28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Hasil InvestigasiDilaporkan ke LPSK untuk Memuluskan Penyelidikan

Kontras Investigasi Tragedi Bangkal, 6 Temuan Disinyalir Jadi Bukti

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO– Penyelidikan masih terus dilakukan untuk mengungkap tragedi penembakan yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan pada Sabtu (7/10) lalu. Konflik agraria yang berujung pada tewas satu warga dan sejumlah orang terluka itu disinyalir menambah catatan buruk dunia investasi di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal terus menyoroti penyelidikan atas kasus tersebut. Salah satu anggota tim advokasi tersebut adalah Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Pihaknya mendapat sejumlah temuan yang menjadi bukti adanya dugaan tindakan represif oleh aparat dalam proses pengamanan perusahaan sawit di wilayah Desa Bangkal. Kepala Divisi Hukum Kontras, Andrie Yunus mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan investigasi mendalam selama lima hari untuk menyelidiki terkait tragedi tersebut.

Investigasi dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi kejadian, melakukan pengamatan, serta mewawancarai para saksi maupun keluarga korban meninggal. Berdasarkan hasil investigasi tersebut, ada enam temuan yang disinyalir menjadi bukti tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan dalam tragedi tersebut.

Temuan pertama adalah adanya kebijakan pengerahan aparat secara berlebihan Menurutnya, terdapat langkah pengerahan aparat secara masif ke Desa Bangkal sejak dimulainya demonstrasi pada 16 September 2023 hingga 7 Oktober 2023. Masifnya aparat yang dikerahkan berujung pada terjadinya bentrokan.

“Lalu ada penggunaan senjata api dan gas air mata secara sewenang-wenang, hingga menimbulkan korban jiwa dan korban lukaluka, adanya penangkapan dan upaya paksa sewenang-wenang, lalu ada perusakan terhadap kendaraan milik warga,” beber Andrie kepada Kalteng Pos (grup prokalteng.co), Kamis (19/10).

Terakhir, lanjut Andrie, ada pernyataan keliru dan menyesatkan dari aparat dalam konteks memberikan pernyataan di hadapan publik pascaperistiwa di Desa Bangkal. Temuan-temuan itu sudah disampaikan pihaknya ke publik pada Minggu (15/10).

Dari enam temuan tersebut, lanjut Andrie, hal yang perlu menjadi perhatian adalah adanya penggunaan senjata api dan gas air mata yang dilakukan secara sewenangwenang oleh aparat. Berdasarkan pendalaman atas kesaksian para korban, diduga peristiwa 7 Oktober itu merupakan akumulasi dari rentetan kekerasan dan tindakan brutal yang sebelumnya pernah dialami warga setempat.

“Dalam temuan itu kami bagi menjadi tiga babak, yakni praperistiwa, peristiwa 7 Oktober, kemudian pascaperistiwa. Pada praperistiwa ada penggunaan gas air mata dan peluru karet yang menurut kami itu tidak sepatutnya dilakukan,” tuturnya.

Ia menerangkan, kejadian tanggal 21 September, terdapat potongan video yang memperlihatkan mobil pikap sedang berjalan dan ditembaki oleh gas air mata dari barikade aparat keamanan. Setelah didalami, ternyata mobil pikap tersebut bermuatan logistik makanan yang akan diantar ke pos 4 tempat massa berkumpul.

“Di dalamnya ada perempuan dan anakanak muda yang hendak mengantar logistik dari pos 10 menuju pos 4. Dalam perjalanan ke pos 4, sudah ada barikade dari aparat. Alihalih menyetop mobil dan menanyakan maksud dan tujuan, polisi justru langsung menembakkan gas air mata ke arah mobil,” ungkapnya.

Andrie menjelaskan, saat itu ada proyektil yang masuk ke dalam bak pikap, hingga membuat salah satu warga terjatuh dari mobil. Dari peristiwa tersebut, pihaknya menilai seharusnya aparat keamanan melakukan cara-cara yang lebih persuasif. “Itu yang perlu dihighlight selain peristiwa 7 Oktober, dari rentetan peristiwa itulah kami kemudian dapat kesimpulan bahwa ada pengerahan aparat secara berlebihan dan penggunaan senjata api secara sewenangwenang,” ucapnya.

Baca Juga :  Peduli Masyarakat, Bagikan Bansos dan Daging Qurban

Menurut Andrie, dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, ketika masyarakat secara patut melakukan aksi demonstrasi, maka akan terlebih dahulu mengirimkan surat pemberitahuan.

“Pada tanggal 16 September aksi berlangsung damai, karena memang tidak ada niat masyarakat untuk melakukan perusakan atau membuat rusuh, mereka murni menuntut hak mereka ke perusahaan,” jelasnya.

Ketika masyarakat menyampaikan aspirasi dengan sepatutnya, Andrie menyebut kepolisian seharusnya juga menjaga dan memastikan hak masyarakat menyampaikan aspirasi itu bisa digunakan.

“Sebetulnya kami mempertanyakan kenapa polisi menjaga aset perusahaan atau mengamankan aksiaksi warga,” ujarnya.

Temuan pihaknya menunjukkan ada surat perintah dari Polda Kalteng yang ditujukan kepada beberapa satuan, di antaranya Satuan Sabhara, Satuan Brimob, Direktorat Intelkam, Polres Seruyan, dan Polres Kotim. Dalam surat perintah itu ditemukan ada pengerahan sekitar 420 aparat ke lapangan, dengan periode 29 September-5 Oktober.

“Itu jadi tanda tanya besar, kenapa pengerahan aparat terlalu banyak, apalagi dilengkapi alat-alat anti huru-hara seperti tameng dan gas air mata,” ucapnya.

Dalam rentetan peristiwa hingga peristiwa 7 Oktober yang menewaskan satu warga setempat. Kontras mendorong adanya pertanggungjawaban pidana atas tindak kekerasan, termasuk penembakan yang menyebabkan satu warga Desa Bangkal meninggal dunia.

“Perlu didorong suatu mekanisme proses hukum yang harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan tetap melaporkan perkembangan proses hukum secara terbuka kepada publik,” ujarnya.

Dorongan pihaknya itu mempertimbangkan kondisi saat ini, yang mana belum ada satu proses hukum terhadap peristiwa meninggalnya Gijik. Dalam temuan itu, pihaknya mendapati bahwa Gijik ditembak menggunakan peluru tajam. Tidak ada proses hukum terkait korban meninggal.

“Kami menduga kuat (alm) Gijik ditembak menggunakan senjata api,” tambahnya.

Kontras menekankan agar proses hukum terhadap pelaku dijalankan secara tegas. Juga ditekankan, ketika proses itu dilakukan dan kemudian dibuat laporan polisi, maka tindakan hukum jangan hanya menyasar pada pelaku di lapangan.

“Tindakan hukum harus juga menyasar pada komandan tertinggi yang menggerakkan pasukan tanggal 7 Oktober itu, siapa yang menjadi penanggung jawab, siapa perwiranya, apa jabatannya,” kata Andrie seraya menyebut bahwa langkah itu penting dilakukan dalam proses pengungkapan kebenaran dan pencarian keadilan bagi korban.

Andrie menegaskan, selain pelaku di lapangan yang diseret ke pengadilan, juga atasan yang memerintah atau mengomandoi pasukan untuk melakukan tindakan pengamanan. Desakan itu bukan tanpa dasar. Andrie menyebut, pihaknya mendapat dua video saat kejadian 7 Oktober. Satu video dari arah warga yang menghadap ke petugas pengamanan dan satu lagi video dari belakang petugas ke arah warga.

Dalam dua video itu terdengar ada dua instruksi yang diucapkan oleh komandan kepada pasukannya untuk melakukan penembakan. Instruksi pertama agar gas air mata ditembakkan ke arah warga, bukan ke atas.

“Kemudian instruksi kedua meminta pasukan untuk membidik ke arah kepala warga sembari mengatakan ‘AK, AK, persiapan, ayo kita bermain’, itu kan ada instruksi tegas, terdengar dan terdokumentasi oleh warga,” terangnya.

Baca Juga :  Ini Alasan Yati Tega Aniaya Anak Kandungnya yang Berusia 5 Tahun

Karena itu, sudah sepatutnya polisi atau penyidik tidak hanya terpusat pada pelaku lapangan, tapi juga perwira yang memerintahkan sebagaimana yang terekam dan terdokumentasikan dan dituangkan dalam laporan yang pihaknya kumpulkan. Pada Rabu (18/10), ia bersama anggota lain dari Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal sudah menyerahkan laporan hasil investigasi peristiwa di Desa Bangkal kepada Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“LPSK menerima dengan baik laporan kami. Memang kami menuntut kepada LPSK agar memberikan perlindungan terhadap saksi-saksi yang melihat langsung peristiwa 7 Oktober tersebut,” ucapnya.

Alasan pihaknya melaporkan hasil investigasi itu ke LPSK karena berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang diduga melakukan penembakan. Ketika kesaksian dilakukan melalui proses pro justisia, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan, para saksi dapat memberikan keterangan secara bebas dan imparsial.

“LPSK bisa mengupayakan agar para saksi bisa terlindungi sehingga bisa memberikan keterangan secara bebas, tidak ada gangguan atau ancaman dari pihak-pihak tertentu,” ucapnya.

Saat dikonfirmasi Kalteng Pos terkait temuan dari Kontras tersebut, Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Pol Erlan Munaji tidak berkomentar banyak. Ia memercayai hasil penyelidikan yang dilakukan tim investigasi. “Kita tunggu nanti hasil temuan dari tim investigasi ya,” ucapnya kepada Kalteng Pos, Kamis (19/10).

Sebelumnya, Erlan menyebut tim investigasi terus bekerja untuk mengungkap tragedi penembakan di Desa Bangkal. Erlan mengatakan tim investigasi masih bekerja dengan melakukan pemeriksaan terhadap personel dan pengecekan balistik, yang mana nanti hasilnya akan disampaikan langsung oleh tim investigasi. “Sudah menjadi komitmen Kapolri dan Kapolda bahwa kami terbuka. Apabila ada oknum yang terbukti melakukan pelanggaran, kami tetap ambil langkah tegas,” ujarnya.

Ia menambahkan, jika ditemukan oknum anggota Polri yang melakukan penembakan, maka akan ditindak tegas oleh Polda Kalteng. Saat ini pihaknya masih melihat hasil penyelidikan, hasil autopsi, maupun balistik yang nantinya akan disampaikan Biddokkes dan Puslabfor.

“Polri dalam hal ini Polda Kalteng berkomitmen mengungkap permasalahan ini. Transparansi dalam proses penyelidikan dengan tim gabungan yang saat ini diperbantukan,” tuturnya.

Ditanya apakah ada target dalam pengusutan konflik tersebut, Erlan tidak bisa memastikan, karena scientific investigation yang diterapkan oleh tim investigasi membutuhkan waktu untuk penelitian dan pemeriksaan. “Makanya harus bersabar menunggu hasil penyelidikan,” ujarnya.

Kepolisian dituding melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat atas konflik di Desa Bangkal karena menimbulkan korban jiwa dalam proses pengamanan. Menanggapi hal itu, Erlan menyebut hasilnya akan dibuktikan oleh penyelidik.

“Terkait ada tidaknya pelanggaran HAM berat bisa dibuktikan nanti, karena sudah ada penyelidikan dari Komnas HAM dan Kompolnas,” ucapnya. Sementara terhadap 20 warga yang sebelumnya diamankan, Erlan menyebut nanti akan dianalisis siapa-siapa yang layak ditetapkan sebagai tersangka.

“20 warga statusnya diamankan di lapangan, beberapa membawa senjata tajam. Nanti akan dianalisis siapa yang ditetapkan sebagai tersangka atau kemarin sebagai pengguna narkoba,” tandasnya. (dan/ram/kpg/ind)

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO– Penyelidikan masih terus dilakukan untuk mengungkap tragedi penembakan yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan pada Sabtu (7/10) lalu. Konflik agraria yang berujung pada tewas satu warga dan sejumlah orang terluka itu disinyalir menambah catatan buruk dunia investasi di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal terus menyoroti penyelidikan atas kasus tersebut. Salah satu anggota tim advokasi tersebut adalah Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Pihaknya mendapat sejumlah temuan yang menjadi bukti adanya dugaan tindakan represif oleh aparat dalam proses pengamanan perusahaan sawit di wilayah Desa Bangkal. Kepala Divisi Hukum Kontras, Andrie Yunus mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan investigasi mendalam selama lima hari untuk menyelidiki terkait tragedi tersebut.

Investigasi dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi kejadian, melakukan pengamatan, serta mewawancarai para saksi maupun keluarga korban meninggal. Berdasarkan hasil investigasi tersebut, ada enam temuan yang disinyalir menjadi bukti tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan dalam tragedi tersebut.

Temuan pertama adalah adanya kebijakan pengerahan aparat secara berlebihan Menurutnya, terdapat langkah pengerahan aparat secara masif ke Desa Bangkal sejak dimulainya demonstrasi pada 16 September 2023 hingga 7 Oktober 2023. Masifnya aparat yang dikerahkan berujung pada terjadinya bentrokan.

“Lalu ada penggunaan senjata api dan gas air mata secara sewenang-wenang, hingga menimbulkan korban jiwa dan korban lukaluka, adanya penangkapan dan upaya paksa sewenang-wenang, lalu ada perusakan terhadap kendaraan milik warga,” beber Andrie kepada Kalteng Pos (grup prokalteng.co), Kamis (19/10).

Terakhir, lanjut Andrie, ada pernyataan keliru dan menyesatkan dari aparat dalam konteks memberikan pernyataan di hadapan publik pascaperistiwa di Desa Bangkal. Temuan-temuan itu sudah disampaikan pihaknya ke publik pada Minggu (15/10).

Dari enam temuan tersebut, lanjut Andrie, hal yang perlu menjadi perhatian adalah adanya penggunaan senjata api dan gas air mata yang dilakukan secara sewenangwenang oleh aparat. Berdasarkan pendalaman atas kesaksian para korban, diduga peristiwa 7 Oktober itu merupakan akumulasi dari rentetan kekerasan dan tindakan brutal yang sebelumnya pernah dialami warga setempat.

“Dalam temuan itu kami bagi menjadi tiga babak, yakni praperistiwa, peristiwa 7 Oktober, kemudian pascaperistiwa. Pada praperistiwa ada penggunaan gas air mata dan peluru karet yang menurut kami itu tidak sepatutnya dilakukan,” tuturnya.

Ia menerangkan, kejadian tanggal 21 September, terdapat potongan video yang memperlihatkan mobil pikap sedang berjalan dan ditembaki oleh gas air mata dari barikade aparat keamanan. Setelah didalami, ternyata mobil pikap tersebut bermuatan logistik makanan yang akan diantar ke pos 4 tempat massa berkumpul.

“Di dalamnya ada perempuan dan anakanak muda yang hendak mengantar logistik dari pos 10 menuju pos 4. Dalam perjalanan ke pos 4, sudah ada barikade dari aparat. Alihalih menyetop mobil dan menanyakan maksud dan tujuan, polisi justru langsung menembakkan gas air mata ke arah mobil,” ungkapnya.

Andrie menjelaskan, saat itu ada proyektil yang masuk ke dalam bak pikap, hingga membuat salah satu warga terjatuh dari mobil. Dari peristiwa tersebut, pihaknya menilai seharusnya aparat keamanan melakukan cara-cara yang lebih persuasif. “Itu yang perlu dihighlight selain peristiwa 7 Oktober, dari rentetan peristiwa itulah kami kemudian dapat kesimpulan bahwa ada pengerahan aparat secara berlebihan dan penggunaan senjata api secara sewenangwenang,” ucapnya.

Baca Juga :  Peduli Masyarakat, Bagikan Bansos dan Daging Qurban

Menurut Andrie, dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, ketika masyarakat secara patut melakukan aksi demonstrasi, maka akan terlebih dahulu mengirimkan surat pemberitahuan.

“Pada tanggal 16 September aksi berlangsung damai, karena memang tidak ada niat masyarakat untuk melakukan perusakan atau membuat rusuh, mereka murni menuntut hak mereka ke perusahaan,” jelasnya.

Ketika masyarakat menyampaikan aspirasi dengan sepatutnya, Andrie menyebut kepolisian seharusnya juga menjaga dan memastikan hak masyarakat menyampaikan aspirasi itu bisa digunakan.

“Sebetulnya kami mempertanyakan kenapa polisi menjaga aset perusahaan atau mengamankan aksiaksi warga,” ujarnya.

Temuan pihaknya menunjukkan ada surat perintah dari Polda Kalteng yang ditujukan kepada beberapa satuan, di antaranya Satuan Sabhara, Satuan Brimob, Direktorat Intelkam, Polres Seruyan, dan Polres Kotim. Dalam surat perintah itu ditemukan ada pengerahan sekitar 420 aparat ke lapangan, dengan periode 29 September-5 Oktober.

“Itu jadi tanda tanya besar, kenapa pengerahan aparat terlalu banyak, apalagi dilengkapi alat-alat anti huru-hara seperti tameng dan gas air mata,” ucapnya.

Dalam rentetan peristiwa hingga peristiwa 7 Oktober yang menewaskan satu warga setempat. Kontras mendorong adanya pertanggungjawaban pidana atas tindak kekerasan, termasuk penembakan yang menyebabkan satu warga Desa Bangkal meninggal dunia.

“Perlu didorong suatu mekanisme proses hukum yang harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan tetap melaporkan perkembangan proses hukum secara terbuka kepada publik,” ujarnya.

Dorongan pihaknya itu mempertimbangkan kondisi saat ini, yang mana belum ada satu proses hukum terhadap peristiwa meninggalnya Gijik. Dalam temuan itu, pihaknya mendapati bahwa Gijik ditembak menggunakan peluru tajam. Tidak ada proses hukum terkait korban meninggal.

“Kami menduga kuat (alm) Gijik ditembak menggunakan senjata api,” tambahnya.

Kontras menekankan agar proses hukum terhadap pelaku dijalankan secara tegas. Juga ditekankan, ketika proses itu dilakukan dan kemudian dibuat laporan polisi, maka tindakan hukum jangan hanya menyasar pada pelaku di lapangan.

“Tindakan hukum harus juga menyasar pada komandan tertinggi yang menggerakkan pasukan tanggal 7 Oktober itu, siapa yang menjadi penanggung jawab, siapa perwiranya, apa jabatannya,” kata Andrie seraya menyebut bahwa langkah itu penting dilakukan dalam proses pengungkapan kebenaran dan pencarian keadilan bagi korban.

Andrie menegaskan, selain pelaku di lapangan yang diseret ke pengadilan, juga atasan yang memerintah atau mengomandoi pasukan untuk melakukan tindakan pengamanan. Desakan itu bukan tanpa dasar. Andrie menyebut, pihaknya mendapat dua video saat kejadian 7 Oktober. Satu video dari arah warga yang menghadap ke petugas pengamanan dan satu lagi video dari belakang petugas ke arah warga.

Dalam dua video itu terdengar ada dua instruksi yang diucapkan oleh komandan kepada pasukannya untuk melakukan penembakan. Instruksi pertama agar gas air mata ditembakkan ke arah warga, bukan ke atas.

“Kemudian instruksi kedua meminta pasukan untuk membidik ke arah kepala warga sembari mengatakan ‘AK, AK, persiapan, ayo kita bermain’, itu kan ada instruksi tegas, terdengar dan terdokumentasi oleh warga,” terangnya.

Baca Juga :  Ini Alasan Yati Tega Aniaya Anak Kandungnya yang Berusia 5 Tahun

Karena itu, sudah sepatutnya polisi atau penyidik tidak hanya terpusat pada pelaku lapangan, tapi juga perwira yang memerintahkan sebagaimana yang terekam dan terdokumentasikan dan dituangkan dalam laporan yang pihaknya kumpulkan. Pada Rabu (18/10), ia bersama anggota lain dari Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal sudah menyerahkan laporan hasil investigasi peristiwa di Desa Bangkal kepada Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“LPSK menerima dengan baik laporan kami. Memang kami menuntut kepada LPSK agar memberikan perlindungan terhadap saksi-saksi yang melihat langsung peristiwa 7 Oktober tersebut,” ucapnya.

Alasan pihaknya melaporkan hasil investigasi itu ke LPSK karena berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang diduga melakukan penembakan. Ketika kesaksian dilakukan melalui proses pro justisia, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan, para saksi dapat memberikan keterangan secara bebas dan imparsial.

“LPSK bisa mengupayakan agar para saksi bisa terlindungi sehingga bisa memberikan keterangan secara bebas, tidak ada gangguan atau ancaman dari pihak-pihak tertentu,” ucapnya.

Saat dikonfirmasi Kalteng Pos terkait temuan dari Kontras tersebut, Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Pol Erlan Munaji tidak berkomentar banyak. Ia memercayai hasil penyelidikan yang dilakukan tim investigasi. “Kita tunggu nanti hasil temuan dari tim investigasi ya,” ucapnya kepada Kalteng Pos, Kamis (19/10).

Sebelumnya, Erlan menyebut tim investigasi terus bekerja untuk mengungkap tragedi penembakan di Desa Bangkal. Erlan mengatakan tim investigasi masih bekerja dengan melakukan pemeriksaan terhadap personel dan pengecekan balistik, yang mana nanti hasilnya akan disampaikan langsung oleh tim investigasi. “Sudah menjadi komitmen Kapolri dan Kapolda bahwa kami terbuka. Apabila ada oknum yang terbukti melakukan pelanggaran, kami tetap ambil langkah tegas,” ujarnya.

Ia menambahkan, jika ditemukan oknum anggota Polri yang melakukan penembakan, maka akan ditindak tegas oleh Polda Kalteng. Saat ini pihaknya masih melihat hasil penyelidikan, hasil autopsi, maupun balistik yang nantinya akan disampaikan Biddokkes dan Puslabfor.

“Polri dalam hal ini Polda Kalteng berkomitmen mengungkap permasalahan ini. Transparansi dalam proses penyelidikan dengan tim gabungan yang saat ini diperbantukan,” tuturnya.

Ditanya apakah ada target dalam pengusutan konflik tersebut, Erlan tidak bisa memastikan, karena scientific investigation yang diterapkan oleh tim investigasi membutuhkan waktu untuk penelitian dan pemeriksaan. “Makanya harus bersabar menunggu hasil penyelidikan,” ujarnya.

Kepolisian dituding melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat atas konflik di Desa Bangkal karena menimbulkan korban jiwa dalam proses pengamanan. Menanggapi hal itu, Erlan menyebut hasilnya akan dibuktikan oleh penyelidik.

“Terkait ada tidaknya pelanggaran HAM berat bisa dibuktikan nanti, karena sudah ada penyelidikan dari Komnas HAM dan Kompolnas,” ucapnya. Sementara terhadap 20 warga yang sebelumnya diamankan, Erlan menyebut nanti akan dianalisis siapa-siapa yang layak ditetapkan sebagai tersangka.

“20 warga statusnya diamankan di lapangan, beberapa membawa senjata tajam. Nanti akan dianalisis siapa yang ditetapkan sebagai tersangka atau kemarin sebagai pengguna narkoba,” tandasnya. (dan/ram/kpg/ind)

Terpopuler

Artikel Terbaru