PROKALTENG.CO – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bersama kolega melakukan finalisasi hasil pengawasan terhadap Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU dalam Rangka Pelaksanaan Pemilu Serentak tahun 2024.
Selain itu, dibahas hasil pengawasan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juncto UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Senin (1/4/2024).
“Melalui serangkaian penyerapan aspirasi dan kunjungan kerja, kami telah menelaah berbagai isu terkait dengan dua UU ini. Untuk itu kami memetakan bersama berbagai isu tersebut untuk melihat opsi penyempurnaan menurut kebutuhan terkini,” jelas Anggota DPD RI, Agustin Teras Narang.
Salah satu yang mendapatkan atensi dari Komite II DPD RI adalah soal penanganan limbah saat pesta demokrasi digelar. Bagaimana agar aspek lingkungan hidup saat Pemilu atau Pilkada sungguh diperhatikan penyelenggara dan pengawas pesta demokrasi bersama Pemerintah Daerah.
“Terlebih kita masih akan menghadapi Pilkada jelang akhir tahun ini sehingga diharapkan ada langkah strategis yang dapat segera diambil,” ujar Senator asal Kalteng ini.
Secara pribadi Teras Narang melihat bahwa terkait soal lingkungan hidup cukup rumit. Di luar agenda Pemilu sekali pun, tata kelola sampah daerah punya banyak persoalan. Misalnya soal limbah kesehatan yang di daerah masih menjadi tantangan tersendiri.
Isu lingkungan dalam soal pengelolaan sumber daya alam misalnya, penggunaan bahan kimia berbahaya pada praktik penambangan ilegal juga menjadi atensi saya. Terlebih efeknya terhadap lingkungan termasuk sungai, bisa membahayakan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sungai.
Sementara terkait untuk investasi dan dampak lingkungannya, koordinasi pusat dan daerah menjadi sangat penting. Agar daerah tidak diabaikan dalam pengelolaan investasi yang dikendalikan oleh pemerintah pusat dan lebih banyak menanggung risiko lingkungannya. Dalam pengalaman dan temuan di lapangan soal ini termasuk bercermin dari kasus lumpur Sidoarjo maupun isu lingkungan di Gresik, tantangan kita adalah menyelaraskan antara kebutuhan investasi dan memastikan terjaganya lingkungan hidup.
“Semua ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama yang mesti kita atasi bersama, sebab kita memang butuh investasi termasuk di sektor pertambangan. Itu sebabnya UU dan aturan turunannya perlu dirancang, dijalankan, dan dievaluasi dengan baik, agar semua kebutuhan tersebut dapat berjalan harmonis,” ungkapnya. (tim)