Dr. Geofakta Razali, Departemen Komunikasi dan Studi Urban Universitas Pembangunan Jaya
SAYA pernah berpikir bahwa sekolah dengan fasilitas mewah dan biaya mahal adalah jaminan mutlak terhadap pendidikan berkualitas tinggi dan lingkungan belajar yang aman. Namun, kisah yang terungkap dari Binus School Serpong telah menggoyahkan keyakinan tersebut.
Pada awal Februari, seorang siswa berusia 17 tahun mengalami perundungan yang tak hanya fisik tetapi juga psikologis, di sebuah tempat yang seharusnya menjadi simbol keamanan dan pertumbuhan. Kejadian memilukan ini tidak hanya membuka mata saya, tetapi juga mengajak kita semua untuk merenung lebih dalam tentang apa sebenarnya esensi pendidikan yang kita cari.
Dari sudut pandang filosofis, pendidikan tidak hanya seharusnya mengasah intelek, tetapi juga membentuk karakter. Plato, seorang filsuf Yunani kuno, mengajarkan bahwa pendidikan adalah tentang mencari kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam diri kita dan dunia di sekitar kita.
Kisah ini menantang kita untuk merefleksikan apakah sistem pendidikan kita telah menyimpang dari prinsip dasar ini, terutama di sekolah-sekolah yang dianggap sebagai simbol keunggulan akademik.
Dalam sejarah, banyak tokoh pendidikan seperti John Dewey telah menekankan pentingnya pendidikan yang berpusat pada pengembangan pribadi dan sosial siswa. Namun, apa yang terjadi di Binus School Serpong menunjukkan bahwa masih ada jalan panjang yang harus ditempuh dalam menerapkan ide-ide ini secara praktis. Ini mengingatkan kita bahwa tanpa fondasi etika yang kuat, pendidikan bisa kehilangan arahnya.
Membayangkan solusi untuk masalah ini memerlukan kreativitas dan keberanian. Kita bisa memulai dengan mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam setiap aspek belajar, memastikan bahwa setiap siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan tetapi juga belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Hal ini memerlukan komitmen dari seluruh komunitas sekolah, dari guru, staf, siswa, hingga orang tua, untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung, inklusif, dan aman.
Melalui pengalaman imajinatif, saya membayangkan sebuah sekolah yang berbeda. Sekolah ini tidak hanya fokus pada prestasi akademis semata, tetapi juga pada pembentukan karakter siswanya.
Di sini, pendidikan karakter bukan hanya tambahan kurikulum, tetapi jantung dari sistem pendidikan itu sendiri. Guru-guru di sekolah impian ini tidak hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga menjadi mentor yang menginspirasi siswa untuk berkembang menjadi individu yang memiliki keberanian moral dan empati.
Riset mendukung gagasan ini, menunjukkan bahwa sekolah dengan program pendidikan karakter yang kuat cenderung memiliki insiden perundungan yang lebih rendah dan lingkungan belajar yang lebih positif. Sebuah studi oleh Character Education Partnership di Amerika Serikat menemukan bahwa pendidikan karakter tidak hanya meningkatkan perilaku sosial siswa tetapi juga hasil akademik mereka.
Dengan demikian, solusi untuk menciptakan pendidikan yang lebih ramah dan inklusif terletak pada penerapan pendekatan holistik terhadap pembelajaran. Ini berarti melihat pendidikan sebagai proses yang tidak hanya menargetkan intelek siswa tetapi juga hati dan jiwa mereka. Sekolah harus menjadi tempat di mana siswa belajar tentang keberanian, keadilan, empati, dan bagaimana menjadi warga dunia yang bertanggung jawab.
Kisah yang terjadi di Binus School Serpong adalah pengingat yang menyedihkan bahwa pendidikan berkualitas bukan hanya tentang fasilitas mewah atau biaya mahal. Melainkan, kualitas pendidikan sejati diukur dari seberapa baik kita mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia dengan hati yang penuh kasih dan pikiran yang terbuka.
Ini adalah tantangan yang membutuhkan kita semua untuk berpikir kritis, bertindak dengan kasih, dan terus menerus berusaha untuk pendidikan yang lebih baik dan lebih ramah bagi semua.
Dalam perjalanan menelaah kasus ini, saya diajak untuk meninjau ulang filosofi pendidikan yang selama ini kita pegang. Pendidikan, sejatinya, bukan hanya tentang akumulasi pengetahuan akademik, melainkan juga tentang pembentukan karakter yang kuat, empati, dan keberanian moral.
Ironisnya, kisah dari sekolah yang dipandang sebagai benteng pendidikan berkualitas tinggi ini menunjukkan bahwa kita mungkin telah menyimpang jauh dari tujuan pendidikan yang sebenarnya.(jpc)