Site icon Prokalteng

Serangan Badak

serangan-badak

Jujur memang tidak lagi penting. Juga di perpolitikan Amerika sekarang ini. Kejujuran hanya cocok untuk di gereja, masjid, wihara, pura, dan sinagoge –itu pun kalau masih ada.

Trump pun terus berkoar dengan kata-kata yang bersayap. Dan sayap itu menimbulkan ketakutan. ”Hanya saya yang bisa menjaga keamanan Anda, warga Amerika,” ujar Trump. Maksudnya: ”Kalau pilih Biden, negara akan rusuh terus seperti itu.” Begitulah kurang lebih pesan yang ingin disampaikan.

Isu penting lain yang juga diluncurkan kubu Trump adalah ”hak menjaga diri dan menjaga properti masing-masing”.

Bahwa tujuan memiliki dan membawa senjata adalah untuk melindungi diri. Kalau Biden menang, orang Amerika tidak boleh lagi memiliki senjata. Berarti tidak lagi aman.

Tidak penting apakah benar sikap Biden seperti itu. Tidak perlu disebut di mana Biden mengucapkannya –kalau ada.

Isu senjata itu sangat mengena di Amerika. Tradisi memiliki senjata untuk menjaga properti pribadi tersebut sangat mendasar di sana.

Itu karena negara Amerika lahir dari individu warganya yang independen. Pribadi-pribadi lebih dulu berkuasa –atas properti masing-masing– sebelum ada negara. Di sana negara datang amat belakangan.

Kekuasaan perseorangan eksis dulu. Baru terbentuk negara bagian. Lalu belakangan ada negara. Karena itu, banyak rakyat yang benci kepada negara. Negara dianggap hanya merampas kemerdekaan individu. Setidaknya hanya mengganggu individu yang merdeka.

Di Amerika ”negara pribadi” di atas properti pribadi masing-masing seperti itulah yang pertama-tama ada.

Sebab itulah, hampir semua rumah tangga Amerika memiliki senjata api. Satu rumah bisa memiliki beberapa senjata. Suami punya senjata sendiri: laras panjang dan pistol. Istri punya setidaknya pistol.

Hukum yang berlaku: siapa yang memasuki pekarangan/properti tanpa izin pemiliknya bisa ditembak. Tidak harus ada peringatan. Tidak harus tembak bagian kaki.

Tradisi itu lahir sejak zaman belum ada negara itu. Mendasar. Mendarah daging.

Yang seperti itu yang sulit saya pahami –sebagai orang Jawa yang lahir dan besar di desa. Di desa saya orang bisa masuk ke pekarangan tetangga yang mana pun. Bahkan, bisa masuk rumah siapa pun. Tidak ada pagar, setidaknya tidak ada pintu pagar.

Pintu rumah saya tidak pernah dikunci. Bahkan tidak pernah ditutup, kalau siang hari. Pintu itu baru ditutup kalau ditinggal pergi beberapa hari. Tapi, pintu pagar tetap tidak ditutup karena memang tidak ada pintunya.

Untuk urusan seperti garam atau cabai, kami bisa masuk ke dapur tetangga tanpa minta izin. Rumah kami semua kosong di pagi hari. Semua ke sawah. Pintu rumah semua dibiarkan terbuka. Dan lagi memang tidak ada benda berharga di dalamnya.

Kami bisa masuk dapur para tetangga. Langsung mengambil garam atau cabai di situ. Baru belakangan, kalau ketemu tetangga itu, kami bilang bahwa tadi kami mengambil cabai di dapur.

Saya kadang lupa kalau lagi di pedalaman Amerika. Kebiasaan di desa sulit dihapus. John Mohn, ”keluarga saya” di Kansas, Amerika, begitu sering mengingatkan saya agar jangan menginjak batas halaman tetangga. Padahal, tidak ada pagar pembatas.

Di Amerika tidak ada tolong-menolong dalam pengertian seperti itu. Tolong-menolongnya juga tinggi, tapi ada prosedurnya.

Di sana menjaga properti masing-masing adalah bagian dari jihad individu.

Maka, kerusuhan seperti yang terjadi belakangan di Amerika sangat menakutkan. Terutama bagi orang kulit putih.

Itulah yang dimanfaatkan Trump untuk kemenangan politiknya.

Di mata mereka, Trump adalah kebanggaan. Trump sendiri terasa berhasil memberikan kebanggaan kepada kelompok yang seperti itu.

Kelompok Patriot Prayer yang di Oregon itu misalnya. Baru berdiri menjelang Pilpres 2016. Yang waktu itu Trump memang terlihat sangat pro kelompok kulit putih.

Patriot Prayer lantas bergabung dengan kelompok sesama supremasi kulit putih seperti Proud Boys dan Hell Shaking Street Preachers.

Mereka itulah yang aktif melakukan kontra-demo di Portland, Oregon. Yang sampai tertembak tewas pekan lalu.

Di kota kecil Kenosha, di utara Chicago, juga ricuh. Kota 100.000 penduduk itu sebenarnya sudah masuk Negara Bagian Wisconsin.

Ketika demo antirasialis tidak kunjung padam, seorang remaja merasa iba kepada polisi. Ia sebenarnya penduduk Negara Bagian Illinois. Tapi, rumah ibunya di perbatasan dengan Wisconsin.

Namanya Kyle Rittenhouse. Umurnya baru 17 tahun. Kyle tidak mau sekolah lagi. Ia berhenti sekolah ketika kelas II SMA. Ibunya menjanda dan bekerja sebagai tenaga kesehatan. Kyle memiliki senjata laras panjang di rumahnya: AR-15 style rifle.

Setelah putus sekolah, Kyle ikut latihan polisi dan pemadam kebakaran. Ia sangat mengidolakan polisi.

Melihat polisi terus dalam posisi tertekan di Kenosha, Kyle naik mobil sejauh 20 km dari rumahnya ke Kenosha. Ia bawa senjata laras panjangnya itu.

Kyle berniat membantu polisi. Juga menjaga properti orang kulit putih, jangan sampai dijarah atau dirusak. Di kampungnya ia memang juga penjaga keamanan gedung YMCA –milik asosiasi anak muda Kristen kulit putih.

Malam itu, di arena demo itu, tiba-tiba Kyle mengatakan kepada polisi bahwa dirinya berhasil menembak tiga orang. Dua meninggal. Satu luka-luka.

Ia pun ditahan. Dengan tuduhan pembunuhan. Ia ternyata juga membawa alat-alat pertolongan pertama di dalam tasnya. Mungkin milik Wendy, ibunya. Ia mengaku ke arena demo untuk juga menolong kalau ada yang luka-luka.

Di Facebook-nya, Kyle menyebut dirinya kelompok BlueLivesMatter. Sebagai saingan BlackLiveMatters.

Trump terus mendapat amunisi dari gerakan seperti Patriot Prayer atau BlueLivesMatter.

Saya lihat manuver Trump seperti itu akan sangat membahayakan posisi Biden. Trump adalah simbol fighter yang badak. Ia menyerang dan terus menyerang. Sampai lawannya kehabisan ruang. (Dahlan Iskan)

Exit mobile version