CORPORATE University kini tidak hanya dimiliki oleh perusahaan sekelas Astra atau Indofood. Mahkamah Agung pun kini punya Corpu. Namanya: Mahkamah Agung Corporate University. Di Megamendung, kawasan Puncak.
Istilah Corpu, kali pertama lahir di Amerika Serikat. Di perusahaan kelas dunia: General Electric (GE). Lalu ada anggapan kejayaan GE berkat Corpu-nya. Perusahaan Indonesia seperti PLN pun mendapat jatah tahunan. Bisa menyekolahkan para calon pimpinan ke GE Corpu.
Maka wabah ber-Corpu menjalar ke berbagai penjuru dunia. Telkom membangun Corpu pertama di Indonesia. Di Bandung. Lalu Pelindo. Di Cipanas. Yang lain-lain pun menyusul. Ketika reputasi GE sudah tidak sehebat dulu pun, Corpu jalan terus.
Bahkan, di Indonesia, menjalar ke instansi pemerintah.
Kementerian keuangan mencatatkan diri sebagai pemilik Corpu pertama di lingkungan pemerintah. Saya pun kaget: Mahkamah Agung kini juga punya Corpu.
Model pendidikan dan latihan (Diklat) kelihatannya dianggap sudah kuno. Tidak relevan lagi. Maka datanglah era Corpu.
Lalu apakah Corpu?
Definisinya begitu banyak. Anda bisa memilih yang ini: Corpu adalah lembaga pendidikan yang dijadikan alat strategis oleh perusahaan dalam mengembangkan karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan.
Kurikulumnya pun bisa dibuat sendiri-sendiri. Disesuaikan dengan kepentingan perusahaan. Corpu seperti milik Pelindo misalnya, memakai kurikulum 70-20-10.
Yang dominan adalah mentoring. Terutama yang terkait dengan penugasan di perusahaan. Hampir tidak ada pelajaran teori. Kalau pun ada diselip-selipkan di sela-sela mentoring.
Dua tahun terakhir saya dipilih menjadi mentor di Pelindo Corpu. Muridnya adalah pejabat-pejabat setingkat direksi. Terutama di anak-anak perusahaan. Mereka membawa ”kurikulum” sendiri: bagaimana memecahkan persoalan yang berat-berat.
Lalu bagaimana Mahkamah Agung sampai punya Corpu sendiri?
Sama. Meski bukan perusahaan persoalan yang dihadapi Mahkamah Agung tidak lebih ringan dari perusahaan besar.
Mahkamah Agung punya begitu banyak hakim. Yang harus selalu berhadapan dengan perkara baru. Apalagi hakim memiliki independensi mutlak untuk membuat keputusan. Mereka wakil Tuhan di ruang pengadilan.
“Lewat Corpu kami akan membangun hakim yang cadas,” ujar Syamsul Arief, kepala Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung.
Cadas?
“Cerdas dan Berintegritas,” jelasnya. “Dengan tagline Cadas, salamnya bisa berupa jari dibentuk huruf C atau dibentuk simbol metal,” tambahnya.
Minggu ini Corpu Mahkamah Agung menarik perhatian publik. Salah satu pengajar pekan lalu adalah Rocky Gerung. Materi pelajarannya: filsafat hukum.
Saya pun membuka YouTube. Ups… Panjang sekali: hampir tiga jam. Syamsul sendiri yang jadi moderator.
Di situ saya melihat Rocky Gerung yang berbeda dengan yang biasa Anda lihat di TV. “Kalau memberi kuliah saya harus serius. Kalau di TV saya memang tidak serius. Saya suka mengejek dan godain orang,” katanya.
Mahasiswa program Corpu pekan lalu itu para hakim yang masih muda-muda. Dari berbagai penjuru Nusantara: Kerinci, Tanjung Jabung, Barru, Timika….
“Mereka adalah yang punya masa kerja sebagai hakim antara 1 sampai 5 tahun,” ujar Syamsul. “Kami ingin membangun integritas sejak para hakim masih muda,” ujar Syamsul.
Malam itu ada pertanyaan bagus dari seorang hakim muda: mengapa berintegritas selalu dikaitkan dengan miskin dan menderita
Maksudnya: mengapa hakim yang berintegritas ditakut-takuti akan menjadi miskin dan menderita. Tidak adakah berintegritas itu disamakan diasosiasikan dengan kebahagiaan.
Maka diskusi soal integritas sangat dalam malam itu. Demikian juga soal filsafat keadilan. Sampai membahas soal wanita dan keadilan. Terutama karena hukum ini dikuasai laki-laki.
Dulu, kata RG, wanita itu jadi saksi pun tidak bisa. Sampai istilah testimoni pun diambil dari kata testis. “Termasuk mengapa saksi itu harus dua, karena kalau satu bukan testis, bukan buah zakar,” ujar RG.
Saya baru tahu dari forum itu: yang melahirkan kecerdasan itu wanita. Bukan laki-laki. Saya juga baru tahu: laki-laki bisa merasakan sakit, tapi hanya wanita yang bisa merasakan penderitaan.
Rocky Gerung ternyata sangat serius kalau mengajar.
“Saya berani mengundang RG karena saya tahu kalau memberi kuliah beliau tidak memprovokasi,” ujar Syamsul.
Syamsul sendiri memang seorang aktivis tulen. Waktu menjadi mahasiswa hukum Universitas Lampung (Unila) ia sudah menerbitkan majalah kampus: Saksi Keadilan. Syamsul menjabat pemimpin redaksi. Majalah itu dibredel. Gara-gara Syamsul menulis: Siapa Bilang Golkar Tidak Curang.
Itu bersamaan dengan dibredelnya majalah kampus UGM yang dipimpin Andi Arief: Sintesa.
Waktu itu Indonesia berulang tahun ke-50. Ultah emas. Sintesa menulis: Indonesia Cemas.
Syamsul juga diincar untuk ditangkap. Tapi intelnya salah: yang akan ditangkap Habiburrahman, yang kini aktivis Gerindra.
Setelah lulus, Syamsul menjadi pengacara. Lurus. Ia memang sempat jadi relawan di YLBHI-nya Adnan Buyung Nasution.
Akhirnya Syamsul jadi hakim. “Saya ingin membahagiakan ayah,” ujarnya. Ia menyadari hati ayahnya tidak tenang. Anak bungsu ini selalu dicari petugas keamanan. “Sering ada mobil tidak dikenal parkir di depan rumah,” ujar sang ayah kepadanya.
Maka Syamsul ikut tes hakim dan jaksa. Ayahnya senang sekali.
“Lulus?” tanya sang ayah.
“Lulus dua-duanya”.
“Anak hebat…”.
“Pilih yang mana?” tanya Syamsul pada sang ayah.
“Tanya emakmu,” jawab sang ayah.
Syamsul pun bertanya ke sang ibu.
“Hakim…” jawab sang ibu.
Syamsul pun jadi hakim. Tugas pertamanya di Arga Makmur, Bengkulu Utara. Lalu Palopo. Lubuk Linggau. Bengkulu. Rejang Lebong.
Setelah itu ia minta pindah ke kampung halaman: Tanjung Karang, Lampung. “Ayah saya sakit. Stroke. Saya ingin dekat ayah. Merawat beliau,” katanya. “Waktu ibu meninggal saya di Palopo. Kali ini saya tidak mau kecolongan lagi,” tambahnya.
Dari pengalamannya yang panjang itu Syamsul ingin hakim mendapatkan inspirasi filsafat keadilan. Kalau teknis hukum bisa dipelajari sendiri. Karena itu ia menyelipkan mata kuliah seperti itu di Corpu.
Ia ingat waktu mahasiswa hukum. Buku pelajaran sampai semester akhir sudah ia selesaikan di tahun pertama kuliah. Selebihnya ia banyak membaca buku sosiologi dan filsafat. “Kadang saya harus ke gereja untuk membaca buku filsafat di gereja,” katanya.
Para hakim itu juga terlihat antusias. “Malam itu kalau RG tidak kelelahan bisa sampai jam 1 atau 2 malam,” ujar Syamsul.
Saya pun tahu RG itu ternyata hanya serius untuk dua hal: memberi kuliah dan mendaki gunung. (Dahlan Iskan)