30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Astaga! Bahan Pokok Ini Bakal Kena PPN

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk bahan pokok yang menjadi kebutuhan utama masyarakat.

Peraturan itu tertuang dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sedangkan pasal 4A menyebut, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam RUU KUP sebagai barang akan dikenakan PPN.

“Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,” tulis aturan tersebut dikutip, Rabu (9/6/2021).

Dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

“Jenis barang kebutuhan pokok yang dimaksud, yakni beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian,” tulis PMK Nomor 99/PMK.010/2020 tersebut.

Baca Juga :  Bank Mandiri Boyong 10 Penghargaan FinanceAsia Kategori Sustainable Bank - ESG

Saat ini, tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).

“Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” pungkas aturan tersebut.

Ketua umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri memprotes rencana pemerintah menjadikan bahan pokok atau sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN).

“Pemerintah diharapkan menghentikan upaya bahan pokok sebagai objek pajak dan harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan,” kata Abdullah di Jakarta, Rabu (9/6/2021).

“Apalagi kebijakan tersebut di gulirkan pada masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit,” sambungnya.

Baca Juga :  Bank Mandiri Genjot Kepemilikan Kendaraan Listrik Melalui Kopra dan Livin

Menurut Abdullah, apabila bahan pokok dikenakan PPN, maka akan membebani masyarakat. Sebab barang yang dikenakan PPN meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula.

Terlebih lagi, lanjut Abdullah, pedagang pasar sedang mengalami kondisi sulit karena lebih dari 50% omzet dagang turun.  Sementara pemerintah, dinilai belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan dalam beberapa bulan terakhir.

“Harga cabai bulan lalu hingga Rp 100.000, harga daging sapi belum stabil mau dibebankan PPN lagi? Gila, kami kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Ini malah mau ditambah PPN lagi, gimana enggak gulung tikar,” tuturnya.

“Kami akan melakukan upaya protes kepada Presiden agar kementerian terkait tidak melakukan upaya-upaya yang justru menyulitkan anggota kami,” pungkasnya.

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk bahan pokok yang menjadi kebutuhan utama masyarakat.

Peraturan itu tertuang dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sedangkan pasal 4A menyebut, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam RUU KUP sebagai barang akan dikenakan PPN.

“Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,” tulis aturan tersebut dikutip, Rabu (9/6/2021).

Dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

“Jenis barang kebutuhan pokok yang dimaksud, yakni beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian,” tulis PMK Nomor 99/PMK.010/2020 tersebut.

Baca Juga :  Bank Mandiri Boyong 10 Penghargaan FinanceAsia Kategori Sustainable Bank - ESG

Saat ini, tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).

“Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” pungkas aturan tersebut.

Ketua umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri memprotes rencana pemerintah menjadikan bahan pokok atau sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN).

“Pemerintah diharapkan menghentikan upaya bahan pokok sebagai objek pajak dan harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan,” kata Abdullah di Jakarta, Rabu (9/6/2021).

“Apalagi kebijakan tersebut di gulirkan pada masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit,” sambungnya.

Baca Juga :  Bank Mandiri Genjot Kepemilikan Kendaraan Listrik Melalui Kopra dan Livin

Menurut Abdullah, apabila bahan pokok dikenakan PPN, maka akan membebani masyarakat. Sebab barang yang dikenakan PPN meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula.

Terlebih lagi, lanjut Abdullah, pedagang pasar sedang mengalami kondisi sulit karena lebih dari 50% omzet dagang turun.  Sementara pemerintah, dinilai belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan dalam beberapa bulan terakhir.

“Harga cabai bulan lalu hingga Rp 100.000, harga daging sapi belum stabil mau dibebankan PPN lagi? Gila, kami kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Ini malah mau ditambah PPN lagi, gimana enggak gulung tikar,” tuturnya.

“Kami akan melakukan upaya protes kepada Presiden agar kementerian terkait tidak melakukan upaya-upaya yang justru menyulitkan anggota kami,” pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru