32.5 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Perawat Raisa

Perawat baru itu bernama pendek: Raisa. Tapi
langkahnya panjang: tidak pernah lelah. 

Raisa adalah juga satu-satunya perawat yang
tidak akan pernah tertular Covid-19.

Dia seorang, eh, sebuah robot.

Tempat dinas Raisa di Rumah Sakit Universitas
Airlangga. Yang dikhususkan untuk pusat penanganan Covid-19 di Surabaya.

Penempatan pertama Raisa sebenarnya di lantai
5. Itulah lantai khusus untuk ICU. Tapi di ICU itu pekerjaannyi tidak sebanyak
kemampuannyi.

Akhirnya Raisa dimutasi ke lantai 4 –yang
beban kerjanya lebih besar.

Raisa dilahirkan di Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya. Bidannyi terdiri dari 4 dosen dan 12 mahasiswa –elektro,
komputer, informatika, dan mesin. Kepala bidannya: Rudy Dikairono ST, MT
–dosen Fakultas Teknik Elektro ITS.

Dengan hadirnya Raisa, beban perawat di rumah
sakit itu berkurang –terutama beban mental. Kemungkinan tertular sangat
berkurang.

Raisa-lah yang lebih sering berhubungan dengan
pasien. Dia yang lebih sering ke kamar pasien –mengantarkan obat, alat ukur
suhu, atau makanan minuman. 

Kadang Raisa perlu agak lama di dekat pasien.
Yakni ketika pasien memerlukan dialog dengan perawat atau dokter. Raisa memang
dilengkapi kamera dan screen. Pasien
bisa bertanya kepada perawat yang wajahnya muncul di layar. Lalu si perawat
menjawab lewat layar itu.

Begitu tugas di kamar itu selesai Raisa kembali
ke ”meja kerja”-nyi: kumpul bersama perawat jaga di ujung lantai itu. 

Raisa yang satu ini belum sepenuhnya ”dewasa”.
Raisa sengaja dilahirkan dengan kecerdasan terbatas. Dia masih harus dibantu
dengan remote control.

Bukan karena ITS tidak mampu. Tapi karena
waktu. ”Robot ini harus sudah jadi dalam dua minggu,” ujar Rudy Dikairono.

Waktu itu ”cepat berfungsi” lebih utama
daripada ”kecerdasan yang sempurna”. Apalagi yang diprioritaskan adalah faktor
keamanan perawat dan dokter. Bukan tingkat kecanggihannya. 

Dengan hadirnya Raisa, kadar pertemuan langsung
perawat dengan pasien turun 60 persen. Begitulah keterangan perawat di rumah
sakit itu.

Tentu saya tidak bisa melihat langsung kerja
Raisa di lantai 4 itu. Prosedur ke RS itu sangat ketat. Apalagi saya adalah
jenis orang yang paling rawan tertular –tiap hari saya justru minum obat
penurun imunitas.

Tapi saya bisa minta tolong seorang dokter.
Saya titip pertanyaan untuk perawat di sana. Saya kenal dokter itu. Si dokter
kenal perawat itu. ”Turun 60 persen,” adalah kata-kata perawat ke DI’s Way
lewat sang dokter.

Baca Juga :  Bukan Hanya Janji, Sugianto-Edy Dorong Ingin Kalteng Jadi Kota Pelaja

Raisa terbukti bisa menunjukkan prestasi kerja.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pun memesan lagi dua Raisa. Sedang
anggaran dari Kementerian Ristek Dikti masih cukup untuk membuat satu Raisa
lagi. Berarti akan ada tiga Raisa baru di Rumah Sakit Unair.

”Yang satu sudah selesai. Dua Raisa lainnya
bisa jadi dalam enam hari ke depan,” ujar Rudy.

Rudy kini lagi menyelesaikan S3 di ITS. Yang
penelitiannya juga tentang robot. Khususnya robot sepak bola. ”Robot sepak bola
itu paling advance,” ungkap Rudy.

Ia sendiri bukan pemain bola. Hanya suka
menontonnya. Tapi membuat robot sepak bola sungguh sulit. ”Tiap tahun ada
pertemuan ahli robot sepak bola,” kata Rudy. ”Tahun ini mestinya di Prancis.
Batal gara-gara Covid-19,” tambahnya.

Rudy ini anak Sidoarjo –dari Desa Sukodono.
Sampai sekarang ia masih tinggal di desa itu. Tiap hari PP ke ITS di kawasan
timur Surabaya. 

Tentu SMA-nya juga di Sidoarjo –SMAN 1, satu
kandang dengan Rektor ITS sekarang.

Setamat S-1 Elektro ITS, Rudy ambil double degree: di ITS dan di Fachhochschule
Darmstadt, Jerman.

Tim ITS, katanya, bisa membuat Raisa hanya
dalam dua minggu berkat pengalaman panjangnya.

ITS sudah punya tim robot yang mapan. Tiap
tahun ada saja gelar juara yang diraih. Baik tingkat nasional maupun
internasional. 

Misalnya tim robot sepak bola itu –juara
nasional. Itulah robot sepak bola pertama ITS –dengan penggerak roda. Tahun
berikutnya lebih maju lagi. Disebut robot Ichiro –penggeraknya sudah bukan
roda lagi. Pemain sepak bolanya sudah berlari dengan kaki.

Lalu diciptakan lagi robot Barunastra –robot
kapal. Yang kita tahu pergerakan kapal itu juga begitu sulitnya –terutama saat
”take off” dan ”landing”.

Tiga robot ITS itu semuanya sudah serba
otomatis. Bisa diandalkan. Motonya: Satu hati. Untuk negeri. Wani! 

Jadi, bahwa Raisa masih perlu pakai remote control itu karena memang diinginkan
begitu.

Hampir saja saya tidak mengenal Raisa. Kalau
saja Rektor ITS, Prof. Ir. Mochamad Ashari, M.Eng., Ph.D, tidak usil. Tiba-tiba
saja saya baca, di medsos, Prof Ashari jadi humas Unair. Tanpa dibayar dan
tanpa SK. Rektor ITS itu mempromosikan Unair.

Ups… Ternyata mempromosikan ITS juga. Lewat
prestasi tim robotiknya itu. ”Nama Raisa sendiri usulan dari Unair,” ujar Prof.
Ashari. Waktu belum dibawa ke Unair namanya masih Raitsa –ada huruf ”i-t-s” di
dalamnya. 

Baca Juga :  Polwan Polda Kalteng Unjuk Kebolehan Kuasai Rantis

Raisa, kata Prof Ashari, adalah hasil kerja
sama dua universitas besar di Surabaya itu. 

Prof. Ashari baru satu tahun jadi rektor ITS.
Ia seperti ”anak hilang” yang kembali ke ibu kandungnya. Lima tahun lamanya
Ashari ”berjuang” di Bandung. Di luar ITS. Untuk menjadi rektor Universitas
Telkom pertama. Yakni gabungan empat sekolah tinggi Telkom –yang merger
menjadi Universitas Telkom. Prof. Ashari-lah bidan penggabungan itu.

Tahun lalu Universitas Telkom menduduki
peringkat satu universitas swasta di Indonesia. Dengan jumlah mahasiswa 30.000
orang. 

Kini Prof. Ashari sudah pulang ke kandang. Ia
alumnus Elektro ITS. Rumahnya di Sidoarjo. Di Desa Wonoayu –dekat pesantren
besar Bumi Shalawat milik Gus Ali. 

Setamat S-1 Ashari mencari beasiswa sendiri.
Belum ada email waktu itu. Semua proposal ia kirim lewat faksimile. Usahanya berhasil.
Ia diterima di Curtin University di Perth, Australia Barat. Di situ Ashari
menyelesaikan gelar S-2 dan S-3 nya.

Meski rektor ITS, Prof. Ashari tetap tinggal di
Desa Wonoayu. Tidak mau pindah ke Surabaya. ”Saya memilih bersama ibu di
Wonoayu. Tinggal ibu. Ayah sudah meninggal,” ujarnya.

Ayah-ibunya asli Desa Wonoayu itu. Petani.
Mencangkul dan menanam padi. Tapi 4 anaknya mentas semua: dua doktor, satu
dokter, satu lagi direktur BUMN besar.

Ashari rajin mempromosikan Raisa. Apalagi akan
segera lahir Raisa-Raisa berikutnya. Dengan nama depan tetap Raisa.

Adik Raisa itu kemungkinan akan diberi nama
Raisa Tiara. Tugasnya di lantai 2. Adiknya lagi bisa saja bernama Raisa BCL
–Backer Calm Down Labour. Untuk lantai 3. Adik ketiga di lantai 4: Raisa Rosa
–ransum, obat, salep, antiseptik.

Adik-adik Raisa dibuat lebih pintar. Bisa
mengukur suhu dan lain-lain. Sedang Raisa sendiri akan balik ke lantai 5 –ke
ICU. Tapi Raisa akan cuti dulu dua-tiga hari. Agar kameranya bisa muter-muter.
Untuk memonitor berbagai sudut ruang ICU. Dokter dan perawat ICU bisa tidak
sering-sering ke dalam. 

Raisa dan adik-adiknya akan terus membuat
Ashari lebih sibuk. Sampai ia rela menurunkan pangkatnya sendiri menjadi humas
Unair. Hasil lebih penting dari status. (Dahlan Iskan)

Perawat baru itu bernama pendek: Raisa. Tapi
langkahnya panjang: tidak pernah lelah. 

Raisa adalah juga satu-satunya perawat yang
tidak akan pernah tertular Covid-19.

Dia seorang, eh, sebuah robot.

Tempat dinas Raisa di Rumah Sakit Universitas
Airlangga. Yang dikhususkan untuk pusat penanganan Covid-19 di Surabaya.

Penempatan pertama Raisa sebenarnya di lantai
5. Itulah lantai khusus untuk ICU. Tapi di ICU itu pekerjaannyi tidak sebanyak
kemampuannyi.

Akhirnya Raisa dimutasi ke lantai 4 –yang
beban kerjanya lebih besar.

Raisa dilahirkan di Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya. Bidannyi terdiri dari 4 dosen dan 12 mahasiswa –elektro,
komputer, informatika, dan mesin. Kepala bidannya: Rudy Dikairono ST, MT
–dosen Fakultas Teknik Elektro ITS.

Dengan hadirnya Raisa, beban perawat di rumah
sakit itu berkurang –terutama beban mental. Kemungkinan tertular sangat
berkurang.

Raisa-lah yang lebih sering berhubungan dengan
pasien. Dia yang lebih sering ke kamar pasien –mengantarkan obat, alat ukur
suhu, atau makanan minuman. 

Kadang Raisa perlu agak lama di dekat pasien.
Yakni ketika pasien memerlukan dialog dengan perawat atau dokter. Raisa memang
dilengkapi kamera dan screen. Pasien
bisa bertanya kepada perawat yang wajahnya muncul di layar. Lalu si perawat
menjawab lewat layar itu.

Begitu tugas di kamar itu selesai Raisa kembali
ke ”meja kerja”-nyi: kumpul bersama perawat jaga di ujung lantai itu. 

Raisa yang satu ini belum sepenuhnya ”dewasa”.
Raisa sengaja dilahirkan dengan kecerdasan terbatas. Dia masih harus dibantu
dengan remote control.

Bukan karena ITS tidak mampu. Tapi karena
waktu. ”Robot ini harus sudah jadi dalam dua minggu,” ujar Rudy Dikairono.

Waktu itu ”cepat berfungsi” lebih utama
daripada ”kecerdasan yang sempurna”. Apalagi yang diprioritaskan adalah faktor
keamanan perawat dan dokter. Bukan tingkat kecanggihannya. 

Dengan hadirnya Raisa, kadar pertemuan langsung
perawat dengan pasien turun 60 persen. Begitulah keterangan perawat di rumah
sakit itu.

Tentu saya tidak bisa melihat langsung kerja
Raisa di lantai 4 itu. Prosedur ke RS itu sangat ketat. Apalagi saya adalah
jenis orang yang paling rawan tertular –tiap hari saya justru minum obat
penurun imunitas.

Tapi saya bisa minta tolong seorang dokter.
Saya titip pertanyaan untuk perawat di sana. Saya kenal dokter itu. Si dokter
kenal perawat itu. ”Turun 60 persen,” adalah kata-kata perawat ke DI’s Way
lewat sang dokter.

Baca Juga :  Bukan Hanya Janji, Sugianto-Edy Dorong Ingin Kalteng Jadi Kota Pelaja

Raisa terbukti bisa menunjukkan prestasi kerja.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pun memesan lagi dua Raisa. Sedang
anggaran dari Kementerian Ristek Dikti masih cukup untuk membuat satu Raisa
lagi. Berarti akan ada tiga Raisa baru di Rumah Sakit Unair.

”Yang satu sudah selesai. Dua Raisa lainnya
bisa jadi dalam enam hari ke depan,” ujar Rudy.

Rudy kini lagi menyelesaikan S3 di ITS. Yang
penelitiannya juga tentang robot. Khususnya robot sepak bola. ”Robot sepak bola
itu paling advance,” ungkap Rudy.

Ia sendiri bukan pemain bola. Hanya suka
menontonnya. Tapi membuat robot sepak bola sungguh sulit. ”Tiap tahun ada
pertemuan ahli robot sepak bola,” kata Rudy. ”Tahun ini mestinya di Prancis.
Batal gara-gara Covid-19,” tambahnya.

Rudy ini anak Sidoarjo –dari Desa Sukodono.
Sampai sekarang ia masih tinggal di desa itu. Tiap hari PP ke ITS di kawasan
timur Surabaya. 

Tentu SMA-nya juga di Sidoarjo –SMAN 1, satu
kandang dengan Rektor ITS sekarang.

Setamat S-1 Elektro ITS, Rudy ambil double degree: di ITS dan di Fachhochschule
Darmstadt, Jerman.

Tim ITS, katanya, bisa membuat Raisa hanya
dalam dua minggu berkat pengalaman panjangnya.

ITS sudah punya tim robot yang mapan. Tiap
tahun ada saja gelar juara yang diraih. Baik tingkat nasional maupun
internasional. 

Misalnya tim robot sepak bola itu –juara
nasional. Itulah robot sepak bola pertama ITS –dengan penggerak roda. Tahun
berikutnya lebih maju lagi. Disebut robot Ichiro –penggeraknya sudah bukan
roda lagi. Pemain sepak bolanya sudah berlari dengan kaki.

Lalu diciptakan lagi robot Barunastra –robot
kapal. Yang kita tahu pergerakan kapal itu juga begitu sulitnya –terutama saat
”take off” dan ”landing”.

Tiga robot ITS itu semuanya sudah serba
otomatis. Bisa diandalkan. Motonya: Satu hati. Untuk negeri. Wani! 

Jadi, bahwa Raisa masih perlu pakai remote control itu karena memang diinginkan
begitu.

Hampir saja saya tidak mengenal Raisa. Kalau
saja Rektor ITS, Prof. Ir. Mochamad Ashari, M.Eng., Ph.D, tidak usil. Tiba-tiba
saja saya baca, di medsos, Prof Ashari jadi humas Unair. Tanpa dibayar dan
tanpa SK. Rektor ITS itu mempromosikan Unair.

Ups… Ternyata mempromosikan ITS juga. Lewat
prestasi tim robotiknya itu. ”Nama Raisa sendiri usulan dari Unair,” ujar Prof.
Ashari. Waktu belum dibawa ke Unair namanya masih Raitsa –ada huruf ”i-t-s” di
dalamnya. 

Baca Juga :  Polwan Polda Kalteng Unjuk Kebolehan Kuasai Rantis

Raisa, kata Prof Ashari, adalah hasil kerja
sama dua universitas besar di Surabaya itu. 

Prof. Ashari baru satu tahun jadi rektor ITS.
Ia seperti ”anak hilang” yang kembali ke ibu kandungnya. Lima tahun lamanya
Ashari ”berjuang” di Bandung. Di luar ITS. Untuk menjadi rektor Universitas
Telkom pertama. Yakni gabungan empat sekolah tinggi Telkom –yang merger
menjadi Universitas Telkom. Prof. Ashari-lah bidan penggabungan itu.

Tahun lalu Universitas Telkom menduduki
peringkat satu universitas swasta di Indonesia. Dengan jumlah mahasiswa 30.000
orang. 

Kini Prof. Ashari sudah pulang ke kandang. Ia
alumnus Elektro ITS. Rumahnya di Sidoarjo. Di Desa Wonoayu –dekat pesantren
besar Bumi Shalawat milik Gus Ali. 

Setamat S-1 Ashari mencari beasiswa sendiri.
Belum ada email waktu itu. Semua proposal ia kirim lewat faksimile. Usahanya berhasil.
Ia diterima di Curtin University di Perth, Australia Barat. Di situ Ashari
menyelesaikan gelar S-2 dan S-3 nya.

Meski rektor ITS, Prof. Ashari tetap tinggal di
Desa Wonoayu. Tidak mau pindah ke Surabaya. ”Saya memilih bersama ibu di
Wonoayu. Tinggal ibu. Ayah sudah meninggal,” ujarnya.

Ayah-ibunya asli Desa Wonoayu itu. Petani.
Mencangkul dan menanam padi. Tapi 4 anaknya mentas semua: dua doktor, satu
dokter, satu lagi direktur BUMN besar.

Ashari rajin mempromosikan Raisa. Apalagi akan
segera lahir Raisa-Raisa berikutnya. Dengan nama depan tetap Raisa.

Adik Raisa itu kemungkinan akan diberi nama
Raisa Tiara. Tugasnya di lantai 2. Adiknya lagi bisa saja bernama Raisa BCL
–Backer Calm Down Labour. Untuk lantai 3. Adik ketiga di lantai 4: Raisa Rosa
–ransum, obat, salep, antiseptik.

Adik-adik Raisa dibuat lebih pintar. Bisa
mengukur suhu dan lain-lain. Sedang Raisa sendiri akan balik ke lantai 5 –ke
ICU. Tapi Raisa akan cuti dulu dua-tiga hari. Agar kameranya bisa muter-muter.
Untuk memonitor berbagai sudut ruang ICU. Dokter dan perawat ICU bisa tidak
sering-sering ke dalam. 

Raisa dan adik-adiknya akan terus membuat
Ashari lebih sibuk. Sampai ia rela menurunkan pangkatnya sendiri menjadi humas
Unair. Hasil lebih penting dari status. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru