27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Besar Baru

PT Kereta Api Indonesia (KAI) tiba-tiba memasuki tahap menjadi perusahaan raksasa. Bulan ini. Agustus 2023. Bertepatan dengan ulang tahun hari kemerdekaan.

Raksasa pula utangnya.

Dua jenis bisnis besar tiba-tiba masuk ke lingkungan PT KAI. Dua-duanya Anda sudah tahu: kereta cepat Jakarta-Bandung dan kereta layang listrik.

Yang terakhir itu dari Bekasi ke Jakarta dan dari Cibubur ke Jakarta.

Dua-duanya termasuk mega proyek. Maka kini KAI menangani tujuh perusahaan angkutan rel: kereta konvensional, KRL Jabodetabek, kereta batu bara Langkat-Lampung, kereta bawah tanah Jakarta, kereta layang listrik dan kereta cepat Yawan.

PT KAI telah jadi perusahaan raksasa.

Di awal Orde Baru, kereta api Indonesia mengalami kemerosotan yang tajam: matinya jalur-jalur kecil.

Lebih tepatnya: dimatikan. Tidak lagi ekonomis. Mempertahankannya bisa berarti bunuh diri. Sudah kalah dengan angkutan mobil. Lebih kalah lagi oleh meledaknya sepeda motor.

Jarak seperti Tasikmalaya-Pangandaran tidak mungkin lagi dihidupkan. Atau Solo-Wonogiri. Madiun-Ponorogo. Kamal-Sumenep. Wonokromo-Sepanjang. Termasuk jalur yang sangat populer disebut di novel Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia: Sidoarjo-Toelangan.

Puluhan jalur-jalur kelas ranting mati seperti itu. Di Jateng. Di Jabar. Di Sumut. Relnya pun banyak yang sudah hilang.

Ke depan pun tidak mungkin lagi dihidupkan. Dipikirkan pun hanya akan memakan energi. Hanya kaca spion yang masih punya romantisme melihat ke belakang.

Memang aset-aset tersebut masih hidup. Setidaknya di buku aset. Mungkin juga di dalam laporan keuangan. Dan ini sebuah pekerjaan besar. Harus diselesaikan.

Aset-aset itu sudah menjadi mayat. Tapi belum dikuburkan. Jumlahnya banyak. Perlu kuburan khusus. Lahannya harus disiapkan: berbentuk aturan  hukum. Agar aset itu bisa dihapus dari buku KAI tanpa ada yang jadi tersangka.

Saya pernah mengalami kesulitan memindahkan bangkai-bangkai mobil perusahaan daerah. Agar tidak mengganggu keindahan. Juga agar lahannya bisa dipakai kepentingan lain. Tidak bisa. Itu masih tercatat sebagai aset daerah. Menghapusnya tidak mudah.

 

Tapi pemandangan itu menyebalkan. Dijual juga tidak mudah. Biaya administrasinya lebih mahal dari nilai jualnya.

Baca Juga :  Ruwet Indah

“Kalau misalnya ada yang mencuri rongsokan itu bagaimana?” tanya saya.

“Kita harus lapor polisi. Lalu berdasarkan laporan itu bisa dihapus dari daftar aset. Lebih sederhana,” ujar staf saat itu.

“Hahaha bagus. Cari saja orang yang bisa mencurinya. Lalu lapor polisi”.

“Nanti satpamnya yang ditahan, Pak. Mengapa ada pencurian sampai tidak diketahui”.

Saya yakin rel di jalur ranting-ranting mati itu sudah banyak yang dicuri. Atau ditutupi aspal. Untuk melebarkan jalan.

Intinya: kereta api Indonesia memasuki babak ”harus melupakan” yang lama-lama. Untuk memasuki era baru: KRL, KLL, kereta cepat.

Pun masa depan yang lebih panjang. Akan tetap di jalur baru itu. Yakni bagaimana Jakarta-Bandung bisa memanjang sampai Yogyakarta dan Surabaya.

Bagaimana kereta bawah tanah bisa menjadi solusi kemacetan Jakarta. Lalu kota-kota besar lain ikut mengembangkannya: Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, Denpasar.

Di Amerika kereta antar kotanya praktis mati. Tapi Amerika tetap memerlukan kereta bawah tanah di perkotaan. Yakni di kota-kota besarnya.

Di sana seperti tidak ada lagi semangat mengembangkan kereta antar-kota. Yang sering muncul hanya berita tabrakan. Atau kereta anjlok dari rel peninggalan lamanya.

Jaringan kereta bawah tanah di Tiongkok luar biasa meluasnya. Di  Shanghai saja sudah menjadi 19 line. Total panjangnya sudah 800 km. Jaringan kereta bawah tanah di Shanghai sudah seperti kota besar tersendiri di bawah tanah.

Di Tiongkok sudah lebih 20 kota yang punya jaringan kereta bawah tanah.

Itulah masa depan KAI. Perusahaan ini akan menjadi raksasa bisnis di tingkat dunia.

Sekarang saja, dengan penambahan sekaligus dua bisnis baru membengkaknya ukuran bisnis KAI.

Memang dua bisnis baru tersebut masih belum datang dari KAI sendiri. Bukan sebagai ekspansi bisnis. Dua-duanya masih penugasan dari pemerintah.

Mungkin KAI sendiri, secara perusahaan justru bisa saja merasa terbebani. Apalagi kalau semua biaya proyek harus ditanggung KAI. Itu belum dalam kemampuan KAI bisa menanggungnya.

Kini begitu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan KAI: bagaimana status biaya proyek itu dalam neraca KAI.

Baca Juga :  Dua Waswas

Lalu, harus menentukan siapa pemilik relnya: pemerintah (seperti disebutkan dalam UU) atau milik KAI.

Kalau rel itu milik pemerintah, siapa yang harus merawat: pemilik atau pengguna. Bolehkah pengguna memelihara barang yang bukan miliknya: jangan sampai ada yang jadi tersangka karena melanggar prosedur.

Kalau yang memelihara harus yang punya barang, apakah ada anggaran yang cukup di APBN.

Rasanya kerumitan abadi ini perlu dituntaskan. Mumpung pemerintah sekarang sangat berani menerobos yang begitu-begitu.

Atau mungkin saja pakai cara ini: pemerintah memberikan izin ”pinjam pakai” kepada KAI. Misalnya untuk jangka 25 tahun. Bisa diperpanjang. Toh yang dipinjami adalah perusahaan miliknya sendiri.

Dengan demikian pemeliharaan bisa diserahkan kepada si pemakai. Tidak perlulah ada yang merasa ”kehilangan” proyek pemeliharaan.

Dalam kontrak ”pinjam pakai” juga bisa disebutkan: kelak, ketika dikembalikan harus dalam keadaan terpelihara. Bahkan bisa lebih baik.

Ide ”rel harus milik pemerintah” adalah demi keterbukaan kesempatan usaha. Demokratisasi usaha. Maksudnya: agar ada perusahaan kereta api swasta yang bisa bersaing dengan KAI. Agar jangan ada monopoli.

Swasta dan KAI bisa sama-sama menyewa rel milik negara. Seperti Lion, Pelita, Garuda, Sriwijaya menggunakan bandara yang bukan milik mereka.

Tapi untuk kereta api, rasanya kita harus realistis. Sampai 25 tahun ke depan rasanya masih sulit ada swasta mendirikan perusahaan kereta api.

Tapi siapa tahu kelak akan ada. Maka ”pinjam pakai” selama 25 tahun bisa jadi jalan keluar. Setidaknya APBN tidak perlu mengalokasikan anggaran pemeliharaan. Toh kalau anggaran pemeliharaan itu tidak cukup keamanan penumpang dalam taruhan.

Bisa juga ‘pinjam pakai’ itu dengan syarat tambahan lagi: Si peminjam harus melakukan pengelasan sambungan rel. Dengan demikian maka kereta api dari Jakarta ke Surabaya bisa menambah kecepatan menjadi 160 km/jam. Artinya yang selama ini 8,5 jam bisa menjadi 6 jam.

Bulan ini kereta api Indonesia telah memasuki dunia baru. Sayang kalau masih diganggu oleh hantu lama.(Dahlan Iskan)

PT Kereta Api Indonesia (KAI) tiba-tiba memasuki tahap menjadi perusahaan raksasa. Bulan ini. Agustus 2023. Bertepatan dengan ulang tahun hari kemerdekaan.

Raksasa pula utangnya.

Dua jenis bisnis besar tiba-tiba masuk ke lingkungan PT KAI. Dua-duanya Anda sudah tahu: kereta cepat Jakarta-Bandung dan kereta layang listrik.

Yang terakhir itu dari Bekasi ke Jakarta dan dari Cibubur ke Jakarta.

Dua-duanya termasuk mega proyek. Maka kini KAI menangani tujuh perusahaan angkutan rel: kereta konvensional, KRL Jabodetabek, kereta batu bara Langkat-Lampung, kereta bawah tanah Jakarta, kereta layang listrik dan kereta cepat Yawan.

PT KAI telah jadi perusahaan raksasa.

Di awal Orde Baru, kereta api Indonesia mengalami kemerosotan yang tajam: matinya jalur-jalur kecil.

Lebih tepatnya: dimatikan. Tidak lagi ekonomis. Mempertahankannya bisa berarti bunuh diri. Sudah kalah dengan angkutan mobil. Lebih kalah lagi oleh meledaknya sepeda motor.

Jarak seperti Tasikmalaya-Pangandaran tidak mungkin lagi dihidupkan. Atau Solo-Wonogiri. Madiun-Ponorogo. Kamal-Sumenep. Wonokromo-Sepanjang. Termasuk jalur yang sangat populer disebut di novel Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia: Sidoarjo-Toelangan.

Puluhan jalur-jalur kelas ranting mati seperti itu. Di Jateng. Di Jabar. Di Sumut. Relnya pun banyak yang sudah hilang.

Ke depan pun tidak mungkin lagi dihidupkan. Dipikirkan pun hanya akan memakan energi. Hanya kaca spion yang masih punya romantisme melihat ke belakang.

Memang aset-aset tersebut masih hidup. Setidaknya di buku aset. Mungkin juga di dalam laporan keuangan. Dan ini sebuah pekerjaan besar. Harus diselesaikan.

Aset-aset itu sudah menjadi mayat. Tapi belum dikuburkan. Jumlahnya banyak. Perlu kuburan khusus. Lahannya harus disiapkan: berbentuk aturan  hukum. Agar aset itu bisa dihapus dari buku KAI tanpa ada yang jadi tersangka.

Saya pernah mengalami kesulitan memindahkan bangkai-bangkai mobil perusahaan daerah. Agar tidak mengganggu keindahan. Juga agar lahannya bisa dipakai kepentingan lain. Tidak bisa. Itu masih tercatat sebagai aset daerah. Menghapusnya tidak mudah.

 

Tapi pemandangan itu menyebalkan. Dijual juga tidak mudah. Biaya administrasinya lebih mahal dari nilai jualnya.

Baca Juga :  Ruwet Indah

“Kalau misalnya ada yang mencuri rongsokan itu bagaimana?” tanya saya.

“Kita harus lapor polisi. Lalu berdasarkan laporan itu bisa dihapus dari daftar aset. Lebih sederhana,” ujar staf saat itu.

“Hahaha bagus. Cari saja orang yang bisa mencurinya. Lalu lapor polisi”.

“Nanti satpamnya yang ditahan, Pak. Mengapa ada pencurian sampai tidak diketahui”.

Saya yakin rel di jalur ranting-ranting mati itu sudah banyak yang dicuri. Atau ditutupi aspal. Untuk melebarkan jalan.

Intinya: kereta api Indonesia memasuki babak ”harus melupakan” yang lama-lama. Untuk memasuki era baru: KRL, KLL, kereta cepat.

Pun masa depan yang lebih panjang. Akan tetap di jalur baru itu. Yakni bagaimana Jakarta-Bandung bisa memanjang sampai Yogyakarta dan Surabaya.

Bagaimana kereta bawah tanah bisa menjadi solusi kemacetan Jakarta. Lalu kota-kota besar lain ikut mengembangkannya: Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, Denpasar.

Di Amerika kereta antar kotanya praktis mati. Tapi Amerika tetap memerlukan kereta bawah tanah di perkotaan. Yakni di kota-kota besarnya.

Di sana seperti tidak ada lagi semangat mengembangkan kereta antar-kota. Yang sering muncul hanya berita tabrakan. Atau kereta anjlok dari rel peninggalan lamanya.

Jaringan kereta bawah tanah di Tiongkok luar biasa meluasnya. Di  Shanghai saja sudah menjadi 19 line. Total panjangnya sudah 800 km. Jaringan kereta bawah tanah di Shanghai sudah seperti kota besar tersendiri di bawah tanah.

Di Tiongkok sudah lebih 20 kota yang punya jaringan kereta bawah tanah.

Itulah masa depan KAI. Perusahaan ini akan menjadi raksasa bisnis di tingkat dunia.

Sekarang saja, dengan penambahan sekaligus dua bisnis baru membengkaknya ukuran bisnis KAI.

Memang dua bisnis baru tersebut masih belum datang dari KAI sendiri. Bukan sebagai ekspansi bisnis. Dua-duanya masih penugasan dari pemerintah.

Mungkin KAI sendiri, secara perusahaan justru bisa saja merasa terbebani. Apalagi kalau semua biaya proyek harus ditanggung KAI. Itu belum dalam kemampuan KAI bisa menanggungnya.

Kini begitu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan KAI: bagaimana status biaya proyek itu dalam neraca KAI.

Baca Juga :  Dua Waswas

Lalu, harus menentukan siapa pemilik relnya: pemerintah (seperti disebutkan dalam UU) atau milik KAI.

Kalau rel itu milik pemerintah, siapa yang harus merawat: pemilik atau pengguna. Bolehkah pengguna memelihara barang yang bukan miliknya: jangan sampai ada yang jadi tersangka karena melanggar prosedur.

Kalau yang memelihara harus yang punya barang, apakah ada anggaran yang cukup di APBN.

Rasanya kerumitan abadi ini perlu dituntaskan. Mumpung pemerintah sekarang sangat berani menerobos yang begitu-begitu.

Atau mungkin saja pakai cara ini: pemerintah memberikan izin ”pinjam pakai” kepada KAI. Misalnya untuk jangka 25 tahun. Bisa diperpanjang. Toh yang dipinjami adalah perusahaan miliknya sendiri.

Dengan demikian pemeliharaan bisa diserahkan kepada si pemakai. Tidak perlulah ada yang merasa ”kehilangan” proyek pemeliharaan.

Dalam kontrak ”pinjam pakai” juga bisa disebutkan: kelak, ketika dikembalikan harus dalam keadaan terpelihara. Bahkan bisa lebih baik.

Ide ”rel harus milik pemerintah” adalah demi keterbukaan kesempatan usaha. Demokratisasi usaha. Maksudnya: agar ada perusahaan kereta api swasta yang bisa bersaing dengan KAI. Agar jangan ada monopoli.

Swasta dan KAI bisa sama-sama menyewa rel milik negara. Seperti Lion, Pelita, Garuda, Sriwijaya menggunakan bandara yang bukan milik mereka.

Tapi untuk kereta api, rasanya kita harus realistis. Sampai 25 tahun ke depan rasanya masih sulit ada swasta mendirikan perusahaan kereta api.

Tapi siapa tahu kelak akan ada. Maka ”pinjam pakai” selama 25 tahun bisa jadi jalan keluar. Setidaknya APBN tidak perlu mengalokasikan anggaran pemeliharaan. Toh kalau anggaran pemeliharaan itu tidak cukup keamanan penumpang dalam taruhan.

Bisa juga ‘pinjam pakai’ itu dengan syarat tambahan lagi: Si peminjam harus melakukan pengelasan sambungan rel. Dengan demikian maka kereta api dari Jakarta ke Surabaya bisa menambah kecepatan menjadi 160 km/jam. Artinya yang selama ini 8,5 jam bisa menjadi 6 jam.

Bulan ini kereta api Indonesia telah memasuki dunia baru. Sayang kalau masih diganggu oleh hantu lama.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru