30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sensasi Mengejar Prestasi

SORAK-SORAI terdengar dari warung kopi di kampung padat penduduk. Anak-anak kampung itu begitu gembira setelah mendengar dari salah satu kanal televisi bahwa tim nasional Argentina memastikan hadir di Jakarta. Walaupun hampir pasti mereka tak mungkin nonton langsung laga itu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Bahkan, mimpi nonton langsung saja –meski di bangku kategori 3– mungkin mereka tak berani.

Salah-salah mereka bisa disidang Pak RT sepulang dari Jakarta. Sebab, anak-anak itu umumnya berasal dari keluarga yang terdaftar sebagai penerima BPNT (bantuan pangan nontunai) yang dulu diberikan dalam bentuk sembako dari pemerintah. Nah, harga tiket paling murah untuk nonton timnas Argentina itu Rp 600 ribu. Rupiah segitu sama dengan subsidi pemerintah yang diberikan sekali untuk tiga bulan.

Dalam persepsi Pak RT, mungkin anak-anak kampung itu belum –atau tidak– termasuk kategori penggemar bola yang bisa nonton langsung laga tersebut. Jadi, jangan salah menggunakan uang subsidi.

Sebetulnya, anak-anak kampung itu juga tahu diri. Meski punya keinginan nonton langsung, mereka sudah sangat piawai menahan diri. Kondisi mereka sehari-hari memaksa harus mampu menahan banyak keinginan. Bahkan, untuk hal paling sederhana.

Namun, kabar kehadiran tim Argentina itu cukup menggembirakan bagi mereka. Sangat mungkin kegembiraan itu juga dirasakan anak-anak kampung lain yang nasibnya tidak beda dengan anak-anak di kampung padat tersebut.

Mungkin itu merupakan salah satu keberhasilan Ketua Umum PSSI Erick Thohir dalam menciptakan sensasi untuk mengejar prestasi. Kehadiran timnas Argentina pada laga 19 Juni lalu itu memicu keinginan masyarakat bola tanah air untuk mengetahui lebih dalam upaya-upaya pengurus PSSI dalam memajukan persepakbolaan nasional. Sebagian awam bahkan ada yang kelewat bangga.

Baca Juga :  Wayang Kathy

Tampil dalam pertandingan persahabatan yang masuk dalam agenda resmi FIFA itu dinilai sebagai pertanda bahwa timnas Indonesia mulai masuk pusaran sepak bola elite dunia. Padahal, timnas Indonesia baru mampu menjuarai SEA Games 2023. Tampaknya keberhasilan setelah paceklik juara selama 32 tahun (SEA Games) membuat orang banyak berharap dan mengumbar angan.

Positifnya, masyarakat bola menilai upaya PSSI dalam menata persepakbolaan berada di jalan yang benar.

Laga FIFA Matchday, meski gagal menaikkan peringkat –posisinya malah turun–, membuat Indonesia mendapat pengalaman bertanding menghadapi tim peringkat satu dunia.

Selain itu, FIFA Matchday tersebut bisa diibaratkan membuka jendela agar masyarakat bola internasional lebih mengenal potensi sepak bola Indonesia. Potensi timnas Indonesia mungkin sudah banyak yang tahu karena meski kurang mengesankan, mereka cukup sering bermain di kancah internasional. Setidaknya di tingkat ASEAN dan Asia.

Laga menghadapi Argentina dan Palestina bisa jadi ajang pamer potensi penonton dan fasilitas lain semisal ketersediaan stadion, hotel, dan destinasi-destinasi wisata.

Stadion yang dijubeli penonton dengan antusiasme tinggi tentu menjadi pertimbangan bagi perusahaan-perusahaan global untuk berinvestasi di Indonesia, di klub-klub liga atau di stadion-stadion. Kehadiran investor global sangat diharapkan mampu mendongkrak gairah klub-klub liga dan asosiasi-asosiasi terkait menuju industri sepak bola yang sehat.

Baca Juga :  Partisipasi Politik dan Digitalisasi Pemilu di Indonesia

Tapi, yang paling penting dalam usaha memajukan sepak bola adalah menggarap substansinya, yaitu prestasi. Tim harus bisa mencetak gol dan menang. Dalam dua kali FIFA Matchday, anak didik Shin Tae-yong itu sama sekali tak bikin gol. Skor 0-0 dengan Palestina dan kalah 0-2 oleh Argentina.

Kalah oleh Argentina sangat wajar. Tapi, bermain bagus adalah bisa mencetak gol. Tak perlu banyak dipuji macam-macam jika tak bisa bikin gol. Sebab, tanpa bikin gol, pada dasarnya pemain hanya lari-lari.

Jika pelatih atau siapa saja yang mengatakan, “Pemain Indonesia bermain bagus ketika menghadapi Argentina, hanya sayang tak bisa bikin gol.” Itu sungguh sebuah basa-basi yang sangat tidak perlu.

Pelatih tentu sudah menurunkan ilmunya kepada pemain dalam melakukan tendangan terukur, tendangan sesuai target lengkap dengan segala triknya, dan jalan keluar mengatasi situasi buntu. Dengan demikian, pemain tak akan melakukan serangan asal-asalan dan melakukan tendangan spekulasi.

Sangat mungkin Erick Thohir akan melanjutkan sensasinya dengan mengundang tim-tim elite dunia. Semoga hari-hari mendatang timnas lebih berkembang dan bisa menjadi tim kebanggaan bangsa. (*)

 

*) Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos 2007–2008

SORAK-SORAI terdengar dari warung kopi di kampung padat penduduk. Anak-anak kampung itu begitu gembira setelah mendengar dari salah satu kanal televisi bahwa tim nasional Argentina memastikan hadir di Jakarta. Walaupun hampir pasti mereka tak mungkin nonton langsung laga itu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Bahkan, mimpi nonton langsung saja –meski di bangku kategori 3– mungkin mereka tak berani.

Salah-salah mereka bisa disidang Pak RT sepulang dari Jakarta. Sebab, anak-anak itu umumnya berasal dari keluarga yang terdaftar sebagai penerima BPNT (bantuan pangan nontunai) yang dulu diberikan dalam bentuk sembako dari pemerintah. Nah, harga tiket paling murah untuk nonton timnas Argentina itu Rp 600 ribu. Rupiah segitu sama dengan subsidi pemerintah yang diberikan sekali untuk tiga bulan.

Dalam persepsi Pak RT, mungkin anak-anak kampung itu belum –atau tidak– termasuk kategori penggemar bola yang bisa nonton langsung laga tersebut. Jadi, jangan salah menggunakan uang subsidi.

Sebetulnya, anak-anak kampung itu juga tahu diri. Meski punya keinginan nonton langsung, mereka sudah sangat piawai menahan diri. Kondisi mereka sehari-hari memaksa harus mampu menahan banyak keinginan. Bahkan, untuk hal paling sederhana.

Namun, kabar kehadiran tim Argentina itu cukup menggembirakan bagi mereka. Sangat mungkin kegembiraan itu juga dirasakan anak-anak kampung lain yang nasibnya tidak beda dengan anak-anak di kampung padat tersebut.

Mungkin itu merupakan salah satu keberhasilan Ketua Umum PSSI Erick Thohir dalam menciptakan sensasi untuk mengejar prestasi. Kehadiran timnas Argentina pada laga 19 Juni lalu itu memicu keinginan masyarakat bola tanah air untuk mengetahui lebih dalam upaya-upaya pengurus PSSI dalam memajukan persepakbolaan nasional. Sebagian awam bahkan ada yang kelewat bangga.

Baca Juga :  Wayang Kathy

Tampil dalam pertandingan persahabatan yang masuk dalam agenda resmi FIFA itu dinilai sebagai pertanda bahwa timnas Indonesia mulai masuk pusaran sepak bola elite dunia. Padahal, timnas Indonesia baru mampu menjuarai SEA Games 2023. Tampaknya keberhasilan setelah paceklik juara selama 32 tahun (SEA Games) membuat orang banyak berharap dan mengumbar angan.

Positifnya, masyarakat bola menilai upaya PSSI dalam menata persepakbolaan berada di jalan yang benar.

Laga FIFA Matchday, meski gagal menaikkan peringkat –posisinya malah turun–, membuat Indonesia mendapat pengalaman bertanding menghadapi tim peringkat satu dunia.

Selain itu, FIFA Matchday tersebut bisa diibaratkan membuka jendela agar masyarakat bola internasional lebih mengenal potensi sepak bola Indonesia. Potensi timnas Indonesia mungkin sudah banyak yang tahu karena meski kurang mengesankan, mereka cukup sering bermain di kancah internasional. Setidaknya di tingkat ASEAN dan Asia.

Laga menghadapi Argentina dan Palestina bisa jadi ajang pamer potensi penonton dan fasilitas lain semisal ketersediaan stadion, hotel, dan destinasi-destinasi wisata.

Stadion yang dijubeli penonton dengan antusiasme tinggi tentu menjadi pertimbangan bagi perusahaan-perusahaan global untuk berinvestasi di Indonesia, di klub-klub liga atau di stadion-stadion. Kehadiran investor global sangat diharapkan mampu mendongkrak gairah klub-klub liga dan asosiasi-asosiasi terkait menuju industri sepak bola yang sehat.

Baca Juga :  Partisipasi Politik dan Digitalisasi Pemilu di Indonesia

Tapi, yang paling penting dalam usaha memajukan sepak bola adalah menggarap substansinya, yaitu prestasi. Tim harus bisa mencetak gol dan menang. Dalam dua kali FIFA Matchday, anak didik Shin Tae-yong itu sama sekali tak bikin gol. Skor 0-0 dengan Palestina dan kalah 0-2 oleh Argentina.

Kalah oleh Argentina sangat wajar. Tapi, bermain bagus adalah bisa mencetak gol. Tak perlu banyak dipuji macam-macam jika tak bisa bikin gol. Sebab, tanpa bikin gol, pada dasarnya pemain hanya lari-lari.

Jika pelatih atau siapa saja yang mengatakan, “Pemain Indonesia bermain bagus ketika menghadapi Argentina, hanya sayang tak bisa bikin gol.” Itu sungguh sebuah basa-basi yang sangat tidak perlu.

Pelatih tentu sudah menurunkan ilmunya kepada pemain dalam melakukan tendangan terukur, tendangan sesuai target lengkap dengan segala triknya, dan jalan keluar mengatasi situasi buntu. Dengan demikian, pemain tak akan melakukan serangan asal-asalan dan melakukan tendangan spekulasi.

Sangat mungkin Erick Thohir akan melanjutkan sensasinya dengan mengundang tim-tim elite dunia. Semoga hari-hari mendatang timnas lebih berkembang dan bisa menjadi tim kebanggaan bangsa. (*)

 

*) Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos 2007–2008

Terpopuler

Artikel Terbaru