25.2 C
Jakarta
Friday, December 27, 2024

Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di UPR Disebut Tak Transparan

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Masa yang mengatasnamakan Koalisi Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menyoroti penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan Universitas Palangka Raya (UPR). Diketahui dalam kasus tersebut, korban seorang mahasiswa dan terduga pelaku  merupakan dosen berinisial AVG di Fakultas Teknik UPR, 5 September 2022 silam.

Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalteng ini, terdiri dari BEM Fakultas Pertanian UPR, DPM Faperta UPR, BEM Fakultas Teknik UPR, LBH Palangka Raya, AMAN Kalteng, Solidaritas Perempuan Mamut Menteng, Progress Kalimantan Kalteng, HMJ Budidaya Pertanian FP UPR, BEM FKIP UPR, WALHI Kalimantan Kalteng, SERUNI Kalteng.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LBH Palangka Raya, Sandi Jaya Prima Saragih Simarmata yang didaulat sebagai juru bicara (jubir)  KAKS Provinsi Kalteng mengatakan, berdasarkan informasi yang pihaknya dapatkan bahwa pada Maret 2023, Polda Kalteng telah menerbitkan surat SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) pada kasus tersebut.

Baca Juga :  Kelotok Tenggelam di Sungai Kahayan, Dua ABK Hilang

“Menurut kami, ini yang sangat janggal, dimana dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pasal 23, menyebutkan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” terangnya,Rabu (5/4/2023).

Lebih lanjut, Sandi menjelaskan guna memastikaan informasi yang pihaknya peroleh tersebut, Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalteng yang terdiri dari beberapa individu dan organisasi atau Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) lantas mengirimkan surat ke Polda Kalteng.

“Namun sayangnya surat tersebut tidak mendapatkan respon dan pada akhirnya kami mengajukan surat keberatan kepada Polda  Kalimantan Tengah pada Sabtu, 1 April 2023 yang diterima oleh Rizky sebagai petugas yang berjaga pada bagian Humas Polda Kalimantan Tengah,” imbuhnya.

Sehingga dengan demikian, Sandi beranggapan tindakan diam dari Polda Kalteng atas permohonan informasi tersebut, merupakan bentuk ketidak transparansian penyidik dalam menangani kasus ini. Hal ini menurutnya sangat bertentangan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 Ayat (2) Pasal 23.

Baca Juga :  Berhasil Tekan Inflasi di Kalteng, TPID Dapat Acungan Jempol

Untuk itulah Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalteng menyatakan sikap, bahwa kasus tindak pidana dengan terduga pelaku seorang dosen Fakultas Teknik UPR itu, merupakan tindak pidana yang sangat mencoreng harkat dan martabat hak asasi seseorang. Terlebih terjadi di institusi pendidikan tinggi.

“Bahwa pemintaan perdamaian dalam kasus ini yang pada akhirnya diduga kuat menjadi dasar diterbitkannya SP3 dari Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah merupakan satu tindakan yang tidak mencerminkan keadilan bagi korban. Karena permintaan maaf tidak bisa menghapus tindak pidana seseorang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pasal 23.  Kami meminta Polda Kalimantan Tengah untuk merespon surat permohonan kami,” tandasnya.






Reporter: M Hafidz

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Masa yang mengatasnamakan Koalisi Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menyoroti penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan Universitas Palangka Raya (UPR). Diketahui dalam kasus tersebut, korban seorang mahasiswa dan terduga pelaku  merupakan dosen berinisial AVG di Fakultas Teknik UPR, 5 September 2022 silam.

Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalteng ini, terdiri dari BEM Fakultas Pertanian UPR, DPM Faperta UPR, BEM Fakultas Teknik UPR, LBH Palangka Raya, AMAN Kalteng, Solidaritas Perempuan Mamut Menteng, Progress Kalimantan Kalteng, HMJ Budidaya Pertanian FP UPR, BEM FKIP UPR, WALHI Kalimantan Kalteng, SERUNI Kalteng.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LBH Palangka Raya, Sandi Jaya Prima Saragih Simarmata yang didaulat sebagai juru bicara (jubir)  KAKS Provinsi Kalteng mengatakan, berdasarkan informasi yang pihaknya dapatkan bahwa pada Maret 2023, Polda Kalteng telah menerbitkan surat SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) pada kasus tersebut.

Baca Juga :  Kelotok Tenggelam di Sungai Kahayan, Dua ABK Hilang

“Menurut kami, ini yang sangat janggal, dimana dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pasal 23, menyebutkan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” terangnya,Rabu (5/4/2023).

Lebih lanjut, Sandi menjelaskan guna memastikaan informasi yang pihaknya peroleh tersebut, Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalteng yang terdiri dari beberapa individu dan organisasi atau Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) lantas mengirimkan surat ke Polda Kalteng.

“Namun sayangnya surat tersebut tidak mendapatkan respon dan pada akhirnya kami mengajukan surat keberatan kepada Polda  Kalimantan Tengah pada Sabtu, 1 April 2023 yang diterima oleh Rizky sebagai petugas yang berjaga pada bagian Humas Polda Kalimantan Tengah,” imbuhnya.

Sehingga dengan demikian, Sandi beranggapan tindakan diam dari Polda Kalteng atas permohonan informasi tersebut, merupakan bentuk ketidak transparansian penyidik dalam menangani kasus ini. Hal ini menurutnya sangat bertentangan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 Ayat (2) Pasal 23.

Baca Juga :  Berhasil Tekan Inflasi di Kalteng, TPID Dapat Acungan Jempol

Untuk itulah Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalteng menyatakan sikap, bahwa kasus tindak pidana dengan terduga pelaku seorang dosen Fakultas Teknik UPR itu, merupakan tindak pidana yang sangat mencoreng harkat dan martabat hak asasi seseorang. Terlebih terjadi di institusi pendidikan tinggi.

“Bahwa pemintaan perdamaian dalam kasus ini yang pada akhirnya diduga kuat menjadi dasar diterbitkannya SP3 dari Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah merupakan satu tindakan yang tidak mencerminkan keadilan bagi korban. Karena permintaan maaf tidak bisa menghapus tindak pidana seseorang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pasal 23.  Kami meminta Polda Kalimantan Tengah untuk merespon surat permohonan kami,” tandasnya.






Reporter: M Hafidz

Terpopuler

Artikel Terbaru