27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Bulog Tolak Impor Beras, Buwas: Impor 2018 Saja Masih Tersisa

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Bulog mengaku masih memiliki cadangan
pangan. Dan jika impor benar-benar teralisasi, Bulog sepertinya akan kesulitan
menyalurkan. Terhadap hal ini, DPR mempertanyakan ada apa di balik niatan impor
beras.

Di sisi lain, Kementerian
Pertanian (Kementan) juga seharusnya bertanggung jawab atas produksi beras
lokal. Ketika produksi dalam negeri mencukupi, maka kebijakan impor bisa
diminimalisir.

Anggota Komisi IV DPR RI dari
Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo menyebut, dalam Rapat Dengar Pendapat,
Perum Bulog menyatakan bahwa pihaknya tidak akan melakukan impor satu juta ton
beras. Dijelaskan bahwa Bulog menyatakan bahwa ketersediaan pangan nasioal
masih mencukupi.

“Kan yang ditugaskan Bulog. Kalau
Bulog sudah yakin stok cukup, ya tinggal lapor kepada pemerintah tidak usah
impor,” kata Firman kepada wartawan, Selasa (15/3).

Oleh karena itu, seharusnya Bulog
langsung melakukan komunikasi dan koordinasi. “Kalau stok sudah cukup,
pemerintah juga akan mendengarkan dan tidak usah impor,” ujarnya.

Dalam RDP dengan Komisi IV DPR,
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menjelaskan melaporkan, persediaan beras
per 14 Maret 2021 di gudang Bulog mencapai 883.585 ton. Dengan rincian 859.877
ton merupakan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 23.708 ton stok beras
komersial.

Sementara beras sisa impor tahun
2018 yang masih tersedia di gudang Bulog yaitu 275.811 ton, dengan 106.642 ton
di antaranya mengalami turun mutu. Adapun total impor beras tahun 2018 sebesar
1.785.450 ton.

“Kesalahan pada impor beras tahun
2018 dikarenakan rata-rata jenisnya merupakan jenis beras pera yang tidak
sesuai dengan selera masyarakat Indonesia. Akibatnya, sulitnya penyaluran beras
tersebut. Kita perlu mencampur beras impor tersebut dengan beras produksi dalam
negeri agar bisa disalurkan ke masyarakat,” kata Buwas.

Pada Maret 2020, lanjut Buwas,
beras impor tahun 2018 masih tersisa sekitar 900 ribu ton. Beras tersebut
kemudian digunakan untuk penyaluran bantuan sosial dari Kementerian Sosial dan
bantuan langsung dari Presiden kepada masyarakat dalam menanggulangi dampak
ekonomi akibat pandemi.

Baca Juga :  Bioskop Boleh Buka, Nonton Wajib Sudah Divaksin

Namun, beras tersebut hanya
tersalurkan sekitar 450 ribu ton dari alokasi sebanyak 900 ribu ton. Sisanya,
hingga kini sebanyak 275.811 ton beras impor tahun 2018 masih tersimpan di
gudang Bulog dengan 106.642 ton di antaranya sudah mengalami turun mutu.

Rencananya, kata Buwas, beras
sisa impor tahun 2018 tersebut akan diolah menjadi tepung yang akan ditangani
oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.

Namun menurutnya, Bulog sudah
mendapatkan penugasan impor beras 1 juta ton kendati sisa impor beras tahun
2018 belum diselesaikan.

Dia menyebut, Bulog telah
kehilangan pangsa pasar sebesar 2,6 juta ton beras per tahun dikarenakan
Program Rastra (beras untuk keluarga sejahtera) diganti oleh pemerintah menjadi
Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Yang tadinya masyarakat mendapatkan bansos
berupa beras dari Bulog, kini diberikan bantuan secara nontunai yang bisa
dibelanjakan sendiri oleh masyarakat penerima manfaat di warung-warung yang
bekerja sama dengan Kementerian Sosial.

Namun, jika memang harus impor,
Budi Waseso mengatakan pihaknya siap untuk menampung beras hingga 3,6 juta ton
sesuai kapasitas gudang Bulog di seluruh Indonesia. Namun, ia meminta agar ada
pangsa pasar untuk menyalurkan beras yang diserap.

“Kalau kami membeli sebanyak
apapun kami siap, asalkan hilirnya dipakai,” katanya.

Ekonom senior Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan,
rencana impor beras harus didasarkan pada data. Sementara, BPS telah menyatakan
stok pangan dalam negeri masih aman.

“Impor pangan itu bukan sesuatu
yang haram, diperbolehkan di Undang-Undang Pangan, tapi ada prasayaratnya,
kalau kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi. Sementara BPS menyatakan bahwa
ketersediaan beras cukup, bahkan sektor pertanian satu-satunya yang tumbuh
selama pandemi,” ujarnya.

Baca Juga :  Mau Dapat Diskon Listrik Periode April-Juni 2021, Ini Syaratnya

Menjadi tidak rasional, kata dia,
jika wacana itu justru digulirkan jelang musim panen. Artinya, yang terjadi
bukan masalah komunikasi, melainkan abai dari data BPS. Sementara Presiden
Jokowi berulang kali mengatakan, data yang digunakan adalah data BPS.

Menurutnya, pengumpulan data BPS
sudah cukup akurat karena menggunakan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA)
yang menggunakan citra satelit, dan bukan berdasarkan asumsi-asumsi.

“Impor harus didukung data valid,
bukan pertimbangan perburuan rente, dan bukan hanya masalah harga. Memang harga
dalam negeri punya disparitas yang tinggi dari harga internasional, ini karena
biaya produksi di dalam negeri cukup mahal,” katanya.

Mestinya, kata Enny, kalau memang
pemerintah mau menyelesaikan problem harga, harus ada efisiensi di pertanian,
bukan dengan cara impor.

“Meski pemerintah sudah anggarkan
subsidi pupuk dan benih, ternyata hanya teori dan asumsi. Karena realitasnya
petani Indonesia tidak mendapatkan itu,” jelas Enny.

Ia juga meminta pemerintah jeli
melihat stok, karena ketersediaan beras terbesar bukan di Bulog. “Ketersediaan
itu harus diukur dengan jumlah stok nasional, produksi nasional, bukan hanya
yang dikuasai Bulog saja. Kalau Bulog dengan stok 2,5 juta sampai 3 juta ton
itu sudah cukup,” jelasnya

Enny berpendapat, masalah stok di
Indonesia adalah masalah distribusi produk pertanian. Beberapa daerah menjadi
lumbung padi, sementara daerah lain tidak menghasilkan.

“Secara natural, harga
dipengaruhi demand and supply. Tapi di Indonesia, khususnya beras, harga tidak
satu-satunya indikator keseimbangan supply dan demand, ada perburuan rente,
yakni penguasaan cadangan yang terkonsentrasi di pihak-pihak tertentu. Ketidakmerataan
produksi dan distribusi inilah yang harus diselesaikan,” tuturnya.

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Bulog mengaku masih memiliki cadangan
pangan. Dan jika impor benar-benar teralisasi, Bulog sepertinya akan kesulitan
menyalurkan. Terhadap hal ini, DPR mempertanyakan ada apa di balik niatan impor
beras.

Di sisi lain, Kementerian
Pertanian (Kementan) juga seharusnya bertanggung jawab atas produksi beras
lokal. Ketika produksi dalam negeri mencukupi, maka kebijakan impor bisa
diminimalisir.

Anggota Komisi IV DPR RI dari
Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo menyebut, dalam Rapat Dengar Pendapat,
Perum Bulog menyatakan bahwa pihaknya tidak akan melakukan impor satu juta ton
beras. Dijelaskan bahwa Bulog menyatakan bahwa ketersediaan pangan nasioal
masih mencukupi.

“Kan yang ditugaskan Bulog. Kalau
Bulog sudah yakin stok cukup, ya tinggal lapor kepada pemerintah tidak usah
impor,” kata Firman kepada wartawan, Selasa (15/3).

Oleh karena itu, seharusnya Bulog
langsung melakukan komunikasi dan koordinasi. “Kalau stok sudah cukup,
pemerintah juga akan mendengarkan dan tidak usah impor,” ujarnya.

Dalam RDP dengan Komisi IV DPR,
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menjelaskan melaporkan, persediaan beras
per 14 Maret 2021 di gudang Bulog mencapai 883.585 ton. Dengan rincian 859.877
ton merupakan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 23.708 ton stok beras
komersial.

Sementara beras sisa impor tahun
2018 yang masih tersedia di gudang Bulog yaitu 275.811 ton, dengan 106.642 ton
di antaranya mengalami turun mutu. Adapun total impor beras tahun 2018 sebesar
1.785.450 ton.

“Kesalahan pada impor beras tahun
2018 dikarenakan rata-rata jenisnya merupakan jenis beras pera yang tidak
sesuai dengan selera masyarakat Indonesia. Akibatnya, sulitnya penyaluran beras
tersebut. Kita perlu mencampur beras impor tersebut dengan beras produksi dalam
negeri agar bisa disalurkan ke masyarakat,” kata Buwas.

Pada Maret 2020, lanjut Buwas,
beras impor tahun 2018 masih tersisa sekitar 900 ribu ton. Beras tersebut
kemudian digunakan untuk penyaluran bantuan sosial dari Kementerian Sosial dan
bantuan langsung dari Presiden kepada masyarakat dalam menanggulangi dampak
ekonomi akibat pandemi.

Baca Juga :  Bioskop Boleh Buka, Nonton Wajib Sudah Divaksin

Namun, beras tersebut hanya
tersalurkan sekitar 450 ribu ton dari alokasi sebanyak 900 ribu ton. Sisanya,
hingga kini sebanyak 275.811 ton beras impor tahun 2018 masih tersimpan di
gudang Bulog dengan 106.642 ton di antaranya sudah mengalami turun mutu.

Rencananya, kata Buwas, beras
sisa impor tahun 2018 tersebut akan diolah menjadi tepung yang akan ditangani
oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.

Namun menurutnya, Bulog sudah
mendapatkan penugasan impor beras 1 juta ton kendati sisa impor beras tahun
2018 belum diselesaikan.

Dia menyebut, Bulog telah
kehilangan pangsa pasar sebesar 2,6 juta ton beras per tahun dikarenakan
Program Rastra (beras untuk keluarga sejahtera) diganti oleh pemerintah menjadi
Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Yang tadinya masyarakat mendapatkan bansos
berupa beras dari Bulog, kini diberikan bantuan secara nontunai yang bisa
dibelanjakan sendiri oleh masyarakat penerima manfaat di warung-warung yang
bekerja sama dengan Kementerian Sosial.

Namun, jika memang harus impor,
Budi Waseso mengatakan pihaknya siap untuk menampung beras hingga 3,6 juta ton
sesuai kapasitas gudang Bulog di seluruh Indonesia. Namun, ia meminta agar ada
pangsa pasar untuk menyalurkan beras yang diserap.

“Kalau kami membeli sebanyak
apapun kami siap, asalkan hilirnya dipakai,” katanya.

Ekonom senior Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan,
rencana impor beras harus didasarkan pada data. Sementara, BPS telah menyatakan
stok pangan dalam negeri masih aman.

“Impor pangan itu bukan sesuatu
yang haram, diperbolehkan di Undang-Undang Pangan, tapi ada prasayaratnya,
kalau kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi. Sementara BPS menyatakan bahwa
ketersediaan beras cukup, bahkan sektor pertanian satu-satunya yang tumbuh
selama pandemi,” ujarnya.

Baca Juga :  Mau Dapat Diskon Listrik Periode April-Juni 2021, Ini Syaratnya

Menjadi tidak rasional, kata dia,
jika wacana itu justru digulirkan jelang musim panen. Artinya, yang terjadi
bukan masalah komunikasi, melainkan abai dari data BPS. Sementara Presiden
Jokowi berulang kali mengatakan, data yang digunakan adalah data BPS.

Menurutnya, pengumpulan data BPS
sudah cukup akurat karena menggunakan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA)
yang menggunakan citra satelit, dan bukan berdasarkan asumsi-asumsi.

“Impor harus didukung data valid,
bukan pertimbangan perburuan rente, dan bukan hanya masalah harga. Memang harga
dalam negeri punya disparitas yang tinggi dari harga internasional, ini karena
biaya produksi di dalam negeri cukup mahal,” katanya.

Mestinya, kata Enny, kalau memang
pemerintah mau menyelesaikan problem harga, harus ada efisiensi di pertanian,
bukan dengan cara impor.

“Meski pemerintah sudah anggarkan
subsidi pupuk dan benih, ternyata hanya teori dan asumsi. Karena realitasnya
petani Indonesia tidak mendapatkan itu,” jelas Enny.

Ia juga meminta pemerintah jeli
melihat stok, karena ketersediaan beras terbesar bukan di Bulog. “Ketersediaan
itu harus diukur dengan jumlah stok nasional, produksi nasional, bukan hanya
yang dikuasai Bulog saja. Kalau Bulog dengan stok 2,5 juta sampai 3 juta ton
itu sudah cukup,” jelasnya

Enny berpendapat, masalah stok di
Indonesia adalah masalah distribusi produk pertanian. Beberapa daerah menjadi
lumbung padi, sementara daerah lain tidak menghasilkan.

“Secara natural, harga
dipengaruhi demand and supply. Tapi di Indonesia, khususnya beras, harga tidak
satu-satunya indikator keseimbangan supply dan demand, ada perburuan rente,
yakni penguasaan cadangan yang terkonsentrasi di pihak-pihak tertentu. Ketidakmerataan
produksi dan distribusi inilah yang harus diselesaikan,” tuturnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru