28.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Gegara Ini, Maskapai Berpotensi Bangkrut

JAKARTA – Pemerintah telah meminta maskapai untuk menurunkan harga
tiket pesawat low cost carrier (LCC). Namun hal ini mendapat kritik. Langkah
itu dinilai tidak tepat karena dianggap tidak memberi ruang dunia aviasi.

Senin lalu (1/7) di Kementerian
Koordinator Perekonomian pemerintah mengumumkan penurunan tiket pesawat yang
berlaku pada waktu khusus. Selain itu, pemerintah meminta agar biaya murah
ditanggung oleh bandara, AirNav, dan penyedia bahan bakar.

Pengamat Kebijakan Publik Agus
Pambagio mengatakan bahwa langkah yang dilakukan pemerintah salah. Menurutnya
pemerintah tak boleh menentukan harga tiket pesawat. “Kalau diatur pemerintah,
hancur itu industri penerbangan. Pemerintah itu seperti mengatur harga kangkung,”
ucap Agus kemarin (2/7).

Apa yang dilakukan pemerintah
menurut Agus juga berdampak panjang. Salah satunya adalah ditakutkan maskapai
asing tidak tertarik untuk masuk ke tanah air. “Pemerintah itu sudahlah ngatur
tarif batas atas dan bawah saja,” tuturnya.

Dia menyatakan bahwa ujung
kerumitan ini berada di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sudah hampir
enam bulan lembaga tersebut menyelidiki kondisi bisnis aviasi terdapat praktik
kartel. Namun mereka belum juga memutuskan. “Semua itu tinggal menunggu
keputusan KPPU. Namun nampaknya hanya diulur-ulur,” ujar Agus.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menganggap kebiajakan ini anomali bagi konsumen
dan operator penerbangan. Alasannya, adalah intervensi pemerintah. “Anomali
bagi konsumen ya karena kalau mau serius nurunin tiket, maka hapus PPN tiket
dan PPN avtur,” ujarnya, kemarin.

Baca Juga :  Ciamik! BRI Raih Penghargaan Best Wealth Management Bank in Indonesia

Kebiajakan yang dikeluarkan
pemerintah dinilai Tulus hanya untuk tanpil populis. Sayangnya cara yang
digunakan keliru. “Menginjak maskapai,” tuturnya.

Turunnya harga tiket ini pun
menurutnya juga tidak bisa dinikmati seluruh kalangan. Tulus berpendapat bahwa
pesawat digunakan untuk kelas menengah atas. “Bisa dilihat pada demografi
penumpang pesawat yang mayoritas dibiayai oleh institusinya. Sementara
persentase terkecil adalah penumpang pribadi dan wisatawan. Jadi ini yang
lumayan sensitif,” ungkap Tulus.

Untuk itu dia menilai bahwa
langkah terbijak adalah mendorong transportasi umum selain pesawat. Artinya
kereta api, bus, dan kapal laut harus diperbaiki sehingga tetap menjadi pilihan
yang baik.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi
dari Insitute Development of Economic and Finance Nailul Huda menyebut bahwa
kebijakan yang mengatur mengenai tarif diskon LCC, merupakan langkah upaya
pemerintah dan stakeholder penerbangan untuk menyediakan tiket murah.

Namun upaya tersebut dianggap tak
akan serta merta mampu menurunkan rate tiket pesawat LCC secara keseluruhan.
“Sebab, bisa jadi harga tiket di luar rute, waktu, dan hari yang telah
ditentukan harga tiket lebih mahal karena untuk mensubsidi tiket murah itu.
Perusahaan memenuhi keinginan pemerintah namun di satu sisi tetap bisa menjual
tiket dengan harga yang relatif mahal,” ujar Huda, saat dihubungi kemarin
(2/7).

Baca Juga :  BPOM Peringatkan Pengelola Lapak Online

Terlepas dari hal tersebut, Huda
menambahkan kebijakan itu sudah seharusnya diambil demi menciptakan persaingan
yang lebih sehat. “Sebab ini Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group praktis
tidak ada pesaingnya. Mereka bisa dengan bebas menentukan harga selama di batas
atas dan batas bawah. Pemerintah harus berperan besar di sini,” tambahnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla
menilai bahwa tarif murah tiket pesawat yang diatur pemerintah sama seperi
promo pada umumnnya. “Ya kan tidak semua murah. Jam-jam tertentu dan jumlah
tertentu,” katanya.

Dia menuturkan harga atau tarif
tiket pesawat sangat bergantung pada dolar AS dan Rupiah. Maskapai nasional
menerima uang dari pembeli tiket dalam bentuk Rupiah. Sementara hampir seluruh
biaya operasional maskapai, khususnya untuk perawatan pesawat, menggunakan mata
uang dolar AS.

Dengan pertimbangan tersebut,
pria yang akrab disapa JK itu menjelaskan tarif murah tidak berlaku secara
umum. “Kalau harga seperti itu berlaku umum, saya kira perusahaan penerbangan
bangkrut,” tandasnya. Dia lantas menuturkan kondisi yang dialami maskapai
Garuda Indonesia. Menurut JK dengan menerapkan tarif normal saja, Garuda
mengalami masalah keuangan. (lyn/agf/ful)

JAKARTA – Pemerintah telah meminta maskapai untuk menurunkan harga
tiket pesawat low cost carrier (LCC). Namun hal ini mendapat kritik. Langkah
itu dinilai tidak tepat karena dianggap tidak memberi ruang dunia aviasi.

Senin lalu (1/7) di Kementerian
Koordinator Perekonomian pemerintah mengumumkan penurunan tiket pesawat yang
berlaku pada waktu khusus. Selain itu, pemerintah meminta agar biaya murah
ditanggung oleh bandara, AirNav, dan penyedia bahan bakar.

Pengamat Kebijakan Publik Agus
Pambagio mengatakan bahwa langkah yang dilakukan pemerintah salah. Menurutnya
pemerintah tak boleh menentukan harga tiket pesawat. “Kalau diatur pemerintah,
hancur itu industri penerbangan. Pemerintah itu seperti mengatur harga kangkung,”
ucap Agus kemarin (2/7).

Apa yang dilakukan pemerintah
menurut Agus juga berdampak panjang. Salah satunya adalah ditakutkan maskapai
asing tidak tertarik untuk masuk ke tanah air. “Pemerintah itu sudahlah ngatur
tarif batas atas dan bawah saja,” tuturnya.

Dia menyatakan bahwa ujung
kerumitan ini berada di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sudah hampir
enam bulan lembaga tersebut menyelidiki kondisi bisnis aviasi terdapat praktik
kartel. Namun mereka belum juga memutuskan. “Semua itu tinggal menunggu
keputusan KPPU. Namun nampaknya hanya diulur-ulur,” ujar Agus.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menganggap kebiajakan ini anomali bagi konsumen
dan operator penerbangan. Alasannya, adalah intervensi pemerintah. “Anomali
bagi konsumen ya karena kalau mau serius nurunin tiket, maka hapus PPN tiket
dan PPN avtur,” ujarnya, kemarin.

Baca Juga :  Ciamik! BRI Raih Penghargaan Best Wealth Management Bank in Indonesia

Kebiajakan yang dikeluarkan
pemerintah dinilai Tulus hanya untuk tanpil populis. Sayangnya cara yang
digunakan keliru. “Menginjak maskapai,” tuturnya.

Turunnya harga tiket ini pun
menurutnya juga tidak bisa dinikmati seluruh kalangan. Tulus berpendapat bahwa
pesawat digunakan untuk kelas menengah atas. “Bisa dilihat pada demografi
penumpang pesawat yang mayoritas dibiayai oleh institusinya. Sementara
persentase terkecil adalah penumpang pribadi dan wisatawan. Jadi ini yang
lumayan sensitif,” ungkap Tulus.

Untuk itu dia menilai bahwa
langkah terbijak adalah mendorong transportasi umum selain pesawat. Artinya
kereta api, bus, dan kapal laut harus diperbaiki sehingga tetap menjadi pilihan
yang baik.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi
dari Insitute Development of Economic and Finance Nailul Huda menyebut bahwa
kebijakan yang mengatur mengenai tarif diskon LCC, merupakan langkah upaya
pemerintah dan stakeholder penerbangan untuk menyediakan tiket murah.

Namun upaya tersebut dianggap tak
akan serta merta mampu menurunkan rate tiket pesawat LCC secara keseluruhan.
“Sebab, bisa jadi harga tiket di luar rute, waktu, dan hari yang telah
ditentukan harga tiket lebih mahal karena untuk mensubsidi tiket murah itu.
Perusahaan memenuhi keinginan pemerintah namun di satu sisi tetap bisa menjual
tiket dengan harga yang relatif mahal,” ujar Huda, saat dihubungi kemarin
(2/7).

Baca Juga :  BPOM Peringatkan Pengelola Lapak Online

Terlepas dari hal tersebut, Huda
menambahkan kebijakan itu sudah seharusnya diambil demi menciptakan persaingan
yang lebih sehat. “Sebab ini Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group praktis
tidak ada pesaingnya. Mereka bisa dengan bebas menentukan harga selama di batas
atas dan batas bawah. Pemerintah harus berperan besar di sini,” tambahnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla
menilai bahwa tarif murah tiket pesawat yang diatur pemerintah sama seperi
promo pada umumnnya. “Ya kan tidak semua murah. Jam-jam tertentu dan jumlah
tertentu,” katanya.

Dia menuturkan harga atau tarif
tiket pesawat sangat bergantung pada dolar AS dan Rupiah. Maskapai nasional
menerima uang dari pembeli tiket dalam bentuk Rupiah. Sementara hampir seluruh
biaya operasional maskapai, khususnya untuk perawatan pesawat, menggunakan mata
uang dolar AS.

Dengan pertimbangan tersebut,
pria yang akrab disapa JK itu menjelaskan tarif murah tidak berlaku secara
umum. “Kalau harga seperti itu berlaku umum, saya kira perusahaan penerbangan
bangkrut,” tandasnya. Dia lantas menuturkan kondisi yang dialami maskapai
Garuda Indonesia. Menurut JK dengan menerapkan tarif normal saja, Garuda
mengalami masalah keuangan. (lyn/agf/ful)

Terpopuler

Artikel Terbaru