33.1 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Guru Merdeka dalam Kurikulum Merdeka

MERDEKA memiliki makna bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya). Kebebasan itu lebih baik. Daripada berada dalam ketenangan semu. Yang mengantar saya dalam kehancuran. Secara perlahan, hingga akhir hayatku nanti.Mati karena kebebasan. Jauh lebih mulia. Bertahan melawan musuh kebebasan. Jauh lebih baik daripada melarikan diri.

Begitu bunyi puisi karya petinju legendaris, Muhammad Ali yang berjudul Freedom-Better Now yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai Kebebasan, di dalam buku berjudul “Muhammad Ali Sang Juara” yang diterbitkan oleh Rose Group tahun 1997.

Makna kemerdekaan dalam pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu berdiri tegak karena kekuatan sendiri, tidak hidup terperintah dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka belajar sendiri memiliki makna yaitu belajar perlu melibatkan siswa dalam menentukan tujuan, memberi pilihan cara dan melakukan refleksi terhadap proses dan hasil belajar siswa. Kendali belajar sejatinya bukan lagi pada guru tetapi pada siswa itu sendiri. Belajar itu milik siswa dan guru sepatutnya melibatkan siswa dalam mengatur proses belajar.

Ki Hajar Dewantara juga menyampaikan tujuan pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidikan dalam kurikulum merdeka tak lagi berfokus pada sejauh apa siswa menguasai materi akademis, namun bagaimana siswa terdorong untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang bisa menghargai dan menyukai proses belajar.

Belajar juga tidak lagi dinilai oleh besarnya angka, namun berdasarkan karya-karya bermakna yang dihasilkan oleh siswa. Guru hari ini adalah guru merdeka belajar yaitu guru yang dialogis dalam memberikan kemerdekaan pada siswa untuk belajar atau merdeka belajar.

Kurikulum merdeka meniadakan kriteria ketuntasan minimal (KKM). Ketuntasan hasil belajar tidak lagi diukur dengan KKM yang berbentuk nilai kuantitatif. Kriteria untuk menentukan kelayakan siswa untuk melanjutkan ke jenjang atau kelas berikutnya adalah keputusan guru dan satuan pendidikan. Guru merdeka diberikan keleluasaan menentukan kriteria ketercapaian pembelajaran sesuai tujuan belajar sebagai pengganti KKM, maka guru dapat menentukan capaian belajar siswa dengan menyelenggarakan identifikasi ketercapaian tujuan belajar dan pengukuran ketercapaian pembelajaran dilakukan melalui berbagai asesmen formatif.

Baca Juga :  Literasi Haji Lintas Zaman

Siswa hari ini tidak lagi dituntun untuk siap menghadapi ujian sekolah tetapi diarahkan agar siap menghadapi kehidupan. Pola ketercapaian pembelajaran tidak lagi diukur dari nilai berbentuk angka tetapi dari kompetensi siswa dan siswa dituntun untuk tidak sekadar memiliki kepatuhan tetapi yang terpenting adalah siswa diarahkan agar memiliki kemandirian.

Kayla Scheer dalam presentasinya di TEDX Talk mengatakan, “Don’t give students an education, make them want to take it.” yaitu jangan memberikan siswa sebuah pendidikan, tetapi buatlah mereka ingin mengambil pendidikan itu sendiri. Siswa yang merdeka belajar akan cenderung memiliki tingkat prokrastinasi akademik yang rendah.

Zimmerman (2000) menjelaskan salah satu komponen yang bisa menumbuhkan self-regulated learning adalah efikasi diri dan motivasi intrinsik (dalam diri siswa). Sementara itu guru berperan sebagai “pamong” dalam memberi tuntunan dan arahan agar siswa tidak kehilangan arah yang membahayakan dirinya. Guru bertugas menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada siswa.

Guru pada abad ke-21 bukan lagi guru yang ahli mengajar tetapi guru yang ahli pembelajaran. Zaman dahulu siswa selalu duduk manis di kelas menghadap guru dan melihat papan tulis atau memegang buku. Pola pendidikan yang seperti itu telah dimuseumkan di negara-negara maju. Kehidupan abad ke-21 sudah semakin luas dan terbuka dan manusia abad ke-21 telah hidup di dalam dunia yang tanpa batas (Tilaar: 2012).

Siswa merdeka dalam mengakses sumber-sumber pengetahuan yang selama ini harus didistribusikan atau didiseminasikan oleh guru di kelas karena guru hari ini  bukan lagi seorang infomediary. Guru lebih berfungsi sebagai adalah seorang fasilitator, pelatih (coach) yang dapat menyelenggarakan coaching kepada siswa dan sesama guru serta menjadi pendamping para siswa yang sedang mengalami proses pembelajaran. Misalnya guru hari ini dapat bertanya kepada siswa besok mau membuat apa bukan bertanya mau menjadi apa. Dengan begitu siswa terlatih keterampilan metakognisi yaitu for learning to learn, selanjutnya siswa dapat diberikan feedback mengenai hasil yang mereka kerjakan. Tugas yang diberikan kepada siswa tidak “dipukul rata”, tetapi disesuaikan dengan minat siswa. Siswa dapat mempelajari apa yang mereka sukai sekaligus akan menjadi bekal awal bagi siswa untuk memupuk minat dan bakat sejak dini.

Baca Juga :  Sensasi Mengejar Prestasi

Pendampingan terhadap siswa yang dilakukan guru dalam mengembangkan skill esensial dan pembelajaran berdiferensiasi adalah upaya untuk menghadapi perkembangan dunia kekinian. Tentu operasionalisasi pendidikan perlu didasarkan pada konstitusi, situasi, realitas, kebutuhan siswa serta kebutuhan bangsa dan negara. Pembelajaran yang dialogis seperti dalam bentuk pendidikan inklusif atau penerapan pembelajaran berdiferensiasi sangat  responsif terhadap adanya keberagaman karakteristik dan kebutuhan siswa serta kebutuhan masyarakat atau bangsa.

Keberhasilan siswa tidak lepas dari peran guru merdeka belajar yang selalu melakukan pengembangan pada beberapa kunci pengembangan seperti kemerdekaan yang dibuktikan dengan upaya pengembangan diri dan aktif melakukan refleksi belajar. Guru merdeka belajar juga melakukan pengembangan pada aspek kompetensi seperti menghadapi tantangan penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Berikutnya, kunci pengembangan pada aspek kolaborasi dapat dilakukan guru merdeka belajar melalui keaktifan dalam komunitas praktisi dan produktifitas dalam berkarya atau menyelesaikan proyek bersama. Last but not least, kunci pengembangan guru merdeka belajar yang lain adalah dalam karier demi mengembangkan potensi dan aspirasinya seperti dengan mempublikasikan praktik baik (best practice) dan lain sebagainya.

Sebelum mencapai generasi emas 2045, guru hari ini perlu mempersiapkan siswa agar menjadi generasi yang berkualitas pada 2030 dengan capaian merdeka belajar terwujud Profil Pelajar Pancasila. Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut guru merdeka belajar hari ini perlu menerapkan konsep: pertama, komitmen pada tujuan yaitu guru dapat membantu siswa menemukan tujuan dan target belajar yang ingin dicapai. Kedua, mandiri pada cara, yaitu guru dapat membantu siswa menemukan cara mengatasi kesulitan belajarnya dan ketiga, refleksi berkala, yaitu guru dapat membantu siswa melakukan asesmen terhadap capaian belajarnya.(*)

(Penulis: YOGYANTORO. Pendidik di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah)

MERDEKA memiliki makna bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya). Kebebasan itu lebih baik. Daripada berada dalam ketenangan semu. Yang mengantar saya dalam kehancuran. Secara perlahan, hingga akhir hayatku nanti.Mati karena kebebasan. Jauh lebih mulia. Bertahan melawan musuh kebebasan. Jauh lebih baik daripada melarikan diri.

Begitu bunyi puisi karya petinju legendaris, Muhammad Ali yang berjudul Freedom-Better Now yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai Kebebasan, di dalam buku berjudul “Muhammad Ali Sang Juara” yang diterbitkan oleh Rose Group tahun 1997.

Makna kemerdekaan dalam pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu berdiri tegak karena kekuatan sendiri, tidak hidup terperintah dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka belajar sendiri memiliki makna yaitu belajar perlu melibatkan siswa dalam menentukan tujuan, memberi pilihan cara dan melakukan refleksi terhadap proses dan hasil belajar siswa. Kendali belajar sejatinya bukan lagi pada guru tetapi pada siswa itu sendiri. Belajar itu milik siswa dan guru sepatutnya melibatkan siswa dalam mengatur proses belajar.

Ki Hajar Dewantara juga menyampaikan tujuan pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidikan dalam kurikulum merdeka tak lagi berfokus pada sejauh apa siswa menguasai materi akademis, namun bagaimana siswa terdorong untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang bisa menghargai dan menyukai proses belajar.

Belajar juga tidak lagi dinilai oleh besarnya angka, namun berdasarkan karya-karya bermakna yang dihasilkan oleh siswa. Guru hari ini adalah guru merdeka belajar yaitu guru yang dialogis dalam memberikan kemerdekaan pada siswa untuk belajar atau merdeka belajar.

Kurikulum merdeka meniadakan kriteria ketuntasan minimal (KKM). Ketuntasan hasil belajar tidak lagi diukur dengan KKM yang berbentuk nilai kuantitatif. Kriteria untuk menentukan kelayakan siswa untuk melanjutkan ke jenjang atau kelas berikutnya adalah keputusan guru dan satuan pendidikan. Guru merdeka diberikan keleluasaan menentukan kriteria ketercapaian pembelajaran sesuai tujuan belajar sebagai pengganti KKM, maka guru dapat menentukan capaian belajar siswa dengan menyelenggarakan identifikasi ketercapaian tujuan belajar dan pengukuran ketercapaian pembelajaran dilakukan melalui berbagai asesmen formatif.

Baca Juga :  Literasi Haji Lintas Zaman

Siswa hari ini tidak lagi dituntun untuk siap menghadapi ujian sekolah tetapi diarahkan agar siap menghadapi kehidupan. Pola ketercapaian pembelajaran tidak lagi diukur dari nilai berbentuk angka tetapi dari kompetensi siswa dan siswa dituntun untuk tidak sekadar memiliki kepatuhan tetapi yang terpenting adalah siswa diarahkan agar memiliki kemandirian.

Kayla Scheer dalam presentasinya di TEDX Talk mengatakan, “Don’t give students an education, make them want to take it.” yaitu jangan memberikan siswa sebuah pendidikan, tetapi buatlah mereka ingin mengambil pendidikan itu sendiri. Siswa yang merdeka belajar akan cenderung memiliki tingkat prokrastinasi akademik yang rendah.

Zimmerman (2000) menjelaskan salah satu komponen yang bisa menumbuhkan self-regulated learning adalah efikasi diri dan motivasi intrinsik (dalam diri siswa). Sementara itu guru berperan sebagai “pamong” dalam memberi tuntunan dan arahan agar siswa tidak kehilangan arah yang membahayakan dirinya. Guru bertugas menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada siswa.

Guru pada abad ke-21 bukan lagi guru yang ahli mengajar tetapi guru yang ahli pembelajaran. Zaman dahulu siswa selalu duduk manis di kelas menghadap guru dan melihat papan tulis atau memegang buku. Pola pendidikan yang seperti itu telah dimuseumkan di negara-negara maju. Kehidupan abad ke-21 sudah semakin luas dan terbuka dan manusia abad ke-21 telah hidup di dalam dunia yang tanpa batas (Tilaar: 2012).

Siswa merdeka dalam mengakses sumber-sumber pengetahuan yang selama ini harus didistribusikan atau didiseminasikan oleh guru di kelas karena guru hari ini  bukan lagi seorang infomediary. Guru lebih berfungsi sebagai adalah seorang fasilitator, pelatih (coach) yang dapat menyelenggarakan coaching kepada siswa dan sesama guru serta menjadi pendamping para siswa yang sedang mengalami proses pembelajaran. Misalnya guru hari ini dapat bertanya kepada siswa besok mau membuat apa bukan bertanya mau menjadi apa. Dengan begitu siswa terlatih keterampilan metakognisi yaitu for learning to learn, selanjutnya siswa dapat diberikan feedback mengenai hasil yang mereka kerjakan. Tugas yang diberikan kepada siswa tidak “dipukul rata”, tetapi disesuaikan dengan minat siswa. Siswa dapat mempelajari apa yang mereka sukai sekaligus akan menjadi bekal awal bagi siswa untuk memupuk minat dan bakat sejak dini.

Baca Juga :  Sensasi Mengejar Prestasi

Pendampingan terhadap siswa yang dilakukan guru dalam mengembangkan skill esensial dan pembelajaran berdiferensiasi adalah upaya untuk menghadapi perkembangan dunia kekinian. Tentu operasionalisasi pendidikan perlu didasarkan pada konstitusi, situasi, realitas, kebutuhan siswa serta kebutuhan bangsa dan negara. Pembelajaran yang dialogis seperti dalam bentuk pendidikan inklusif atau penerapan pembelajaran berdiferensiasi sangat  responsif terhadap adanya keberagaman karakteristik dan kebutuhan siswa serta kebutuhan masyarakat atau bangsa.

Keberhasilan siswa tidak lepas dari peran guru merdeka belajar yang selalu melakukan pengembangan pada beberapa kunci pengembangan seperti kemerdekaan yang dibuktikan dengan upaya pengembangan diri dan aktif melakukan refleksi belajar. Guru merdeka belajar juga melakukan pengembangan pada aspek kompetensi seperti menghadapi tantangan penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Berikutnya, kunci pengembangan pada aspek kolaborasi dapat dilakukan guru merdeka belajar melalui keaktifan dalam komunitas praktisi dan produktifitas dalam berkarya atau menyelesaikan proyek bersama. Last but not least, kunci pengembangan guru merdeka belajar yang lain adalah dalam karier demi mengembangkan potensi dan aspirasinya seperti dengan mempublikasikan praktik baik (best practice) dan lain sebagainya.

Sebelum mencapai generasi emas 2045, guru hari ini perlu mempersiapkan siswa agar menjadi generasi yang berkualitas pada 2030 dengan capaian merdeka belajar terwujud Profil Pelajar Pancasila. Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut guru merdeka belajar hari ini perlu menerapkan konsep: pertama, komitmen pada tujuan yaitu guru dapat membantu siswa menemukan tujuan dan target belajar yang ingin dicapai. Kedua, mandiri pada cara, yaitu guru dapat membantu siswa menemukan cara mengatasi kesulitan belajarnya dan ketiga, refleksi berkala, yaitu guru dapat membantu siswa melakukan asesmen terhadap capaian belajarnya.(*)

(Penulis: YOGYANTORO. Pendidik di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah)

Terpopuler

Artikel Terbaru