Saya terpaksa minta bantuan Nixen Veidy Temo,
37 tahun. Ia wartawan koran Posko Manado yang tugasnya di Tomohon.
Saya sudah tidak bisa minta bantuan ke siapa
lagi. Peristiwa itu terlalu menarik bagi saya. Tidak boleh dilewatkan.
Untuk pertama kali ada kebaktian hari Minggu
dilaksanakan di rumah masing-masing dengan panduan dari toa di gereja. Yang
dimaksud ‘toa’ adalah pengeras suara. Begitulah orang di Manado berbahasa.
Sejak waspada virus corona tidak ada lagi
kebaktian bersama di gereja. Namun mereka menemukan jalan itu: pendeta tetap
memimpin kebaktian dari gereja lewat toa.
Ada yang berdiri di teras. Sambil menghadap ke
gereja di kejauhan. Ada juga yang di dalam rumah saja. Toh suara toa itu cukup
keras.
Saya tidak berhasil menelusuri siapa pemilik
ide itu. Saya sudah menghubungi empat pendeta. Lewat telepon dari Surabaya.
“Saya tahu itu, tetapi rumah saya jauh dari
gereja,” ujar seorang pendeta. “Saya tidak tahu pelaksanaannya
seperti apa,” tambahnya.
Saya hubungi pendeta lain. “Oh, itu gereja
GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa). Saya dari Pantekosta,” ujarnya.
Saya telepon pendeta lain lagi. “Saya bukan pendeta. Saya
dokter,” ujar orang ketiga yang saya hubungi itu.
Ia adalah dr Richard Sengkey. Menurut teman
saya ia pendeta. Ternyata bukan.
Dari tiga kali salah langkah itu saya tahu:
pemilik ide tersebut adalah Pendeta Dr Hein Arina.
Ia adalah Ketua Sinode GMIM. Mayoritas gereja
di Sulawesi Utara memang anggota GMIM.
Saya pun mencari nomor telepon Dr Hein Arina.
Lewat banyak cara. Akhirnya dapat. Saya pun kirim WA ke beliau.
Rupanya beliau sangat sibuk. Atau tidak ingin
menonjol. Saya gagal mendapat jawaban.
Dari salah langkah itu saya jadi tahu: yang
banyak melakukan kebaktian toa itu di Minahasa, Tomohon, dan Tondano. Bukan di
kota Manado.
Maka saya cari tahu lagi. Siapa wartawan yang
tinggal di Tomohon. Mungkin saya bisa minta tolong kepadanya.
Salah lagi. Ia memang wartawan di Tomohon,
tetapi rumahnya di Manado. Tiap hari pulang ke Manado.
Ketika saya hubungi ia sudah di Manado. Tidak
sampai hati minta tolong untuk balik ke Tomohon. Saya sudah bukan bosnya lagi.
Akhirnya saya tersambung ke Nixen tadi. Yang
saya sangka ia tinggal di Tomohon –kota pegunungan di antara Manado dan
Tondano.
Saya pun kirim WA kepadanya:
Apakah Anda tinggal di salah satu
kampung yang kebaktiannya pakai toa itu. Atau dekat dg kampung itu?
Nixen: Izin pak, saya
tinggal di Tondano, tapi pos liputan saya di Tomohon dan Minahasa.
Saat ini sudah pulang ke Tondano atau
masih di Tomohon?
Nixen: Sudah balik ke Tondano
pak.
Apakah Anda tahu salah satu kampung yang
kebaktiannya lewat toa?
Nixen: Sekarang masuk ke
Tomohon harus memakai surat keterangan dari Puskesmas atau Rumah Sakit.
Kapan terakhir ke Tomohon?
Nixen: Kemarin saya ke
Tomohon dan siang tadi
Pakai surat seperti itu?
Nixen: Untuk surat itu
baru berlaku hari ini. Saya hanya menunjukan KTP.
KTP Anda Tomohon?
Nixen: Minahasa, pak
Jadi boleh ke Tomohon tanpa surat
puskesmas?
Nixen: Tadi saya masih
bisa ditoleransi oleh petugas.
Oh… Yang periksa KTP di perbatasan?
Polisi atau satpol?
Nixen: Dari tim Gugus,
yang di dalamnya Dinas Kesehatan dan Satpol PP, serta pemerintah kecamatan.
Di KTP Anda ada keterangan pekerjaan
wartawan? Jadi boleh…
Nixen: KTP saya tidak
ada keterangan wartawan, hanya pekerjaan swasta.
Adakah Anda lihat ada orang yang ditolak
masuk Tomohon sehingga mereka balik ke Tondano?
Nixen: Tidak ada pak.
Karena aktivitas warga melintasi Tomohon sudah kurang.
Untuk besok ke Tomohon Anda sudah minta
surat ke Puskesmas? Untuk sekali pakai atau sebulan?
Nixen: Hari ini pak saya
mau minta di Puskesmas. Dan itu untuk sebulan.
Apakah di Tondano juga ada kampung yang
kebaktiannya seperti di Tomohon?
Nixen: Ada pak.
Jauh dari rumah Anda?
Nixen: Kebetulan dekat
pak.
Anda sendiri hari Minggu kemarin
kebaktian di mana?
Nixen: Di rumah pak,
sejak ada imbauan dari pemerintah.
Pakai bimbingan dari Toa?
Nixen: Pakai liturgi
atau tata ibadah yang disebarkan ke jemaat.
Apakah gereja di dekat rumah anda
melaksanakan kebaktian lewat Toa?
Nixen: Semua pak. Sesuai
imbauan dari denominasi gereja.
Lho kenapa Anda tidak ikut kebaktian
lewat Toa dari rumah Anda?
Nixen: Ikut pak. Selain
mengikuti ibadah di Toa, kami juga punya panduan dari liturgi pak.
Oh. Jadi di kampung Anda sendiri
orang-orang juga ikut kebaktian lewat Toa?
Nixen: Betul Pak.
Anda jemaat dari gereja GMIM?
Nixen: Iya Pak, di
Jemaat GMIM Eben Haezer Ranomuut, Kecamatan Eris.
Menurut pengamatan Nixen, mana yang
lebih banyak kebaktian pakai Toa itu: Tomohon, Minahasa, Tondano, atau Manado?
Nixen: Paling banyak di
Minahasa pak.
Nixen, saya ada repot sedikit, 15 menit
lagi kita online lagi ya. Maafkan menyita waktu Anda.
Nixen: baik pak.
Saya tidak memberitahu Nixen bahwa di
Surabaya sudah terdengar azan magrib. Habis itu saya hubungi lagi Nixen.
Nixen, kita pernah baku muka?
Nixen: belum pernah pak.
Pernah baku dapa?
Nixen: juga belum pak.
Maafkan ya, kita belum pernah ketemu
tapi saya sudah minta tolong ke Anda. Saya mau nulis untuk disway. Anda pernah
akses ke disway.id?
Nixen: Belum pernah pak.
Anda pernah membaca tulisan saya?
Nixen: Pernah pak,
selalu. Ada di halaman depan pak. Khususnya di harian Posko Manado dan harian
Manado Post.
Anda dulu wartawan media online lalu pindah ke
koran. Asyik mana?
Nixen: Asyik jadi
wartawan koran pak.
Boleh tahukah di mana asyiknya jadi
wartawan koran?
Nixen: Selain brand,
jadi wartawan koran lebih menantang.
Istri saya memanggil. Ia tetap di musala
belakang seusai salat magrib. Tadi saya janjian untuk membaca Yasin (Satu surah
dalam Alquran) setelah salat magrib berjemaah. “Tunggu sebentar,”
kata saya.
Saya pun meneruskan WA ke Nixen. Ia kelahiran
salah satu desa di Bolaang Mongondow.
Istri Anda kerja atau di rumah?
Nixen: Guru honorer di
TK.
Salam untuk istri. Semoga Tuhan memberkati.
Kalau ayah kerja apa?
Nixen: Petani pak.
Di Bolaang Mongondow? Petani kelapa?
Nixen: Iya pak, kelapa.
Punya pohon kelapa berapa ribu?
Nixen: Cuma kerja orang
punya pak.
Baik. Jarak rumah Anda dengan gereja yang pakai
Toa itu berapa meter kira-kira?
Nixen: Sekitar 300 meter
pak.
Anda bisa mendengar jelas suara Toa yang Anda
ikuti itu?
Nixen: Iya pak, sangat
jelas.
Waktu itu Anda di dalam rumah atau di
teras/depan rumah?
Nixen: di dalam rumah
pak.
Dari rumah Anda, Anda bisa melihat
gereja?
Nixen: hanya melihat
menara gereja pak.
Waktu kebaktian itu di dalam rumah Anda
ada berapa orang? Siapa saja?
Nixen: Saya, istri, dan
tiga anak saya.
Anda siap kebaktian jam berapa? Lalu toanya
mulai berbunyi jam berapa?
Nixen: Kebaktian jam
09.30 Wita beriringan dengan Toa.
Anda sekeluarga duduk di kursi tamu atau
di mana?
Nixen: di kursi tamu
dengan menjaga jarak.
Anda, di rumah, punya berapa Bible?
Nixen: Empat pak.
Hehe, jadi, kurang satu ya?
Nixen: Anak saya yang
satu masih 3 tahun pak.
Maafkan. Menurut perkiraan Anda berapa rumah di
sekitar gereja itu yang kebaktian di rumah lewat Toa?
Nixen: mungkin perkiraan
saya sekitar 70 rumah pak.
Anda pakai jas, dasi, sepatu? Atau
pakaian apa?
Nixen: Hanya pakaian
rumah pak, dan pakai sendal.
Kampung di situ berbukit atau datar? Berapa
jauh dari Danau Tondano?
Nixen: Datar pak, rumah
saya hanya di pesisir Danau. Dan diperkirakan hanya 400 meter menuju Danau.
Hari Minggu depan kebaktian di rumah
lagi?
Nixen: Iya pak.
Nixen, terima kasih ya. Cukup. Apakah Anda
punya foto waktu kebaktian di rumah?
Nixen: Mohon maaf pak,
tidak sempat foto karena semua fokus ibadah.
Istri saya sudah memanggil untuk kali kedua.
Pada malam nisfu Syakban seperti tadi malam kami punya kebiasaan: yasinan.
Kali ini hanya saya, istri, Sahidin, dan Pak Man.
Di kampung istri saya, Samarinda, malam nisfu
Syakban itu meriah sekali. Dulu. Pertanda 15 hari lagi mulai puasa Ramadan.
Sepanjang pinggir jalan menyala-nyala obor
berderet. Bukan obor biasa. Itulah obor dari kayu damar. Yang ditancapkan di
sepanjang pinggir jalan. Setinggi satu meter.
Nyala obor itu menghidupkan suasana kota
–karena listrik masih langka saat itu.
Kini tidak ada lagi kayu damar. Hutan sudah
dibabat habis. Yang ada tinggal virus corona.(***)