27.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Bersanding Mendengarkan Penghulu Merapal Doa Sampai Pagi

Gemerincing Hiang beradu dengan tabuhan Gandang
dan Kalimpat. Semakin malam, bunyi yang dihasilkan semakin nyaring. Diiringi entakan
kaki penghulu, kedua mempelai duduk khidmat mendengarkan petuah pernikahan.
Semalam suntuk.
 

 

 

 

WAHYU RAMADHAN, Barabai
 

 

Ruas jalan di Desa Atiran, Kecamatan Batang
Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Sabtu (27/4) malam menjelma
pasar tradisional. Warung menjamur, stan hiburan rakyat, organ tunggal dengan
penyanyi lokal.
Gerimis mengguyur sejak pagi, tidak menyurutkan
niat ratusan warga Desa Atiran dan sekitarnya, ikut merayakan pernikahan Rusmin
dan Titin. Keduanya warga Suku Dayak Meratus. Mempelai laki-laki, Rusmin dari
Desa Kiyu. Istrinya, Titin penduduk Desa Atiran.

Siwan, warga Desa Batu Kambar menyebut,
pernikahan warga Dayak Meratus memang selalu melahirkan keramaian.

“Diadakan besar-besaran. Mulai hiburan rakyat
hingga ritual adat,” ungkap pria yang desanya bertetangga dengan Atiran.

Sepuluh meter dari keramaian itu, tampak
bangunan panjang dari kayu, Balai Adat. Di tempat itulah, kedua mempelai
bersanding. Suasana dalam Balai pun semarak. Keluarga besar dan warga berkumpul
di balai tanpa sekat itu. Ada yang duduk melingkar, ada pula yang bersandar
pada dinding balai. Mereka menunggu prosesi baruji dimulai.

Sederhananya, baruji adalah proses negosiasi
mahar pernikahan. Ini mengawali prosesi pernikahan. Setelah itu ada prosesi
basanggai, bapayak dan bajanji.

Tetua adat Desa Kiyu, Maribut menjelaskan,
bahwa pernikahan selalu berlangsung di desa mempelai perempuan. Aturan tidak
tertulis itu sudah berlaku turun-temurun sejak zaman nenek moyang. 

Rangkaian acara dipimpin kepala adat dan
seorang penghulu. Mereka mewakili masing-masing mempelai. Dalam baruji,
penghulu mewakili keluarga mempelai perempuan. Sementara, kepala adat mewakili
keluarga mempelai laki-laki. Pembicaraan dilakukan dalam bahasa daerah. Baruji
selesai setelah sembilan ikatan bilah bambu keluar.

“Bambu ini mewakili jumlah mahar yang
harus dibayar,”ungkap Haris, ketua adat Kecamatan Batang Alai Timur. 


 
Bilah bambu mewakili suara dari perwakilan desa
lainnya. Ketua adat dan penghulu bisa saja menyepakati jumlah bilah bambu
tertentu untuk mewakili sejumlah desa. Tapi, keputusan ada di tangan perwakilan
sembilan desa yang hadir malam itu. Merekalah yang berhak memutuskan berapa
banyak bilah bambu yang harus dikeluarkan dalam baruji.

Selanjutnya basanggai alias perarakan. Tapi,
sebelum itu, kedua mempelai lebih dulu dirias. Malam itu Rusmin tampil gagah.
Laung (penutup kepala, Red) melengkapi setelan jas hitam yang dipakai alumnus
Universitas Islam Kalimantan tersebut. Penampilannya sempurna dengan selembar
kain berwarna cerah dengan motif kotak-kotak tersampir di bahu.

Baca Juga :  Dapat Izin Edar setelah Tangani Seratus Pasien

Sedangkan Titin juga tampil anggun. Dia
mengenakan kemben yang dipadukan dengan lilitan kain. Tidak ketinggalan, riasan
hena di dahi dan kedua telapak tangannya. Sebagai sentuhan akhir, sarjana
pendidikan Universitas Lambung Mangkurat itu memakai kain biru bermotif bunga
sebagai penutup kepala. “Seperti pengantin perempuan asal India,”
canda Titin.

Selesai dirias, kedua mempelai diarak
bergantian di dalam balai adat. Masing-masing berjalan sampai ke ujung ruangan.
Inilah basanggai. Ditemani cahaya temaram obor, Rusmin dan Titin berdiri
berdampingan. Mereka menghadap Haris dan Suryadi, sang penghulu, yang sesekali
memanjatkan doa kepada Nining Bahtara. Mereka memohon agar pernikahan
berlangsung aman, damai dan sejahtera.

Setelah berdoa, Haris menaburkan beras kuning
ke arah kedua mempelai. Itu simbol bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami
istri. Rusmin dan Titin pun lega.

“Cucuk (tusuk,red),” perintah Haris di ujung
prosesi basanggai. Dua ekor babi di sisi kiri dan kanan balai adat sontak
berteriak karena tubuh mereka dihujam senjata tajam. Masyarakat setempat
percaya bahwa ritual menusuk babi itu adalah bentuk penghormatan kepada para
leluhur.

Kini, dua prosesi tersisa. Bapayak dan Bajanji.
Dalam Bapayak, kedua mempelai disandingkan di ruangan tengah balai adat.
Diiringi tabuhan gandang dan kalampit. 

Penghulu merapalkan doa-doa keberkahan untuk
kedua mempelai. Selama prosesi berlangsung, Rusmin dan Titin harus berdiam diri
di tempat. Bukan satu atau dua jam, tapi sampai pagi menjelang. Ya, mereka
duduk diam mendengarkan doa semalam suntuk.

Semakin malam, tabuhan dua alat musik pukul
yang terbuat dari kulit, itu semakin nyaring. Terlebih ketika penghulu Suryadi
membunyikan gelang hiang di tangan kanannya. Di sela-sela prosesi tersebut,
warga yang hadir atau keluarga mempelai bisa berfoto bersama. Suryadi yang
asyik mendoakan mempelai sama sekali tidak merasa terganggu. Sebaliknya, lelaki
berumur 70 tahun, itu malah makin khusyuk doa.

“Fuh, fuh, fuh, fuh,” Suryadi meniup
ke arah langit-langit. Itu menjadi simbol mengusir roh jahat. Harapannya adalah
supaya acara pernikahan dan hiburan rakyat di luar Balai Adat berjalan
lancar.

Baca Juga :  Yakin Tidak Takut Tertular Jika Mematuhi Protokol Kesehatan

Dalam pernikahan ini juga ada benda-benda
seserahan. Diletakkan hadapan mempelai. Ada piring kaca yang berjumlah
duabelas, ada kain putih, dan periuk dari kuningan yang berisikan benda-benda
hingga rempah-rempah yang sebelumnya digunakan untuk ritual. Masing-masing
benda, mempunyai filosofi tersendiri. Kalung yang terbuat dari kuningan yang
oleh masyarakat setempat dikenal sebagai anggit, misalnya.

“Anggit ini, menjadi pemberitahu bahwa tuan
rumah mempelai perempuan sedang menggelar pernikahan,” kata Haris. 

Dia menambahkan bahwa secara sederhana, anggit
itu berfungsi sebagai pengundang. Dia lantas mengatakan, meski anggit dimiliki
secara turun temurun oleh masyarakat Suku Dayak di Pegunungan Meratus Kabupaten
HST, bukan berarti semua keluarga memilikinya. 

Lantas, bagaimana bila keluarga yang tidak
memiliki anggit ingin menggelar resepsi pernikahan? Haris menjelaskan, keluarga
yang mempunyai hajat bisa meminjamnya dari keluarga lain. Dengan catatan,
setelah dipinjam, anggit harus diserahkan sekaligus dengan membayar ganti uang
sejumlah Rp24 ribu dan beras.

“Bila tidak menyertakan anggit, maka keluarga
yang mempunyai hajat bakal dihukum denda adat sebanyak 12 tahil. Atau Rp1,2
juta. Selain itu, pihak keluarga juga harus siap menjadi bahan pembicaraan
mengingat ini adalah salah satu bagian penting dalam adat kami,” urainya.

Seluruh rangkaian prosesi pernikahan dinyatakan
selesai setelah kedua mempelai Bajanji. Prosesi itu berlangsung pada pagi hari.
Pada tahap tersebut, kedua mempelai dikumpulkan bersama dengan keluarga besar
masing-masing. Mereka diperkenalkan dan dinasihati oleh masing-masing keluarga.
Ritual itu dikenal dengan nama Basurung Parukunan.

“Sesudah semua itu, baru kedua mempelai turun
dari Balai Adat. Acara pun selesai,” ujar Haris.

Di balik meriahnya pesta adat khas Suku Dayak
di Pegunungan Meratus Kabupaten HST itu, Haris prihatin. Sebab, generasi
sekarang seolah tidak peduli pada warisan budaya tersebut. Partisipasi mereka
pun sangat minimal. Dia khawatir, adat istiadat itu bakal hilang ditelan
waktu.

Sabtu malam itu, mulai baruji hingga prosesi
adat lainnya berlangsung, para pemuda malah memilih menyaksikan hiburan di
luar. Yang mengikuti prosesi di dalam Balai Adat pun hanya orang-orang
tua.

“Saya tidak bisa melarang karena itu hak
mereka. Tapi, saya berharap tradisi ini bisa bertahan selama-lamanya,”
tuntasnya. (war)

Gemerincing Hiang beradu dengan tabuhan Gandang
dan Kalimpat. Semakin malam, bunyi yang dihasilkan semakin nyaring. Diiringi entakan
kaki penghulu, kedua mempelai duduk khidmat mendengarkan petuah pernikahan.
Semalam suntuk.
 

 

 

 

WAHYU RAMADHAN, Barabai
 

 

Ruas jalan di Desa Atiran, Kecamatan Batang
Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Sabtu (27/4) malam menjelma
pasar tradisional. Warung menjamur, stan hiburan rakyat, organ tunggal dengan
penyanyi lokal.
Gerimis mengguyur sejak pagi, tidak menyurutkan
niat ratusan warga Desa Atiran dan sekitarnya, ikut merayakan pernikahan Rusmin
dan Titin. Keduanya warga Suku Dayak Meratus. Mempelai laki-laki, Rusmin dari
Desa Kiyu. Istrinya, Titin penduduk Desa Atiran.

Siwan, warga Desa Batu Kambar menyebut,
pernikahan warga Dayak Meratus memang selalu melahirkan keramaian.

“Diadakan besar-besaran. Mulai hiburan rakyat
hingga ritual adat,” ungkap pria yang desanya bertetangga dengan Atiran.

Sepuluh meter dari keramaian itu, tampak
bangunan panjang dari kayu, Balai Adat. Di tempat itulah, kedua mempelai
bersanding. Suasana dalam Balai pun semarak. Keluarga besar dan warga berkumpul
di balai tanpa sekat itu. Ada yang duduk melingkar, ada pula yang bersandar
pada dinding balai. Mereka menunggu prosesi baruji dimulai.

Sederhananya, baruji adalah proses negosiasi
mahar pernikahan. Ini mengawali prosesi pernikahan. Setelah itu ada prosesi
basanggai, bapayak dan bajanji.

Tetua adat Desa Kiyu, Maribut menjelaskan,
bahwa pernikahan selalu berlangsung di desa mempelai perempuan. Aturan tidak
tertulis itu sudah berlaku turun-temurun sejak zaman nenek moyang. 

Rangkaian acara dipimpin kepala adat dan
seorang penghulu. Mereka mewakili masing-masing mempelai. Dalam baruji,
penghulu mewakili keluarga mempelai perempuan. Sementara, kepala adat mewakili
keluarga mempelai laki-laki. Pembicaraan dilakukan dalam bahasa daerah. Baruji
selesai setelah sembilan ikatan bilah bambu keluar.

“Bambu ini mewakili jumlah mahar yang
harus dibayar,”ungkap Haris, ketua adat Kecamatan Batang Alai Timur. 


 
Bilah bambu mewakili suara dari perwakilan desa
lainnya. Ketua adat dan penghulu bisa saja menyepakati jumlah bilah bambu
tertentu untuk mewakili sejumlah desa. Tapi, keputusan ada di tangan perwakilan
sembilan desa yang hadir malam itu. Merekalah yang berhak memutuskan berapa
banyak bilah bambu yang harus dikeluarkan dalam baruji.

Selanjutnya basanggai alias perarakan. Tapi,
sebelum itu, kedua mempelai lebih dulu dirias. Malam itu Rusmin tampil gagah.
Laung (penutup kepala, Red) melengkapi setelan jas hitam yang dipakai alumnus
Universitas Islam Kalimantan tersebut. Penampilannya sempurna dengan selembar
kain berwarna cerah dengan motif kotak-kotak tersampir di bahu.

Baca Juga :  Dapat Izin Edar setelah Tangani Seratus Pasien

Sedangkan Titin juga tampil anggun. Dia
mengenakan kemben yang dipadukan dengan lilitan kain. Tidak ketinggalan, riasan
hena di dahi dan kedua telapak tangannya. Sebagai sentuhan akhir, sarjana
pendidikan Universitas Lambung Mangkurat itu memakai kain biru bermotif bunga
sebagai penutup kepala. “Seperti pengantin perempuan asal India,”
canda Titin.

Selesai dirias, kedua mempelai diarak
bergantian di dalam balai adat. Masing-masing berjalan sampai ke ujung ruangan.
Inilah basanggai. Ditemani cahaya temaram obor, Rusmin dan Titin berdiri
berdampingan. Mereka menghadap Haris dan Suryadi, sang penghulu, yang sesekali
memanjatkan doa kepada Nining Bahtara. Mereka memohon agar pernikahan
berlangsung aman, damai dan sejahtera.

Setelah berdoa, Haris menaburkan beras kuning
ke arah kedua mempelai. Itu simbol bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami
istri. Rusmin dan Titin pun lega.

“Cucuk (tusuk,red),” perintah Haris di ujung
prosesi basanggai. Dua ekor babi di sisi kiri dan kanan balai adat sontak
berteriak karena tubuh mereka dihujam senjata tajam. Masyarakat setempat
percaya bahwa ritual menusuk babi itu adalah bentuk penghormatan kepada para
leluhur.

Kini, dua prosesi tersisa. Bapayak dan Bajanji.
Dalam Bapayak, kedua mempelai disandingkan di ruangan tengah balai adat.
Diiringi tabuhan gandang dan kalampit. 

Penghulu merapalkan doa-doa keberkahan untuk
kedua mempelai. Selama prosesi berlangsung, Rusmin dan Titin harus berdiam diri
di tempat. Bukan satu atau dua jam, tapi sampai pagi menjelang. Ya, mereka
duduk diam mendengarkan doa semalam suntuk.

Semakin malam, tabuhan dua alat musik pukul
yang terbuat dari kulit, itu semakin nyaring. Terlebih ketika penghulu Suryadi
membunyikan gelang hiang di tangan kanannya. Di sela-sela prosesi tersebut,
warga yang hadir atau keluarga mempelai bisa berfoto bersama. Suryadi yang
asyik mendoakan mempelai sama sekali tidak merasa terganggu. Sebaliknya, lelaki
berumur 70 tahun, itu malah makin khusyuk doa.

“Fuh, fuh, fuh, fuh,” Suryadi meniup
ke arah langit-langit. Itu menjadi simbol mengusir roh jahat. Harapannya adalah
supaya acara pernikahan dan hiburan rakyat di luar Balai Adat berjalan
lancar.

Baca Juga :  Yakin Tidak Takut Tertular Jika Mematuhi Protokol Kesehatan

Dalam pernikahan ini juga ada benda-benda
seserahan. Diletakkan hadapan mempelai. Ada piring kaca yang berjumlah
duabelas, ada kain putih, dan periuk dari kuningan yang berisikan benda-benda
hingga rempah-rempah yang sebelumnya digunakan untuk ritual. Masing-masing
benda, mempunyai filosofi tersendiri. Kalung yang terbuat dari kuningan yang
oleh masyarakat setempat dikenal sebagai anggit, misalnya.

“Anggit ini, menjadi pemberitahu bahwa tuan
rumah mempelai perempuan sedang menggelar pernikahan,” kata Haris. 

Dia menambahkan bahwa secara sederhana, anggit
itu berfungsi sebagai pengundang. Dia lantas mengatakan, meski anggit dimiliki
secara turun temurun oleh masyarakat Suku Dayak di Pegunungan Meratus Kabupaten
HST, bukan berarti semua keluarga memilikinya. 

Lantas, bagaimana bila keluarga yang tidak
memiliki anggit ingin menggelar resepsi pernikahan? Haris menjelaskan, keluarga
yang mempunyai hajat bisa meminjamnya dari keluarga lain. Dengan catatan,
setelah dipinjam, anggit harus diserahkan sekaligus dengan membayar ganti uang
sejumlah Rp24 ribu dan beras.

“Bila tidak menyertakan anggit, maka keluarga
yang mempunyai hajat bakal dihukum denda adat sebanyak 12 tahil. Atau Rp1,2
juta. Selain itu, pihak keluarga juga harus siap menjadi bahan pembicaraan
mengingat ini adalah salah satu bagian penting dalam adat kami,” urainya.

Seluruh rangkaian prosesi pernikahan dinyatakan
selesai setelah kedua mempelai Bajanji. Prosesi itu berlangsung pada pagi hari.
Pada tahap tersebut, kedua mempelai dikumpulkan bersama dengan keluarga besar
masing-masing. Mereka diperkenalkan dan dinasihati oleh masing-masing keluarga.
Ritual itu dikenal dengan nama Basurung Parukunan.

“Sesudah semua itu, baru kedua mempelai turun
dari Balai Adat. Acara pun selesai,” ujar Haris.

Di balik meriahnya pesta adat khas Suku Dayak
di Pegunungan Meratus Kabupaten HST itu, Haris prihatin. Sebab, generasi
sekarang seolah tidak peduli pada warisan budaya tersebut. Partisipasi mereka
pun sangat minimal. Dia khawatir, adat istiadat itu bakal hilang ditelan
waktu.

Sabtu malam itu, mulai baruji hingga prosesi
adat lainnya berlangsung, para pemuda malah memilih menyaksikan hiburan di
luar. Yang mengikuti prosesi di dalam Balai Adat pun hanya orang-orang
tua.

“Saya tidak bisa melarang karena itu hak
mereka. Tapi, saya berharap tradisi ini bisa bertahan selama-lamanya,”
tuntasnya. (war)

Terpopuler

Artikel Terbaru