah generasi masa kini yang
menuntut balas atas kekejaman pemerintah yang telah membantai
saudara-saudaranya.

Baca Juga :  Ongkowijoyo

Lantaran memilih jalan
perjuangan, sejak itulah hubungan Mubarak dan Khalid terputus tanpa jejak dan
tanpa bekas. Mubarak sibuk bersama pasukannya berkeliaran di pinggir hutan yang
sesekali turun mengintai dan menyerang markas dan tangsi serdadu, baik yang ada
di jalan raya maupun yang berada di kota-kota kecamatan dan kota kabupaten.

Pernah sekali dia turun
menyelinap ke rumah Khalid untuk mengajaknya serta berjuang. Namun, rumah
Khalid telah kosong dan dikabarkan pindah keluar Aceh. Orang tua Khalid yang
bekerja sebagai pedagang udang tiger tidak sanggup menghadapi rongrongan dan
kekerasan, baik yang berasal dari kelompok pejuang maupun serdadu pemerintah
yang menagih upeti liar dengan paksaan.

Begitu mendapati kenyataan bahwa
Khalid telah meninggalkan kampung halamannya, Mubarak sangat terpukul layaknya
orang yang mengalami patah hati. Dia masih mengingat sumpah, harapan, dan
bayangan-bayangan indah yang pernah mereka rencanakan dulu. Semua itu menjadi
kenangan yang tidak bisa dihapuskan dan Mubarak masih menaruh harapan. Kelak,
ketika tanah ini telah merdeka, mereka bisa mewujudkan mimpi indahnya.

*

Dengan menyamar sebagai petani,
Mubarak berhasil menyusup hingga ke kedai kopi di kampungnya tepat sore hari.
Tidak terlalu sulit karena tidak ada hambatan di jalan. Sejumlah petani yang
dijumpainya di ladang memberi tahu bahwa keadaan kampung aman-aman saja.
Belasan tentara yang sebelumnya menduduki kampung itu baru saja ditarik ke kota
setelah mereka menembak seorang pemuda yang dicurigai sebagai pemberontak, dan
baru kemudian diketahui kalau yang mereka bunuh itu ternyata orang gila.

”Mubarak,” sambut Khalid yang
langsung mengenalinya. ”Kau sangat tinggi dan sangat beda sekarang!”

”Khalid?” balas Mubarak
merentangkan tangannya. ”Kau tampak bersih dan necis. Heh, hidungmu mancung
sekali!”

Mereka pun berpelukan erat
layaknya sahabat karib yang melepaskan rindu berat. Lalu, mereka duduk saling
berhadapan di sebuah meja. Kedai kopi yang kini lebih luas dengan bangunan baru
itu tampak sepi sekali. Hanya ada empat pengunjung yang kemudian pamit setelah
menyalami Mubarak dan Khalid. Khalid tampak santai dan tenang, tetapi Mubarak
kelihatan gelisah.

”Apakah kau sendirian?” tanya
Mubarak kurang yakin.

”Tenanglah,” kata Khalid santai.
”Di sini aman-aman saja. Makanya aku pulang. Aku pulang hanya untuk menemuimu.
Kau pejuang yang sangat licin. Tidak ada pasukan tentara yang bisa mengendus
jejakmu.”

”Ah, kau melebih-lebihkan,” balas
Mubarak tersipu. ”Kau kerja di mana?” tanya Mubarak mengalihkan perhatian.

”Itulah yang jadi masalah,” jawab
Khalid seraya mengangkat tangannya seperti memberikan sebuah isyarat kepada
orang-orang yang bersembunyi di suatu tempat, yang sedari tadi siap-siap
menunggu perintah. ”Sama sepertimu, aku juga komandan!”

Tiba-tiba saja dari dalam dan
belakang kedai bermunculan belasan orang berpakaian preman lengkap dengan
senjata laras panjang yang langsung diacungkan ke arah Mubarak. Seketika wajah
Mubarak berubah sangat pucat dan tegang. Tubuhnya yang kurus dan dekil itu kaku
tidak bergerak. Namun, Khalid tampak sangat tenang dengan roman mukanya yang
tiada berubah sedikit pun.

”Bedanya,” lanjut Khalid
menyeringai, ”kau komandan pemberontak, sedangkan aku komandan dari pasukan
pemerintah!”

Khalid menggerakkan ujung
telunjuknya sebagai isyarat perintah yang sering digunakan komandan tentara
untuk meringkus pemberontak dan penjahat berbahaya. (*)

Aceh—Ponorogo, 5 November 2020

(ARAFAT NUR. Dosen bahasa dan
sastra di STKIP PGRI Ponorogo. Novel Lampuki meraih Kusala Sastra Khatulistiwa
2011 dan memenangi sayembara DKJ 2010. Buku kumpulan cerpen terbarunya, Serdadu
dari Neraka, sudah beredar luas)

MUBARAK yang mengenakan jaket gelap, celana jins hitam, dan sepatu
kulit melangkah sendirian meninggalkan barak dengan sisa empat prajuritnya yang
masih hidup. Embun tipis yang tersangkut di dedaunan dan rumput menyaput celana
jins dan bawahan jaket yang menjadikannya sedikit lembap. Begitu tiba di
kampung terdekat nanti dia segera menanggalkan jaket dan sepatunya dan cukup
dengan kemeja biru lengan panjang tanpa alas kaki, layaknya petani.

Sekalipun sangat berbahaya, dia
telah memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dia keluar seorang
diri. Seorang diri lebih baik daripada dia turun beserta empat prajuritnya yang
malah nanti segera mengundang perhatian orang-orang yang melihatnya. Terutama
perhatian pasukan serdadu pengintai yang berkeliaran di mana-mana dan terus
saja nekat memburu kelompok pejuang sampai ke pinggiran hutan.

Tentu saja Mubarak sangat sadar
akibat yang menimpanya bila saja dia tertangkap pasukan musuh. Nasib baik bila
serdadu langsung menembaknya mati sehingga dia terhindar dari derita penyiksaan
yang sangat mengerikan dan menyakitkan, yang biasanya dimulai dengan pemukulan
babak belur, berlanjut penyetruman di pos jagal, pemotongan anggota badan,
hingga kemudian dikubur hidup-hidup.

Mubarak tetap membulatkan tekad,
siap mempertaruhkan nyawanya turun ke kampung sendirian demi memenuhi undangan
untuk bertemu seorang kawan lamanya. Khalid adalah kawan sekolah menengah atas
yang sangat berarti dan sudah seperti bagian dirinya sendiri yang tidak bisa
dipisahkan. Dia selalu terkenang-kenang dan merindukannya, melebihi kecintaan
terhadap kekasihnya yang telah diperkosa dan ditembak mati oleh segerombolan
serdadu musuh.

”Ini sangat berbahaya, Komandan.
Sebaiknya Komandan menunda dulu turun ke kampung,” cegah seorang anak buahnya
yang begitu cemas, beberapa saat sebelum Mubarak meninggalkan barak tempat
persembunyian.

”Hmm,” deham Mubarak membuka lagi
selembar surat tulisan tangan Khalid yang sudah lusuh.

”Lebih baik aku mati daripada
membatalkan janji saudara sendiri. Bukankah kalian sudah mengenal baik siapa
aku?”

”Kami tidak menyangka kalau isi
surat itu bisa membuat Komandan jadi sangat nekat….”

”Hmm,” deham Mubarak terdiam.

Sebelum keluar, Mubarak membaca
dan mengamati sekali lagi tulisan tangan Khalid yang begitu rapi. Berdasar
tanggal yang tertera di situ, 15 April 2000, surat itu tiba ke markasnya
setelah sebulan lebih lamanya tertahan sampai ke tangannya, yang berkali-kali
berpindah tangan, mulai jasa kurir, petani, pembantu pejuang, mata-mata,
prajurit rendah, prajurit menengah, hingga akhirnya diterima Mubarak.

Aku akan menemuimu sendirian di
kedai kopi kampung kita. Kupastikan Selasa sore, 25 Mei 2000. Tidak akan
meleset. Kau harus datang, tulis Khalid.

Ya, tepat hari ini!

Bila Mubarak berangkat sekarang,
dia akan tiba di kedai kopi di kampungnya sore nanti. Mubarak pun melangkah
keluar dengan pasti. Hanya sepucuk pistol buatan Italia yang menemaninya, yang
diselipkannya di pinggang.

Keempat prajurit yang berada di
bawah pimpinannya itu sebetulnya sangat tidak setuju dengan tindakan komandan
mereka yang bagaikan pergi untuk menyongsong bahaya. Mereka menganggap tindakan
sang komandan terlalu berlebihan dengan mempertaruhkan nyawa hanya untuk
bertemu teman lama yang tidak ada kaitan sama sekali dengan kepentingan
perjuangan mereka.

”Situasi kita sudah sangat
terjepit, Komandan. Tapi, Komandan malah turun ke sarang musuh….” seorang
prajurit lainnya coba mengingatkan Mubarak yang seketika menghentikan langkahnya
di pintu.

”Aku tahu kalian sangat
mencemaskanku. Percayalah, aku akan menjaga diriku baik-baik. Bila tidak
memungkinkan turun, aku akan mundur dan kembali kemari lagi,” tegas Mubarak
sambil memasukkan tangannya ke saku jaket.

”Tapi, tindakan Komandan itu
gila. Tidak masuk akal!” tiba-tiba saja seorang prajurit lain yang sedari tadi
diam dengan wajah tegang tidak bisa mengendalikan diri.

Baca Juga :  Keterasingan, Luka, dan Kehancuran

”Benar,” sahut Mubarak. ”Aku
memang gila. Kalian bisa menganggap aku gila karena kalian tidak mengerti
betapa pentingnya pertemuan ini bagiku. Sama juga seperti pasukan serdadu yang
tidak memahami kenapa kita rela hidup bersusah payah, bahkan rela mengorbankan
jiwa dan raga kita demi menjadi pejuang….”

”Tapi, ini masalahnya beda,
Komandan.”

”Memang beda, sebab aku tidak
bisa menjelaskannya dengan contoh lain yang lebih tepat. Aku hanya ingin kalian
bisa memahamiku.”

Mereka semua terdiam dan
membiarkan saja komandan mereka melangkah sendirian di pagi hari yang baru saja
terang. Di mata keempat prajurit itu, mereka melihat pimpinan mereka pergi
menyongsong bahaya besar. Tidak seorang pun di antara mereka yang mampu
mencegahnya lagi.

”Dia hanya pergi untuk bunuh
diri,” gumam seorang prajurit begitu kesal.

*

Waktu itu, setelah hampir tiga
puluh tahun gagal melenyapkan kawanan pemberontak yang berkeliaran di Aceh,
pemerintah mengirimkan ratusan ribu pasukan pemburu khusus yang membuat para
pejuang terpukul mundur. Hampir setengah pejuang yang mati dalam pertempuran
terbuka yang terjadi di kota-kota kecil dan kampung-kampung terpencil.

Memang tidak sedikit tentara
pemerintah yang tumbang, tetapi pasukan demi pasukan baru terus dikirim ke
tengah medan gerilya dengan kendaraan tempur dan senjata canggih yang membuat
pasukan pejuang kemerdekaan terdesak dan terpaksa lari dan bersembunyi di
hutan-hutan besar yang belum terjamah manusia.

Pasukan pejuang di bawah pimpinan
komandan masing-masing terpecah belah. Banyak yang terpaksa menyerahkan diri
karena terdesak dan demi menyelamatkan keluarga. Sebagian ditembak mati di
depan umum. Hanya mereka yang setia, menyelamatkan diri di tengah hutan yang
lantas hidup dalam kelaparan dan penderitaan, sebagaimana pasukan yang dipimpin
Komandan Mubarak.

Namun, anehnya, dalam situasi
yang demikian pelik, Mubarak malah turun ke sarang musuh hanya untuk memenuhi
janji bertemu teman sekolah, yang katanya teman paling setia.

*

Khalid adalah teman sekelas yang
tinggal satu kampung dengan Mubarak. Mereka selalu bersama tanpa mengenal
waktu, dari saat di sekolah, pulang sekolah, pergi mengaji, hingga tidur satu
bilik di dayah –pesantren tradisional di Aceh. Seusai subuh mereka baru pulang,
mandi, sarapan, dan berangkat sekolah bersama.

Pernah sekali waktu saat Mubarak
sakit di sekolah, Khalid-lah yang menggendongnya pulang yang jaraknya lebih
dari satu kilometer. Khalid bersikeras menggendong dan kadang menuntunnya
perlahan-lahan melangkah ketika pinggang dan kakinya pegal.

Khalid yang terbilang keluarga
berada tidak pernah membuat perhitungan dalam uang jajan. Hampir setiap hari
dia memberikan setengah uang jajannya untuk Mubarak. Apa pun bantuan yang
diberikan Khalid kepadanya bersifat tanpa pamrih, seolah-olah kebutuhan untuk
dirinya sendiri. Bahkan, Khalid rela melepaskan seorang gadis yang sama-sama
mereka cintai untuk Mubarak. Perihal inilah yang tidak bisa dipahami Mubarak
hingga sekarang.

Lain waktu, selepas pengajian,
Mubarak dan Khalid pernah mengikrarkan sumpah bahwa apa pun yang terjadi kelak
mereka akan tetap menjadi saudara yang tidak bisa dipisahkan. Mereka
membayangkan kelak ketika telah menikah akan membangun rumah saling
bersebelahan agar setiap hari mereka bisa saling mengunjungi dan terus bersama.

Namun, itu semua dulu, ketika
kedekatan mereka dipenuhi bayang-bayang harapan dan khayalan remaja labil yang
setiap hari banyak membahas tentang bagaimana cantiknya gadis-gadis yang hendak
mereka taklukkan. Dan ketika itu, sekitar lima belas tahun yang lalu, pemberontak
hampir lenyap dibantai pasukan khusus pemerintah dan dikubur di tempat-tempat
rahasia.

Tidak ada yang menyangka kalau
kemudian pejuang kemerdekaan bangkit merajalela kembali yang membuat pasukan
serdadu begitu sibuk dan berang. Pemberontak itu seperti rumput yang segera
tumbuh hijau subur saat hujan. Dan Mubarak adalah generasi masa kini yang
menuntut balas atas kekejaman pemerintah yang telah membantai
saudara-saudaranya.

Baca Juga :  Ongkowijoyo

Lantaran memilih jalan
perjuangan, sejak itulah hubungan Mubarak dan Khalid terputus tanpa jejak dan
tanpa bekas. Mubarak sibuk bersama pasukannya berkeliaran di pinggir hutan yang
sesekali turun mengintai dan menyerang markas dan tangsi serdadu, baik yang ada
di jalan raya maupun yang berada di kota-kota kecamatan dan kota kabupaten.

Pernah sekali dia turun
menyelinap ke rumah Khalid untuk mengajaknya serta berjuang. Namun, rumah
Khalid telah kosong dan dikabarkan pindah keluar Aceh. Orang tua Khalid yang
bekerja sebagai pedagang udang tiger tidak sanggup menghadapi rongrongan dan
kekerasan, baik yang berasal dari kelompok pejuang maupun serdadu pemerintah
yang menagih upeti liar dengan paksaan.

Begitu mendapati kenyataan bahwa
Khalid telah meninggalkan kampung halamannya, Mubarak sangat terpukul layaknya
orang yang mengalami patah hati. Dia masih mengingat sumpah, harapan, dan
bayangan-bayangan indah yang pernah mereka rencanakan dulu. Semua itu menjadi
kenangan yang tidak bisa dihapuskan dan Mubarak masih menaruh harapan. Kelak,
ketika tanah ini telah merdeka, mereka bisa mewujudkan mimpi indahnya.

*

Dengan menyamar sebagai petani,
Mubarak berhasil menyusup hingga ke kedai kopi di kampungnya tepat sore hari.
Tidak terlalu sulit karena tidak ada hambatan di jalan. Sejumlah petani yang
dijumpainya di ladang memberi tahu bahwa keadaan kampung aman-aman saja.
Belasan tentara yang sebelumnya menduduki kampung itu baru saja ditarik ke kota
setelah mereka menembak seorang pemuda yang dicurigai sebagai pemberontak, dan
baru kemudian diketahui kalau yang mereka bunuh itu ternyata orang gila.

”Mubarak,” sambut Khalid yang
langsung mengenalinya. ”Kau sangat tinggi dan sangat beda sekarang!”

”Khalid?” balas Mubarak
merentangkan tangannya. ”Kau tampak bersih dan necis. Heh, hidungmu mancung
sekali!”

Mereka pun berpelukan erat
layaknya sahabat karib yang melepaskan rindu berat. Lalu, mereka duduk saling
berhadapan di sebuah meja. Kedai kopi yang kini lebih luas dengan bangunan baru
itu tampak sepi sekali. Hanya ada empat pengunjung yang kemudian pamit setelah
menyalami Mubarak dan Khalid. Khalid tampak santai dan tenang, tetapi Mubarak
kelihatan gelisah.

”Apakah kau sendirian?” tanya
Mubarak kurang yakin.

”Tenanglah,” kata Khalid santai.
”Di sini aman-aman saja. Makanya aku pulang. Aku pulang hanya untuk menemuimu.
Kau pejuang yang sangat licin. Tidak ada pasukan tentara yang bisa mengendus
jejakmu.”

”Ah, kau melebih-lebihkan,” balas
Mubarak tersipu. ”Kau kerja di mana?” tanya Mubarak mengalihkan perhatian.

”Itulah yang jadi masalah,” jawab
Khalid seraya mengangkat tangannya seperti memberikan sebuah isyarat kepada
orang-orang yang bersembunyi di suatu tempat, yang sedari tadi siap-siap
menunggu perintah. ”Sama sepertimu, aku juga komandan!”

Tiba-tiba saja dari dalam dan
belakang kedai bermunculan belasan orang berpakaian preman lengkap dengan
senjata laras panjang yang langsung diacungkan ke arah Mubarak. Seketika wajah
Mubarak berubah sangat pucat dan tegang. Tubuhnya yang kurus dan dekil itu kaku
tidak bergerak. Namun, Khalid tampak sangat tenang dengan roman mukanya yang
tiada berubah sedikit pun.

”Bedanya,” lanjut Khalid
menyeringai, ”kau komandan pemberontak, sedangkan aku komandan dari pasukan
pemerintah!”

Khalid menggerakkan ujung
telunjuknya sebagai isyarat perintah yang sering digunakan komandan tentara
untuk meringkus pemberontak dan penjahat berbahaya. (*)

Aceh—Ponorogo, 5 November 2020

(ARAFAT NUR. Dosen bahasa dan
sastra di STKIP PGRI Ponorogo. Novel Lampuki meraih Kusala Sastra Khatulistiwa
2011 dan memenangi sayembara DKJ 2010. Buku kumpulan cerpen terbarunya, Serdadu
dari Neraka, sudah beredar luas)

Terpopuler

Artikel Terbaru