34.2 C
Jakarta
Saturday, May 3, 2025

Negative Pressure

INI untuk
pertama kali saya ke rumah sakit di masa pandemi Covid-19. Bukan untuk berobat
tapi hanya ingin tahu: seperti apa rumah sakit lapangan itu.

Itulah rumah sakit lapangan yang didedikasikan
untuk membantu penanganan Covid-19 di Jakarta. Kebetulan kemarin itu saya ada
acara di dekat-dekat Ancol, Jakarta. Saya juga ingin tahu sudah seperti apa
Menara Jakarta. Yakni sebuah proyek baru di Kemayoran. Yang awalnya diinginkan
menjadi Menara Doa tertinggi di dunia. Yang idenya datang dari pendeta Abraham
Alex Tanuseputra, yang meninggal belum lama ini.

Ternyata rumah sakit lapangan itu letaknya di
depan rumah pengusaha Tomy Winata. Yakni di sebuah tanah lapang di Ancol รขโ‚ฌโ€œyang
juga milik bos Artha Graha itu. Saya pun mampir ke rumah TW รขโ‚ฌโ€œsarapan di situ.
Ini bukan untuk kali pertama saya ke rumahnya, tetapi baru kali ini kami makan
berjauhan: di sebuah meja bundar yang besar. Meja itu bisa untuk 15 orang tapi
hanya diisi empat orang. Kami memang harus menjaga jarak.

โ€œJangan dekat-dekat saya,โ€ ujar TW.
โ€œSaya ini ODP,โ€ guraunya. Sebenarnya TW tidak bergurau. Ia hampir
tiap hari dekat dengan penderita Covid-19. Ia harus sering ke rumah sakit
lapangan itu.

RS itu sudah dikelola dengan prosedur Covid
yang ketat. Namun semua yang ke RSLap itu adalah orang yang positif Covid-19.

Kami pun bicara banyak soal rumah sakit itu.
Ada ketela rebus, jagung rebus, pisang rebus dan cakwe di atas meja bundar itu.
Lalu ada bubur dengan irisan abalon. โ€œSebetulnya rumah sakit itu awalnya
tidak untuk Covid-19,โ€ ujar TW sambil makan. โ€œKami membelinya untuk
persiapan kalau ada bencana alam, gak disangka ternyata ada bencana
Covid-19,โ€ tambahnya. Lewat Artha Graha Peduli (AGP), TW memang selalu
aktif di setiap terjadi bencana di mana pun di negeri ini. Hidup di negara yang
begitu sering terkena bencana, AGP harus punya rumah sakit lapangan. Saya
sendiri pernah ikut Presiden SBY meninjau rumah sakit seperti itu di Australia.
Maka saya sedikit ada rasa ingin membandingkannya. Dari rumah TW kami pun
tinggal jalan kaki ke RSLap itu. Benar-benar hanya sepelemparan batu. Sebelum
masuk tanah lapang itu kami โ€˜ditembakโ€™ termometer. Ok. 36,4. Lalu harus
melewati bilik disinfektan. Tidak boleh hanya lewat. Kami harus memutar badan
di dalamnya. Terdapat tanah lapang lebar di antara bilik disinfektan itu dengan
rumah sakit tenda itu. Di tanah lapang itulah pasien antre.

Cara antrenya tidak berdiri. Mereka harus
duduk di kursi plastik tanpa sandaran. Jarak kursi plastik itu sekitar 3 meter.
Di pintu masuk RSLap kami harus melewati bak air. Alas sepatu kami harus
terkena cairan disinfektan di bak itu. Setelah itu barulah kami masuk  ke
dalam tenda. Wow. Besar dan tinggi. Mirip aula sebuah ballroom. Di dalam tenda
itulah terlihat banyak tenda-tenda yang lebih kecil. Jumlah tenda kecil di
dalam tenda besar itu 12 buah. Masing-masing menjadi ruang-ruang pemeriksaan
atau perawatan. Di setiap tenda kecil itu bisa diisi 10 tempat tidur pasien.
Namun tidak semua tenda untuk tempat tidur. Tenda pertama untuk pemeriksaan
swab. Delapan pasien bisa dikerjakan sekaligus. Peralatannya lengkap. Hanya
labnya yang tidak ada di situ. Sampai saat ini sudah hampir 3.000 orang yang
di-swab di sini. Tenda sebelahnya untuk pemeriksaan paru-paru. Lengkap dengan
peralatan rontgen-nya.

Lalu ada tenda yang fungsinya untuk ruang
operasi. Benar-benar ruang operasi dengan segala perlengkapannya. Empat tenda
lainnya adalah untuk ICU. Benar-benar ICU untuk Covid-19. Lengkap dengan
ventilator invasif. Dan dengan ruang negative pressure pula. Itu untuk kali
pertama saya melihat ruang negative pressure di sebuah rumah sakit tenda.
Jumlah ruang seperti itu ada empat buah pula. Ruang-ruang itu ber-AC yang
dingin. Sambil makan kami pun berbincang soal vaksin Covid-19 merk Sinovac.
Yang mulai November nanti sudah masuk Indonesia. Yang tiap bulan 10 juta unit.
Yang akan mencapai 50 juta di bulan Maret tahun depan. โ€œHarus segera
dijelaskan untuk siapa yang 10 juta pertama itu. Agar tidak terjadi spekulasi
di masyarakat,โ€ ujar TW. Saya punya pendapat sendiri. Seperti yang sudah
saya tulis di DIโ€™s Way dua hari lalu. Namun saya ingin tahu pendapat TW itu.
Sekaligus bisa untuk bahan pembicaraan sambil sarapan. โ€œSebaiknya sepuluh
juta pertama itu untuk seluruh dokter, perawat, dan tenaga medis. Termasuk
untuk cleaning service yang bekerja di rumah sakit,โ€ ujar TW. โ€œLalu
untuk sukarelawan, polisi dan tentara yang terkait dengan Covid,โ€
tambahnya.

Baca Juga :  Sejak Januari 2019, 16 Kali Kasus Ular Masuk Rumah

Ia pun menghitung-hitung berapa jumlah kelompok prioritas ini.
โ€œCukup dengan sepuluh juta unit pertama itu,โ€ katanya. Baru tahap
berikutnya adalah kelompok umur 20 sampai 50 tahun. Itu pun untuk mereka yang
bekerja di sektor-sektor ekonomi yang produktif.  โ€œYang umur-umur
seperti saya harus mengalah,โ€ ujarnya. Tentu orang seperti TW tidak perlu
mengalah. Ia bisa membeli sendiri รขโ‚ฌโ€œmahal sekalipun. Lewat tulisan ini saya
harus minta maaf kepada dokter dan perawat. Saya tidak sepeka itu. Saya
langsung mengarah ke sektor ekonomi. Saya terlalu terperanjat oleh target
pemerintah. Yakni bahwa pertumbuhan ekonomi harus 5,5 persen tahun depan. Lewat
DIโ€™s Way hari ini saya harus meralat tulisan saya dua hari lalu itu. Saya
merasa tertegur oleh pendapat TW itu. Pembicaraan di meja bundar itu pun meluas
ke Tambling, proyek pelestarian alam yang ditanganinya di Lampung. Yang
sekarang sudah menjadi habitat harimau terpadat di dunia.

Juga ke pulau miliknya yang di lepas pantai
Jakarta. Yang dulu untuk pusat rehabilitasi narkoba. Juga ke soal kesehatan
bank-bank nasional. Ke soal apa saja. Termasuk membicarakan masa lalu. Yakni
ketika suatu saat tiba-tiba ia mengajak saya ke Bangkok: ia ingin sembahyang di
โ€˜Buddha Empat Wajahโ€™ di sana. Saya hanya satu hari di Jakarta. Harus balik lagi
ke Surabaya รขโ‚ฌโ€œdengan mobil yang sama. Kini jalur Jakarta-Surabaya PP sangat
populer. Bagi saya juga ringan-ringan saja. Toh setiap kali ke Amerika saya
lebih sering naik mobil. Ke kota mana pun. Berjarak 6.000 km sekalipun. Sedang
Surabaya-Jakarta ini hanya kurang dari 700 Km. Ternyata saya sudah enam bulan
tidak ke Jakarta. Bisa Anda bayangkan betapa berdebunya rumah saya di
Jakarta.(disway.id)

Baca Juga :  Antisipasi Perpecahan, Perlu Pendidikan Politik Konstruktif kepada Mas

INI untuk
pertama kali saya ke rumah sakit di masa pandemi Covid-19. Bukan untuk berobat
tapi hanya ingin tahu: seperti apa rumah sakit lapangan itu.

Itulah rumah sakit lapangan yang didedikasikan
untuk membantu penanganan Covid-19 di Jakarta. Kebetulan kemarin itu saya ada
acara di dekat-dekat Ancol, Jakarta. Saya juga ingin tahu sudah seperti apa
Menara Jakarta. Yakni sebuah proyek baru di Kemayoran. Yang awalnya diinginkan
menjadi Menara Doa tertinggi di dunia. Yang idenya datang dari pendeta Abraham
Alex Tanuseputra, yang meninggal belum lama ini.

Ternyata rumah sakit lapangan itu letaknya di
depan rumah pengusaha Tomy Winata. Yakni di sebuah tanah lapang di Ancol รขโ‚ฌโ€œyang
juga milik bos Artha Graha itu. Saya pun mampir ke rumah TW รขโ‚ฌโ€œsarapan di situ.
Ini bukan untuk kali pertama saya ke rumahnya, tetapi baru kali ini kami makan
berjauhan: di sebuah meja bundar yang besar. Meja itu bisa untuk 15 orang tapi
hanya diisi empat orang. Kami memang harus menjaga jarak.

โ€œJangan dekat-dekat saya,โ€ ujar TW.
โ€œSaya ini ODP,โ€ guraunya. Sebenarnya TW tidak bergurau. Ia hampir
tiap hari dekat dengan penderita Covid-19. Ia harus sering ke rumah sakit
lapangan itu.

RS itu sudah dikelola dengan prosedur Covid
yang ketat. Namun semua yang ke RSLap itu adalah orang yang positif Covid-19.

Kami pun bicara banyak soal rumah sakit itu.
Ada ketela rebus, jagung rebus, pisang rebus dan cakwe di atas meja bundar itu.
Lalu ada bubur dengan irisan abalon. โ€œSebetulnya rumah sakit itu awalnya
tidak untuk Covid-19,โ€ ujar TW sambil makan. โ€œKami membelinya untuk
persiapan kalau ada bencana alam, gak disangka ternyata ada bencana
Covid-19,โ€ tambahnya. Lewat Artha Graha Peduli (AGP), TW memang selalu
aktif di setiap terjadi bencana di mana pun di negeri ini. Hidup di negara yang
begitu sering terkena bencana, AGP harus punya rumah sakit lapangan. Saya
sendiri pernah ikut Presiden SBY meninjau rumah sakit seperti itu di Australia.
Maka saya sedikit ada rasa ingin membandingkannya. Dari rumah TW kami pun
tinggal jalan kaki ke RSLap itu. Benar-benar hanya sepelemparan batu. Sebelum
masuk tanah lapang itu kami โ€˜ditembakโ€™ termometer. Ok. 36,4. Lalu harus
melewati bilik disinfektan. Tidak boleh hanya lewat. Kami harus memutar badan
di dalamnya. Terdapat tanah lapang lebar di antara bilik disinfektan itu dengan
rumah sakit tenda itu. Di tanah lapang itulah pasien antre.

Cara antrenya tidak berdiri. Mereka harus
duduk di kursi plastik tanpa sandaran. Jarak kursi plastik itu sekitar 3 meter.
Di pintu masuk RSLap kami harus melewati bak air. Alas sepatu kami harus
terkena cairan disinfektan di bak itu. Setelah itu barulah kami masuk  ke
dalam tenda. Wow. Besar dan tinggi. Mirip aula sebuah ballroom. Di dalam tenda
itulah terlihat banyak tenda-tenda yang lebih kecil. Jumlah tenda kecil di
dalam tenda besar itu 12 buah. Masing-masing menjadi ruang-ruang pemeriksaan
atau perawatan. Di setiap tenda kecil itu bisa diisi 10 tempat tidur pasien.
Namun tidak semua tenda untuk tempat tidur. Tenda pertama untuk pemeriksaan
swab. Delapan pasien bisa dikerjakan sekaligus. Peralatannya lengkap. Hanya
labnya yang tidak ada di situ. Sampai saat ini sudah hampir 3.000 orang yang
di-swab di sini. Tenda sebelahnya untuk pemeriksaan paru-paru. Lengkap dengan
peralatan rontgen-nya.

Lalu ada tenda yang fungsinya untuk ruang
operasi. Benar-benar ruang operasi dengan segala perlengkapannya. Empat tenda
lainnya adalah untuk ICU. Benar-benar ICU untuk Covid-19. Lengkap dengan
ventilator invasif. Dan dengan ruang negative pressure pula. Itu untuk kali
pertama saya melihat ruang negative pressure di sebuah rumah sakit tenda.
Jumlah ruang seperti itu ada empat buah pula. Ruang-ruang itu ber-AC yang
dingin. Sambil makan kami pun berbincang soal vaksin Covid-19 merk Sinovac.
Yang mulai November nanti sudah masuk Indonesia. Yang tiap bulan 10 juta unit.
Yang akan mencapai 50 juta di bulan Maret tahun depan. โ€œHarus segera
dijelaskan untuk siapa yang 10 juta pertama itu. Agar tidak terjadi spekulasi
di masyarakat,โ€ ujar TW. Saya punya pendapat sendiri. Seperti yang sudah
saya tulis di DIโ€™s Way dua hari lalu. Namun saya ingin tahu pendapat TW itu.
Sekaligus bisa untuk bahan pembicaraan sambil sarapan. โ€œSebaiknya sepuluh
juta pertama itu untuk seluruh dokter, perawat, dan tenaga medis. Termasuk
untuk cleaning service yang bekerja di rumah sakit,โ€ ujar TW. โ€œLalu
untuk sukarelawan, polisi dan tentara yang terkait dengan Covid,โ€
tambahnya.

Baca Juga :  Sejak Januari 2019, 16 Kali Kasus Ular Masuk Rumah

Ia pun menghitung-hitung berapa jumlah kelompok prioritas ini.
โ€œCukup dengan sepuluh juta unit pertama itu,โ€ katanya. Baru tahap
berikutnya adalah kelompok umur 20 sampai 50 tahun. Itu pun untuk mereka yang
bekerja di sektor-sektor ekonomi yang produktif.  โ€œYang umur-umur
seperti saya harus mengalah,โ€ ujarnya. Tentu orang seperti TW tidak perlu
mengalah. Ia bisa membeli sendiri รขโ‚ฌโ€œmahal sekalipun. Lewat tulisan ini saya
harus minta maaf kepada dokter dan perawat. Saya tidak sepeka itu. Saya
langsung mengarah ke sektor ekonomi. Saya terlalu terperanjat oleh target
pemerintah. Yakni bahwa pertumbuhan ekonomi harus 5,5 persen tahun depan. Lewat
DIโ€™s Way hari ini saya harus meralat tulisan saya dua hari lalu itu. Saya
merasa tertegur oleh pendapat TW itu. Pembicaraan di meja bundar itu pun meluas
ke Tambling, proyek pelestarian alam yang ditanganinya di Lampung. Yang
sekarang sudah menjadi habitat harimau terpadat di dunia.

Juga ke pulau miliknya yang di lepas pantai
Jakarta. Yang dulu untuk pusat rehabilitasi narkoba. Juga ke soal kesehatan
bank-bank nasional. Ke soal apa saja. Termasuk membicarakan masa lalu. Yakni
ketika suatu saat tiba-tiba ia mengajak saya ke Bangkok: ia ingin sembahyang di
โ€˜Buddha Empat Wajahโ€™ di sana. Saya hanya satu hari di Jakarta. Harus balik lagi
ke Surabaya รขโ‚ฌโ€œdengan mobil yang sama. Kini jalur Jakarta-Surabaya PP sangat
populer. Bagi saya juga ringan-ringan saja. Toh setiap kali ke Amerika saya
lebih sering naik mobil. Ke kota mana pun. Berjarak 6.000 km sekalipun. Sedang
Surabaya-Jakarta ini hanya kurang dari 700 Km. Ternyata saya sudah enam bulan
tidak ke Jakarta. Bisa Anda bayangkan betapa berdebunya rumah saya di
Jakarta.(disway.id)

Baca Juga :  Antisipasi Perpecahan, Perlu Pendidikan Politik Konstruktif kepada Mas

Terpopuler

Artikel Terbaru