“Lima jam lagi saja. Siapa tahu lima jam lagi mereka sudah bisa dihubungi,” ujar sahabat Disway di Jakarta kemarin siang.
Lima jam kemudian saya hubungi orang itu. “Saya baru tiba di Baku,” jawabnya. “Alhamdulillah,” balas saya lewat WA.
Rasanya lega bisa kembali berhubungan dengan orang itu. Sudah dua hari saya kontak HP-nya. Tetap saja centang satu. Begitu sulit menghubungi teman-teman di Teheran belakangan ini. Maka saya hubungi beberapa teman mereka di Jakarta. Mereka pun sulit.
“Saya sempat terhubung dengannya tapi putus lagi,” ujar teman Jakarta itu. “Mereka masih dalam perjalanan menuju Baku,” tambah si Jakarta.
Baku adalah ibu kota Azerbaijan. Itulah kota besar terdekat dengan Teheran, ibu kota Iran. Jarak Teheran-Baku sekitar 15 jam. Jalan darat. Pakai bus.
Yang mengatakan “baru tiba di Baku” itu adalah orang Indonesia yang selama ini mengajar di Teheran. Namanya: Purkon Hidayat –tentu orang Sunda.
Purkon seorang doktor. Ia lulusan teknik sipil Politeknik ITB yang belakangan bernama Polban –Politeknik Bandung. Lalu ia kuliah manajemen di STIE Yogyakarta.
Dari Yogya, Purkon ke Qom, kota suci Syiah di Iran. Kuliah filsafat di sana. Setelah itu ambil gelar doktor di Teheran.
Purkon lantas mengajar di program pascasarjana kajian Asia Tenggara fakultas ilmu politik dan hukum Universitas Tehran.
Sesuai keinginan pemerintah Prabowo Subianto, warga Indonesia di Iran harus meninggalkan negara itu. Keadaan perang Iran-Israel tidak menjamin keamanan untuk tinggal di sana.
Jumat pagi lalu Purkon pun meninggalkan Teheran. Pukul tujuh pagi. Bersama istri dan anak tunggalnya. Pukul tujuh malam mereka tiba di perbatasan dengan Azerbaijan.
“Kok sampai 12 jam? Harusnya kan cukup 6 jam?” tanya saya.
“Kami berhenti beberapa kali. Untuk makan. Juga untuk menjemput teman-teman Indonesia lainnya,” jawab Purkon.
Maka dalam rombongan Purkon ini ada 100-an orang Indonesia. Umumnya mahasiswa. Mereka naik empat bus. Dicarter. Atas biaya Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Satu-satunya jalan terdekat keluar dari Iran adalah lewat tetangga utara negara itu. Bisa jalan darat pula. Perbatasannya memang terbuka.
“Di perbatasan kami menunggu lama sekali. Mulai pukul 7 malam sampai pukul 5 pagi,” ujar Purkon. “Antre pasporannya panjang sekali,” tambahnya.
Di perbatasan mereka dijemput oleh Duta Besar Indonesia untuk Iran. Itu duta besar baru: Rolliansyah Soemirat. Diplomat kawakan. Lama jadi juru bicara Kemenlu.
Soemirat datang ke perbatasan dari Jakarta. Khusus untuk menjemput warga Indonesia di Iran.
Presiden Prabowo sudah mengangkatnya jadi duta besar Maret lalu, tapi persetujuan dari pemerintah Iran masih dalam proses. Keburu ada perang. Maka menjemput warga di perbatasan Azerbaijan adalah tugas pertamanya sebagai duta besar.
Dari perbatasan itu masih lima jam perjalanan lagi untuk sampai ke kota Baku. Inilah kota yang berada di pantai Laut Kaspia.
Di Baku mereka tinggal di hotel untuk mendapat giliran diterbangkan pulang ke tanah air.
Suasana di perbatasan tidak menggambarkan kepanikan warga Iran. Yang antre meninggalkan Iran itu hampir semuanya orang asing: Indonesia, Tiongkok, Afrika. Orang Irannya hanya beberapa. Itu pun mungkin penyeberang rutin setiap harinya seperti itu.
Suasana Teheran sendiri sebenarnya tidak terlalu panik. Tingkat kepanikannya sekitar level tujuh. Tidak sampai delapan atau sembilan. Di kota Qom lebih aman. Lebih tenang. Tingkat kepanikannya hanya sekitar lima.
Padahal serangan Israel terus terjadi. Setiap hari. Biasanya setelah pukul 10 malam sampai Subuh. Hampir setiap distrik kini sudah menerima serangan Israel. Yang meninggal ratusan orang tapi angka resminya belum keluar
Sebaliknya Iran juga terus meluncurkan serangan ke Israel. Saling balas. Senjata yang dipakai Iran menyerang Israel berkecepatan lima kali kecepatan suara. Meski jarak dua negara itu sekitar 1.500 km, senjata tersebut bisa mencapai sasaran dalam 12 sampai 15 menit. Begitu pun sebaliknya.
“Apakah rakyat Teheran tahu bahwa Presiden Donald Trump menyerukan agar mereka mengungsi?”
“Tahu”, jawab Purkon. “Tapi rakyat Teheran sekarang justru marah kepada Trump. Mereka menganggap Trump pengkhianat perjanjian dengan Iran,” tambahnya.
Serangan Israel belakangan ini, kata Purkon, justru membuat nasionalisme orang Iran bangkit. Mereka sekarang lebih bersatu. Yang dulunya oposisi sekarang justru mendukung pemerintah.
Purkon menamatkan SMA-nya di Banten. Anak satu-satunya melanjutkan SMA di Teheran. Baru saja lulus. Tinggal menunggu ijazahnya keluar. Anak itu keburu harus ikut meninggalkan Iran menuju Azerbaijan.
“Akan kuliah di mana Ananda nanti?”
“Mungkin di Iran. Mungkin di Indonesia. Masih lihat-lihat dulu,” katanya.(Dahlan Iskan)