27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Makan Bersama

Saya tidak mengalami kesulitan
hidup dengan protokol Covid-19. Alhamdulillah. Tukang kebun tinggal di rumah.
Sudah lebih 20 tahun. Sopir pun tinggal di rumah –yang sebenarnya sudah lebih
mirip sekretaris keluarga. 

Saya membayangkan sulitnya
teman yang sopirnya tiap hari pulang. Yang di rumahnya tidak tahu ketemu siapa
saja. Atau pergi ke mana saja.

Di rumah saya hampir sepenuhnya
terkontrol. Hanya ada empat orang itu: saya, istri, Pak Man, dan Kang Sahidin
itu.

Kami memang sesekali keluar
rumah. Tapi dengan mobil yang sama. Yang tidak ada orang lain pernah ikut naik
di mobil itu.

Ups… Pernah. Staf keuangan di
perusahaan putri saya pernah ikut di mobil itu. Seminggu kemudian saya dengar
ibunyi terkena Covid-19. Demikian juga ayahnyi.

Kami pun heboh –diam-diam.

Kami putuskan: mengarantina
diri selama 10 hari –karena kejadiannya sudah seminggu sebelumnya. Karantina
ketat. Sambil tiap hari merasakan apakah ada gejala Covid di antara kami.
Demikian juga keluarga putri saya. Dan keluarga putra saya. Semua melakukan
karantina dengan waswas yang tidak diperlihatkan.

Sambil menunggu nasib itu kami
memperbaiki menu. Tiap pagi makan telur. Dua butir. Waktu itu belum puasa.
Minum madu. Minum vitamin. Minum VCO –Virgin Coconut Oil. Makan pisang pagi
sore. Makan manggis. Pepaya. Brokoli. Sayur-sayuran. Tidur dan tidur.

Tentu tetap menulis untuk DI’s
Way.

Saya pun bertanya pada staf
keuangan itu. Bapaknyi kerja di mana? Ibunyi kerja apa? Dia sendiri tinggal di
mana. 

Benar. Dia tinggal bersama
bapak ibunyi. Gawat. 

Ibunyi ibu rumah tangga. Ok.

Ayahnyi kerja di Jakarta.
Gawat.

Tiap Jumat sore pulang ke
Surabaya. Gawat.

Naik kereta api. Gawat.

Tahulah sudah kami, kira-kira
apa yang terjadi.

Ayah ibunyi masuk di rumah
sakit yang sama: Husada Utama. Dengan keluhan yang sama –khas Covid.

Dia sendiri karantina di rumah
–di lantai atas. Adiknyi karantina di rumah yang sama –di lantai bawah.
Mereka tidak menengok ayah-ibu. Tidak boleh.

Setelah lebih 10 hari di rumah
sakit sang ayah sembuh. Sudah dinyatakan negatif. Sang ibu masih positif.
Beberapa hari kemudian sang ibu juga sembuh. Negatif.

Seisi rumahnyi pun negatif.
Kami tetap sehat sampai masa karantina selesai.

Kami ikut menarik nafas lega.
Sampai 20 hari kemudian tetap juga sehat. Alhamdulillah.

Memang anak-anak saya berbeda
pendapat. Setelah menerima info Covid di keluarga staf keuangan itu. Yang satu
mengusulkan agar kami ramai-ramai tes. Yang satu berpendapat tidak usah
–karantina saja. Kami diskusi panjang lewat WA. Putusan akhirnya bulat:
karantina saja.

Baca Juga :  Belum Ada Satu Pun Surat Tembusan ke Bawaslu, Terkait Izin Anggota Dew

Waktu itu tes juga belum
semudah sekarang.

Setelah masa karantina selesai
cucu-cucu pun menjadi boleh ke rumah.

Khususnya tiap Sabtu sampai
Minggu.

Ketika memasuki bulan Ramadan,
kebiasaan berprotokol Covid sudah melekat. Kami merasa hidup normal –normal
baru.

Tiap pagi tetap olahraga
–olahraga Covid: pakai masker, cari yang bersinar matahari, dan jaga jarak.
Termasuk di bulan puasa.

”Kok puasa-puasa olahraga satu
jam?” tanya beberapa teman.

Jawab saya sama: saya ingat
ayah saya. Yang di bulan puasa pun tetap ke sawah. Mencangkul. Sejak jam 6
sampai jam 10 pagi. Di bawah terik matahari. Dengan punggung telanjang.

Saya juga ingat waktu ayah
pulang. Sambil memanggul cangkul di pundaknya. Betapa ayah saya itu terlihat
lelah, haus, dan lapar. Lalu menggelar tikar di atas lantai –lantai rumah kami
terbuat dari tanah.

Ayah pun tidur telentang di
atas tikar itu. Tetap dengan celana ke sawah sampai di bawah lutut. Tanpa
baju. 

Saya lihat perutnya begitu
kempes. Kulit perutnya seperti menempel di bagian dalam punggungnya. Begitu
lelap tidurnya. Dengan kaki dan celana yang masih belepotan lumpur kering.

Ayah bangun ketika waktu zuhur
tiba. Saat itulah baru cuci kaki. Lalu ganti celana dengan sarung. Ambil air
wudu. Untuk salat zuhur.

Ayah lantas mengaji sampai asar
tiba. Setelah salat asar ayah bersih-bersih pekarangan. Atau memperdalam parit
dengan cangkul.

Olahraga saya di bulan puasa
ini tidak ada artinya dibanding kerja keras ayah saya itu.

Setelah cucu-cucu boleh ke
rumah, saya pun berpikir. Apa yang bisa saya lakukan dengan cucu-cucu itu.

Saya tawarkan untuk mengajari
mereka Bahasa Mandarin. Mereka mau. Tentu kemampuan Bahasa Mandarin saya belum
level untuk boleh mengajar. Tapi ini kan darurat.

Maka setiap jam 14.00 saya
menjadi guru Mandarin untuk cucu-cucu saya. Selama 1,5 jam. Kurikulumnya saya
sendiri yang menentukan. Bisa lebih tepat guna.

Ternyata yang tiga orang sudah
mendapat pelajaran Bahasa Mandarin di Sekolah Ciputra. Saya tes asal-asalan,
sudah tahu bahasa itu untuk tingkat dasar. Maka yang tiga orang lagi saja yang
ikut pelajaran saya. Yakni mereka yang sekolahnya di Al Azhar International
Surabaya.

Rumah saya menjadi seperti
tempat kursus.

Di rumah kami tidak ada
pembantu. Istri saya yang jadi pembantu. Mungkin pembantu termahal gajinya.
Cuci pakaian, masak, belanja, dan menata rumah dia semua yang melakukan.

Itu sudah menjadi kebiasaan
sejak dulu. Sudah biasa sibuk. Mungkin karena kami kawin dulu masih belum bisa
membayar pembantu. Mungkin juga karena dia anak sulung dengan adik 11 orang.

Baca Juga :  Semua PD Diminta Buat Terobosan dan Inovasi

Hanya sesekali Kang Sahidin
masak sendiri –kalau ia lagi kangen masakan Sunda.

Salat tarawih pun kami
berempat. Kang Sahidin yang jadi imam. Sabtu malam makmumnya lebih banyak: ke
tambahan cucu saya, 6 orang.

Lebaran nanti kami sudah
memutuskan: salat Idul Fitri di halaman rumah. Anak-cucu-menantu ikut serta.
Kang Sahidin imamnya –saya yang akan khotbah.

Rasanya kami mulai merasa hidup
normal. Istri saya tetap ke pasar tradisional. Dengan prosedur Covid. Pakai
masker. Belanjanyi pakai uang pas. Tidak perlu berisiko menerima uang
kembalian. Kalau uangnya lebih dia minta barangnya saja yang ditambah. Atau untuk
deposito belanja berikutnya.

Awalnya memang kagok, kata
istri saya. ”Ke pasar kok seperti musuhan dengan pedagang,” katanyi. Tapi
sekarang sudah biasa.

Rasanya, setelah lebaran, kami
siap untuk mulai hidup normal –normal baru itu.

Di Tiongkok hidup-normal-baru
sudah berjalan normal. Saya hubungi teman-teman saya di sana. Kota-kota besar
sudah benar-benar nyaris normal-baru. Semua sudah hidup lagi –kecuali bioskop,
panti pijat, dan night club.

Memang tiba-tiba ditemukan
penderita baru di Kota Wuhan. Lima orang. Umur di atas 70 tahun. Salah satunya
84 tahun.

Mereka itu saling bertetangga
di sebuah perumahan kelas bawah. Salah satunya sering keluar rumah tanpa
masker. Tertular oleh orang yang positif tapi seperti tidak sakit.

Camat dan seluruh pejabat di kecamatan
itu dipecat. Karena ada warganya yang keluar rumah tanpa masker.

Sejak peristiwa minggu lalu itu
tidak ada lagi ditemukan penderita baru di Wuhan. Yang ada di kota dekat
perbatasan Rusia. Kota Jilin itu langsung di-lockdown. Yang boleh
keluar kota adalah yang sudah dites negatif. 

Trend dunia sepertinya memang
itu: siap untuk hidup normal lagi –normal baru.

Saya juga mau kembali makan di
restoran. Kalau restoran itu menerapkan normal-baru. Misalnya, meja lebih
jarang. Mungkin perlu ada meja yang disekat kaca bening dan tipis. Agar kita
bisa makan bersama dengan kaca pemisah. Lalu ada sistem suara, yang kalau saya
bicara, teman di seberang kaca bisa mendengar. Dan sebaliknya. Kalau yang makan
empat orang, ditambah kaca satu lagi melintang. 

Empat orang itu bisa makan
bersama, saling melihat, saling bicara, tapi terpisah oleh kaca bening nan
tipis.

Teknologi bisa mengatasi itu.

Makan bersama secara
normal-baru. (Dahlan Iskan)

Saya tidak mengalami kesulitan
hidup dengan protokol Covid-19. Alhamdulillah. Tukang kebun tinggal di rumah.
Sudah lebih 20 tahun. Sopir pun tinggal di rumah –yang sebenarnya sudah lebih
mirip sekretaris keluarga. 

Saya membayangkan sulitnya
teman yang sopirnya tiap hari pulang. Yang di rumahnya tidak tahu ketemu siapa
saja. Atau pergi ke mana saja.

Di rumah saya hampir sepenuhnya
terkontrol. Hanya ada empat orang itu: saya, istri, Pak Man, dan Kang Sahidin
itu.

Kami memang sesekali keluar
rumah. Tapi dengan mobil yang sama. Yang tidak ada orang lain pernah ikut naik
di mobil itu.

Ups… Pernah. Staf keuangan di
perusahaan putri saya pernah ikut di mobil itu. Seminggu kemudian saya dengar
ibunyi terkena Covid-19. Demikian juga ayahnyi.

Kami pun heboh –diam-diam.

Kami putuskan: mengarantina
diri selama 10 hari –karena kejadiannya sudah seminggu sebelumnya. Karantina
ketat. Sambil tiap hari merasakan apakah ada gejala Covid di antara kami.
Demikian juga keluarga putri saya. Dan keluarga putra saya. Semua melakukan
karantina dengan waswas yang tidak diperlihatkan.

Sambil menunggu nasib itu kami
memperbaiki menu. Tiap pagi makan telur. Dua butir. Waktu itu belum puasa.
Minum madu. Minum vitamin. Minum VCO –Virgin Coconut Oil. Makan pisang pagi
sore. Makan manggis. Pepaya. Brokoli. Sayur-sayuran. Tidur dan tidur.

Tentu tetap menulis untuk DI’s
Way.

Saya pun bertanya pada staf
keuangan itu. Bapaknyi kerja di mana? Ibunyi kerja apa? Dia sendiri tinggal di
mana. 

Benar. Dia tinggal bersama
bapak ibunyi. Gawat. 

Ibunyi ibu rumah tangga. Ok.

Ayahnyi kerja di Jakarta.
Gawat.

Tiap Jumat sore pulang ke
Surabaya. Gawat.

Naik kereta api. Gawat.

Tahulah sudah kami, kira-kira
apa yang terjadi.

Ayah ibunyi masuk di rumah
sakit yang sama: Husada Utama. Dengan keluhan yang sama –khas Covid.

Dia sendiri karantina di rumah
–di lantai atas. Adiknyi karantina di rumah yang sama –di lantai bawah.
Mereka tidak menengok ayah-ibu. Tidak boleh.

Setelah lebih 10 hari di rumah
sakit sang ayah sembuh. Sudah dinyatakan negatif. Sang ibu masih positif.
Beberapa hari kemudian sang ibu juga sembuh. Negatif.

Seisi rumahnyi pun negatif.
Kami tetap sehat sampai masa karantina selesai.

Kami ikut menarik nafas lega.
Sampai 20 hari kemudian tetap juga sehat. Alhamdulillah.

Memang anak-anak saya berbeda
pendapat. Setelah menerima info Covid di keluarga staf keuangan itu. Yang satu
mengusulkan agar kami ramai-ramai tes. Yang satu berpendapat tidak usah
–karantina saja. Kami diskusi panjang lewat WA. Putusan akhirnya bulat:
karantina saja.

Baca Juga :  Belum Ada Satu Pun Surat Tembusan ke Bawaslu, Terkait Izin Anggota Dew

Waktu itu tes juga belum
semudah sekarang.

Setelah masa karantina selesai
cucu-cucu pun menjadi boleh ke rumah.

Khususnya tiap Sabtu sampai
Minggu.

Ketika memasuki bulan Ramadan,
kebiasaan berprotokol Covid sudah melekat. Kami merasa hidup normal –normal
baru.

Tiap pagi tetap olahraga
–olahraga Covid: pakai masker, cari yang bersinar matahari, dan jaga jarak.
Termasuk di bulan puasa.

”Kok puasa-puasa olahraga satu
jam?” tanya beberapa teman.

Jawab saya sama: saya ingat
ayah saya. Yang di bulan puasa pun tetap ke sawah. Mencangkul. Sejak jam 6
sampai jam 10 pagi. Di bawah terik matahari. Dengan punggung telanjang.

Saya juga ingat waktu ayah
pulang. Sambil memanggul cangkul di pundaknya. Betapa ayah saya itu terlihat
lelah, haus, dan lapar. Lalu menggelar tikar di atas lantai –lantai rumah kami
terbuat dari tanah.

Ayah pun tidur telentang di
atas tikar itu. Tetap dengan celana ke sawah sampai di bawah lutut. Tanpa
baju. 

Saya lihat perutnya begitu
kempes. Kulit perutnya seperti menempel di bagian dalam punggungnya. Begitu
lelap tidurnya. Dengan kaki dan celana yang masih belepotan lumpur kering.

Ayah bangun ketika waktu zuhur
tiba. Saat itulah baru cuci kaki. Lalu ganti celana dengan sarung. Ambil air
wudu. Untuk salat zuhur.

Ayah lantas mengaji sampai asar
tiba. Setelah salat asar ayah bersih-bersih pekarangan. Atau memperdalam parit
dengan cangkul.

Olahraga saya di bulan puasa
ini tidak ada artinya dibanding kerja keras ayah saya itu.

Setelah cucu-cucu boleh ke
rumah, saya pun berpikir. Apa yang bisa saya lakukan dengan cucu-cucu itu.

Saya tawarkan untuk mengajari
mereka Bahasa Mandarin. Mereka mau. Tentu kemampuan Bahasa Mandarin saya belum
level untuk boleh mengajar. Tapi ini kan darurat.

Maka setiap jam 14.00 saya
menjadi guru Mandarin untuk cucu-cucu saya. Selama 1,5 jam. Kurikulumnya saya
sendiri yang menentukan. Bisa lebih tepat guna.

Ternyata yang tiga orang sudah
mendapat pelajaran Bahasa Mandarin di Sekolah Ciputra. Saya tes asal-asalan,
sudah tahu bahasa itu untuk tingkat dasar. Maka yang tiga orang lagi saja yang
ikut pelajaran saya. Yakni mereka yang sekolahnya di Al Azhar International
Surabaya.

Rumah saya menjadi seperti
tempat kursus.

Di rumah kami tidak ada
pembantu. Istri saya yang jadi pembantu. Mungkin pembantu termahal gajinya.
Cuci pakaian, masak, belanja, dan menata rumah dia semua yang melakukan.

Itu sudah menjadi kebiasaan
sejak dulu. Sudah biasa sibuk. Mungkin karena kami kawin dulu masih belum bisa
membayar pembantu. Mungkin juga karena dia anak sulung dengan adik 11 orang.

Baca Juga :  Semua PD Diminta Buat Terobosan dan Inovasi

Hanya sesekali Kang Sahidin
masak sendiri –kalau ia lagi kangen masakan Sunda.

Salat tarawih pun kami
berempat. Kang Sahidin yang jadi imam. Sabtu malam makmumnya lebih banyak: ke
tambahan cucu saya, 6 orang.

Lebaran nanti kami sudah
memutuskan: salat Idul Fitri di halaman rumah. Anak-cucu-menantu ikut serta.
Kang Sahidin imamnya –saya yang akan khotbah.

Rasanya kami mulai merasa hidup
normal. Istri saya tetap ke pasar tradisional. Dengan prosedur Covid. Pakai
masker. Belanjanyi pakai uang pas. Tidak perlu berisiko menerima uang
kembalian. Kalau uangnya lebih dia minta barangnya saja yang ditambah. Atau untuk
deposito belanja berikutnya.

Awalnya memang kagok, kata
istri saya. ”Ke pasar kok seperti musuhan dengan pedagang,” katanyi. Tapi
sekarang sudah biasa.

Rasanya, setelah lebaran, kami
siap untuk mulai hidup normal –normal baru itu.

Di Tiongkok hidup-normal-baru
sudah berjalan normal. Saya hubungi teman-teman saya di sana. Kota-kota besar
sudah benar-benar nyaris normal-baru. Semua sudah hidup lagi –kecuali bioskop,
panti pijat, dan night club.

Memang tiba-tiba ditemukan
penderita baru di Kota Wuhan. Lima orang. Umur di atas 70 tahun. Salah satunya
84 tahun.

Mereka itu saling bertetangga
di sebuah perumahan kelas bawah. Salah satunya sering keluar rumah tanpa
masker. Tertular oleh orang yang positif tapi seperti tidak sakit.

Camat dan seluruh pejabat di kecamatan
itu dipecat. Karena ada warganya yang keluar rumah tanpa masker.

Sejak peristiwa minggu lalu itu
tidak ada lagi ditemukan penderita baru di Wuhan. Yang ada di kota dekat
perbatasan Rusia. Kota Jilin itu langsung di-lockdown. Yang boleh
keluar kota adalah yang sudah dites negatif. 

Trend dunia sepertinya memang
itu: siap untuk hidup normal lagi –normal baru.

Saya juga mau kembali makan di
restoran. Kalau restoran itu menerapkan normal-baru. Misalnya, meja lebih
jarang. Mungkin perlu ada meja yang disekat kaca bening dan tipis. Agar kita
bisa makan bersama dengan kaca pemisah. Lalu ada sistem suara, yang kalau saya
bicara, teman di seberang kaca bisa mendengar. Dan sebaliknya. Kalau yang makan
empat orang, ditambah kaca satu lagi melintang. 

Empat orang itu bisa makan
bersama, saling melihat, saling bicara, tapi terpisah oleh kaca bening nan
tipis.

Teknologi bisa mengatasi itu.

Makan bersama secara
normal-baru. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru