26.7 C
Jakarta
Friday, December 6, 2024

Legasi Jokowi

Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke kediaman Joko Widodo (Jokowi) di Solo (3/11) menandai fase penting peralihan kepemimpinan dari Jokowi ke Probowo. Terlebih, pertemuan itu terjadi kala sejumlah media dan pengamat menilai bahwa pasca dilantiknya Prabowo, Jokowi akan ’’ditinggal’’.

Pertemuan Prabowo-Jokowi tersebut menunjukkan dinamika yang tak lazim dalam transisi kepemimpinan politik di Indonesia. Kendati, tesis Barbara Geddes dalam Paradigms and Sand Castles (2003) memang sudah mengamini: para pemimpin akan berusaha membangun aliansi yang dapat melindungi kekuasaan mereka, bahkan setelah mereka tidak lagi berkuasa.

Fenomena itu tak lazim dalam konteks Indonesia. Sebab, menurut data sejarah dan peristiwa politik masa lalu, belum pernah ada presiden yang mampu memastikan bahwa penerusnya adalah orang yang sesuai dengan pilihan politiknya. Lebih-lebih, menjaga keberlanjutan agar penerusnya sejalan dengan visi dan program yang sebelumnya telah ia jalankan.

Dinamika

Presiden pertama Soekarno (1945–1967) dilengserkan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Soeharto (1967–1998) setelah 32 tahun berkuasa mundur akibat tekanan reformasi dan krisis ekonomi. B.J. Habibie (1998–1999) setelah hanya menjabat selama 1,5 tahun tidak mencalonkan diri dalam pemilu berikutnya. Pun tidak berperan dalam menentukan penerusnya.

Selanjutnya, Abdurrahman Wahid (1999–2001) dilengserkan MPR melalui Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri (2001–2004) kalah dalam Pilpres 2004 dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara itu, SBY (2004–2014) yang kala itu memimpin Partai Demokrat mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014, yang akhirnya kalah oleh Jokowi-Jusuf Kalla.

Baca Juga :  Muktamar Bahagia

Berbeda dengan para pendahulunya, Jokowi (2014–2024), yang secara terbuka mendukung pasangan Prabowo-Gibran, menjadi presiden pertama yang berhasil memastikan penerusnya sesuai dengan keinginannya. Lebih-lebih, wakil Prabowo, Gibran Rakabuming Raka, adalah anak kandung Jokowi.

Dari sisi stabilitas politik dan keberlanjutan kebijakan nasional, legasi Jokowi tersebut menjadi penanda positif. Ini adalah dinamika baru dalam fenomena perpolitikan nasional, yang belum bisa diprediksi apakah bisa berlanjut di peralihan kepemimpinan berikutnya atau tidak.

Namun, situasi ini juga tak sedikit memberikan dampak negatif, terutama potensi kemunduran demokrasi dan dominasi elite politik.

Keberhasilan Jokowi dalam menentukan penerus bisa menimbulkan kesan bahwa proses demokrasi semakin terkendali oleh kekuatan elite. Keterlibatan intensif dalam menentukan penerus bisa dipersepsikan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu yang bisa membatasi variasi pemimpin dan ide dalam sistem politik Indonesia.

Hal tersebut juga berpotensi menghambat kritik serta oposisi. Dengan penerus yang disiapkan, risiko minimnya ruang bagi oposisi politik dan kritik meningkat. Jika pemerintah terkesan hanya memperkuat pengaruh satu kubu, masyarakat mungkin akan terbatas dalam menyuarakan pandangan yang berbeda sehingga berpotensi mengurangi dinamika demokrasi.

Persona Jokowi

Namun, harus diakui, legasi Jokowi ini tidak terjadi begitu saja. Itu merupakan perpaduan antara persona, gaya politik, dan kebijakan strategis Jokowi selama dia memimpin. Salah satu ciri yang menarik adalah anomali persona dan gaya politik Jokowi. Dengan persona yang kalem, sederhana, dan merakyat, dia bisa menampilkan gaya berpolitik yang kontras: tega dan pragmatis, bahkan terkesan kasar.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Berencana Lakukan Kunker ke Kalteng Besok

Uniknya, gaya berpolitik itu, sekalipun menuai banyak kritik, tetap membuatnya menjadi sosok yang disukai masyarakat. Berdasar survei LSI Denny J.A. yang dirilis pada medio Oktober 2024, sebanyak 80,8 persen responden mengaku puas atas kinerja Jokowi selama menjadi presiden.

Sekalipun persona dan gaya berpolitik Jokowi kontras, sisi itulah yang membuatnya memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat bawah maupun kalangan elite. Personanya yang apa adanya dan low-profile sangat disukai masyarakat bawah, sementara gaya berpolitiknya yang pragmatis membuatnya memiliki pengaruh kuat di lingkaran elite politik. Mungkin, memang itulah cara Jokowi menancapkan legasinya.

Di sisi lain, gaya berpolitiknya yang pragmatis tampak pada strateginya dalam membangun koalisi besar dan menaklukkan hati lawan politik. Yang paling fenomenal tentu saja ketika ia merangkul mantan rivalnya pada 2019, Prabowo, untuk masuk dalam kabinetnya.

Apa pun itu, legasi Jokowi telah menampilkan ciri yang tak biasa dalam wajah perpolitikan Indonesia. Apakah legasi itu akan berdampak positif bagi keberlanjutan pembangunan bangsa sebagai peta jalan menuju Indonesia emas atau justru meruntuhkan fondasi demokrasi kita, patut kita tunggu. (*)

*) SUBHAN SETOWARA, Dosen FISIP UMM, direktur eksekutif RBC Institute A. Malik Fadja

Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke kediaman Joko Widodo (Jokowi) di Solo (3/11) menandai fase penting peralihan kepemimpinan dari Jokowi ke Probowo. Terlebih, pertemuan itu terjadi kala sejumlah media dan pengamat menilai bahwa pasca dilantiknya Prabowo, Jokowi akan ’’ditinggal’’.

Pertemuan Prabowo-Jokowi tersebut menunjukkan dinamika yang tak lazim dalam transisi kepemimpinan politik di Indonesia. Kendati, tesis Barbara Geddes dalam Paradigms and Sand Castles (2003) memang sudah mengamini: para pemimpin akan berusaha membangun aliansi yang dapat melindungi kekuasaan mereka, bahkan setelah mereka tidak lagi berkuasa.

Fenomena itu tak lazim dalam konteks Indonesia. Sebab, menurut data sejarah dan peristiwa politik masa lalu, belum pernah ada presiden yang mampu memastikan bahwa penerusnya adalah orang yang sesuai dengan pilihan politiknya. Lebih-lebih, menjaga keberlanjutan agar penerusnya sejalan dengan visi dan program yang sebelumnya telah ia jalankan.

Dinamika

Presiden pertama Soekarno (1945–1967) dilengserkan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Soeharto (1967–1998) setelah 32 tahun berkuasa mundur akibat tekanan reformasi dan krisis ekonomi. B.J. Habibie (1998–1999) setelah hanya menjabat selama 1,5 tahun tidak mencalonkan diri dalam pemilu berikutnya. Pun tidak berperan dalam menentukan penerusnya.

Selanjutnya, Abdurrahman Wahid (1999–2001) dilengserkan MPR melalui Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri (2001–2004) kalah dalam Pilpres 2004 dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara itu, SBY (2004–2014) yang kala itu memimpin Partai Demokrat mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014, yang akhirnya kalah oleh Jokowi-Jusuf Kalla.

Baca Juga :  Muktamar Bahagia

Berbeda dengan para pendahulunya, Jokowi (2014–2024), yang secara terbuka mendukung pasangan Prabowo-Gibran, menjadi presiden pertama yang berhasil memastikan penerusnya sesuai dengan keinginannya. Lebih-lebih, wakil Prabowo, Gibran Rakabuming Raka, adalah anak kandung Jokowi.

Dari sisi stabilitas politik dan keberlanjutan kebijakan nasional, legasi Jokowi tersebut menjadi penanda positif. Ini adalah dinamika baru dalam fenomena perpolitikan nasional, yang belum bisa diprediksi apakah bisa berlanjut di peralihan kepemimpinan berikutnya atau tidak.

Namun, situasi ini juga tak sedikit memberikan dampak negatif, terutama potensi kemunduran demokrasi dan dominasi elite politik.

Keberhasilan Jokowi dalam menentukan penerus bisa menimbulkan kesan bahwa proses demokrasi semakin terkendali oleh kekuatan elite. Keterlibatan intensif dalam menentukan penerus bisa dipersepsikan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu yang bisa membatasi variasi pemimpin dan ide dalam sistem politik Indonesia.

Hal tersebut juga berpotensi menghambat kritik serta oposisi. Dengan penerus yang disiapkan, risiko minimnya ruang bagi oposisi politik dan kritik meningkat. Jika pemerintah terkesan hanya memperkuat pengaruh satu kubu, masyarakat mungkin akan terbatas dalam menyuarakan pandangan yang berbeda sehingga berpotensi mengurangi dinamika demokrasi.

Persona Jokowi

Namun, harus diakui, legasi Jokowi ini tidak terjadi begitu saja. Itu merupakan perpaduan antara persona, gaya politik, dan kebijakan strategis Jokowi selama dia memimpin. Salah satu ciri yang menarik adalah anomali persona dan gaya politik Jokowi. Dengan persona yang kalem, sederhana, dan merakyat, dia bisa menampilkan gaya berpolitik yang kontras: tega dan pragmatis, bahkan terkesan kasar.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Berencana Lakukan Kunker ke Kalteng Besok

Uniknya, gaya berpolitik itu, sekalipun menuai banyak kritik, tetap membuatnya menjadi sosok yang disukai masyarakat. Berdasar survei LSI Denny J.A. yang dirilis pada medio Oktober 2024, sebanyak 80,8 persen responden mengaku puas atas kinerja Jokowi selama menjadi presiden.

Sekalipun persona dan gaya berpolitik Jokowi kontras, sisi itulah yang membuatnya memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat bawah maupun kalangan elite. Personanya yang apa adanya dan low-profile sangat disukai masyarakat bawah, sementara gaya berpolitiknya yang pragmatis membuatnya memiliki pengaruh kuat di lingkaran elite politik. Mungkin, memang itulah cara Jokowi menancapkan legasinya.

Di sisi lain, gaya berpolitiknya yang pragmatis tampak pada strateginya dalam membangun koalisi besar dan menaklukkan hati lawan politik. Yang paling fenomenal tentu saja ketika ia merangkul mantan rivalnya pada 2019, Prabowo, untuk masuk dalam kabinetnya.

Apa pun itu, legasi Jokowi telah menampilkan ciri yang tak biasa dalam wajah perpolitikan Indonesia. Apakah legasi itu akan berdampak positif bagi keberlanjutan pembangunan bangsa sebagai peta jalan menuju Indonesia emas atau justru meruntuhkan fondasi demokrasi kita, patut kita tunggu. (*)

*) SUBHAN SETOWARA, Dosen FISIP UMM, direktur eksekutif RBC Institute A. Malik Fadja

Terpopuler

Artikel Terbaru